• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MENGENAL TAFSIR AL IBRIZ

A. Biografi K.H Bisri Mustofa

KH. Bisri Musthofa dilahirkan di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Nama Bisri ia pilih sendiri setelah kembali menunaikan ibadah haji di kota suci Mekah. Ia adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan isteri keduanya yang bernama Hj. Khatijah. Tidak diketahui jelas silsilah kedua orangtua KH. Bisri Musthofa ini, kecuali dari catatannya yang menyatakan bahwa kedua orangtuanya tersebut sama-sama cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang. Namun, sayang sekali, mengenai Mbah Syuro inipun tidak ada informasi yang pasti dari mana asal usulnya.14

Pada 17 Rajab 1354 H/Juni 1935 beliau menikahi Ma‘rufah binti K. H. Cholil dari pernikahan ini beliau dikaruniai delapan anak, yaitu; Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah dan Atikah (lahir 1964). Pada sekitar tahun 1967, K.H. Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang wanita asal Tegal bernama Umi Atiyah. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai seorang putra bernama Maimun. Bisri Musthofa meninggal di Semarang pada 16 Februari 1977 akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan paru-paru.15

14

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 85.

15

Risalah NU, In Memorian: KH. Bisri Musthofa, (Semarang: PWNU Jateng, Edisi No. 2, Tahun II 1399/1979 M), hlm. 7.

18

KH. Bisri Musthofa lahir dalam lingkungan pesantren, karena memang ayahnya seorang kiai. Sejak umur tujuh tahun, ia belajar di sekolah Jawa ―Ongko Loro‖ di Rembang. Di sekolah ini, Bisri tidak sampai selesai, karena ketika

hampir naik kelas dua ia terpaksa meninggalkan sekolah, tepatnya diajak oleh orangtuanya menunaikan ibadah haji di Mekah. Rupanya, inilah masa di mana beliau harus merasakan kesedihan mendalam karena dalam perjalanan pulang di pelabuhan Jedah, ayahnya yang tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan ibadah haji.16

Sejak ayahandanya wafat pada tahun 1923 merupakan babak kehidupan baru bagi Bisri Mustofa. Sebelumnya ketika bapaknya masih hidup seluruh tanggung jawab dan urusan-urusan serta keperluan keluarga termasuk keperluan Bisri menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu sepeninggal H. Zainal Mustofa (bapaknya), keluarga Bisri merasakan ada perubahan yang besar dari kehidupan sebelumnya. Sepeninggal itu, tanggung jawab keluarga termasuk Bisri berada di tangan H. Zuhdi.17

H. Zuhdi kemudian mendaftarkan Bisri ke sekolah HIS (Hollans Inlands School) di Rembang. Pada waktu itu di Rembang terdapat tiga macam sekolah, yaitu:

1. Eropese School; di mana muridnya terdiri dari anak-anak priyayi tinggi, seperti anak-anak Bupati, asisten residen dan lain-lain.

16

Saifuddin Zuhri, PPP, NU, dan MI: Gejolak Wadah Politik Islam (t.tp: Integrita Press, 1983), hlm, 24.

17

H Zuhdi merupakan kakak tiri Bisri, anak dari pasangan H Zainal Mustofa dengan H Dakilah. Dengan kata lain H Zuhdi dengan Bisri seayah tapi beda ibu. Lihat Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa, cet. I (Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 9.

19

2. HIS (Hollans Inlands School); di mana muridnya terdiri dari anka-anak pegawai negeri yang penghasilannya tetap. Uang sekolahnya sekitar Rp. 3,- sampai Rp. 7,- .

