• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh Adi Muhammad Aidil Hipdi NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh Adi Muhammad Aidil Hipdi NIM:"

Copied!
275
0
0

Teks penuh

(1)

KRITIK SANAD HADIS PADA TAFSIR AL-RAZI KARYA UU SUHENDAR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh

Adi Muhammad Aidil Hipdi

NIM: 11160360000034

PROGRAM STUDI ILMU HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2020 M

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987. 1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

ب

B Be

ت

T Te

ث

Ts Te dan Es

ج

J Je

ح

Ḥ H dengan titik di bawah

خ

Kh Ka dan Ha

د

D De

ذ

Dz De dan Zet

ر

R Er

ز

Z Zet

س

S Es

ش

Sy Es dan Ye

ص

Ṣ Es dengan titik di bawah

ض

Ḍ De dengan titik di bawah

ط

Ṭ Te dengan titik di bawah

ظ

Ẓ Zet dengan titik di bawah

(6)

v

غ

Gh Ge dan Ha

ف

F Ef

ق

Q Ki

ك

K Ka

ل

L El

م

M Em

ن

N En

و

W We

ه

H Ha

ء

’ Apostrof

ي

Y Ye

Hamzah (ء

)

yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apapun. Jika terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda apostrof (’).

2. Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fatḥah

I Kasrah

U Ḍammah

ي

Ai a dan i

و

Au a dan u 3. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

(7)

vi

ﹻْي

Ī i dengan topi di atas

ﹹ ْو

Ū u dengan topi di atas

4. Ta marbūṭah

Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah “t”. Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah “h”.

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang “al-” serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan “h”.

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydīd (ّ ا), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

Jika huruf ى ber-tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (alif lam ma‘rifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).

(8)

vii

ABSTRAK Adi Muhammad Aidil Hipdi

Kritik Sanad Hadis pada Tafsir al-Razi karya Uu Suhendar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas sanad hadis-hadis yang ada di dalam kitab Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat Jeung Mufrodat Juz ‘Amma Jeung al-Fatihah (Basa Sunda). Hal ini dilakukan karena dalam kitab tersebut hadis-hadis yang dicantumkan tidak disebutkan sanadnya secara lengkap sehingga menimbulkan keraguan terhadap kesahihan hadisnya yang digunakan untuk menafsirkan ayat al-Qur’an.

Jenis penelitiannya adalah kajian kepustakaan. Sumber datanya sendiri terbagi menjadi dua yakni sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah kitab Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat Jeung Mufrodat Juz ‘Amma Jeung al-Fatihah (Basa Sunda) cetakan ke-3 yang terbit pada tahun 2014 dari penerbit al-Razi Lembaga Kajian al-Qur’an. Sumber sekunder terdiri dari kitab induk matan hadis semisal Sunan al-Tirmidzī, kitab-kitab takhrīj, dan kitab-kitab-kitab-kitab rijāl seperti Tahdzīb al-Tahdzīb. Data akan dikumpulkan dengan metode takhrīj bi al-lafẓi lalu kemudian dianalisis menggunakan kaidah kesahihan sanad hadis.

Hasil penelitian ini menunjukkan dari dua puluh hadis yang diteliti, sebanyak sembilan hadis memiliki sanad yang sahih, sembilan hadis memiliki sanad yang daif, dan dua hadis memiliki sanad yang berstatus ḥasan lighairihi.

(9)

viii

KATA PENGANTAR

ميحرلا نحمرلا للها مسب

Segala puji dan syukur bagi Allah Swt. yang dengan taufiq dan rahmat-Nya penulisan skripsi yang berjudul ini telah selesai. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman. Penulisan skripsi yang telah selesai ini, tentu masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan. Itu merupakan keterbatasan penulis sebagai manusia di dalam melakukan penelitian ini. Tentunya penelitian ini pun melibatkan beberapa pihak yang memberikan kontribusi dalam proses penyelesaian skripsi ini, baik itu berupa motivasi, bantuan tenaga, pikiran, moral, material serta spiritual. Oleh karena itu, ucapan terima kasih saya haturkan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A. Selaku Ketua Program Studi Ilmu Hadis, dan Bapak Abdul Hakim Wahid, SH.I, M.A. selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Hadis, yang telah sangat banyak membantu penulis dalam menyelesaikan studinya.

4. Bapak Hasanuddin, M.A. Selaku dosen pembimbing akademik sekaligus skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk mengarahkan penulis selama mengerjakan skripsi.

5. Para Guru Besar yang mengajar di tingkat Strata Satu dan para dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan pelajaran-pelajaran terbaik selama penulis menjalani studi.

(10)

ix

6. Staf dan Karyawan Fakultas Ushuluddin, segenap Staf Perpustakaan Ushuluddin yang telah mengizinkan penulis mencari referensi-referensi terbaik sejak awal perkuliahan sampai penyelesaian skripsi. 7. Kepada kedua orang tua penulis yang tidak bisa dideskripsikan

dengan kata-kata bagaimana perannya untuk kehidupan penulis. 8. Seluruh guru-guru penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu per

satu, mulai dari yang memperkenalkan huruf alif kepada penulis sampai penulis mampu menjadi seperti sekarang.

9. Teman-teman seperjuangan penulis semasa kuliah yang juga tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas obrolan dan semangatnya.

10. Seluruh pihak lain yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pembangunan ilmu agama, khususnya pengembangan ilmu hadis.

