i
Kemiskinan Dalam Perspektif Kitab Tafsir
Al- Ibriz Li
Ma’rifat Tafsir Al
-
Qur’an Al
-
‘Aziz
Karya: K.H Bisri Mustofa
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
RANGGA PRADIKTA
NIM 215-13-006
JURUSAN ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
v
HALAMAN MOTTO
إً ْسُْي ِ ْسُْعْلإ َعَم َّن
إ
ِ
Sesungguhnya bersama
kesulitan terdapat
kemudahan.
(QS. Al-
Insyirāh [94]: 6)
BERMIMPILAH !
KARENA TUHAN AKAN MEMELUK
MIMPI-MIMPIMU
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk ;
***
Ayahanda Suprapto dan Ibunda Puji Astuti
Ananda Fathan Fathurrochim
Mbah Sururi dan Mbah Tunsiyah
Om Agus Widodo dan Bulek Nur Kholidah
***
Teman-teman Jurusan Ilmu Al-
Qur‘an dan Tafsir IAIN Salatiga
Angkatan 2013
***
Teman-teman Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN
Salatiga
Dan
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
ا
Alif tidakdilambangkan tidak dilambangkan
ب
ba‘ B beت
ta‘ T teث
ṡa ṡ es (dengan titik di atas)ج
Jim J jeح
ḥa‘ ḥ ha (dengan titik di bawah(خ
kha‘ Kh ka dan haد
Dal D deذ
Żal Ż zet (dengan titik di atas)viii
ز
Zal Z zetس
Sin S esش
Syin Sy es dan yeص
ṣad ṣ es (dengan titik dibawah)
ض
ḍad ḍ de (dengan titik dibawah)
ط
ṭa‘ ṭ te (dengan titik di bawah)ظ
ẓa‘ ẓ zet (dengan titik dibawah)
ع
‗ain ‗ koma terbalik (di atas)غ
Gain G geف
fa‘ F efق
Qaf Q qiك
Kaf K kaل
Lam L elix
ن
Nun N enو
Wawu W weه
ha‘ H haء
Hamzah ` apostrofي
ya‘ Y yeB. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap
ةددعتم
Ditulis Muta‟addidahةدع
Ditulis „iddahC. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h a. Bila dimatikan ditulis h
ةمكح
Ditulis Ḥikmahةيزج
Ditulis Jizyah(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya)
b. Bila diikuti kata sandang ―al‖ serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.
x
c. Bila Ta‟ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah ditulis t.
ةرطفلا ةاكز
Ditulis Zakat al-fiṭrahD. Vokal Pendek
_َ__
Fatḥah Ditulis A_ِ__
Kasrah Ditulis Ixi
E. Vokal Panjang
Fatḥah bertemu Alif
ةيلهاج
Ditulis ĀJahiliyyah
Fatḥah bertemu Alif Layyinah
ىسنت
Ditulis ĀTansa
Kasrah bertemu ya‟ mati
يمرك
Ditulis ĪKarīm
Ḍammah bertemu wawu mati
ضورف
Ditulis ŪFurūḍ
F. Vokal Rangkap
Fatḥah bertemuYa‟ Mati
مكنيب
DitulisAi
Bainakum
Fatḥah bertemu Wawu Mati
لوق
DitulisAu
Qaul
G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
xii
تدعأ
Ditulis U‟iddatتمركش نئل
Ditulis La‟in syakartumH. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah
ditulis dengan menggunkan “al”
نارقلا
Ditulis Al-Qur`ānسايقلا
Ditulis Al-Qiyāsءامسلا
Ditulis Al-Samā`سمشلا
Ditulis Al-SyamsI. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau pengucapannya
ضورفلا ىوذ
Ditulis Żawi al-furūḍxiii
KATA PENGANTAR
ميحرلا نحمرلا للها مسب
Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah swt. yang telah mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhingga, yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ―Kemiskinan Dalam Perspektif Kitab Tafsir Al- Ibriz Li Ma‟rifat Tafsir Al- Qur‟an Al- „Aziz (Karya: K.H Bisri Mustofa)‖ ini. Sholawat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah saw. beserta keluarga, sahabat serta pengikut-pengikutnya sampai di yaumul qiyāmah. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:
xiv
keilmuan. Lalu kemudian, tidak lupa ananda ucapkan terimakasih yang teramat sangat kepada Mbah Sururi dan Mbah Tunsiyah, yang telah dengan rela mencukupkan kebutuhan ananda sebagai cucu, untuk dapat tetap melanjutkan jenjang pendidikan sampai saat ini. Selanjutnya terimakasih pula kepada Om Agus dan Bulek Nur, yang juga telah banyak sekali membantu penghidupan ananda di rantauan.
2. Bapak Mahfudz Fawzi (yang saat skripsi ini sudah selesai dicetak, bisa ditambahkan S.Ag setelah nama beliau), selaku guru sekaligus orangtua dirantauan. Terimakasih karena telah menjadi jalan bagi Tuhan untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan kepada ananda. Lalu kemudian terimakasih kepada Husain Imaduddin dan M. Choirurrohman karena telah bersedia menjadi teman tidur (bukan dengan tanda kutip), dan juga memberi hutang yang semoga dengan namanya saya cantumkan disini, hutang sudah diangggap lunas. Lalu kemudian kepada Afifah, Shopi Syarifah, Nurul Hakim Al- Azmi, Farikhatul Ulya sebagai teman yang menjadi rekan mencari dragon ball, untuk memanggil dewa Shenlong. Serta kepada adinda Rima Nur Sa‘diyah sebagai seseorang
yang saya amin-kan dalam doa-doa paling dalam, karena telah dengan penuh pengertian mendampingi dan mendorong saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
xv
Choirurrohman, Mahfudz Fawzie dan Triyanah, terimakasih atas empat tahun perjuangan yang telah kita lewati bersama ini.
4. Dr. Benny Ridwan, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora IAIN Salatiga.
5. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir beserta staff-staffnya yang tak pernah menyerah memotivasi kami sebagai angkatan pertama untuk menyelesaikan skripsi kami. Terimakasih juga atsa fasilitas Lab FUADAH yang telah dibuka beberapa saat sebelum penulis memulai skripsi ini, sehingga fasilitas tersebut sangat membantu proses penulisan skripsi ini.
6. Dr. Muh. Irfan Helmy, M.Ag. selaku dosen pembimbing akademik yang dengan kesabarannya berkenan memberikan petunjuk dan bimbingan kepada ananda dalam proses akademik
7. Keluarga Simpul Maiyah Kidung Syafaat Salatiga, dan juga Bapak Ilyas, yang oleh karna beliau dan seluruh bagian dari keluarga Kidung Syafaat telah memberikan pengetahuan-pengetahua yang baru.
8. Keluarga Besar Pondok Pesantren Pancasila, Salatiga. 9. Keluarga Besar Pondok Pesantren An- Nida, Salatiga.
10.Dan tak lupa pada pihak-pihak terkait yang lain yang tak sempat untuk disebutkan di sini.
Teriring do‘a, semoga segala kebaikan semua pihak yang membantu penulis
xvi
Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kebaikan dan kesempurnaan skipsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.
Salatiga, 15 Maret 2017
Penulis,
xvii
ABSTRAK
Kata Kunci: Kemiskinan dan Tafsir Al- Ibriz
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang patut menjadi fokus perhatian banyak kalangan mulai dari ekonom, sosiolog, dan budayawan, tidak terkecuali penafsir al- Quran yang berupaya untuk memberikan tawaran atas solusi terhadap problem kemiskinan yang terjadi dengan menggali makna yang terkandung dalam al- Qur‘an dengan menggunakan jalan penafsiran. Banyaknya mufassir yang telah merumuskan penafsirannya untuk dapat membantu umat dalam menyelami makna yang terkandung di dalam al- Qur‘an, terdapat beberapa mufassir yang berasal dari Indonesia, salah satunya adalah K.H Bisri Mustofa (1915-1977 M) dengan kitab tafsirnya yang diberi nama ―al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz‖.
Tafsir ini memiliki karakter tersendiri menyangkut penafsirannya yang menggunakan bahasa Jawa, yang memiliki hierarki bahasa/unggah ungguh (tata krama, seperti bahasa Krama (halus), Krama Inggil, dan Ngoko (kasar), Madya
(biasa).