3. Sekolah Jawa (Sekolah Ongko loro); di mana muridnya terdiri anak-anak kampung; anak pedagang, anak tukang. Biaya sekolahnya sekitar Rp. 0,1,- samapi Rp. 1,25,-.18

Bisri Mustofa di terima di sekolah HIS, sebab beliau diakui sebagai keluarga Raden Sudjono, Mantri guru HIS yang bertempat tinggal di Sawahan Rembang Jawa Tengah dan merupakan tetangga keluarga Bisri Mustofa. Akan tetapi setelah Kyai Cholil Kasingan mengetahui bahwa Bisri Mustofa sekolah di HIS, maka beliau langsung datang ke rumah H. Zuhdi di Sawahan dan memberi nasehat untuk membatalkan dan mencabut dari pendaftaran masuk sekolah di HIS. Hal ini dilakukan karena Kyai Cholil mempunyai alasan bahwa HIS adalah sekolah milik penjajah Belanda yang dikhususkan bagi para anak pegawai negeri yang berpenghasilan tetap. Sedangkan Bisri Mustofa sendiri hanya anak seorang pedagang dan tidak boleh mengaku atau diakui sebagai keluarga orang lain hanya bisa untuk belajar di sana.

Kebencian kyai Cholil dengan penjajah Belanda mempengaruhi dalam keputusan ini. Beliau sangat khawatir kelak Bisri Mustofa nantinya memiliki watak seperti penjajah Belanda jika beliau masuk sekolah di HIS. Selain itu kyai Cholil juga menganggap bahwa masuk sekolah di sekolahan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Kemudian Bisri Mustofa kembali melanjutkan

18

Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa, cet.I (Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 10-11.

20

sekolahnya di sekolah ―Ongko Loro‖ sampai mendapatkan sertifikat dengan masa

pendidikan selama empat tahun. Pada usia 10 tahun (tepatnya pada tahun 1925), Bisri melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Pada tahun 1930, Bisri belajar di pesantren Kasingan (tetangga desa Pesawahan) pimpinan Kiai Cholil.19

Pada awalnya Bisri Mustofa tidak minat belajar di Pesantren. Sehingga hasil yang dicapai dalam awal-awal mondok di Pesantren Kasingan sangat tidak memuaskan.20 Hal itu disebabkan oleh :

1. Kemauan belajar di Pesantren tidak ada, karena beliau merasa pelajaran yang di ajarkan di Pesantren sangat sulit, seperti; nahwu, sorof dan lain-lain. 2. Bisri Mustofa menganggap kyai Cholil adalah sosok yang galak dan keras. Sehingga beliau merasa takut apabila tidak dapat menghafal atau memahami apa yang diajarkan pasti akan mendapat hukuman.

3. Kurang mendapat tanggapan yang baik dari teman-teman pondok. 4. Bekal uang Rp. 1,- setiap minggunya dirasa kurang cukup.21

Setelah tidak kerasan maka Bisri Mustofa berhenti mondok dan selalu main- main dengan teman-teman sekampungnya. Kemudian beliau tidak mondok

beberapa bulan, maka pada permulaan tahun 1930 Bisri Mustofa diperintahkan untuk kembali lagi ke Kasingan untuk belajar mengaji dan mondok pada kyai Cholil. Bisri Mustofa kemudian dipasrahkan oleh ipar kyai Cholil yang bernama Suja‘i. Di Pesantren itu, Bisri Mustofa tidak langsung mengaji kepada kyai Cholil.

19

Maslukhin, Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibriz Karya K.H Bisri Mustofa.

Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Volume 5, Nomor 1. (Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik, Indonesia. 2015), hlm. 42.

20

Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa,... hlm. 11.

21Ibid

21

Akan tetapi beliau terlebih dahulu belajar mengaji kepada Suja‘i. hal ini dilakukan selain Bisri Mustofa belum siap mengaji langsung kepada kyai Cholil juga untuk membuktikan kepada teman-temannya bahwa beliau akan mampu dan untuk mempersiapkan diri nantinya mengaji secara langsung kepada kyai Cholil. Bisri Mustofa tidak diajarkan kitab-kitab yang macam-macam, tetapi beliau hanya diajarkan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sehingga setiap hari yang dipelajari hanya satu kitab itu saja. Pada akhirnya Bisri Mustofa menjadi santri yang sangat menguasai kitab tersebut.