Jakarta, 9 Oktober 2020

(11)

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1. Tujuan Penelitian ... 6 2. Manfaat Penelitian ... 6 F. Kajian Terdahulu ... 6 G. Metodologi Penelitian ... 8 1. Jenis Penelitian ... 8 2. Sumber Data ... 9

3. Teknik Pengumpulan Data ... 9

4. Analisis Data ... 11

5. Langkah-langkah Aplikatif Penelitian ... 12

H. Sistematika Penulisan ... 13

(12)

xi

A. Sejarah Kritik Sanad Hadis ... 15

B. Kesahihan Sanad Hadis ... 16

1. Bersambungnya Sanad ... 16

2. Periwayat ‘‘adil ... 17

3. Periwayat Ḍabit ... 17

4. Terhindar dari Syadz ... 18

5. Terhindar dari ‘Illat ... 18

C. Penggunaan Hadis dalam Penafsiran al-Qur’an ... 19

BAB III MENGENAL TAFSIR AL-RAZI UU SUHENDAR ... 21

A. Biografi Penulis dan Alasan Ditulisnya Tafsir al-Razi ... 21

1. Rihlah Ilmiah dan Karir Uu Suhendar ... 21

2. Latar Belakang Penulisan ... 23

B. Karakteristik Tafsir ... 26

1. Sumber (Manhaj) Penafsiran ... 27

2. Metode (Ṭarīqah) Penafsiran ... 30

3. Corak (Laun) Penafsiran ... 32

C. Hadis dalam Tafsir al-Razi ... 36

1. Sumber Pengutipan Hadis ... 36

2. Penulisan Matan ... 36

BAB VI KRITIK SANAD HADIS DAN ANALISA HADIS... 37

A. Hadis yang Dikutip dari Musnad al-Imām Aḥmad b. Ḥanbal ... 38

1. Hadis ke-2 ... 38 2. Hadis ke-3 ... 43 3. Hadis ke-6 ... 48 4. Hadis ke-8 ... 52 5. Hadis ke-11 ... 59 6. Hadis ke-15 ... 63 7. Hadis ke-16 ... 69

(13)

xii

8. Hadis ke-17 ... 74

9. Hadis ke-18 ... 79

10. Hadis ke-19 ... 84

B. Hadis yang Dikutip dari al-Jāmi‘ al-Kabīr Sunan al-Tirmdzī ... 89

1. Hadis ke-4 ... 89 2. Hadis ke-9 ... 93 3. Hadis ke-10 ... 99 4. Hadis ke-20 ... 105 5. Hadis Ke-21 ... 111 6. Hadis ke-22 ... 117

C. Hadis yang Dikutip dari Sunan Abū Dāwud ... 123

1. Hadis ke-5 ... 123

2. Hadis ke-25 ... 129

D. Hadis yang Dikutip dari Sunan al-Ṣaghir Lilnasā’ī ... 134

1. Hadis ke-7 ... 134 2. Hadis ke-24 ... 138 BAB V PENUTUP ... 144 A. Simpulan ... 144 B. Saran-saran ... 144 DAFTAR PUSTAKA ... 146 Lampiran

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Apabila kita mempelajari literatur tafsir, sebenarnya bukan hanya orang Arab saja yang telah menghasilkan kitab tafsir. Akan tetapi, orang Indonesia pun banyak menghasilkan kitab-kitab tafsir yang tidak kalah kualitasnya dengan orang Arab. Menurut Ervan Nurtawab, manuskrip paling tua yang dianggap sebagai literatur tafsir pertama adalah tafsir surat al-Kahfi yang ditulis pada abad ke-17 M.1 Literatur tafsir Indonesia memiliki keragaman dalam bahasanya. Ada kitab yang ditulis dalam bahasa Arab, Melayu, Indonesia bahkan bahasa daerah.2 Dalam buku yang berjudul Literatur Tafsir

Indonesia saja setidaknya dibahas sebanyak 14 karya tafsir yang dihasilkan oleh orang Indonesia dan itu pun belum lengkap membahas semua literatur yang dihasilkan oleh orang Indonesia.3 Howard Federspeil pernah melakukan penelitian terhadap perkembangan tafsir yang ada di Indonesia juga tidak menyebutkan secara utuh literatur-literatur yang ada karena dia luput memasukkan literatur-literatur berbahasa daerah.4 Salah satunya adalah literatur tafsir berbahasa Sunda yang menurut Jajang A. Rohmana telah ada

1Ervan Nurtawab, Tafsir al-Qur’an Nusantara Tempo Doeloe (Tangerang: Ushul Press,

2009), 57

2Edi Komarudin dkk, “Tafsir Qur'an Berbahasa Nusantara (Studi Historis terhadap

Tafsir Berbahasa Sunda, Jawa dan Aceh)”, al-Tsaqafa: Jurnal Peradaban Islam 15, no.2 (2018) Lihat pula: Islah Gusmian, “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca”, Jurnal Tsaqafah 6, no.1 (2010)

3Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Tangerang Selatan: Mazhab Ciputat, 2013),

xiv-xvi

4Islah Gusmiah, “Tafsir al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika”, Jurnal Nun 1,

(15)

pada tahun 1920 M.5 Hal ini menunjukkan bahwa masih luasnya wilayah kajian terhadap tafsir lokal.

