• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN

H. Lingkungan

Hamka mendefinisikan lingkungan yang baik adalah sebagai situasi dan kondisi baik dalam rumah tangga, sekolah, maupun kehidupan masyarakat yang ikut mempengaruhi proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik.

Ada manusia yang sangat berarti sama hidupnya dan ada yang tidak berarti sama sekali. Kedatangannya tidak menggenapkan dan kepergiannya tidak mengganjilkan. Kumpulan sifat akal budi, kemauan, cita-cita, dan bentuk tubuh. Hal itu menyebabkan harga kemanusiaan seseorang berbeda dari yang lain (Hamka, 2014: 4).

Tinggi rendahnya pribadi seseorang adalah karena usaha hidupnya, caranya berpikir tepatnya berhitung jauhnya memandang, dan kuatnya semangat diri sendiri.

58

Pribadi ini berfungsi untuk memperoleh kesempurnaan dan kesuksesan hidup. Supaya tercapai kesempurnaan pribadi, ada empat syarat yang harus dilakukan. Syarat pertama, yaitu harus jelas dan nyata pendapat akal kita tentang suatu persoalan walaupun berbeda dengan pendapat orang lain. Sebab, orang yang tidak merdeka jiwanya dari pengaruh orang lain, tidak jelas pandangan hidupnya. Maka harus berterus terang. Dia mengatakan apa yang dirasakan dan dapat dikerjakan, mengerjakan apa yang dikatakan dan muncul dari perasaanya. Apa yang diucapkan adalah apa yang diyakininya dan apa yang diyakininya, berani dia ucapkan.

Orang yang tepat, cepat, berisi perkataanya akan mendapat penghargaan istimewa dalam pergaulannya (Hamka, 2014: 128-189).

Syarat kedua haruslah memiliki sifat tanggung jawab. Berani bertanggung jawab membuat orang yang kuat menjadi lebih kuat. Pedoman dalam memikul suatu tanggung jawab adalah jiwa sendiri. Dalam jiwa yang bertujuan suci dan berkehendak mulia senantiasa muncul ilham menghadapi pekerjaan. Laksanakan pekerjaan itu dan jangan diperhatikan kebencian dan kemarahan orang. Tidak semua orang akan marah dan benci. Pasti ada orang yang akan menyetujui. Jangan hanya mengingat orang yang tidak suka. Ingat pula bahwa banyak yang suka. Di sana terletak kebesaran jiwa orang yang suci dan bertanggung jawab. Jika kita bermasyarakat, pasti ada lawan kita. Seseorang yang tidak memiliki lawan hanyalah orang yang tidak berani bertanding.

59

Keberanian tanggung jawab akan memunculkan orang yang memuja dan menghargai. Di samping orang yang mencela dan ingin engkau jatuh. Keduanya kelak yang akan mendesak supaya engkau lebih hati-hati dan memperbagus mutu pekerjaan, sehingga seseorang akan bernilai lebih tinggi dari beribu manusia. Namamu tidak lepas dari mulut yang memuji dan mencela. Yang memuji setinggi langit sehingga kedudukanmu disamakan dengan malaikat suci dan yang mencela akan membenamkan engkau sampai ke bagian terbawah bumi. Di atas keduanya itulah, pujaan dan celaan, terletak kebesaran. Apabila keduanya tidak ada lagi tamatlah riwayatmu walaupun nafasmu masih ada (Hamka, 2014: 131-132).

Syarat ketiga adalah sabar. Kesempurnaan tanggung jawab adalah sabar. Menurut Syekh Muhammad Abduh, seorang ahli filsafat Islam, Sabar adalah ibu segala akhlak.

Pribadi yang kuat tidak cepat terguncang. Orang yang lemah tetap bersabar akan lebih menang daripada orang kuat tetapi terburu-buru dan terlalu bernafsu. Jika kesabaran telah menajdi sebab kemenangan bagi orang besar, seperti William Pitt dan Hatta, kesabaran pulalah yang akan mengukuhkan pribadi orang biasa hingga dapat menjadi orang besar. Isaac Newton menjadi orang besar karena kemarahan gurunya sebab menyangka otaknya tumpul. Diapun mengaku bahwa kenaikannya lantaran kesabarnnya walalupun pada mulanya otaknya tumpul (Hamka, 2014: 138).

60

Syarat keempat adalah harus memiliki kemauan yang keras. Kesempurnaan pribadi terletak pada kesempurnaan kemauan. Bagaimanapun tajamnya pikiran seperti ahli filsafat yang besar dan halus perasaan seperti penyair atau pelukis, tidaklah akan terlaksana cita-cita jika kemauan tidak ada. Tercapainya cita-cita atau terlaksananya suatu pikiran yang besar adalah karena kemauan. Kemauan menimbulkan ketabahan, kegigihan, dan keteguhan. Ketika memukul, hendaklah memukul sampai hancur. Ketika bertahan, hendaklah menahan pukulan walaupun betapa hebat datangnya. Siapa yang lebih dahulu berhenti, itulah yang kalah (Hamka, 2014: 139-140).