Penelitian ini berusaha menemukan bagaimana konsep kemiskinan dalam perspektif kitab tafsir al- Ibriz dan solusi-solusi yang ditawarkan melalui penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang kemiskinan untuk mengatasi permasalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia. pertanyaan yang ingin dijawab oleh penelitian ini adalah (1) bagaimana penafsiran ayat-ayat tentang kemiskinan dalam tafsir al- Ibriz, (2) bagaimana signifikansi dan relevansi penafsiran ayat-ayat kemiskinan dalam kitab tafsir al- Ibriz terhadap konteks ke-Indonesia-an. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersumber dari data-data kepustakaan (library
research) dengan metode penafsiran tematik-kontekstual.
xviii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN KEASLIAN TULISAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii
KATA PENGANTAR ... xiii
ABSTRAK ... xvii
DAFTAR ISI ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Kajian Pustaka ... 5
E. Kerangka Teori... 8
F. Metode Penelitian... 14
G. Sistematika Penelitian ... 15
BAB II MENGENAL TAFSIR AL- IBRIZ... 17
xix
B. Karakteristik dan Sistematika Kitab Tafsir Al- Ibriz ... 31
BAB III KAJIAN TENTANG KEMISKINAN ... 38
A. Kemiskinan Dalam Perspektif Konvensional ... 38
B. Kemiskinan Dalam Perspektif Kitab Tafsir Al- Ibriz ... 46
1. Al- Isra Ayat 26 ... ... 49
2. Ar- Rum Ayat 38 ... ... 51
3. Al- Muddatsir Ayat 44 .. ... 52
4. Al- Haqqah Ayat 34 ... ... 53
5. Al- Fajr Ayat 18 ... ... 54
6. Al- Ma‘un Ayat 3 ... ... 55
7. Al- Qalam Ayat 24 ... ... 57
8. Al- Baqarah Ayat 184 ... ... 58
9. Al- Mujadilah Ayat 4 ... ... 60
10.Al- Insan Ayat 8 ... ... 61
11.Al- Balad Ayat 16 ... ... 62
12.Al- Baqarah Ayat 177 ... ... 63
13.Al- Maidah Ayat 89 ... ... 65
14.Al- Maidah Ayat 95 ... ... 66
15.Al- Kahfi Ayat 79 ... 68
16.An- Nur Ayat 22 ... 69
17.Al- Baqarah Ayat 83 ... ... 70
18.Al- Baqarah Ayat 215 ... ... 71
xx
20.Al- Anfal Ayat 41 ... 73
21.At- Taubah Ayat 60 ... ... 75
22.Al- Hasr Ayat 7 ... ... 77
23.An- Nisa Ayat 8 ... ... 79
24.Al- Haj Ayat 28 ... ... 80
25.Al- Haj Ayat 36 ... ... 81
26.Al- Ma‘arij Ayat 24-25 ... ... 82
27.Al- Isra Ayat 31 ... ... 83
BAB IV SIGNIFIKANSI DAN RELEVANSI PENAFSIRAN AYAT TENTANG KEMISKINAN DALAM TAFSIR AL- IBRIZ TERHADAP KONTEKS KE-INDONESIA-AN ... 87
A. Relevansi Konsep Tentang Kemiskinan Dalam Tafsir Al- Ibriz Dengan Konteks Ke-Indonesia-an ... 87
B. Tawaran Solusi Tafsir Al- Ibriz Dalam Menyelesaikan Masalah Kemiskinan Di Indonesia ... 93
1. Kewajiban Setiap Individu ... ... 94
2. Kewajiban Orang Lain/Masyarakat ... ... 98
3. Kewajiban Pemerintah ... ... 112
BAB V PENUTUP ... 118
A. Kesimpulan ... 118
B. Saran ... 119
DAFTAR PUSTAKA ... 120
xxi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Al- Qur‘an merupakan kitab suci bagi agama Islam, dan juga dijadikan sebagai pedoman hidup bagi pemeluknya. Pemberdayaan atau keadilan menjadi salah satu visi misi al- Qur‘an sebagai kitab suci dan juga pedoman hidup. Hal itu terlihat dari penyebutan kata keadilan atau pemberdayaan di dalam al- Qur‘an mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti; kata urutan ketiga yang banyak disebut al-Qur‘an setelah kata Allah dan al- „ilm.
Masalah kemiskinan dianggap sebagai bagian dari masalah penting yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan individu dan sosial. Kemiskinan menjadi problematika hidup yang sejak dahulu dihadapi manusia. Berbagai aturan dan sistem sosial, tidak mampu memberikan jalan keluar dari permasalahan tersebut dan inilah penyebab maraknya berbagai kejahatan dan pertikaian antara sesama manusia ditengah-tengah kehidupan kita.
Pada lingkungan masyarakat miskin, semua ideologi yang ekstrim banyak diminati dan semua perbuatan keji pun dihalalkan untuk memenuhi keinginan-keinginan.1 Perkara ini pernah terjadi pada masa Jahiliyah. Saat itu, orang orang tega membunuh anakanak mereka (darah daging mereka) karena perasaan takut terhina oleh kemiskinan sebagaimana mereka melihat sebagian pengaruh kemiskinan yang membahayakan kehidupan seseorang.
1
2
Di Indonesia, kemiskinan seolah menjadi suatu keniscayaan bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Ironi memang, kemiskinan tetap ada di negeri yang konon kaya akan berbagai sumber daya alam. Sebagian orang memahami kemiskinan secara komparatif, sementara yang lain melihatnya dari perspektif moral dan evaluatif, dan yang lain lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Namun, ekonomi Islam bisa dijadikan tools dalam menyelamatkan umat Islam dari kemiskinan. Ekonomi islam bukan hanya sebatas alternatif, melainkan solusi dari sistem kapitalisme atau sistem ekonomi manapun yang selama ini diagung-agungkan oleh Barat.
ََو
َََيِ
لَّٱ
ذ
َ
َّٞمُٔيۡػذٌَّّٞقَحًَِِۡٓلََٰنٌۡ
َ
أَٓ ِفِ
٢٤
َِوِن
ٓاذصيِّى
َََو
َِموُرۡحٍَ
ۡ
لٱ
َ
٢٥
َ
dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta.(QS al- Ma‟arij :24-25).
Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB(Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita. Pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen).2 Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan sebagaimana dalam konsep ekonomi kapitalisme, melainkan menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan seperti pada konsep ekonomi dalam Islam.
2
3
Fakta tentang hasil survei diatas menunjukkan kenyataan sosial masyarakat bahwa kemiskinan merupakan masalah sosial yang patut menjadi fokus perhatian banyak kalangan mulai dari ekonom, sosiolog, dan budayawan, tidak terkecuali penafsir al-Quran yang berupaya untuk memberikan solusi terhadap problem sosial ini.
Banyaknya mufassir yang telah membukukan tafsirnya untuk dapat membantu umat dalam menyelami makna yang terkandung di dalam al- Qur‘an, terdapat beberapa mufassir yang berasal dari Indonesia, salah satunya adalah K.H Bisri Mustofa (1915-1977 M) dengan kitab tafsirnya yang diberi nama ―al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz”.
Ada yang menarik dari cara beliau menafsirkan ayat al- Qur‘an, jika pada umumnya tafsir ditulis menggunakan bahasa arab, maka K.H Bisri Mustofa menulis tafsirnya dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko dengan menggunakan penulisan huruf Arab Pegon.
Secara teknis, pilihan menggunakan bahasa ngoko mungkin demi fleksibilitas dan mudah dipahami, karena dengan cara ngoko, pembicara dan audiennya menghilangkan jarak psikologis dalam berkomunikasi. Keduanya berdiri satu level, sehinggatidak perlu mengusung sekian basa-basi seperti ketika menggunakan kromo madyo atau kromo inggil.