Mengesampingkan banyaknya literatur tafsir yang dihasilkan oleh para ulama nusantara, terdapat satu masalah yang terkadang muncul ketika kajian terhadap literatur-literatur tersebut dilakukan, yakni para mufassir terkadang mencantumkan hadis-hadis yang dijadikan sumber penafsiran tanpa memberikan kejelasan mengenai kesahihan hadis-hadis tersebut. Para mufassir biasanya hanya mencantumkan matan tanpa sanad yang lengkap.6 Hal seperti itu dapat menimbulkan keraguan akan validitas hadis yang digunakan dan kualitas penafsiran yang dihasilkan. Bahkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan membuktikan bahwa ada beberapa kitab tafsir lokal yang memuat hadis-hadis daif dalam penafsirannya.7 Padahal

apabila ada penafsiran al-Qur’an yang menggunakan hadis yang memiliki kedaifan baik dari segi sanad ataupun matan apalagi keduanya maka penafsiran tersebut tanpa diragukan lagi ditolak.8

Terdapat banyak sekali tafsir yang telah ditulis dalam bahasa Sunda. Jajang A. Rohmana misalnya, dalam tulisannya yang berjudul Memahami Qur’an dengan Kearifan Lokal: Nuansa Budaya Sunda dalam Tafsir

al-5Literatur yang dimaksud adalah naskah Qur’anul Adhimi yang ditulis oleh Haji Hasan

Mustapa dan berisikan tafsiran terhadap 105 ayat dalam al-Qur’an. Lihat: Jajang A. Rohmana, “Kajian al-Qur’an di Tatar Sunda”, Jurnal Suhuf 6, no. 1 (2013), 204-205

6Misal seperti pada kitab Tafsir al-Ibriz yang menurut penjelasan Mafri Amir terkadang

menampilkan hadis tanpa sanad dan juga kejelasan status hadis tersebut sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan. Lihat: Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h, 150-151

7Beberapa penelitian yang dapat disebut di antaranya adalah tesis karya Rahmawati yang

menyimpulkan bahwa dari 168 hadis yang ada dalam kitab Tafsir al-Munir karya K.H. Daud Ismail, sebanyak 8,93% merupakan hadis daif. Selain itu, adapula penelitian yang dilakukan pada Tafsir Nurul Bajan yang menyimpulkan bahwa hadis tentang nama-nama surat al-Fatihah bernilai daif karena sanad yang terputus. Lihat: Rahmawati Caco, “Kualitas Hadis dalam Tafsir al-Munir Karya K.H. Daud Ismail” (Tesis Fakultas Ushuluddin, Univeritas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2012). Lihat pula: Enur Nurjanah, “Takhrīj hadis-hadis dalam tafsir Nurul Bajan karya MHD Romli dan HNS Midjaja: kajian atas QS. Al-fatihah” (Tesis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2017)

8Muhammad Husain Dzahabȋ, Tafsīru wa Mufassirūn (Beirut: Dar Ihya’

(16)

3 Qur’an berbahasa Sunda, beliau setidaknya menyebutkan delapan judul tafsir berbahasa Sunda baik yang ditulis sebelum maupun setelah kemerdekaan.9 Jajang juga menegaskan bahwa kitab tafsir berbahasa Sunda tidak boleh diabaikan dalam diskursus kajian al-Qur’an di Indonesia. Hal ini karena kitab-kitab tersebut merupakan bukti kreatifitas lokal yang mempertegas pengaruh budaya dalam proses pembentukan Islam di tatar Sunda.10 Dengan demikian, pengkajian terhadap kitab tafsir berbahasa Sunda adalah sama pentingnya dengan pengkajian terhadap kitab-kitab tafsir lain yang telah banyak dikaji.

Salah satu kitab tafsir berbahasa Sunda yang menurut penulis menarik untuk dibicarakan adalah kitab Tafsir al-Razi karya Uu Suhendar. Tafsir ini masih terbilang baru mengingat penerbitan pertamanya dilakukan pada tahun 2010 M.11 Penulis merasa penting untuk mengkaji hadis-hadis dalam kitab ini dikarenakan tafsir ini memuat beberapa hadis yang dimanfaatkan untuk menafsirkan al-Qur’an tanpa sanad yang lengkap dimana terkadang hanya dicantumkan mukharrij12-nya atau sesekali juga menyertakan nama periwayat dari tingkat sahabat saja. Lebih lanjut lagi, sebagian hadis yang terdapat dalam kitab ini pun terlihat seperti bercampur-baur dengan penafsirannya. Dikatakan demikian sebab penulis tafsir ini yakni Uu Suhendar pada sebagian tempat hanya menuliskan terjemahan dari hadis yang dicantumkan tanpa menyertakan versi teks asli berbahasa Arab. Sebagai contoh, hal ini terjadi pada saat Uu Suhendar menafsirkan surat al-Fatihah ayat 1 dimana dia mencantumkan hadis dengan kalimat sebagai berikut:

9Jajang A. Rohmana, “Memahami al-Qur’an dengan Kearifan Lokal: Nuansa Budaya

Sunda dalam Tafsir al-Qur’an berbahasa Sunda”, Journal of Qur’ān and Ḥadīth Studies 3, no.1 (2014), 83-84

10Jajang A. Rohmana,” Memahami al-Qur’an dengan Kearifan Lokal: Nuansa Budaya

Sunda dalam Tafsir al-Qur’an berbahasa Sunda”, 94

11Uu Suhendar, Tafsir Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat (Tasikmalaya:

al-Razi Lembaga Kajian al-Qur’an, 2014).