Bentuk kehidupan manusia telah ada sejak dalam rahim ibu. Dahulu hal itu masih diragukan dan dipandang sebagai dongeng saja. Akan tetapi, menurut majalah Women bahwa di Universitas Antioche di Ohio (Amerika) perkumpulan dokter yang meneliti ibu hamil telah mendapat beberapa bukti bahwa kegembiran atau kesedihan seorang ibu yang sedang mengandung berpengaruh juga kepada berat ringannya timbangan bayi setelah ia dilahirkan.

Penjagaan kesehatan dan perasaan ibu saat mengandung, sangat mempengaruhi perkembangan pribadi kandungannya kelak. Setelah anak itu lahir, dunia telah menunggu lingkungan tempat dia diasuh dan dibesarkan. Setelah dewasa, menunggu pula pergaulan yang lebih luas, yaitu masyarakatnya.

61

Sangat penting juga pendidikan di sekolah.Apabila suatu masyarakat telah merdeka, berdemokrasi, berbudi tinggi, sangguplah masyarakat itu menimbulkan pribadi yang kuat (Hamka, 2014: 4-6).

Kerasnya didikan orang tua, kurangnya tanggung jawab seorang guru saat mengajar, masyarakat yang kolot, bodoh, dan belum pandai menghargai pertumbuhan seseorang, serta penjajahan bangsa atas bangsa. Semuanya itu dan beberapa sebab lain mengahalangi tumbuhnya pribadi.

Ayah dan guru yang wajib terlebih dahulu menuntun kemerdekaan tumbuhnya pribadi anak. Ayah dan guru belum berani menentang pendapat umum dan sulit melepaskan diri dari pengaruh didikan sendiri.

Sebab itu, “plat” pikiran dan pandangan hidupnyalah yang hanya dapat

dialirkan kepada putra dan muridnya. Didikan selama ini hanya menurut, berpikir dengan pikiran orang lain, dan tidak berani atau tidak sanggup menyatakan pendirian sendiri.

Selama penjajahan, bangsa yang menjajah berusaha menekan pribadi Indonesia supaya tidak tumbuh. Mereka memberi ilmu, namun keberanian warga Indonesia dihambat.

Pribadi besarlah yang menimbulkan kebangsaan dan keteguhan bangsalah yang dapat memupuk pribadi (Hamka, 2014: 6-7).

Dalam hal ini, lingkungan keluarga sangat berperan penting dalam menunjang pelaksanaan dan tujuan pendidikan.Pentingnya menata lingkungan yang menunjang suasana pendidikan, disebabkan karena

62

peserta didik merupakan makhluk sosial yang tidak bisa dilepaskan dari komunitas sosialnya.

Sehubungan dengan itu, supaya pelaksanaan pendidikan dapat berlangsung secara efektif dan efisien, maka perlu terlebih dahulu diciptakan kondisi dan suasana lingkungan keluarga dan sosial, terutama politik negara (pemerintah) yang menunjang tumbuhnya nilai-nilai edukasi yang ditanamkan di lembaga pendidikan formal (sekolah). Kebijakan tersebut dalam wacana keislaman bukan hanya menyangkut persoalan politis, akan tetapi juga dalam tatanan moral dan kemanusiaan. Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam pada gilirannya akan menunjang fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi (Hamka, 1983: 286-297). Kondisi ini akan terwujud tatkala seluruh sistem sosial - secara kolektif - ikut mengontrol terlaksananya proses pendidikan, khususnya Islam. Sikap sosial yang demikian ini merupakan perwujudan kesadaran setiap keluarga, seluruh anggota masyarakat, maupun pemerintah terhadap proses pendidikan dan pembentukan kepribadian peserta didik, sesuai dengan nilai moral yang mereka anut.

Pendidikan dan model kebijakan politik pemerintahan suatu negara saling mempengaruhi satu dengan yang lain secara integral. Dalam hal ini, Hamka membagi kewajiban negara terhadap masyarakat kepada tiga bentuk, yaitu:

63

2. Hak menjaga kesenangan hatinya, termasuk pendidikan dan rekreasi.

3. Hak menjaga dari timbulnya berbagai bahaya yang bisa mencelakakannya (Hamka, 2015: 39).

Untuk menciptakan institusi pendidikan sebagai sarana berkembangnya pemikiran yang dinamis dan merdeka, hendaknya

kebijakan lembaga pendidikan terpisah dari “warna” kebijakan politik

kenegaraan.Seorang ilmuan harus merdeka dan objektif, serta berkonsentrasi pada bidang keilmuannya bagi kamslahatan umat manusia, tidak mengharapkan pujian, dan tidak terwarnai oleh kepentingan (intervensi) politik pemerintah (Hamka, 2015: 50). Sosok ilmuan yang demikian akan dapat memelihara fungsinya sebagai pemikir dan penyelamat umat, memiliki kemerdekaan intelektual, serta berbuat secara objektif dan dinamis. Bentuk kelembagaan dan sosok pendidik yang demikian pada gilirannya akan dapat mengembangkan dunia pendidikan

sebagai “motor produksi” kebudayaan umat yang lebih dinamis, serta berfungsi sebagai agent of social control kebijakan politik suatu negara (Hamka, 2015: 178-179).