Dengan alasan tersebut sehingga menghadirkan kegelisahan akademik bagi penulis untuk meneliti kitab tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz
4
umumnya bagi masyarakat Indonesia. Namun, dengan karakteristik tersebut, apakah kitab tafsir al- Ibriz masih relevan jika digunakan sebagai rujukan dalam mencari solusi atas permasalah kemiskinan yang terjadi pada masa ini. Untuk itulah penulis mencoba meneliti tentang bagaimana signifikansi dan relevansi tafsir al- Ibriz terhadap problematik tentang kemiskinan yang terjadi di Indonesia dengan menggunakan pendekatan tematik kontekstual.3 Maka dari itu skripsi ini diberi judul ―Kemiskinan Dalam Perspektif Kitab Tafsir Al- Ibriz Li Ma‟rifat
Tafsir Al- Qur‟an Al- „Aziz (Karya: K.H Bisri Mustofa)”. B.Rumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang di atas, penulis membatasi diri pada kajian tentang konsep miskin dalam perspektif kitab tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz karya K.H Bisri Mustofa. Oleh karena itu, penulis mengajukan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana penafsiran ayat-ayat tentang kemiskinan dalam kitab tafsir al- Ibriz ?
2. Bagaimana signifikansi dan relevansi penafsiran ayat-ayat tentang kemiskinan dalam kitab tafsir al- Ibriz terhadap konteks ke-Indonesiaan?
3
Tafsir Tematik (Tafsir maudhu‟i)maksudnya adalah membahas ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tema dan judul yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, penafsir yang memakai metode ini akan meneliti ayat-ayat al-Quran dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga kemungkinan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik. Lihat Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i: suatu
5
C.Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana kitab tafsir tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz karya K.H Bisri Mustofa mengurai ayat tentang kemiskinan.
2. Untuk mengetahui bagaimana kitab tafsir tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz menjawab dan memberikan solusi terhadap problematika kemiskinan.
Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan mampu memiliki kegunaan yang bersifat akademis. Yang mana penelitian ini merupakan satu sumbangan sederhana bagi pengembangan studi al-Qur‘an dan untuk kepentingan studi lanjutan diharapkan sebagai bahan acuan, referensi dan lainnya bagi penulis lain yang ingin memperdalam penelitian yang telah penulis lakukan.
D.Kajian Pustaka
Sebelum dilakukan penelitian ini, penulis telah membaca beberapa sumber-sumber rujukan baik yang primer maupun sekunder, seperti (1) Kitab Tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz (Kudus: Maktabah wa Matb‘ah
Menara Kudus, 1995), (2) buku M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, Cetakan ke 13.
6
Adapun skripsi terdahulu yang ditulis oleh Hidayatul Fitriah, dengan judul
Studi Kritik Karakteristik Kedaerahan Tafsir Al- Ibriz Karya Bisri Mustofa
Rembang. Yang membahas tentang karakteristik dari kitab tafsir al- Ibriz.
Penulis juga telah membaca beberapa jurnal yang berhubungan dengan tema yang penulis angkat, beberapa diantaranya yaitu:
(1). Mochamad Syawie. 2011. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial. Jurnal Informasi, Vol. 16 No. 03,4 yang berisi tentang bagaimana kemiskinan telah menjadi masalah sosial yang sangat serius sehingga kemiskinan bukan saja diartikan sebagai suatu kondisi diamana seseorang kekurangan makanan sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, melainkan kemiskinan sudah mencapai pada level ketiadaan makanan atau kehabisan makanan bagi seseorang. Mochamad Syawie menyimpulkan bahwa usaha penanggulangan kemiskinan tidak selalu berarti pengurangan ketimpangan sosial, ia berharap bahwa penanggulangan kemiskinan juga harus dibarenngi dengan pengurangan ketimpangan sosial dengan cara menumbuhkan kebersamaan antar manusia. (2). Maslukhin. 2015. Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibriz Karya K.H Bisri Mustofa. Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Volume 5, Nomor 1. Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik, Indonesia., yang menyimpulkan bahwa kitab tafsir al- Ibriz ditulis pada saat sastra dan budaya jawa meredup dari kejayaanya, hal ini dilakukan oleh K.H Bisri Mustofa dikarenakan sebagai totalitas pemikirannya sebagai orang yang besar dalam budaya pesantren Jawa dengan realitas sosial pembaca kitab tafsirnya sehingga al- Ibriz ditulis dengan bahasa yang dekat dengan masyarakat yang
4
7
8
E.Kerangka Teori
Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan mulia tersebut diuraikan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diantaranya: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4), dan pasal 34 ayat (1). Negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan; bahwa untuk melaksanakan tanggung jawab negara diperlukan kebijakan pembangunan nasional yang berpihak kepada masyarakat secara, terencana, terarah, dan berkelanjutan.
Menurut BPS, ada 14 kriteria yang dipergunakan untuk menentukan keluarga/ rumah tangga yang termasuk dalam kategori miskin. Apabila ada 9 dari 14 tersebut, sebuah keluarga dikategorikan miskin. Adapun 14 kriteria tersebut adalah:
1. Luas lantai bangunan rumah kurang dari 8 m2 per orang 2. Jenis lantai rumah dari tanah, kayu/bambu
3. Dinsing rumah dari bambu/rumbia/kayu kualitas rendah/ tembok tanpa plester 4. Tidak memiliki fasilitas MCK yang memadai (masih numpang tetangga) 5. Penerangan rumah tidak menggunakan listrik
6. Sumber air minum dari mata air tak terlindungi seperti sungai 7. Memasak dengan kayu bakar/arang/minyak tanah
9
10.Hanya mampu menyediakan makan sehari satu atau dua kali sehari 11.Tidak mampu membayar pengobatan di puskesmas atau poliklinik
12.Sember penghasilan kepala keluarga: petani (luas lahan 500m2), buruh tani,nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lain dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan.
13.Pendidikan tertinggi kepala keluarga adalah: tidak sekolah atau hanya SD 14.Tidak memiliki tabungan/barang berharga yang mudah dijual minimal Rp.
500.000,-.5
Problematik kemiskinan ini menjadi masalah yang sangat krusial baik bagi bangsa dan negara, maupun bagi individu yang menderita akibat kemiskinan itu sendiri. Berbagai kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan khususnya di Indonesia sudah dibuat disetiap masa pemerintahan, namun kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut dirasa belum dapat menghasilkan perbedaan yang signifikan terhadap masalah ini. Menurut Asghar Ali Engineer hal ini terjadi karena umat Islam sudah tidak lagi mempedulikan masalah keadilan sosial ekonomi, umat Islam menurutnya hanya menyisakan sedikit rasa peduli terhadap golongan lemah sehingga lenyaplah keadilan Islam yang distributif.6
Kata miskiin dalam al- Qur‘an ditemukan dengan berbagai macam bentuk. Kata al- miskiin disebut 8 kali, yaitu pada; Al- Isra‘: 26, Ar- Rum: 38, Al- Mutdatstsir: 44, Al- Baqarah: 184, Al- Haqqah: 34, Al- Fajr: 18, Al- Ma‘un: 3, Al- Qalam: 24.
5
Tri Wahyu Hidayati, Sistem Jaring Pengaman Sosial(The Social Safety Net) Dalam Al- Qur’an (Kajian Sosio Historis), (Laporan Penelitian Unggulan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. 2014)., hlm. 44-45.
6
10
Sedangkan kata miskiinan ditemukan dalam tiga tempat yaitu pada; Al- Mujadilah: 4, Al- Insan: 8, Al- Balad: 16. 7 bentuk jamak miskiin adalah masaakiin, terdapat dalam 12 tempat, yaitu; Al- Baqarah: 177, Al- Maidah: 89 & 95, Al- Kahfi: 79, An- Nur: 22, Al- Baqarah: 83 & 215, An- Nisa: 36, Al- Anfal: 41, At- Taubah: 60, Al- Hasr: 7, An- Nisa: 8.8 Kata miskiin dalam bahasa Arab hampir bersamaan artinya dengan al- baais al- faqiir dalam surat Al- Hajj: 28, al- fuqaraa‟ dalam surat At- Taubah: 60, al- qaani dalam Al- Hajj: 36, dan al- imlaaq
dalam surat Al- Isra‘: 31.
Problem tentang kemiskinan juga telah di sebutkan dalam beberapa ayat al- Qur‘an yang menandakan bahwa, kemiskinan memang merupakan sebuah
masalah yang perlu mendapat perhatian lebih dari berbagai dimensi, tak lepas dari dimensi keagamaan, kultural dan pemerintahan. Maka, sebagai penduduk Negara Republik Indonesia yang beragama Islam dengan kitab sucinya berupa al- Qur‘an yang didalamnya juga terdapat pembahasan tentang kemiskinan, kita harus kembali kepada ayat-ayat al- Qur‘an untuk menggali makna yang terdapat didalamnya sehingga mampu memunculkan berbagai penawaran atas solusi-solusi terhadap masalah kemiskinan.