12Mukharrij adalah tiap-tiap orang yang mengeluarkan dan mencatat hadis. Lihat: Totok

(17)

Dina Hadis Riwayat Ahmad Rasul ngadawuh: Satiap lampah nu teu dimimitian ku Asma Allah moal kapanggih ganjaranana.13

“Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasul bersabda: “Setiap tindakan yang tidak diawali dengan nama Allah, tidak akan ditemui pahalanya”

Hadis ini merupakan hadis riwayat Aḥmad b. Ḥanbal yang memiliki redaksi lengkap sebagai berikut:

َح َمَدآ ُنْب ىَيْحَي ﺎَن ثَّدَح

ةَم لَس يِب أ ْنَع ِّيِرْهُّزلا ِنَع ِنَمْحَّرلا ِدْبَع ِنْب ةَّرُق ْنَع ِّيِعاَزْو أْلا ِنَع ٍكَرﺎَبُم ُنْبا ﺎَن ثَّد

لﺎ ق ةَرْيَرُه يِب أ ْنَع

ِب ُحَتْفُي ﺎ ل ٍلﺎَب يِذ ٍرْم أ ْو أ ٍمﺎ ل ك ُّلُك َمَّلَسَو ِهْي لَع ُهَّللا ىَّلَص ِهَّللا ُلوُسَر لﺎ ق

َّزَع ِهَّللا ِرْكِذ

ُع طْق أ لﺎ ق ْو أ ُرَتْب أ َوُه ف َّلَجَو

14

Hal-hal yang seperti inilah yang kemudian oleh Muhammad Khalimi dianggap sebagai kelemahan atau penyebab kurang baiknya suatu kitab tafsir.15 Selain itu, dipilihnya tafsir ini ketimbang tafsir-tafsir yang lain adalah

karena penulis menemukan masih sedikitnya akademisi yang melakukan penelitian terhadap tafsir ini. Penulis pun melihat adanya kesempatan untuk mengisi celah (gap) besar yang ada ini.

Berlandaskan pada permasalahan ini, penulis pribadi merasa sangat penting untuk memeriksa kembali kualitas sanad hadis yang terdapat dalam tafsir tersebut demi mengkonfirmasi kesahihan hadisnya sebagai bahan untuk mempelajari dan memahami al-Qur’an. Oleh karena itu maka penulis memberi judul penelitian ini dengan “KRITIK SANAD HADIS PADA

TAFSIR AL-RAZI KARYA UU SUHENDAR”.

13Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, h.13

14Aḥmad b. Ḥanbal, Musnad al-Imām Aḥmad b. Ḥanbal (Beirut: Muasasah al-Risālah,

2001), 14/329

15Muhammad Khalimi, “Kualitas Hadis dalam Tafsir al-Ibriz: Studi Kritik Sanad Hadis

Dalam Juz ‘Amma”. (Skripsi Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), 3

(18)

5

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, teridentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

a. Tidak ada kejelasan akan kualitas hadis yang tercantum di dalam kitab Tafsir al-Razi.

b. Tidak diketahuinya seberapa besar keakuratan pengutipan hadis yang yang tercantum di dalam kitab Tafsir al-Razi.

c. Terdapat hadis-hadis yang hanya dicantumkan terjemahannya dan tidak diketahuinya seberapa tepat penerjemahan yang diberikan terhadap hadis-hadis tersebut.

C. Pembatasan Masalah

Pada Tafsir al-Razi sendiri terdapat 133 hadis yang tercantum mulai dari surat al-Fatihah hingga surat-surat pada juz ke-30. Dari 133 hadis tersebut, 79 hadis ditulis bersamaan dengan versi matan berbahasa Arabnya, 2 hadis hanya dicantumkan transliterasinya saja, dan 52 sisanya hanya dicantumkan terjemahannya saja. Di sini penulis hanya bermaksud untuk meneliti hadis-hadis yang ditulis berdasarkan versi matan berbahasa Arabnya saja karena dirasa lebih memudahkan dalam takhrīj-nya nanti. Dari 79 hadis yang ada, penulis akan meneliti sebanyak 25 hadis saja dengan mengecualikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Namun karena setelah dilakukan takhrīj, diketahui bahwasanya di antara 25 hadis itu terdapat 5 hadis yang ternyata juga diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim, pada akhirnya penulis hanya meneliti kualitas sanad dari 20 hadis sisanya saja.

Penulis pula menegaskan bahwa yang akan dikritik hanyalah sanadnya saja tanpa mempermasalahkan matannya.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis berupaya memperjelas inti dari penelitian yang penulis

(19)

lakukan dengan kalimat tanya berikut, “Bagaimana kualitas sanad hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Razi?”

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini tidak lain adalah untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah. Dengan kata lain penelitian ini berusaha menjelaskan kualitas dari sanad hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Razi sehingga dapat diketahui apakah hadis-hadis tersebut memang layak untuk digunakan sebagai sumber penafsiran al-Qur’an. Selain itu terdapat tujuan lain dari dilakukannya penelitian ini yakni untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana Strata Satu dari Jurusan Ilmu Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, penulis juga berharap dapat memberikan manfaat nyata baik secara praktis maupun teoretis. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran yang kemudian memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu hadis. Sedangkan secara teoretis, penelitian ini bisa memberikan kejelasan tentang kualitas sanad dari hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Tafsir al-Razi kepada masyarakat luas terutama bagi mereka yang sering mempelajari kitab tafsir ini.

F. Kajian Terdahulu

Setelah melakukan pencarian terhadap kajian terdahulu, penulis hanya menemukan satu tulisan ilmiah yang penulis anggap paling relevan dalam ruang lingkup kajian Tafsir al-Razi. Tulisan tersebut merupakan sebuah skripsi yang berjudul Perbandingan Metodologi Penafsiran A. Hassan Dalam Tafsir al-Foerqon dan Uu Suhendar Dalam Tafsir al-Razi. Skripsi tersebut ditulis oleh alumni Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati

(20)