Setelah selama dua tahun beliau mempelajari kitab Alfiyah maka ketika ada pengajian kitab Alfiyah oleh kyai Cholil sendiri, maka Suja‘i mengizinkan Bisri

Mustofa untuk ikut serta dalam pengajian tersebut dan diharuskan untuk duduk paling depan agar lebih paham serta dapat dengan cepat menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan oleh kyai Cholil. Setiap ada pertanyaan dari kyai Cholil, maka Bisri Mustofa lah santri pertama yang ditanya dan dengan mudah beliau menjawab pertanyaan. Sehingga mulai saat itu teman-teman santri mulai memperhitungkan seorang Bisri Mustofa dan selalu menjadi tempat rujukan teman-temannya apabila mendapat kesulitan pelajaran.22

Satu tahun kemudian Bisri Mustofa mulai ikut mengaji kitab Fathul Mu‟in23

, beliau mempelajarinya secara sungguh-sungguh sebagai mana beliau mempelajari Alfiyah. Setelah selesai belajar kedua kitab tersebut (Alfiyah dan

22

Ibid, hlm. 14.

23

Kitab Fathul Mu‟in adalah kitab yang membahas tentang hukum-hukum fiqih, kitab ini sangat populer di kalangan Pesantren. Pengarang kitab ini adalah Syekh al-‗Alim al-‗allamah Zainuddin

22

Fathul Mu‟in), maka barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang lain, Seperti; Fathul Wahhab, Iqna‘, Jami‘ul Jawami‘, Uqudul Juman dan lain-lain.24

Sejak tahun 1933 Bisri Mustofa sudah dipandang sebagai santri yang memiliki kelebihan. Sehingga teman-temannya yang lain selalu menjadikan sebagai rujukan. Pada tahun itu pula adiknya (Misbah) dimasukkan juga di pondok Kasingan. Sehingga biaya hidup pun menjadi bertambah. Oleh H. Zuhdi beliau diberi uang Rp. 1,75,- untuk biaya hidup dua orang. Karena merasa kurang cukup maka Bisri Mustofa nyambi jualan kitab yang beliau ambil dari toko kakaknya H. Zuhdi, keuntungan dari penjualan tersebut dijadikan tambahan untuk biaya di pondok.25

Pada tahun 1932 Bisri Mustofa minta restu kepada kyai Cholil untuk pindah ke Pesantren Termas yang diasuh oleh kyai Dimyati. Pada tahun itu kebanyakan temen-temen Bisri Mustofa melanjutkan mengaji ke Termas, seperti Thoyib, Fatchur Rachman dan Anwar. Permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh sang kyai. Bahkan kyai Cholil dengan nada lantang dan keras melarang Bisri Mustofa untuk ke Termas. Beliau mengatakan bahwa di Kasingan pun Bisri Mustofa tidak akan bisa menghabiskan ilmu yang diajarkan. Bisri Mustofa tidak boleh ikut- ikutan dan meniru teman-temannya yang mau mengaji ke Termas. Kyai Cholil tidak meridhoi Bisri Mustofa untuk pergi ke Termas. Akhirnya Bisri Mustofa menuruti titah sang kyai dengan tidak jadi pergi ke Termas. Beliau tidak berani melanggar titah kyai Cholil. Kemudian Bisri Mustofa tetap tinggal di Kasingan.26

24

Maslukhin, Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibriz Karya K.H Bisri Mustofa... hlm. 44.

25

Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa,... hlm. 14.

26Ibid.,

23

Akhirnya pada bulan Sya‘ban tahun 1934 Bisri Mustofa diajak oleh kyai Cholil ke Tuban Jawa Timur. Kepergian tersebut tidak jelas dan kenapa Bisri Mustofa diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah kyai Husain, kyai Cholil berkata kepada Bisri Mustofa: ”Engkau mau tidak saya akui sebagai anak saya dunia

akhirat?”, tentu saja Bisri Mustofa langsung menjawab; “Ya mau Syaikhuna”. Kyai Cholil terus berkata: ―Kalau begitu engkau harus patuh kepadaku”. Bisri Mustofa pun diam sebagai tanda tidak menolak. Kemudian kyai Cholil berkata lagi: “Engkau akan saya nikahkan dengan putri kyai Murtadho Makam Agung Tuban. Putrinya itu ayu, manis dan bapaknya kyai Murtadho adalah seorang kyai yang alim, beruntung engkau menjadi menantunya”. Akan tetapi Bisri Mustofa memberanikan diri untuk menolak perintah untuk menikah itu. Beliau merasa belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang beliau dipelajari masih sangat kurang. Kyai Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri Mustofa akan dikawinkan dengan putri seorang kyai besar dan alim agar nantinya beliau menjadi seorang alim juga.27