Dalam rangka memahami pesan-pesan al- Qur‘an maka diperlukan ilmu yang disebut ilmu tafsir. Dalam pengertiannya ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang digunakan untuk menjelaskan atau menampakkan makna yang terkandung didalam ayat-ayat al- Qur‘an.
7
Ali Audah. Konkordansi Qur‟an, (Bogor: Litera Antar Nusa. 1996), hlm. 410.
11
Pasca Nabi Muhammad meninggal dunia, al-Qur‘an sudah tidak akan turun lagi dan telah selesai dibukukan, namun kandungan maknanya dipercaya tidak akan penah habis (salih li kull zaman wa al-makan), konsekuensinya disusunlah kitab-kitab tafsir sebagai ―kepanjangan tangan‖ dari firman Allah yang sudah resmi dibukukan itu. Bagi orang beragama Islam, utusan Allah boleh saja mati, firman Allah boleh saja terhenti, namun kandungan maknanya tidak boleh ikut ikutan selesai. Bagaikan pelita, ia harus selalu memancarkan cahaya. Kandungan makna firman Allah itulah yang dieksplorasi seluas-luasnya oleh kitab-kitab tafsir. Keragaman dalam penafsiran al- Qur‘an merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan ilmu yang dipandang sebagai ilmu bantu bagi Ulumul Qur‟an, seperti linguistik, hermeneutika, sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi, dan lainnya.9
Karena itu, upaya di kalangan umat Islam untuk memahami dan mengungkap makna al- Qur‘an selalu muncul ke permukaan selaras dengan kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi pada zaman masing-masing. Muncullah denga demikian berbagai bentuk tafsir yang baragam dengan metode penafsiran yang berbeda pula sesuai orientasi dan urgensinya sehingga hal ini juga tidak pernah lepas dari konteks kebudayaan setempat yang melingkupi lahirnya sebuah karya tafsir.10 Karena itulah tafsir dapat dikatakan sebagai renspon sosial masyarakat yang berkembang saat itu.
9
Sahiron Syamsuddin, Ranah-Ranah Penelitian Dalam Studi Al-Qur‟an dan Hadis, Kata Pengantar dalam Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, (Yogyakarta: TH-Press, 2007). hlm. xi.
10
12
Semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal, dan personal.11 Kebutuhan akan pemahaman kandungan al- Qur‘an sesuai lokalitas masing-masing menyebabkan lahirnya karya-karya tafsir
berbahasa daerah. Hal tersebut merupakan sebuah langkah para penyusun tafsir al- Qur‘an agar ajaran-ajaran al- Qur‘an dapat dipahami dengan lebih mudah oleh
umat Islam Indonesia. Muncullah kemudian beberapa tafsir berbahasa Jawa, Melayu, Sunda, Jawa, Minang, dan lainya.
Mayoritas penduduk Indonesia berbahasa Jawa. Mulanya, masyarakat Jawa yang banyak mengkaji tafsir berasal dari kalangan pesantren. Ini tidak mengherankan sebab pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mengkaji ilmu-ilmu agama seperti tafsir, akidah, fikih, akhlak-tasawuf, dan sebagainya. Dalam kajian tafsir, pada awalnya pesantren-pesantren di Jawa lebih banyak menggunakan tafsir berbahasa Arab seperti Tafsir al-Jalalain, Marah Labid, dan Tafsir al-Munir. Pada perkembangannya, kajian tafsir di pesantren-pesantren Jawa sedikit demi sedikit mengalami pergeseran. Hal tersebut terbukti adanya kitab-kitab tafsir lokal yang dikaji seperti Tafsir Al-Ibriz.
Tafsir ini pada awalnya hanya dikaji oleh masyarakat pesisir utara Jawa, tempat Bisri Musthofa lahir dan dibesarkan. Pada perjalanannya, Tafsir Al-Ibriz
dikaji dan diajarkan secara luas di majelis-majelis pengajian umum, tidak sebatas masyarakat pesisir utara Jawa.
Salah satu teori tafsir menyatakan bahwa taghayyur al- tafsir bi taghayyur azman wal amkan, bahwa perubahan penafsiran dipengaruhi oleh perubahan
11
13
zaman dan tempat.12 Berangkat dari pernyataan ini, maka tafsir sebagai sebuah produk dialektika antara taks al- Qur‘an dengan konteks (realitas) sesungguhnya selalu harus mengalami perkembangan, sesuai dengan gerak perkembangan waktu dan tempat bahkan juga perubahan lingkungan. Jika dahulu tafsir hanya berkutat pada pola deduktif- normatif dalam memaknai ayat, maka saat ini produk tafsir harus sudah mampu produktif dan kreatif dalam menjawab problem sosial keagamaan.13
Ada beberapa alasan yang membuat tafsir ini menarik untuk dikaji.
Pertama, tafsir ini memiliki karakter tersendiri menyangkut penafsirannya yang menggunakan bahasa Jawa, yang memiliki hierarki bahasa/unggah ungguh (tata krama, seperti bahasa Krama (halus), Krama Inggil, dan Ngoko (kasar), Madya
(biasa). Kedua, Bisri Musthofa merupakan tokoh Jawa yang memiliki kredibilitas dalam pendidikan, juga ahli dalam penggunaan bahasa Jawa sehingga sastra Jawa pada karya tafsirnya memperindah bahasa Jawa yang digunakan. Ketiga, kedudukan beliau sebagai seorang kiai pesantren, birokrat, dan ulama, membuat karyanya sangat layak dikaji dan diulas lebih dalam. Keempat, beliau juga merupakan salah satu mufassir Indonesia, yang telah mengalami sendiri bagaimana kultur sosial budaya yang berlangsung di Indonesia.
12
Muhamad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah Li al- Fiqhi al- Islami: Fiqh al- Mar‟ah, al- Washiyyah, al- Irts, al- Qiwamah, al- Ta‟addudiyah, al- Libas. (al- Ahali li ath- Thiba‘ah wa al- Nasyr wa al- Tauzi. Damaskus. 2000). Lihat lebih lanjut pada Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al- Qur‘an Dan Tafsir, (Idea Press. Yogyakarta. 2015). Hlm. 76.
13
14
F. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat deskriptif-analisis, yang akan mencoba menjawab pertanyaan di dalam rumusan masalah berdasarkan model penelitian tematik (al- dirasah al- mawdhu‘iyyah), yang merupakan salah satu metode penelitian al- Qur‘an. Adapun jenis riset yang dipakai dalam penelitian ini adalah riset tematik kontekstual, yakni cara memahami al- Qur‘an dengan mengumpulkan ayat-ayat yang setema untuk mendapat gambaran yang utuh, holistik, dan komperehensif mengenai tema yang dikaji, kemudian mencari makna yang relevan dan aktual untuk konteks kekinian. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi terhadap data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data kepustakaan berupa kitab tafsir al- Ibriz li Ma‘rifat Tafsir al- Qur‘an al- ‗Aziz karya K.H Bisri Mustofa. Sedangkan data sekunder merupakan bahan-bahan kepustakaan yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan data primer.
15
melengkapi dengan hadits-hadits yang relevan dan penjelasan dari para ahli. Keenam, mencermati kembali penafsiran ayat-ayat tentang kemiskinan tersebut secara keseluruhan dan mencari pemaknaan yang relevan dan aktual untuk konteks ke Indonesiaan terkait masalah kemiskinan, kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan.
G. Sistematika Penelitian
Mengacu pada metode penelitian di atas, selanjutnya untuk memudahkan dan demi runtutnya penalaran dalam penelitian, kajian dalam penelitian ini akan di bagi dalam tiga bagian utama, yakni pendahuluan, isi dan penutup dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang menguraikan argumentasi seputar signifikansi penelitian ini. Sebagai landasan awal dalam melakukan penelitian, bab I ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, sistematika pembahasan.
