• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Konsep Tentang Kemiskinan Dalam Tafsir Al Ibriz Dengan

BAB IV SIGNIFIKANSI DAN RELEVANSI PENAFSIRAN AYAT TENTANG

A. Relevansi Konsep Tentang Kemiskinan Dalam Tafsir Al Ibriz Dengan

Pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen). Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2016 tercatat sebesar 73,50 persen. Jenis komoditi makanan yang berpengaruh terbesar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan maupun di perdesaan, di antaranya adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, gula pasir, mie instan, bawang merah dan roti. Sedangkan untuk komoditi bukan makanan yang terbesar pengaruhnya adalah biaya perumahan, listrik, bensin, pendidikan, dan perlengkapan mandi.131

Selama ini yang ditonjolkan hanyalah ―apa dan bagaimana serta dengan hasil capaian berapa, secara makro, lalu dibagi dengan jumlah penduduk‖, tetapi tak pernah ―oleh siapa dan untuk siapa, menurut jalur pelapisan sosial‖. Padahal struktur masyarakat kita sangat berlapis dan bertingkat, bahkan cenderung dualistic dan dikotomik. Celakanya, pelapisan dan dualisme ataupun dikotomi

131

Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik No. 66/07/Th. XIX, 18 Juli 2016. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2016.

88

sosial itu, seperti pada zaman kolonial dulu, cenderung etnosentrik dan etnobias pula sifatnya. Artinya, kelompok terkecil masyarakat menurut jalur etnik itu, yang umumnya adalah nonpribumi, mengusai bagian terbesar kekayaan nasional. Sementara kelompok terbesar dari masyarakat pribumi yang merupakan pewaris sah dari republik ini mendapatkan bagian dan porsi terkecil. Akibatnya, cita-cita

Pasal 34 UUD 1945, ―pembangunan itu adalah untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat‖, hanyalah isapan jempol belaka.

Dalam terapannya, hitungan garis kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran atau pendapatan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Perhitungan penduduk miskin ini didasarkan pada data sampel, bukan data sensus, sehingga hasilnya sebetulnya hanyalah estimasi. Data yang dihasilakan biasa disebut data kemiskinan makro. Di Indonesia, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial ekonomi Nasional. BPS menyajikan data kemiskinan makro ini sejak tahun 1984 sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin bisa diikuti dalam waktu ke waktu.

Dapat dilihat dari data yang dikeluarkan oleh BPS diatas, bahwasanya faktor terbesar yang mempengaruhi Garis Kemiskinan adalah komuditi makanan. Sementara pemerintah selama ini hanya terfokus pada persoalan pembangunan berupa sarana sandang dan papan. Persoalan pemenuhan kebutuhan komoditi pangan ini menjadi masalah serius yang bukan hanya menjadi tugas pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam suatu negara, melainkan juga menjadi tugas bersama para penduduk/masyarakatnya.

89

Dalam perspektif ekonomi politik, ketimpangan pembangunan antar sektor ekonomi akibat kegagalan strategi pembangunan. Dukungan kebijakan terhadap pembangunan sektor industri tanpa menyertakan sektor pertanian di masa lampau telah menciptakan banyak kantong-kantong orang miskin.132 ada tiga hal yang perlu ditanyakan tentang pembangunan suatu Negara, yaitu apa yang tengah terjadi dengan kemiskinan; apa yang tengah terjadi dengan pengangguran; dan apa yang tengah terjadi dengan ketimpangan. Apabila jawaban atas ketiga hal tersebut adalah ―penurunan secara substansial‖ maka tidak diragukan lagi bahwa negara tersebut baru mengalami periode pembangunan.133

