• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biografi Penulis dan Alasan Ditulisnya Tafsir al-Razi

Dalam dokumen Oleh Adi Muhammad Aidil Hipdi NIM: (Halaman 34-39)

BAB III MENGENAL TAFSIR AL-RAZI UU SUHENDAR

A. Biografi Penulis dan Alasan Ditulisnya Tafsir al-Razi

1. Rihlah Ilmiah dan Karir Uu Suhendar

Tidak banyak yang dapat penulis gali dari biografinya dikarenakan sumber informasi yang terbatas. Pada halaman belakang kitab, tepatnya setelah daftar pustaka, penulis mengetahui bahwa Uu Suhendar selaku pengarang Tafsir al-Razi adalah seorang kelahiran Tasikmalaya. Beliau lahir pada tanggal 9 Januari 1962 M.1

Beliau memulai pendidikannya dengan belajar di lembaga Pesantren Persatuan Islam 67 Benda Tasikmalaya dari mulai tingkat Madrasah Ibtidaiyah sampai dengan Madrasah Tsanawiyah. Setelah itu, beliau pun meneruskan pendidikannya di Muallimin Persatuan Islam yang terletak di Bandung dan lulus dalam kurun waktu dua tahun saja yang kemudian langsung dilanjutkan dengan berkuliah di IAIN Sunan Gunung Djati

1Uu Suhendar, Tafsir Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, (Tasikmalaya:

Bandung yang kini telah berubah status dari institut menjadi universitas. Di institut tersebut Uu Suhendar mengambil program studi Bahasa Arab. Tidak puas dengan gelar sarjana dan ilmu bahasa Arab yang telah didapatkan, lalu beliau pun mengambil program S2 di Ma‘had ‘Ulūm Islamiyah wa al-‘Arabiyah fi Indunisia milik pemerintah Arab Saudi yang ada di Jakarta. Terakhir, Uu Suhendar mendapatkan gelar doktor dari Universitas Islam Bandung dalam program studi Manajemen Pendidikan Islam.2 Melihat dari jurusan yang dipilihnya saat kuliah, sudah jelas bahwa Uu Suhendar tidak menuntut ilmu al-Qur’an dan tafsir secara formal. Biarpun begitu, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dia pernah belajar ilmu tersebut di tempat lain. Atau bisa jadi ilmu itu diperolehnya saat ia masih duduk dibangku sekolah menengah. Sehingga walaupun Uu Suhendar adalah orang yang mendalami ilmu bahasa Arab dan pendidikan, bukan berarti ia tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi seorang penafsir. Terlebih lagi ilmu bahasa Arab sendiri pun menjadi salah satu ilmu yang wajib dikuasai ketika seseorang ingin menafsirkan al-Qur’an.

Sekarang ini, beliau bekerja sebagai seorang dosen di salah satu perguruan tinggi, sibuk mengurus Majelis Ta’lim al-Razi, dan menjadi redaktur majalah Dakwah berbahasa Sunda, Bina Da’wah3 di Bandung.4

Dalam hal karya tulis, Uu Suhendar juga telah menelurkan beberapa karya lain selain Tafsir al-Razi, antara lain:

1. Qawa’idul ‘Arabiyyah al-Muyassaroh (Dasar-dasar Ilmu Nahwu dan Sharaf, Kajian Sistematis dengan contoh-contoh Aplikatif)

2Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, 281

3Majalah ini juga memiliki situs daring sendiri yang isinya membahas tiga persoalan

utama yaitu tafsir, hadits, dan toko Salah satu artikelnya yang berjudul Kajian Hadits Bahasa Sunda: TILU AMAL NU MAWA BAGJA adalah artikel yang langsung ditulis oleh Uu Suhendar. Lihat: Uu Suhendar, “Kajian Hadits Bahasa Sunda: TILU AMAL NU MAWA

BAGJA”,

(https://majalahbinadakwah.blogspot.com/2019/06/kajian-hadits-bahasa-sunda-tilu-amal-nu.html, diakses pada 16 Desember 2019)

23 2. Tafsir Tematik Lansia Dalam al-Qur’an (Panduan Hidup Sakinah

menuju Husnul Khatimah)