Bab II akan membicarakan biografi tokoh yang dikaji, meliputi latar belakang kehidupan maupun biografi intelektual termasuk karya-karya intelektualnya. Sub bab berikutnya berbicara lebih dalam tentang karakteristik yang terdapat dalam kitab tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz
karya K.H Bisri Mustofa, dan juga metodologi yang digunakan oleh K.H Bisri Mustofa dalam menyusun kitab tafsir al- Ibriz.
16
kemiskinan, sedangkan pada sub bab kedua berisi tentang konsep kemiskinan dalam al- Qur‘an menggunakan perspektif kitab tafsir al- Ibriz.
Bab IV, pada bab ini pembahasan berisi tentang hasil analisi yang difokuskan untuk mengurai bagaimana signifikansi dan relevansi penafsiran ayat kemiskinan dan solusi yang ditawarkan dalam tafsir al- Ibriz terhadap problematik kemiskinan dalam konteks ke-Indonesiaan.
17
BAB II
MENGENAL TAFSIR AL- IBRIZ
A. Biografi K.H Bisri Mustofa
KH. Bisri Musthofa dilahirkan di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Nama Bisri ia pilih sendiri setelah kembali menunaikan ibadah haji di kota suci Mekah. Ia adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan isteri keduanya yang bernama Hj. Khatijah. Tidak diketahui jelas silsilah kedua orangtua KH. Bisri Musthofa ini, kecuali dari catatannya yang menyatakan bahwa kedua orangtuanya tersebut sama-sama cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang. Namun, sayang sekali, mengenai Mbah Syuro inipun tidak ada informasi yang pasti dari mana asal usulnya.14
Pada 17 Rajab 1354 H/Juni 1935 beliau menikahi Ma‘rufah binti K. H.
Cholil dari pernikahan ini beliau dikaruniai delapan anak, yaitu; Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah dan Atikah (lahir 1964). Pada sekitar tahun 1967, K.H. Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang wanita asal Tegal bernama Umi Atiyah. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai seorang putra bernama Maimun. Bisri Musthofa meninggal di Semarang pada 16 Februari 1977 akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan paru-paru.15
14
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 85.
15
18
KH. Bisri Musthofa lahir dalam lingkungan pesantren, karena memang ayahnya seorang kiai. Sejak umur tujuh tahun, ia belajar di sekolah Jawa ―Ongko
Loro‖ di Rembang. Di sekolah ini, Bisri tidak sampai selesai, karena ketika
hampir naik kelas dua ia terpaksa meninggalkan sekolah, tepatnya diajak oleh orangtuanya menunaikan ibadah haji di Mekah. Rupanya, inilah masa di mana beliau harus merasakan kesedihan mendalam karena dalam perjalanan pulang di pelabuhan Jedah, ayahnya yang tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan ibadah haji.16
Sejak ayahandanya wafat pada tahun 1923 merupakan babak kehidupan baru bagi Bisri Mustofa. Sebelumnya ketika bapaknya masih hidup seluruh tanggung jawab dan urusan-urusan serta keperluan keluarga termasuk keperluan Bisri menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu sepeninggal H. Zainal Mustofa (bapaknya), keluarga Bisri merasakan ada perubahan yang besar dari kehidupan sebelumnya. Sepeninggal itu, tanggung jawab keluarga termasuk Bisri berada di tangan H. Zuhdi.17
H. Zuhdi kemudian mendaftarkan Bisri ke sekolah HIS (Hollans Inlands School) di Rembang. Pada waktu itu di Rembang terdapat tiga macam sekolah, yaitu:
1. Eropese School; di mana muridnya terdiri dari anak-anak priyayi tinggi, seperti anak-anak Bupati, asisten residen dan lain-lain.
16
Saifuddin Zuhri, PPP, NU, dan MI: Gejolak Wadah Politik Islam (t.tp: Integrita Press, 1983), hlm, 24.
17
19
2. HIS (Hollans Inlands School); di mana muridnya terdiri dari anka-anak pegawai negeri yang penghasilannya tetap. Uang sekolahnya sekitar Rp. 3,- sampai Rp. 7,- .
3. Sekolah Jawa (Sekolah Ongko loro); di mana muridnya terdiri anak-anak kampung; anak pedagang, anak tukang. Biaya sekolahnya sekitar Rp. 0,1,- samapi Rp. 1,25,-.18
Bisri Mustofa di terima di sekolah HIS, sebab beliau diakui sebagai keluarga Raden Sudjono, Mantri guru HIS yang bertempat tinggal di Sawahan Rembang Jawa Tengah dan merupakan tetangga keluarga Bisri Mustofa. Akan tetapi setelah Kyai Cholil Kasingan mengetahui bahwa Bisri Mustofa sekolah di HIS, maka beliau langsung datang ke rumah H. Zuhdi di Sawahan dan memberi nasehat untuk membatalkan dan mencabut dari pendaftaran masuk sekolah di HIS. Hal ini dilakukan karena Kyai Cholil mempunyai alasan bahwa HIS adalah sekolah milik penjajah Belanda yang dikhususkan bagi para anak pegawai negeri yang berpenghasilan tetap. Sedangkan Bisri Mustofa sendiri hanya anak seorang pedagang dan tidak boleh mengaku atau diakui sebagai keluarga orang lain hanya bisa untuk belajar di sana.
Kebencian kyai Cholil dengan penjajah Belanda mempengaruhi dalam keputusan ini. Beliau sangat khawatir kelak Bisri Mustofa nantinya memiliki watak seperti penjajah Belanda jika beliau masuk sekolah di HIS. Selain itu kyai Cholil juga menganggap bahwa masuk sekolah di sekolahan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Kemudian Bisri Mustofa kembali melanjutkan
18
20
sekolahnya di sekolah ―Ongko Loro‖ sampai mendapatkan sertifikat dengan masa
pendidikan selama empat tahun. Pada usia 10 tahun (tepatnya pada tahun 1925), Bisri melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Pada tahun 1930, Bisri belajar di pesantren Kasingan (tetangga desa Pesawahan) pimpinan Kiai Cholil.19
Pada awalnya Bisri Mustofa tidak minat belajar di Pesantren. Sehingga hasil yang dicapai dalam awal-awal mondok di Pesantren Kasingan sangat tidak memuaskan.20 Hal itu disebabkan oleh :
1. Kemauan belajar di Pesantren tidak ada, karena beliau merasa pelajaran yang di ajarkan di Pesantren sangat sulit, seperti; nahwu, sorof dan lain-lain. 2. Bisri Mustofa menganggap kyai Cholil adalah sosok yang galak dan keras. Sehingga beliau merasa takut apabila tidak dapat menghafal atau memahami apa yang diajarkan pasti akan mendapat hukuman.
3. Kurang mendapat tanggapan yang baik dari teman-teman pondok. 4. Bekal uang Rp. 1,- setiap minggunya dirasa kurang cukup.21
Setelah tidak kerasan maka Bisri Mustofa berhenti mondok dan selalu main-main dengan teman-teman sekampungnya. Kemudian beliau tidak mondok
beberapa bulan, maka pada permulaan tahun 1930 Bisri Mustofa diperintahkan untuk kembali lagi ke Kasingan untuk belajar mengaji dan mondok pada kyai Cholil. Bisri Mustofa kemudian dipasrahkan oleh ipar kyai Cholil yang bernama Suja‘i. Di Pesantren itu, Bisri Mustofa tidak langsung mengaji kepada kyai Cholil.
19
Maslukhin, Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibriz Karya K.H Bisri Mustofa.
Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Volume 5, Nomor 1. (Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik, Indonesia. 2015), hlm. 42.
20
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa,... hlm. 11.
21Ibid
21
Akan tetapi beliau terlebih dahulu belajar mengaji kepada Suja‘i. hal ini dilakukan
selain Bisri Mustofa belum siap mengaji langsung kepada kyai Cholil juga untuk membuktikan kepada teman-temannya bahwa beliau akan mampu dan untuk mempersiapkan diri nantinya mengaji secara langsung kepada kyai Cholil. Bisri Mustofa tidak diajarkan kitab-kitab yang macam-macam, tetapi beliau hanya diajarkan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sehingga setiap hari yang dipelajari hanya satu kitab itu saja. Pada akhirnya Bisri Mustofa menjadi santri yang sangat menguasai kitab tersebut.