7 Bandung yang bernama Linda Dahlia pada tahun 2018.16 Pada bagian abstrak dari karyanya tersebut, Linda menjelaskan bahwa tujuan dari penelitian yang dia lakukan adalah untuk mengetahui perbedaan dan persamaan metodologi penafsiran yang digunakan oleh A. Hassan dalam Tafsir al-Foerqon dan Uu Suhendar dalam Tafsir al-Razi dengan alasan bahwa kedua orang tersebut berasal dari organisasi dan daerah yang sama. Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa keduanya memiliki persamaan dan perbedaan tersendiri dalam menafsirkan al-Qur’an. A. Hassan menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan sumber bi al-ra’yi dan metode al-ijmāli, sedangkan Uu Suhendar menggunakan sumber bi al-ma’tsūr dan metode al-tahlīli. Adapun dalam aspek corak penafsiran, Tafsir al-Foerqon dan Tafsir al-Razi sama-sama kental dengan corak kebahasaan.17

Penelitian tersebut jelas berbeda dengan apa yang hendak penulis lakukan dan kemudian tuangkan dalam tulisan ini. Perbedaannya terletak pada permasalahan yang dikaji dimana Linda berusaha mencari tahu metodologi penafsiran yang dilakukan Uu Suhendar dalam Tafsir al-Razi kemudian dibandingkan dengan Tafsir al-Foerqon karya A. Hassan, sedangkan penulis sendiri bermaksud mengkaji kesahihan sanad dari hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Razi.

Karya lain yang isinya mendekati apa yang akan penulis teliti adalah sebuah skripsi berjudul Kualitas Hadis dalam Tafsir al-Ibriz: Studi Kritik Sanad Hadis Dalam Juz ‘Amma yang ditulis oleh Muhammad Khalimi. Perbedaan yang jelas adalah skripsi ini berusaha untuk mencari tahu kualitas hadis yang terdapat dalam sebuah kitab tafsir lokal yang mana hadis-hadisnya

16Linda Dahlia, “Perbandingan Metodologi Penafsiran A. Hassan Dalam Tafsir

al-Foerqon dan Uu Suhendar Dalam Tafsir al-Razi”. (Skripsi Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2018).

17Linda Dahlia, “Perbandingan Metodologi Penafsiran A. Hassan Dalam Tafsir

al-Foerqon dan Uu Suhendar Dalam Tafsir al-Razi”. (Skripsi Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2018), iv

(21)

bercampur-baur dengan penulisannya.18 Dengan kata lain, skripsi ini berusaha untuk melakukan kritik terhadap hadis yang hanya dicantukam terjemahannya saja pada Tafsir al-Ibriz, berbeda dengan penulis yang berusaha mengkritik hadis-hadis yang masih dicantumkan versi matan berbahasa Arab pada Tafsir al-Razi.

Skripsi lain yang berjudul Studi Analisis Hadis-hadis Dalam Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah Zain bin Mustafa (Surat ad-Dhuha Sampai Surat an-Nash) dan ditulis oleh Muhammad Sholeh juga meneliti kualitas dari delapan buah hadis yang terdapat dalam tafsir tersebut dari segi sanad dan juga matannya. Kesimpulan yang didapat adalah K.H. Misbah dalam menafsirkan dari surat al-Dhuha sampai surat al-Nas menggunakan hadis yang beragam kualitasnya.

Terakhir karya ilmiah yang isinya mendekati dengan apa yang akan penulis lakukan adalah skripsi berjudul Kualitas Hadis-Hadis Dalam Tafsir al-Azhar; Study Kritik Matan Hadis Dalam Surat Yasin yang ditulis oleh Siti Masyitoh. Penelitian yang dilakukannya lebih terfokus kepada kualitas matan-matan hadis yang terdapat dalam surat Yasin dalam kitab Tafsir al-Azhar karya Hamka.

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitiannya adalah kajian kepustakaan. Langkah yang ditempuh adalah dengan mengumpulkan data dan menelaah buku-buku, catatan, dan laporan sehingga menghasilkan data yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang sudah dirumuskan.19

18Muhammad Khalimi, “Kualitas Hadis dalam Tafsir al-Ibriz: Studi Kritik Sanad Hadis

Dalam Juz ‘Amma”, 11

(22)

9 2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah kitab Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat Jeung Mufrodat Juz ‘Amma Jeung al-Fatihah (Basa Sunda) cetakan ke-3 yang terbit pada tahun 2014 dari penerbit al-Razi Lembaga Kajian al-Qur’an. Sumber sekunder terdiri dari kitab-kitab induk matan hadis semisal Sunan al-Tirmidzī, kitab-kitab takhrīj, dan kitab-kitab rijāl seperti Tahdzīb al-Tahdzīb. Lalu penulis juga menjadikan beberapa kitab ilmu hadis sebagai landasan teori untuk memahami hadis dan kaidah kesahihan sanadnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulis akan memanfaatkan metode takhrīj hadis untuk mencari hadis lain yang serupa dengan yang tercantum dalam kitab Tafsir al-Razi agar terkumpul data lengkap yang terdiri atas matan dan sanad yang jelas sebelum nantinya dianalisa kesahihannya dengan metode kritik sanad hadis. Dalam Ilmu Hadis, usaha yang demikian dinamakan dengan i‘tibār dan sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Majid Khon, terdapat lima cara yang dapat digunakan.20 Lima cara tersebut adalah sebagai berikut:

1. Takhrīj bi al-Lafẓi, adalah jenis metode yang memanfaatkan salah satu lafaz matan hadis untuk dijadikan kata kunci. Lafaz tersebut harus merupakan lafaz yang dapat di-taṣrīf. Kata kunci tersebut kemudian dicari dalam sebuah kitab khusus yang memuat indeks dimana saja hadis yang diteliti berada. Salah satu kitab khusus yang sering dipakai adalah al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāẓi al-Ḥadīts.