Politik ekonomi untuk kesejahteraan rakyat mendapat ujian yang cukup serius pada saat ini ketika pertumbuhan ekonomi dinilai berhasil, tetapi kesejahteraan untuk rakyat bawah dipertanyakan. Ada kontradiksi didalam wacana kinerja dan kebijakan ekonomi, yakni klaim kinerja ekonomi yang ―kinclong‖ oleh pemerintah pada satu sisi, dan masalah kemiskinan serta sektor informal yang masih luas dan buruk pada sisi lain.134

Dari uraian diatas, didapat dua faktor utama penyebab kemiskinan yang terjadi di Indonesia, yaitu: distribusi komoditi pangan yang tidak merata dan kegagalan strategi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Dua hal tersebut yang akan menjadi fokus penulis dalam menganalisis relevansi dan

132

Mochamad Syawie. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial. Jurnal Informasi Vol. 16, No.3, September – Desember, Tahun 2011. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial: Kementrian Sosial Republik Indoneseia)., hlm. 215.

133

Teori ini dikemukakan oleh Dudley Seers sebagai teori pendukung untuk indikator pembangunan non-ekonomi yang berbeda dari teori ekonomi klasik. Untuk mengetahui lebih lanjut, baca Moeljarto T, Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah, dan Strategi,

(Yogyakarta; Tiara Wacana. 1987)

134

90

signifikansi penafsiran tafsir al- Ibriz tentang ayat kemiskinan dalam konteks ke- Indonesia-an. Dengan pertimbangan bahwa tafsir al- Ibriz adalah kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Indonesia.

Banyak pakar mensinyalir, salah satu penyebab ketertinggalan umat Islam saat ini adalah karena meninggalkan dan menjauh dari ajaran al- Qur`an dan hadis. Meninggalkan dimaksud berupa ketidaktahuan yang berakibat pada kurangnya penghayatan dan pengamalan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam kedua sumber ajaran Islam. Sikap seperti ini pernah dilakukan oleh umat terdahulu yang kemudian membuahkan kecaman keras. QS. Al- Baqarah/2 : 78 menyebut mereka yang bersikap demikian sebagai ummiyyun (buta huruf), yang tidak mengerti kitab suci dan sumber ajaran agama dengan baik. Kalaupun mengerti, pemahaman mereka tidak didukung oleh bukti-bukti kuat, tetapi hanya sekadar dugaan, sehingga timbul keengganan. Kebutaaksaraan (ummiyyah) seperti ini tidak lagi hanya sebatas tidak bisa membaca dan menulis aksara, tetapi tidak memahami ajaran agama dengan baik dan benar. Rajab al-Banna, kolumnis Mesir terkemuka, menyebutnya dengan istilah ummiyyah diniyyah (buta aksara agama). Menurutnya, wajah kusam Islam saat ini, selain karena propaganda musuh-musuh Islam, juga disebabkan oleh sikap, prilaku dan pemikiran sebagian komunitas Muslim yang tidak memahami ajaran agama secara utuh.

Tak dapat disangkal, dalam kehidupan seorang Muslim, al- Qur`an dan hadis merupakan dua sumber ajaran yang mengatur banyal hal dan harus dipedomani dalam hidup. Allah berfirman : "Dan Kami turunkan kepadamu Al- Kitab (al- Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat

91

dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (QS. Al-Nahl/16 : 44). Al-Qur`an tidak hanya berisikan persoalan akidah dan ibadah, tetapi mencakup berbagai persoalan etika, moral, hukum dan sistem kehidupan lainnya. Sedemikian lengkapnya ajaran al- Qur`an, sayyiduna Abu Bakar RA berujar; "seandainya tambat untaku hilang pasti akan aku temukan dalam al- Qur`an". Ajarannya berlaku sepanjang masa dan bersifat universal untuk semua umat manusia. Ilmu pengetahuan modern membuktikan sekian banyak isyarat ilmiah dalam al- Qur`an, bahkan juga hadis, yang sejalan dengan penemuan ilmiah para ahli.