Setelah selama dua tahun beliau mempelajari kitab Alfiyah maka ketika ada pengajian kitab Alfiyah oleh kyai Cholil sendiri, maka Suja‘i mengizinkan Bisri
Mustofa untuk ikut serta dalam pengajian tersebut dan diharuskan untuk duduk paling depan agar lebih paham serta dapat dengan cepat menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan oleh kyai Cholil. Setiap ada pertanyaan dari kyai Cholil, maka Bisri Mustofa lah santri pertama yang ditanya dan dengan mudah beliau menjawab pertanyaan. Sehingga mulai saat itu teman-teman santri mulai memperhitungkan seorang Bisri Mustofa dan selalu menjadi tempat rujukan teman-temannya apabila mendapat kesulitan pelajaran.22
Satu tahun kemudian Bisri Mustofa mulai ikut mengaji kitab Fathul Mu‟in23
, beliau mempelajarinya secara sungguh-sungguh sebagai mana beliau mempelajari Alfiyah. Setelah selesai belajar kedua kitab tersebut (Alfiyah dan
22
Ibid, hlm. 14.
23
Kitab Fathul Mu‟in adalah kitab yang membahas tentang hukum-hukum fiqih, kitab ini sangat populer di kalangan Pesantren. Pengarang kitab ini adalah Syekh al-‗Alim al-‗allamah Zainuddin
22
Fathul Mu‟in), maka barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang lain, Seperti; Fathul Wahhab, Iqna‘, Jami‘ul Jawami‘, Uqudul Juman dan lain-lain.24
Sejak tahun 1933 Bisri Mustofa sudah dipandang sebagai santri yang memiliki kelebihan. Sehingga teman-temannya yang lain selalu menjadikan sebagai rujukan. Pada tahun itu pula adiknya (Misbah) dimasukkan juga di pondok Kasingan. Sehingga biaya hidup pun menjadi bertambah. Oleh H. Zuhdi beliau diberi uang Rp. 1,75,- untuk biaya hidup dua orang. Karena merasa kurang cukup maka Bisri Mustofa nyambi jualan kitab yang beliau ambil dari toko kakaknya H. Zuhdi, keuntungan dari penjualan tersebut dijadikan tambahan untuk biaya di pondok.25
Pada tahun 1932 Bisri Mustofa minta restu kepada kyai Cholil untuk pindah ke Pesantren Termas yang diasuh oleh kyai Dimyati. Pada tahun itu kebanyakan temen-temen Bisri Mustofa melanjutkan mengaji ke Termas, seperti Thoyib, Fatchur Rachman dan Anwar. Permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh sang kyai. Bahkan kyai Cholil dengan nada lantang dan keras melarang Bisri Mustofa untuk ke Termas. Beliau mengatakan bahwa di Kasingan pun Bisri Mustofa tidak akan bisa menghabiskan ilmu yang diajarkan. Bisri Mustofa tidak boleh ikut-ikutan dan meniru teman-temannya yang mau mengaji ke Termas. Kyai Cholil tidak meridhoi Bisri Mustofa untuk pergi ke Termas. Akhirnya Bisri Mustofa menuruti titah sang kyai dengan tidak jadi pergi ke Termas. Beliau tidak berani melanggar titah kyai Cholil. Kemudian Bisri Mustofa tetap tinggal di Kasingan.26
24
Maslukhin, Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibriz Karya K.H Bisri Mustofa... hlm. 44.
25
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa,... hlm. 14.
26Ibid.,
23
Akhirnya pada bulan Sya‘ban tahun 1934 Bisri Mustofa diajak oleh kyai
Cholil ke Tuban Jawa Timur. Kepergian tersebut tidak jelas dan kenapa Bisri Mustofa diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah kyai Husain, kyai Cholil berkata kepada Bisri Mustofa: ”Engkau mau tidak saya akui sebagai anak saya dunia
akhirat?”, tentu saja Bisri Mustofa langsung menjawab; “Ya mau Syaikhuna”. Kyai Cholil terus berkata: ―Kalau begitu engkau harus patuh kepadaku”. Bisri
Mustofa pun diam sebagai tanda tidak menolak. Kemudian kyai Cholil berkata lagi: “Engkau akan saya nikahkan dengan putri kyai Murtadho Makam Agung Tuban. Putrinya itu ayu, manis dan bapaknya kyai Murtadho adalah seorang kyai
yang alim, beruntung engkau menjadi menantunya”. Akan tetapi Bisri Mustofa
memberanikan diri untuk menolak perintah untuk menikah itu. Beliau merasa belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang beliau dipelajari masih sangat kurang. Kyai Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri Mustofa akan dikawinkan dengan putri seorang kyai besar dan alim agar nantinya beliau menjadi seorang alim juga.27
Tanpa diberikan kesempatan menjawab, Bisri Mustofa langsung diajak ke rumah kayai Murtadho Tuban. Di tempat situ sepertinya sudah dipersiapkan segala hal untuk menerima tamu kyai Cholil dan Bisri Mustofa yang akan melakukan khitbah kepada kyai Murtadho. sesampai di rumah tujuan, Bisri Mustofa merasa beruntung karena sang putri yang akan dikhitbah ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri Mustofa untuk menolak perintah menikah. Tetapi kyai Cholil sudah melakukan perundingan
27Ibid.,
24
dengan kyai Murtadho bahwa keputusan menikahkan Bisri Mustofa dengan putri kyai Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan juga pada tanggal 7 bulan Syawwal tahun 1934, kyai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama putrinya untuk Khitbah dan dilangsungkan dengan pernikahan.
Pada tanggal 3 Syawwal 1934 Bisri Mustofa dengan ditemani Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapa pun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah nikah. Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, Kaliwungu, Kendal dengan berbekal uang pas-pasan. Setiap mereka mampir ke tempat teman atau orang tua teman, mereka diberi tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan yang paling lama mereka tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon Kendal. Setelah satu bulan lebih lamanya mereka pulang ke Rembang. Bisri Mustofa langsung menghadap kyai Cholil dan meminta maaf atas perlakuannya tersebut. Dijabatnya tangan kyai Cholil, tetapi tanpa sepatah kata pun yang terucap dari mulut kyai Cholil. Waktu Bisri Mustofa mau pamit kembali, beliau pun menjabat tangan kyai Cholil. Tetapi sang kyai masih saja berdiam diri. Seperti biasanya Bisri Mustofa mengikuti kembali pelajaran-pelajaran di Pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri Mustofa sama sekali tidak ditanya oleh kyai Cholil sebagai mana biasanya.28
Hal ini membuat Bisri Mustofa merasa dikucilkan oleh kyai Cholil. Kejadian tersebut berlangsung selama setahun lebih dan berakhir dengan berita yang menurut Bisri Mustofa sungguh di luar dugaan. Berita itu adalah keinginan kyai Cholil untuk mengambil Bisri Mustofa sebagai menantunya. Bisri Mustofa
28
25
akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Ma‘rufah. Berita tersebut beliau
dapat dari ibunya ketika beliau pulang ke rumah Sawahan. Ibunya menceritakan bahwa kyai Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri Mustofa untuk dijadikan sebagai menantunya.
Bisri Mustofa kemudian mengalami sebuah kebingungan serta kebimbangan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat Ibu dan keluarganya, termasuk kakaknya H. Zuhdi menyetujuinya maka hati Bisri Mustofa menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Sehingga setelah segala sesuatunya dipersiapkan maka pada tanggal 7 Rajab 1354 H. atau bertepatan dengan bulan Juni 1935 dilaksanakan sebuah akad nikah antara Bisri Mustofa dengan Ma‘rufah binti kyai Cholil. Pada waktu itu Bisri Mustofa berusia 20 tahun dan Ma‘rufah
berusia 10 tahun.
Setahun setelah menikah, Bisri berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang. Namun, seusai haji, Bisri tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana.