2. Takhrīj bi Awal al-Matan, metode ketiga hampir serupa dengan metode pertama yakni sama-sama memanfaatkan lafal matan. Perbedaannya adalah apabila pada metode pertama seseorang yang melakukan kegiatan takhrīj bebas memilih lafaz mana saja yang akan dia jadikan sebagai kata

(23)

kunci yang penting kata tersebut dapat di-taṣrīf, pada metode Takhrīj bi Awal al-Matan seseorang hanya memanfaatkan lafaz bagian awal dari sebuah matan hadis dan tidak perlu kata yang harus bisa di-taṣrīf. Kitab yang sering dimanfaatkan adalah Mu‘jam Jāmi‘ Uṣūl fi Ahādīts al-Rasūl.

3. Takhrīj bi al-Mauḍū‘i, berbeda dengan jenis sebelumnya yang memanfaatkan lafaz matan, metode ini berfokus pada apa yang menjadi topik atau bahasan dari lafaz matan hadis. Topik-topik tersebut tentu sangat beragam semisal topik tentang shalat, nikah, dan jual beli. Bila telah diketahui topik apa yang dimaksud dalam matan maka selanjutnya tinggal mencarinya dalam kitab khusus yang memuat indeks-indeks hadis yang diteliti sama seperti jenis nomor satu. Kitab yang sering dimanfaatkan dalam metode ini adalah Miftāḥ Kunūz al-Sunnah.

4. Takhrīj bi al-Rāwī al-‘Alā, seperti namanya penelusuran hadis dengan metode ini dilakukan dengan memanfaatkan nama perawi pertama dalam sanad yang dalam hal ini berarti nama sahabat yang meriwayatkannya. 5. Takhrīj bi al-Ṣifah, pada metode terakhir ini apabila seseorang ingin

melakukan takhrīj sebuah hadis maka dia harus mengetahui status hadis tersebut baru kemudian mencari dalam kitab-kitab yang memuat hadis-hadis dengan status yang diketahui. Misal, bila ternyata hadis-hadis yang ingin di-takhrīj adalah hadis yang berstatus mutawātir maka penulis tinggal mencarinya dalam kitab-kitab yang secara khusus memuat hadis-hadis mutawātir seperti al-Azhār al-Mutanātsirah fi al-Akhbār al-Mutawātirah. Lima metode tersebut tidak perlu digunakan seluruhnya melainkan salah satu saja sudah cukup. Penulis sendiri dalam penelitian ini bermaksud menggunakan metode pertama karena merasa apabila menggunakan metode tersebut, data yang akan terkumpul jumlahnya akan lebih banyak ketimbang memakai metode-metode yang lain. Hal ini karena ada banyak kata kunci

(24)

11 yang bisa digunakan untuk melakukan pencarian. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan penulis pun akan menggunakan metode yang lain semisal Takhrīj bi Awal al-Matan apabila dengan cara pertama hadis yang dicari tidak dapat ditemukan.

4. Analisis Data

Setelah berhasil mengumpulkan data yang diperlukan berhasil dikumpulkan, selanjutnya penulis akan menganalisis data-data tersebut dengan menggunakan teori kesahihan sanad hadis. Syuhudi Ismail menjelaskan bahwasanya unsur-unsur kaidah kesahihan sanad terbagi menjadi lima yaitu 1) sanad hadis harus bersambung dari mulai mukharrij sampai kepada nabi, 2) semua orang yang terlibat dalam periwayatan harus bersifat ‘adil21 dan 3) ḍabit22, 4) hadis yang bersangkutan harus terhindar dari

kejanggalan, dan 5) cacat.23

Dari lima poin tersebut Syuhudi Ismail kemudian menjelaskan bahwa untuk penelitian sanad unsur-unsur tersebut bisa terbagi menjadi dua yaitu yang berhubungan dengan persambungan sanad dan yang berhubungan dengan keadaan pribadi periwayat.24 Untuk masalah persambungan bisa dilihat dari tahun lahir dan tahun kematian seorang periwayat. Jikalau jarak tahun kematian antara satu periwayat dengan periwayat berikutnya tidak terlalu jauh, maka hal itu menyiratkan adanya kemungkinan bertemu antara kedua orang tersebut. Selain tahun bisa pula dilihat dari tempat-tempat yang pernah disinggahi oleh seorang periwayat selama masa hidupnya, bila terdapat kesamaan tempat maka proses terjadinya hubungan guru dan murid

21Namun dalam ilmu hadis ‘adil bermakna orang muslim, berakal, dewasa, bebas dari

sebab-sebab kefasikan, dan rusaknya martabatnya. Lihat: Abdul Mannan al-Rasikh, Kamus Istilah-istilah Hadits (Jakarta: Darul Falah, 2012), 131

22Namun dalam ilmu hadis dabit bermakna seorang perawi kuat hafalannya ketika

meriwayatkan hadis dengan hafalan yang sempurna tanpa keraguan. Lihat: Abdul Mannan al-Rasikh, Kamus Istilah-istilah Hadits, 122

23M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),

61

(25)

menjadi mungkin sehingga periwayatannya dapat dikatakan bersambung. Sedangkan untuk masalah keadaan pribadi periwayat (apakah periwayat tersebut ‘adil dan ḍabit atau tidak) bisa dilihat dari komentar kritikus yang mengenal periwayat yang bersangkutan. Komentar yang diberikan pun bisa beragam mulai dari komentar positif yang menyatakan bahwa periwayat yang tengah diteliti adalah orang yang ‘adil dan ḍabit sampai komentar negatif yang bisa membuat periwayatannya tertolak. Tidak jarang pula terdapat perbedaan penilaian antara para kritikus dimana sebagian menilai bahwa periwayat yang diteliti adalah tsiqah sedangkan yang lain berkata sebaliknya. Apabila hal ini terjadi maka penulis akan menggunakan kaidah jarh lebih didahulukan daripada ta‘dil. Namun itu semua juga bergantung pada peringkat kritikus itu sendiri. Apabila yang menilai jarh adalah kritikus yang longgar maka penulis akan langsung berpegang pada pendapatnya. Akan tetapi apabila yang menilai jarh adalah kritikus yang ketat penilaiannya, maka penulis akan melakukan pertimbangan terlebih dahulu dengan melihat pendapat kritikus lainnya. Dengan demikian apabila sebuah rangkaian periwayat hadis itu bersambung dan masing-masing dari periwayat yang terdapat dalam rangkaian tersebut bersifat ‘adil dan ḍabit maka hadis tersebut sanadnya sahih.