Tanpa diberikan kesempatan menjawab, Bisri Mustofa langsung diajak ke rumah kayai Murtadho Tuban. Di tempat situ sepertinya sudah dipersiapkan segala hal untuk menerima tamu kyai Cholil dan Bisri Mustofa yang akan melakukan khitbah kepada kyai Murtadho. sesampai di rumah tujuan, Bisri Mustofa merasa beruntung karena sang putri yang akan dikhitbah ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri Mustofa untuk menolak perintah menikah. Tetapi kyai Cholil sudah melakukan perundingan

27Ibid.,

24

dengan kyai Murtadho bahwa keputusan menikahkan Bisri Mustofa dengan putri kyai Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan juga pada tanggal 7 bulan Syawwal tahun 1934, kyai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama putrinya untuk Khitbah dan dilangsungkan dengan pernikahan.

Pada tanggal 3 Syawwal 1934 Bisri Mustofa dengan ditemani Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapa pun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah nikah. Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, Kaliwungu, Kendal dengan berbekal uang pas-pasan. Setiap mereka mampir ke tempat teman atau orang tua teman, mereka diberi tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan yang paling lama mereka tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon Kendal. Setelah satu bulan lebih lamanya mereka pulang ke Rembang. Bisri Mustofa langsung menghadap kyai Cholil dan meminta maaf atas perlakuannya tersebut. Dijabatnya tangan kyai Cholil, tetapi tanpa sepatah kata pun yang terucap dari mulut kyai Cholil. Waktu Bisri Mustofa mau pamit kembali, beliau pun menjabat tangan kyai Cholil. Tetapi sang kyai masih saja berdiam diri. Seperti biasanya Bisri Mustofa mengikuti kembali pelajaran-pelajaran di Pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri Mustofa sama sekali tidak ditanya oleh kyai Cholil sebagai mana biasanya.28

Hal ini membuat Bisri Mustofa merasa dikucilkan oleh kyai Cholil. Kejadian tersebut berlangsung selama setahun lebih dan berakhir dengan berita yang menurut Bisri Mustofa sungguh di luar dugaan. Berita itu adalah keinginan kyai Cholil untuk mengambil Bisri Mustofa sebagai menantunya. Bisri Mustofa

28

25

akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Ma‘rufah. Berita tersebut beliau dapat dari ibunya ketika beliau pulang ke rumah Sawahan. Ibunya menceritakan bahwa kyai Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri Mustofa untuk dijadikan sebagai menantunya.

Bisri Mustofa kemudian mengalami sebuah kebingungan serta kebimbangan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat Ibu dan keluarganya, termasuk kakaknya H. Zuhdi menyetujuinya maka hati Bisri Mustofa menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Sehingga setelah segala sesuatunya dipersiapkan maka pada tanggal 7 Rajab 1354 H. atau bertepatan dengan bulan Juni 1935 dilaksanakan sebuah akad nikah antara Bisri Mustofa dengan Ma‘rufah binti kyai Cholil. Pada waktu itu Bisri Mustofa berusia 20 tahun dan Ma‘rufah berusia 10 tahun.

Setahun setelah menikah, Bisri berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang. Namun, seusai haji, Bisri tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana.

Di Mekah, pendidikan yang dijalani Bisri bersifat non-formal. Ia belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-gurunya terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Secara keseluruhan, guru-gurunya di Mekah adalah: (1) Shaykh Baqir, asal Yogyakarta. Kepadanya, Bisri belajar kitab Lubb al- Usûl Umdât al-Abrâr, Tafsîr al-Kashshâf; (2) Syeikh Umar Hamdan al- Maghribî. Kepadanya, Bisri belajar kitab hadis