Di Mekah, pendidikan yang dijalani Bisri bersifat non-formal. Ia belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-gurunya terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Secara keseluruhan, guru-gurunya di Mekah adalah: (1) Shaykh Baqir, asal Yogyakarta. Kepadanya, Bisri belajar kitab Lubb al- Usûl Umdât al-Abrâr, Tafsîr al-Kashshâf; (2) Syeikh Umar Hamdan al- Maghribî. Kepadanya, Bisri belajar kitab hadis
26
kitab al-Ashbah wa al-Nadâir dan al-Aqwâl al-Sunan al-Sittah; (4) Sayyid Amin. Kepadanya, Bisri belajar kitab Ibn Aqîl; (5) Shaykh Hassan Massat. Kepadanya, Bisri belajar kitab Minhaj Dzaw al-Nadar; (6) Sayid Alwi, Kepada beliau Bisri belajar tafsir al- Qur‘an al-Jalalain; (7) KH. Abdullah Muhaimin. Kepada beliau, Bisri belajar kitab Jam al-Jawâmi.29
Dua tahun lebih Bisri menuntut ilmu di Mekah. Bisri pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya. Setahun kemudian, mertuanya (Kiai Cholil) meninggal dunia. Sejak itulah Bisri menggantikan posisi guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.30
Oleh karena pendudukan Jepang pondok pesantren tersebut dihanguskan, kemudian KH. Bisri Mustofa melanjutkan estafet perjuangan gurunya dengan mendirikan pesantren di Leteh Rembang tahun 1950 dengan nama Pesantren Raudhatut Thalibin atau dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut Taman Pelajar Islam (TPI) dan berkembang pesat hingga sekarang.31 Sebagai anggota MPRS ia ikut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai Presiden, menggantikan Soekarno dan memimpin do‘a waktu pelantikan.32
Di tengah kesibukannya dalam mengajar di pesantren dengan menjadi penceramah bahkan politisi. KH. Bisri Mustofa tetap menyempatkan diri untuk menulis sehingga luangnya tidak dilewatkan begitu saja, bahkan di kereta, di bus, dimana saja ia sempatkan untuk menulis. Banyak kitab, baik bertema berat, maupun ringan sebagai karya tulisnya. Hal ini, bisa dilatarbelakangi salah satunya
29
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren..., hlm. 17.
30
Ibid., hlm. 10-22.
31Ibid.,
hlm. 21.
32
27
oleh kondisi semakin membludaknya jumlah santri, sementara pada saat itu sulit sekali ditemukan kitab-kitab atau buku-buku pelajaran untuk para santri. Berkat kemampuan, inisiatif dan kreatiftas yang dimilikinya, KH. Bisri Mustofa berhasil menyusun dan mengarang buku. Selain ditujukan untuk kalangan santri sebagai bahan pelajaran di pesantren yang dipimpinnya, karyakarya tersebut juga ditujukan untuk kalangan masyarakat luas di pedesaan yang aktif mengaji di surau-surau masjid di mana ia sering memberikan ceramah. Sehingga KH. Bisri Mustofa dalam karya-karyanya menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan para santri dan masyarakat pedesaan, tepatnya menggunakan bahasa daerah (Jawa
pegon), dengan tulisan Arab pegon (Arab Jawa),33 di samping ada beberapa karya yang menggunakan bahasa Indonesia.34
Adapun karya mengenai keagamaan kurang lebihnya berjumlah 176 judul.35 Di antaranya karya-karyanya yang paling terkenal adalah, Pertama, dalam bidang Tafsir, yaitu tafsir alIbriz, yang disusun kembali dari penjelasan pengajian beliau oleh tiga orang santri, yaitu : Munsarif, Magfur dan Safwan, disusun selama empat tahun mulai tahun 1956-1960. Kemudian al-Iklil fi Tarjamati „Ilmi al -Tafsir karya Syaikh Abdul Malik al-Zamzami al-Makki, ditulis pada tahun 1950, dan Tafsir Yasin, kitab tafsir ini merupakan tafsir saku yang ditulis pada tahun 1970, Kitab al-Iksir yang berarti “pengantar ilmu tafsir”.
33
Jawa pegon adalah bahasa yang ditulis bahasa Jawa huruf Arab atau bahasa Indonesia/Latin yang ditulis Arab. Kaedah penulisannya agak berbeda sedikit dengan bahasa Arab. Terdapat karekteristik penulisan seperti, ditambah titik tiga huruf jim, untuk melambangkan huruf c, huruf ya‟ dengan titik tiga melambangkan bunyi ‗ny‘. dan sebagainya.
34
A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia…., hlm. 181.
35
28
Kedua, bidang Teologi yaitu Nazam Sullam al-Munawwaraq fi al-Mantiq, kitab ini merupakan terjemah dari kitab al-Sullam al-Munawwaraq karya Syaikh Abdurrahman al-Munawwaraq al-Akhdari yang ditulis pada tahun 1962, kemudian kitab Sullam al-Afham terjemah Aqidah al-Awam karya Syaikh Ahmad al-Marzuki, ditulis pada tahun 1966, selanjutnya kitab Durar al-Bayan fi Tarjamati Sya‟bi al-Imam, terjemah karya Syaikh Zainuddin dan kitab Risalah
Ahl al Sunnah wa al-Jama‟ah ditulis pada tahun 1966 untuk seminar Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah.36
Ketiga, bidang Fiqh yaitu Terjemah Fath al-Mu‟in karya al-Malibary,
Tuntunan Ringkas Manasik Haji, terjemah al-Faraid al-Bahiyah karya Sayid Abi Bakar al-Ahdaki. Keempat, bidang Bahasa Arab yaitu Kitab Al-Usyuty, terjemahan kitab al-Imrity, dan kitab Ausatul Masalik terjemah kitab Alfiyah Ibnu Malik, al-Nibrasyiyah tejemah al-Jurumiyyah. Kelima, bidang yang lain-lain yaitu
Primbon Imaduddin, merupakan tuntunan bagi para modin dalam menjalankan tugas, kemudian Tahlil dan Talqin tentang tata cara tahlil. Tema-tema yang ringanpun juga beliau tulis, seperti buku kumpulan Anekdot Kaskul, Abu Nawas, Novel berbahasa Jawa Qahar lan Sholihah, naskah drama Nabi Yusuf lan Siti Zulaikha, Syi‘iran Ngudi Susilo, dan lain sebagainya.37
Diluar kitab-kitab dan buku-buku tersebut, masih banyak karya-karya lain yang berhasil ditulisnya. Dalam menulis, KH. Bisri Mustofa mempunyai ―falsafah‖ yang menarik, yakni ketika membuat sebuah karya tulis KH. Bisri
Mustofa niati dengan nyambut gawe (bekerja) untuk menafkahi keluarganya.
36
A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia …, hlm. 184.
37Ibid.,
29
Ketika karya tersebut sudah selesai dan diserahkan ke penerbit, maka baru diniati dengan yang mulia-mulia, seperti niatan Lillahi Ta‟ala, menyebarkan ilmu dan sebagainya.38 Keterpengaruhan KH. Bisri Mustofa dengan keagamaan tradisional yang ada pada dirinya memang tidak dapat dilepaskan dari corak pemikirannya. Meskipun ia seorang yang berlatar belakang salafyyah, namun ia terkenal sebagai seorang yang moderat. Sifat moderat tersebut yang diambil dengan menggunakan pendekatan usul fiqih yang mengedepankan kemaslahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuaikan dengan situasi kondisi zaman serta masyarakatnya.39
Pemikiran KH. Bisri Mustofa bisa disebut kontekstual, pada bidang fqih, dibuktikan mengenai masalah KB (Keluarga Berencara) tahun 1968. Pada waktu itu sebagian ulama NU belum menerima KB, namun beliau sudah menerima KB dengan melontarkan beberapa ide-idenya. Bahkan, ia menyusun buku yang
38
Sebagaimana dikisahkan oleh Gus Mus, salah seorang putranya, bahwa pernah suatu ketika, beliau berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak, tentang tulis-menulis ini.‖Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan
mungkin saya lebih alim,‖kata Kiai Ali Maksum ketika itu, dengan nada kelakar, seperti biasanya,‖Tapi mengapa sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di
tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.‖Dengan gaya khasnya, masih cerita Gus Mus, mbah Bisri menjawab : ―Lha soalnya sampeyan menulis lillahi Ta‘ala sih !‖
Tentu saja jawaban ini mengejutkan Kiai Ali.‖Lho Kiai menulis kok tidak lillahi Ta‘ala, lalu
dengan niat apa ?‖ Mbah Bisri menjawab : ―Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe
(bekerja). Etos saya (KH. Bisri Mustofa) dalam menulis sama dengan menjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling, saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan
pekerjaan sampeyan tidak akan selesai.. ―kata Mbah Bisri‖…Lha nanti kalau tulisan sudah jadi,
dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ilmi atau apa.