Meski menyatakan dirinya telah "menjelaskan segala sesuatu", namun tidak berarti al- Qur`an tidak membutuhkan penjelasan. Jumlah ayatnya yang terbatas (6236 ayat) dan karakteristik bahasanya yang ringkas dan padat serta kandungannya yang bersifat umum menuntut adanya penjelasan atau penafsiran. Otoritas tertinggi untuk itu dimiliki oleh Rasulullah yang diwujudkan dalam bentuk ucapan, perbuatan dan ketetapan. Himpunan ketiganya disebut hadis atau sunnah. Dengan demikian, sebagai sumber ajaran Islam al- Qur`an dan hadis tidak dapat dipisahkan, karena jika al- Qur`an dipandang sebagai sebuah konstitusi (dustûr) yang mengandung pokok-pokok ajaran ketuhanan yang diperlukan untuk mengarahkan kehidupan manusia, maka hadis merupakan rincian penjelasannya. al- Qur`an sendiri menyatakan, selain bertugas menyampaikan kitab suci, Rasulullah diberi kewenangan untuk menjelaskan kitab tersebut (QS. An- Nahl : 44). Penjelasan itu tidak pernah keliru, sebab dalam menjalankan tugas tersebut Rasulullah senantiasa berada dalam bimbingan wahyu (QS. An- Najm: 3).

92

Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Secara umum ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak dan mu`amalah. Ciri ini disebut dalam al- Quran sebagai al-Shirath al-Mustaqim (jalan lurus/ kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al- maghdhûbi `alaihim) dan yang sesat (ad- dhallun) karena melakukan banyak penyimpangan.

Al- Syathibi menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang mendalam ilmunya (al- rasikhun fi al-`ilm), sedangkan al- Qardhawi menyebutnya dengan manhaj wasathiy (metode tengahan/ moderat). Itu berarti bahwa, dalam menafsirkan atau memaknai ayat-ayat al- Qur‘an pada saat ini harus disesuaikan dengan problema yang terjadipada ummat, sehingga al- Qur‘an benar-benar mengena bukan hanya dalam lingkup ritual keagamaan yang sakral melainkan juga dapat mengena pada kehidupan yang sedang dijalani. Untuk itu, untuk memahami permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia, maka menjadi sangat penting untuk mengetahui terlebih dahulu bagaimana keadaan kemiskinan yang terjadi di Indonesia, barulah kemudian akan di carikan solusi dengan merujuk kepada al- Qur‘an melalui kitab tafsir al- Ibriz dengan pertimbangan kultural yang berlaku di masyarakat Indonesia.

Masyarakat Indonesia sejak dahulu sudah mempunyai peradaban yang mengedepankan aspek sosial, terlebih dalam hal berbuat baik terhadap sesama manusia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya tradisi-tradisi yang sangat

93

mengedepankan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh adalah adanya budaya gotong royong, anter-anter, syukuran, dll. Indonesia juga dikenal dengan keramahan dan kebersahajaan penduduknya terhadap siapapun termasuk orang yang tidak dikenal. Untuk menghadapi kemiskinan yang terjadi di Indonesia, masyarakat harus kembali sadar akan sejarah dan tradisi yang sudah berlangsung lama tersebut, sehingga masalah kemiskinan bukan lagi menjadi momok

menakutkan yang tiada habisnya dan tiada jalan keluarnya.

Kitab tafsir al- Ibriz dengan penafsirannya yang sangat Indonesia dan secara tersirat menceritakan bagaimana keadaan masyarakat dan menyerukan masyarakat untuk melakukan tindakan kepada orang miskin kala itu. Maka dengan begitu, kitab tafsir ini masih relevan jika digunakan pada masa ini dan agar masyarakat ataupun umat muslim khususnya, yang berada di Indonesia mampu kembali pada jati diri dan tradisi yang luhur, agar masalah kemiskinan dapat diatasi.

B.Tawaran Solusi Tafsir Al- Ibriz Dalam Menyelesaikan Masalah Kemiskinan

Dokumen terkait