26

kitab al-Ashbah wa al-Nadâir dan al-Aqwâl al-Sunan al-Sittah; (4) Sayyid Amin. Kepadanya, Bisri belajar kitab Ibn Aqîl; (5) Shaykh Hassan Massat. Kepadanya, Bisri belajar kitab Minhaj Dzaw al-Nadar; (6) Sayid Alwi, Kepada beliau Bisri belajar tafsir al- Qur‘an al-Jalalain; (7) KH. Abdullah Muhaimin. Kepada beliau, Bisri belajar kitab Jam al-Jawâmi.29

Dua tahun lebih Bisri menuntut ilmu di Mekah. Bisri pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya. Setahun kemudian, mertuanya (Kiai Cholil) meninggal dunia. Sejak itulah Bisri menggantikan posisi guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.30

Oleh karena pendudukan Jepang pondok pesantren tersebut dihanguskan, kemudian KH. Bisri Mustofa melanjutkan estafet perjuangan gurunya dengan mendirikan pesantren di Leteh Rembang tahun 1950 dengan nama Pesantren Raudhatut Thalibin atau dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut Taman Pelajar Islam (TPI) dan berkembang pesat hingga sekarang.31 Sebagai anggota MPRS ia ikut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai Presiden, menggantikan Soekarno dan memimpin do‘a waktu pelantikan.32

Di tengah kesibukannya dalam mengajar di pesantren dengan menjadi penceramah bahkan politisi. KH. Bisri Mustofa tetap menyempatkan diri untuk menulis sehingga luangnya tidak dilewatkan begitu saja, bahkan di kereta, di bus, dimana saja ia sempatkan untuk menulis. Banyak kitab, baik bertema berat, maupun ringan sebagai karya tulisnya. Hal ini, bisa dilatarbelakangi salah satunya

29

Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren..., hlm. 17.

30

Ibid., hlm. 10-22.

31Ibid.,

hlm. 21.

32

A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia: Biografi, Perjuangan, Ajaran, dan Doa-doa Utama yang Diajarkan, (Yogyakarta: Kutub, 2008), cet.II, hlm. 89.

27

oleh kondisi semakin membludaknya jumlah santri, sementara pada saat itu sulit sekali ditemukan kitab-kitab atau buku-buku pelajaran untuk para santri. Berkat kemampuan, inisiatif dan kreatiftas yang dimilikinya, KH. Bisri Mustofa berhasil menyusun dan mengarang buku. Selain ditujukan untuk kalangan santri sebagai bahan pelajaran di pesantren yang dipimpinnya, karyakarya tersebut juga ditujukan untuk kalangan masyarakat luas di pedesaan yang aktif mengaji di surau-surau masjid di mana ia sering memberikan ceramah. Sehingga KH. Bisri Mustofa dalam karya-karyanya menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan para santri dan masyarakat pedesaan, tepatnya menggunakan bahasa daerah (Jawa

pegon), dengan tulisan Arab pegon (Arab Jawa),33 di samping ada beberapa karya yang menggunakan bahasa Indonesia.34

Adapun karya mengenai keagamaan kurang lebihnya berjumlah 176 judul.35 Di antaranya karya-karyanya yang paling terkenal adalah, Pertama, dalam bidang Tafsir, yaitu tafsir alIbriz, yang disusun kembali dari penjelasan pengajian beliau oleh tiga orang santri, yaitu : Munsarif, Magfur dan Safwan, disusun selama empat tahun mulai tahun 1956-1960. Kemudian al-Iklil fi Tarjamati „Ilmi al- Tafsir karya Syaikh Abdul Malik al-Zamzami al-Makki, ditulis pada tahun 1950, dan Tafsir Yasin, kitab tafsir ini merupakan tafsir saku yang ditulis pada tahun 1970, Kitab al-Iksir yang berarti “pengantar ilmu tafsir”.

33

Jawa pegon adalah bahasa yang ditulis bahasa Jawa huruf Arab atau bahasa Indonesia/Latin yang ditulis Arab. Kaedah penulisannya agak berbeda sedikit dengan bahasa Arab. Terdapat karekteristik penulisan seperti, ditambah titik tiga huruf jim, untuk melambangkan huruf c, huruf ya‟ dengan titik tiga melambangkan bunyi ‗ny‘. dan sebagainya.