Adapun untuk masalah tata cara penulisan, skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017 yang dibuat oleh tim penyusun dari LPM (Lembaga Penjamin Mutu) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Langkah-langkah Aplikatif Penelitian

Agar lebih mudah memahami perjalanan penulis dalam menilai kesahihan sanad hadis, berikut ini penulis paparkan langkah-langkah yang akan dilakukan pada saat melakukan kritik sanad:

(26)

13 a. Mencari seluruh hadis yang akan dikritik pada sumber aslinya dengan memanfaatkan metode Takhrīj bi al-Lafẓi sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

b. Mengutip hadis-hadis yang telah ditemukan secara lengkap beserta sanadnya dan mengumpulkannya menjadi satu.

c. Membuat skema sanad atau jalur periwayatan berdasarkan pada sanad-sanad yang telah berhasil dikumpulkan.

d. Satu persatu periwayat akan dikritik dengan cara mencari tahu ketersambungan antarperiwayat serta menentukan apakah periwayat tersebut ‘adil dan ḍabit berdasarkan pada penilaian kritikus sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

e. Menyimpulkan apakah jalur sanad yang diteliti adalah sahih atau tidak berdasarkan pada hasil langkah ke-4.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan sekaligus menyajikan gambaran yang jelas mengenai sistematika penulisan yang terdapat di dalam skripsi ini, maka pada bagian ini penulis membagi pembahasannya ke dalam beberapa bagian ataupun yang penjelasannya adalah sebagai berikut:

Bab I atau bab pertama merupakan bagian pendahuluan yang mengungkapkan hal-hal yang melandasi penelitian. Hal-hal tersebut terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II atau bab kedua merupakan bagian yang menjelaskan tentang diskursus sanad hadis. Pada bagian ini akan dibahas mengenai sejarah kritik sanad secara umum, teori kesahihan sanad hadis, dan penggunaan hadis dalam penafsiran al-Qur’an.

(27)

Bab III atau bab ketiga merupakan bagian yang menjelaskan profil dari penulis Tafsir al-Razi mulai dari riwayat pendidikan sampai karya-karyanya dan karakteristik dari Tafsir al-Razi serta hal lainnya yang bersangkutan.

Bab IV atau bab keempat berisi hasil dari kegiatan takhrīj hadis yang dilakukan terhadap hadis-hadis yang terdapat dalam Bab ini juga sekaligus penentuan kualitas sanad dari hadis-hadis yang di- takhrīj yang disesuaikan dengan teori kesahihan sanad hadis.

Bab V atau bab terakhir adalah bab yang menjadi penutup skripsi ini. Bab ini terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban atas pertanyaan pada rumusan masalah. Jawaban tersebut didapat atas analisis yang dilakukan pada bab sebelumnya. Selain kesimpulan, bab ini pun berisi saran-saran yang didasarkan pada pembahasan di atas.

(28)

15

BAB II

DISKURSUS SANAD HADIS A. Sejarah Kritik Sanad Hadis

Sanad secara bahasa memiliki arti yang bisa dijadikan pegangan atau al-mu‘tamad. Selain itu sanad juga bisa berarti sesuatu yang terangkat dari tanah atau mā irtafa‘a min al-arḍi. Sedangkan secara istilah sanad adalah silsilah para periwayat yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumber pertamanya.1

Menurut Mustafa Azami, praktek pemakaian sanad sendiri sebenarnya telah ada bahkan sebelum Islam datang. Hal ini bisa terlihat dari sumber tertulis seperti kitab Yahudi, Mishna dan dalam penukilan syair-syair jahiliyah. Meskipun begitu, alasan dan urgensi dari penggunaan sanad itu sendiri pada praktek-praktek tersebut tidak diketahui secara jelas. Urgensinya sendiri baru mulai terlihat pada saat dipakai dalam periwayatan hadis.2

Yang melatarbelakangi munculnya kritik sanad hadis adalah karena munculnya pemalsuan hadis baik secara disengaja atau tidak. Maksud disengaja adalah orang-orang tertentu dengan kehendak sendiri membuat-buat sebuah kalimat yang kemudian dikatakan bahwa itu berasal dari Rasulullah Saw, sedangkan tidak disengaja biasanya terjadi akibat buruknya hafalan periwayat atau tidak hati-hatinya mereka dalam menerima, menjaga, dan meriwayatkan suatu hadis. Orang-orang yang dengan sengaja membuat hadis palsu memiliki motif yang beragam mulai dari motif politik untuk mengunggulkan kelompoknya sendiri, rasa benci terhadap Islam yang berasal dari kaum zindik, sikap fanatik terhadap suatu pihak, rasa ingin diperhatikan

1Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1998), 148

2Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta:

(29)

dari para pendongeng, mendekatkan diri pada penguasa, atau bahkan karena semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari keilmuan yang mumpuni.3

B. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis

Untuk menilai kesahihan suatu hadis, para ulama telah merumuskan suatu kaidah khusus tersendiri. Salah satunya adalah kaidah kesahihan sanad yang digunakan untuk menyeleksi dan menentukan kualitas hadis. Dalam kaidah kesahihan sanad ini terdapat kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh suatu sanad agar dapat dikatakan sahih. Kriteria-kriteria tersebut antara lain bersambungnya sanad, periwayat yang ‘adil dan ḍabit, dan terhindar dari syadz dan ‘illat.