3. Mutiara Hadits Tarbawi (Kumpulan Kisah Edukatif dalam Hadis Nabawi)5

2. Latar Belakang Penulisan

Pada bagian pengantar kitab Tafsir al-Razi, Uu Suhendar telah menyebutkan secara gamblang setidaknya dua hal yang menjadi latar belakang mengapa beliau menulis kitab Tafsir al-Razi, dua hal tersebut adalah sebagai berikut:

a. Gempa dan Tsunami Tasikmalaya 2009

Aya kamelang jeung kahariwang nalika jadi relawan Tsunami jeung gempa bumi di wewengkon Tasikmalaya pakidulan sababaraha taun katukang; loba korban anu aral jeung subaha alatan musibah rongkah anu karandapan ngancurleburkeun pakaya anu jadi sumber kahirupan sapopoe, kituna mah teu ngabibisani lantaran hirup dipangungsian ngan ukur ngarep-ngarep bantuan anu daratang bari sekapeung mah loba disalahgunakeun. Aya tafakuraneun nalika nepi di biwir pasisir Cipatujah aya tangkal kalapa meh antel kana cai laut teu runtuh sedengkeun wangunan anu ngajungkring kabeh rata jeung taneuh teu walakaya nalika ditarajang Tsunami. Manahoreng tangkal kalapa mah boga akar laleutik tapi kereb anu nanceb kana jero taneuh sahingga nalika datang Tsunami nagen teu kepangaruhan. Lamun seug kaum muslimin mibanda akar aqidah anu kuat seperti akar kelapa tinangtu moal aya anu pindah pileumpangan ganti kayakinan sarta bakal tabah nyanghareupan tsunami jeung gempa bumi; utamana tsunami moral jeung gempa akhlak.6

“Ada rasa khawatir dan gelisah ketika menjadi relawan tsunami dan gempa bumi di daerah Tasikmalaya bagian selatan beberapa tahun kebelakang. Banyak korban yang jengkel dan tidak mau menerima keadaan karena bencana luar biasa yang terjadi telah menghancurleburkan segala kekayaan yang menjadi sumber kehidupan sehari-hari, hal itu bukan tanpa alasan sebab hidup di pengungsian hanya sekedar mengharapkan bantuan yang datang sambil terkadang banyak disalahgunakan. Ada renungan ketika sampai di bibir pesisir Cipatujah. Terdapat pohon kelapa yang walaupun menempel ke air laut namun tidak

5Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, 281

roboh sedangkan bangunan yang ngajungkring semua rata dengan tanah tidak berdaya saat diterjang tsunami. Manahoreng pohon kelapa memiliki akar yang kecil-kecil namun banyak yang menancab ke dalam tanah sehingga ketika tsunami menerjang sama sekali tidak terpengaruh. Andaikan kaum muslimin memiliki akar akidah seperti akar kelapa, tentu tidak akan ada yang berubah haluan mengganti keyakinan serta akan tabah menghadapi tsunami dan gempa bumi, terutama tsunami moral dan gempa akhlak.”

Pada tahun 2009 wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya diterjang oleh gempa berkekuatan 7,3 Skala Richter yang kemudian disusul dengan tsunami setinggi 1 meter di bagian wilayah pantai selatan di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.7 Kejadian ini pun menggetarkan hati Uu Suhendar sehingga beliau pun menjadi relawan untuk membantu orang-orang yang menjadi korban bencana tersebut. Selama menjadi relawan, ada satu hal yang menurutnya patut untuk dijadikan bahan renungan. Tatkala beliau tengah berada di pesisir pantai Cipatujah, terlihat olehnya sebatang pohon kelapa yang bagian bawahnya terendam oleh air laut akan tetapi pohon tersebut masih dapat berdiri dengan tegak dan kokoh sedangkan bangunan-bangunan buatan manusia yang terdapat setelahnya, seluruhnya rata dengan tanah. Ini bisa terjadi karena akar kelapa yang walaupun kecil dan serabut namun mampu menancap dengan kuat ke dalam tanah sehingga saat tsunami datang pohon tersebut tidak goyah. Hal ini membuatnya berfikir, andaikan manusia bisa memiliki akar akidah yang kuat seperti akar pohon kelapa tersebut, tentu manusia tersebut tidak akan goyah dalam hidupnya walaupun tsunami moral dan gempa akhlak menerjang.

b. al-Qur’an yang Terlalu Disakralkan

al-Qur’an nu jadi tatapakan hirup kaum muslimin kiwari can jadi dangdanan malah leuwih sondong dikaramatkeun, al-Qur’an dipusti-pusti dihade-hade macana malah diwaragadan ku nagara ti mimiti hamalan