34

A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia…., hlm. 181.

35

28

Kedua, bidang Teologi yaitu Nazam Sullam al-Munawwaraq fi al-Mantiq, kitab ini merupakan terjemah dari kitab al-Sullam al-Munawwaraq karya Syaikh Abdurrahman al-Munawwaraq al-Akhdari yang ditulis pada tahun 1962, kemudian kitab Sullam al-Afham terjemah Aqidah al-Awam karya Syaikh Ahmad al-Marzuki, ditulis pada tahun 1966, selanjutnya kitab Durar al-Bayan fi Tarjamati Sya‟bi al-Imam, terjemah karya Syaikh Zainuddin dan kitab Risalah Ahl al Sunnah wa al-Jama‟ah ditulis pada tahun 1966 untuk seminar Ahl al- Sunnah wa al-Jama‟ah.36

Ketiga, bidang Fiqh yaitu Terjemah Fath al-Mu‟in karya al-Malibary,

Tuntunan Ringkas Manasik Haji, terjemah al-Faraid al-Bahiyah karya Sayid Abi Bakar al-Ahdaki. Keempat, bidang Bahasa Arab yaitu Kitab Al-Usyuty, terjemahan kitab al-Imrity, dan kitab Ausatul Masalik terjemah kitab Alfiyah Ibnu Malik, al-Nibrasyiyah tejemah al-Jurumiyyah. Kelima, bidang yang lain-lain yaitu

Primbon Imaduddin, merupakan tuntunan bagi para modin dalam menjalankan tugas, kemudian Tahlil dan Talqin tentang tata cara tahlil. Tema-tema yang ringanpun juga beliau tulis, seperti buku kumpulan Anekdot Kaskul, Abu Nawas, Novel berbahasa Jawa Qahar lan Sholihah, naskah drama Nabi Yusuf lan Siti Zulaikha, Syi‘iran Ngudi Susilo, dan lain sebagainya.37

Diluar kitab-kitab dan buku-buku tersebut, masih banyak karya-karya lain yang berhasil ditulisnya. Dalam menulis, KH. Bisri Mustofa mempunyai ―falsafah‖ yang menarik, yakni ketika membuat sebuah karya tulis KH. Bisri Mustofa niati dengan nyambut gawe (bekerja) untuk menafkahi keluarganya.

36

A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia …, hlm. 184.

37Ibid.,

29

Ketika karya tersebut sudah selesai dan diserahkan ke penerbit, maka baru diniati dengan yang mulia-mulia, seperti niatan Lillahi Ta‟ala, menyebarkan ilmu dan sebagainya.38 Keterpengaruhan KH. Bisri Mustofa dengan keagamaan tradisional yang ada pada dirinya memang tidak dapat dilepaskan dari corak pemikirannya. Meskipun ia seorang yang berlatar belakang salafyyah, namun ia terkenal sebagai seorang yang moderat. Sifat moderat tersebut yang diambil dengan menggunakan pendekatan usul fiqih yang mengedepankan kemaslahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuaikan dengan situasi kondisi zaman serta masyarakatnya.39

Pemikiran KH. Bisri Mustofa bisa disebut kontekstual, pada bidang fqih, dibuktikan mengenai masalah KB (Keluarga Berencara) tahun 1968. Pada waktu itu sebagian ulama NU belum menerima KB, namun beliau sudah menerima KB dengan melontarkan beberapa ide-idenya. Bahkan, ia menyusun buku yang

38

Sebagaimana dikisahkan oleh Gus Mus, salah seorang putranya, bahwa pernah suatu ketika, beliau berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak, tentang tulis-menulis ini.‖Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan

mungkin saya lebih alim,‖kata Kiai Ali Maksum ketika itu, dengan nada kelakar, seperti biasanya,‖Tapi mengapa sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di

tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.‖Dengan gaya khasnya, masih cerita Gus Mus, mbah Bisri menjawab : ―Lha soalnya sampeyan menulis lillahi Ta‘ala sih !‖

Tentu saja jawaban ini mengejutkan Kiai Ali.‖Lho Kiai menulis kok tidak lillahi Ta‘ala, lalu

Dokumen terkait