Setan perlu kita Tipu.‖Lanjut Mbah Bisri sambil tertawa.‖Gus Mus dalam Taqdim buku Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren…, hlm. xxi-xxii.
39
Lilik Faiqoh. Tafsir Kultural Jawa: Studi Penafsiran Surat Luqman Menurut K.H. Bisri Mustofa.
30
berjudul Islam dan Keluarga Berencana, yang diterbitkan oleh BKKBN Jawa Tengah tahun 1970.40
Bukti selain itu pandangan KH. Bisri Mustofa terhadap drumband. Pada tahun 1965 situasi politik nasional sedang kacau balau karena terjadinya pemberontakan G.30S PKI maka di daerah-daerah terjadi gerakan melawan PKI. Dalam perjuangan melawan PKI banyak santri yang menabuh drumband karena untuk semangat dan solidaritas. Kebanyakan waktu itu ulama yang menyatakan bahwa drumband itu bid‟ah, namun KH. Bisri Mustofa membolehkan karena untuk mengingat darah juang dan semangat seseorang untuk berjuang pada waktu itu, selain itu juga untuk menakutnakuti lawan (PKI).41
Selain pemikirannya yang moderat, KH. Bisri Mustofa adalah seorang ulama yang sunni yang gigih memperjuangkan konsep Ahlu al-Sunnah wa al Jama‟ah dalam setiap aspek kehidupan manusia. Sikap yang diambil dengan
menggunakan pendekatan usul fiqih yang mengedepankan kemaslahatan dan kebaikan umat Islam yang disuaikan dengan kebutuhan zaman dan masyarakatnya.
Terobosan-terobosan pemikiran KH. Bisri Mustofa antara lain adalah obsesinya ingin menjadikan konsep amar ma‟ruf nahi munkar (memerintahkan yang baik dan melarang perbuatan keji) sejajar dengan rukun rukun Islam lainnya.
40
Buku kecil (Islam dan keluarga Berencana) tersebut ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa unsur ikhtiyar (usaha) manusia itu merupakan sesuatu yang dominan dibandingkan dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. KH. Bisri Mustofa berpendapat bahwa kalau jatah makan sebagai setiap kepala keluarga hanya mampu untuk empat piring nasi, maka hendaknya setiap kepala keluarga tidak menambah lagi anggota keluarganya. Penambahan keluarga tanpa terencana berarti mengurangi jatah anggota keluarga lainnya. Lihat Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan..., hlm. 61.
41 Ibid.,
31
Ia pernah mengatakan seandainya boleh menambahkan rukun Islam yang ada lima itu, maka ia akan menambahkan rukun Islam yang keenam yaitu amar ma‟ruf nahi munkar, konsep tersebut dimaksud menambah semangat solidaritas dan kepedulian sosial. Jika umat Islam memiliki semangat ini maka sendirinya akan menjalankan amar ma‟ruf nahi munkar secara benar, bagi sendiri maupun orang lain. Pemikiran tersebut yang menjadikan obsesi terbesar sebagai pegangan setiap lingkup tindakannya.42
Berdasarkan hal-hal di atas, bisa dikatakan bahwa corak pemikiran KH. Bisri Mustofa dalam hal perbuatan manusia lebih condong pada Qodariyah. Beliau tidak hanya menyerahkan sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, melainkan ada unsur usaha manusia.43
B. Karakteristik dan Sistematika Kitab Tafsir Al- Ibriz
Tidak ada data akurat yang menyebutkan kapan sebenarnya tafsir al-Ibriz mulai ditulis. Tetapi tafsir ini diselesaikan pada tanggal 29 Rajab 1379, bertepatan dengan tanggal 28 Januari 1960. Menurut keterangan Ny. Ma‘rufah, tafsir al-Ibriz
selesai ditulis setelah kelahiran putrinya yang terakhir (Atikah) sekitar tahun 1964. Pada tahun ini pula, tafsir al-Ibriz untuk pertama kalinya dicetak oleh penerbit Menara Kudus. Penerbitan tafsir ini tidak disertai perjanjian yang jelas, apakah dengan sistem royalti atau borongan.44
Tafsir al-Ibriz dicetak tiga puluh jilid, sama dengan jumlah juz dalam al-Qur‘an. Kalau mengandalkan bentuk cetakannya, mungkin kita bisa tertipu
42
Ibid., hlm. 63.
43 Ibid.,
hlm. 62.
44
32
dengan tampilannya. Bentuknya agak berbeda dengan kebanyakan kitab tafsir atau kitab kuning.45
Orang yang biasa membaca kitab tafsir boleh jadi tidak akan percaya kalau
al-Ibriz adalah kitab tafsir. Belum lagi dengan memperhatikan format halamannya yang agak nyeleneh. Ayat al-Qur‘an yang diberi makna gandul46 Bagi pembaca tafsir yang berlatar santri maupun non-santri, penyajian makna khas pesantren dan unik seperti ini sangat membantu seorang pembaca saat mengenali dan memahami makna dan fungsi kata per-kata. Hal ini sangat berbeda dengan model penyajian yang utuh, di mana satu ayat diterjemahkan seluruhnya dan pembaca yang kurang akrab dengan gramatika bahasa Arab sangat kesulitan jika diminta menguraikan kedudukan dan fungsi kata perkata.
Bagian pinggirnya (biasanya disebut hâmish) disajikan kandungan al- Qur‘an (tafsir) dengan menggunakan tulisan Arab pegon dengan bahasa Jawa
ngoko. Kadang-kadang, penafsir mengulas ayat per-ayat atau gabungan dari beberapa ayat, tergantung dari apakah ayat itu bersambung atau berhubungan dengan ayat ayat sebelum dan sesudahnya atau tidak.
Kadang-kadang, penafsir tidak memberikan keterangan tambahan apapun saat menafsirkan ayat tertentu, nyaris seperti terjemahan biasa. Hal ini disebabkan karena ayat-ayat tersebut cukup mudah dipahami, sehingga penafsir merasa tidak perlu berpanjang-panjang kata. Berbeda jika ayat tersebut memerlukan penjelasan cukup panjang karena kandungan maknanya tidak mudah dipahami. Tafsir dalam
45
Dalam tradisi pondok pesantren, istilah kitab kuning itu merujuk pada kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan biasanya tanpa ada tanda shakl.
46
33
bentuk terjemahan itu sebenarnya diakui sendiri oleh penafsirnya. Dengan merendah, penafsir merasa hanya njawaake (menjawakan atau menerjemahkan) dan mengumpulkan keterangan-keterangan dari beragam tempat.47
Pada ayat-ayat tertentu, penafsir merasa perlu memberikan catatan tambahan, selain tafsirnya, dalam bentuk asbab al-nuzul sebuah ayat, penafsir memberikan keterangan secukupnya. Kemudian adapula yang berupa faedah atau
tanbih (warning). Bentuk pertama mengindikasikan suatu dorongan atau hal positif yang perlu dilakukan. Sedang yang kedua berupa peringatan atau hal-hal yang seharusnya tidak disalahpahami atau dilakukan oleh manusia. Tanbih juga kadang berisi keterangan bahwa ayat tertentu telah dihapus (mansukh) dengan ayat yang lain. Keterangan ini tentu sangat berharga bagi pembaca awam sehingga tidak terjebak pada pemahaman kaku ayat tertentu padahal ayat tersebut sudah dihapus oleh ayat sesudahnya
Sistematika tafsir al-Ibriz mengikuti urutan ayat-ayatnya, dimulai dari surat
al-Fatihah sampai surat al-Nash. Setelah satu ayat ditafsirkan selesai, diikuti ayat-ayat berikutnya sampai selesai. Namun, Apakah al-Ibriz ditulis secara kronologis dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas ataukah tidak, tidak diperoleh data yang memadai. Begitu pula dengan waktunya, apakah ditulis tanpa putus selama bertahun-tahun ataukah putus-sambung. Kebiasaan selalu membawa alat tulis dan kertas, ditambah banyaknya tulisan dalam bentuk terjemahan atau yang lainnya, sangat menyulitkan keluarga dekat untuk mengetahui apakah ia sedang menyusun tafsir atau menulis buku yang lain.
47