Dalam mencapai tujuan pendidikan secara integral dapat tercapai, maka penentu kebijakan pendidikan hendaknya memformat sistem pendidikan yang bernuansa religius dan menyentuh seluruh potensi peserta didik. Keikutsertaan pemerintah dalam menata pola pendidikan yang demikian sangat menentukan mampu atau tidaknya pendidikan

64

memainkan peranannya dalam menciptakan sosok peserta didik yang berkepribadian paripurna. Ide ini terinspirasi dari sejarah politik Rasulullah dan para sahabat yang meletakkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam kebijakan sistem pendidikannya (Hamka, 1950: 180-182).

I. Kurikulum Pendidikan

Agar fitrah dalam diri peserta didik berkembang secara optimal, maka penekanan seluruh materi pendidikan yang ditawarkan hendaknya berjalan secara integral. Hal ini yang mutlak diperlukan agar proses belajar mengajar berjalan efektif adalah tersedianya bentuk kurikulum yang

credible, fleksible, dan acceptable. Dalam hal ini, Islam dengan ajarannya yang universal memotivasi umatnya untuk menciptakan bentuk-bentuk yang disenanginya. Hanya saja, dalam sistematisasinya, perlu mempertimbangkan aspek manfaatnya, baik bagi individu peserta didik, masyarakat maupun alam semesta.Kurikulum yang ditawarkan dituntut untuk mampu menumbuhkan rasa sosial dan taqarrub kepada Allah, sebagai bentuk pengabdian kepadaNya.

Kurikulum pendidikan Islam mencakup dua aspek, yaitu: Pertama, ilmu-ilmu agama meliputi al-Qur‟an, al-sunnah, syari‟ah, teologi,

metafisika Islam (tasawuf); ilmu-ilmu linguistik seperti bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusasteraan. Kedua, ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis yang meliputi ilmu-ilmu kemanusiaan (sosial), alam, terapan dan teknologi (Hamka, 1983c: 78-86).

65

Pendekatan yang dilakukan bersifat filosofis dengan berpijak pada dinamika kehidupan manusia menuntut kurikulum pendidikan mengalami perubahan secara dinamis. Dalam konteks ini wahyu, akal, dan pengalaman memainkan peranannya dalam mengambil natijah

(kesimpulan) untuk membangun suatu model kurikulum pendidikan yang mampu menjawab berbagai persoalan kehidupan umat manusia (Hamka, 1983c: 107-108).

Pendidikan Islam lebih menekankan pada pentingnya pendidikan sosial bagi peserta didik. Eksistensinya, mengharuskan manusia untuk hidup dalam komunitasnya, saling memerlukan bantuan antara satu dengan yang lain, dan membangun rasa kebersamaan (Hamka, 1950: 133). Oleh karena itu, manusia dituntut untuk saling menghargai antar satu dengan yang lain. Aspek ini akan terwujud tatkala dalam kehidupannya diatur oleh tata kesopanan (adab). Dalam hal ini, ia memberikan berbagai contoh yang bisa dicermati sebagai bagian adab yang mampu menjadi perekat hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Di antaranya duduk bersila dihadapan orang yang lebih tua, berkata yang sopan, jika sedang makan dilarang antara piring dan garpu saling beradu, terutama bagi perempuan dilarang tertawa terlalu nyaring dan lain sebagainya. Melalui ikatan norma adab yang demikian, maka manusia akan terpuji dan terpelihara dari kehinaan sebagaimana kehidupan binatang (Hamka, 1950: 100-101).

66

Norma tata susila dalam kehidupan sosial hendaknya tertanam pada setiap diri manusia. Dalam hal ini, pendidikan memainkan peranan penting dalam menanamkan aspek tata susila dan kepedulian sosial dalam diri peserta didiknya. Tumbuhnya sikap yang demikian nantinya diharapkan muncul sosok peserta didik yang peduli dan memanfaatkan seluruh ilmu yang dimiliki bagi kepentingan seluruh umat manusia sebagai konsekuensi tugas kekhalifahannya di muka bumi. Nilai substansi norma adab susila bukan saja pada aspek horizontal (sesama makhluk), akan tetapi bersamaan dengan itu mengandung nilai vertikal, sebagai salah satu bagian ibadah kepada Allah SWT ( Hamka, 1950: 103).

Dokumen terkait