7Rachmad Yuliadi Nasir, “Misteri Gempa dan Tsunami 02-09-2009”,

(www.kompasiana.com/rachmadbacakoran/54fef63fa33311c72750fa1c/misteri-gempa-dan-tsunami, diakses pada 06 September 2019)

25 pilemburan nepi ke istana tapi can ngabukur dina catur can ngabukti dina ngaronjatkeun ajên diri. Diantara sababiyahna mungkin kawatesna tafsir al-Qur’an anu ditulis ku basa anu bisa langsung ka harti utamana ku kaum muslimin anu aya di pilemburan. Ngulik eusining al-Qur’an jeung ngaguar ma’nana nepi ka betah ngamalkeunana lir ibarat urang ngali sumur, beuki mindeng sumur dijeroan maka bakal leuwih loba cai hikmah anu ditimba tina jero sumur al-Qur’an. Lamun ngali sumur ngan ukur make linggis jeung balicong bakal kawates cai anu kaluar tapi lamun ngali make elmu jeung teknologi bakal nimbus ratusan meter kajero sarta cai bakal ngaburial sorangan. Ngali eusining al-Qur’an make pirang-pirang pendekatan elmu pangaweruh bakal leuwih euyeub cai hikmah anu kabolêkêrkeun sarta bakal kadal ucap seperti anu pernah dikedalkeun ku Malaikat :”Subhānaka lā ‘ilma lanā illa mā’allamtanaā Innaka Anta al-‘alīmu al-Hakim” (Maha suci gusti abdi sadaya rumaos tuna elmu, kajabi anu parantos diwulungkeun ku Gusti ka abdi. Satemana Gusti nu Maha Uninga tur Maha Wijaksana).8

“al-Qur’an yang menjadi pijakan hidup kaum muslimin di masa sekarang belum menjadi dandanan malah cenderung dikeramatkan. al-Qur’an dipelihara dan dibaca dengan baik sampai dibiayai oleh negara dari mulai wilayah terkecil hingga ke istana tapi belum bisa meresap ke dalam hati dan belum bisa meningkatkan nilai diri. Beberapa hal yang menjadi sebabnya mungkin terbatasnya tafsir al-Qur'an yang ditulis dengan bahasa yang langsung bisa dimengerti terutama olah kaum muslimin yang ada di wilayah pedesaan. Menilik isi al-Qur'an dan membongkar maknanya sampai terbiasa mengamalkannya itu bagaikan kita menggali sumur, lebih sering sumur digali maka lebih banyak air hikmah yang ditimba dari dalam sumur al-Qur'an. Apabila menggali sumur hanya sekedar menggunakan linggis dan balincong, air yang keluar pun akan terbatas, akan tetapi kalau menggali dengan ilmu dan teknologi, akan mampu menembus ratusan meter ke dalam sertai air pun akan menyembur sendiri. Menggali isi al-Qur'an dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu pengetahuan akan lebih kaya air hikmah yang terkuak serta akan terjaga ucapan seperti yang pernah diucapkan oleh Malaikat: Maha suci Engkau, kami merasa tidak berilmu, kecuali yang telah Engkau berikan kepada kami. Sungguh Engkah Maha Mengetahui serta Maha Bijaksana.”

Alasan kedua mengapa Uu Suhendar tertarik untuk menulis kitab tafsir berbahasa Sunda adalah karena beliau merasa bahwa orang-orang pada

zaman sekarang begitu menyakralkan al-Qur’an dengan merawatnya baik-baik hingga hati-hati dalam membacanya agar tidak terjadi kesalahan, akan tetapi baginya orang-orang itu belum mampu meresapi dan mempraktekkan ajaran yang dikandungnya. Uu Suhendar beranggapan hal ini mungkin diakibatkan oleh terbatasnya tafsir al-Qur’an yang ditulis dengan bahasa yang bisa langsung dimengerti oleh orang-orang tersebut terutama orang-orang yang tinggal di daerah perkampungan.

Maka berlandaskan pada dua hal tersebut, akhirnya beliau pun berpikir untuk membuat sebuah kitab tafsir berbahasa Sunda yang dapat membantu manusia menguatkan akar keimanannya sehingga kemudian beliau tulislah kitab Tafsir al-Razi.

Dalam dokumen Oleh Adi Muhammad Aidil Hipdi NIM: (Halaman 34-39)

Dokumen terkait