1. Bersambungnya Sanad

Bersambungnya sanad berarti masing-masing periwayat yang terdapat dalam sanad terbukti menerima hadis dari periwayat sebelumnya yang paling dekat. Hal itu terjadi dari mulai mukharrij sampai kepada sahabat yang menerima hadisnya langsung dari Nabi Muhammad Saw. Apabila terdapat bukti yang menyatakan bahwa ada salah satu atau lebih periwayat yang tidak menerima hadis dari periwayat sebelumnya, maka jalur sanad pun dianggap terputus dan bisa membuat sanad hadis tersebut dianggap daif. Terdapat tiga langkah yang biasa digunakan para ulama hadis untuk mengetahui apakah sebuah sanad itu bersambung atau tidak, sebagai berikut:

a. Mendaftarkan setiap nama periwayat yang terdapat di dalam sanad secara rapi dan berurutan.

b. Mencari identitas masing-masing periwayat mulai dari nama lengkap, tahun lahir dan wafatnya, komentar kritikus terhadap mereka, tempat-tempat yang pernah disinggahi, hingga siapa saja yang pernah menjadi guru dan murid mereka. Semua itu dilakukan demi mengetahui apakah para periwayat itu adalah

(30)

17 orang yang ‘adil dan ḍabit serta apakah antara para periwayat yang berdekatan pernah ada kesamaan zaman maupun lokasi hidup atau bahkan pernah benar-benar terjadi hubungan guru dan murid antara masing-masingnya.

c. Meneliti kata-kata yang menjadi penghubung antara para periwayat seperti ḥaddatsanā, akhbaranā, dan kata-kata yang lain.4

2. Periwayat ‘Adil

‘Adil bermakna orang muslim, berakal, dewasa, bebas dari sebab-sebab kefasikan, dan rusaknya martabatnya.5 Menurut Syuhudi Ismail, terdapat beberapa cara yang telah dirumuskan oleh para ulama untuk mengetahui apakah seorang periwayat itu ‘adil atau tidak, antara lain:

a. Berdasarkan pada popularitas yang dimiliki seorang periwayat di kalangan ulama hadis.

b. Berdasarkan pada penilaian kritikus periwayat hadis.

c. Dengan penerapan kaidah jarḥ wa ta‘dil yang biasanya dilakukan apabila terjadi perbedaan penilaian yang diberikan dari para kritikus terhadap satu orang periwayat yang sama.6

3. Periwayat Ḍabit

Ḍabit bermakna seorang periwayat yang kuat hafalannya ketika meriwayatkan hadis dengan hafalan yang sempurna tanpa keraguan.7 Cara untuk menetapkan ke-ḍabit-an seorang periwayat antara lain adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan kesaksian ulama yang mengenal periwayat itu.

4M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan sanad hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan

pendekatan ilmu sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), 131-132

5Abdul Mannan al-Rasikh, Kamus Istilah-istilah Hadits, 131

6M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan sanad hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan

pendekatan ilmu sejarah, 139

(31)

b. Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat lain yang berasal dari periwayat yang sudah tidak diragukan lagi ke-ḍabit-annya.

c. Apabila seorang periwayat pernah mengalami kekeliruan saat meriwayatkan dan hal itu sebenarnya sangat jarang terjadi, maka periwayat tersebut masih bisa dinyatakan ḍabit. Namun bila ternyata hal itu sering terjadi maka tidak lagi bisa dikatakan ḍabit.8

4. Terhindar dari Syadz

Syadz atau dalam bahasa Indonesia biasanya disebut kejanggalan merupakan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikernukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah juga.9

Secara umum ulama hadis menganggap syadz adalah yang sulit untuk diteliti. Hal ini bukannya tanpa sebab melainkan karena syadz bisa saja terdapat di dalam hadis yang sanadnya sudah dianggap sahih karena sanadnya bersambung dan para periwayatnya ‘adil dan ḍabit. Syadz baru dapat diketahui setelah membandingkan seluruh sanad yang memiliki matan hadis yang sama.10

5. Terhindar dari ‘Illat

‘Illat, atau terkadang juga disebut kecacatan, dalam Ilmu Hadis adalah suatu penyakit samar-samar yang dapat menodai kesahihan suatu hadis.11 ‘Illat yang dimaksud pada bagian ini bukanlah ‘illat yang disebabkan oleh masalah yang terlihat jelas seperti periwayat yang tertuduh dusta atau

8M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan sanad hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan

pendekatan ilmu sejarah, 141

9Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 233

10M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan sanad hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan

pendekatan ilmu sejarah, 144

(32)

19 semacamnya melainkan ‘illat tersembunyi yang dapat membuat hadis yang pada awalnya terlihat sahih menjadi tidak sahih. Sama seperti syadz, ‘illat pun tidak mudah diketahui. Ada yang berpendapat orang yang dapat mengetahui ilat suatu hadis hanyalah orang yang begitu cerdas sampai memiliki hafalan hadis yang banyak serta paham akan hadis-hadis yang dihafalnya juga memiliki pengetahuan mendalam soal tingkat ke-ḍabit-an para periwayat. Lebih-lebih ada yang berpendapat kalau diperlukan ilham untuk mengetahui ‘illat suatu hadis.12

C. Penggunaan Hadis dalam Penafsiran al-Qur’an

Hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifatnya.13 Hadis adalah sumber

kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an dan dapat pula digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an. Ini karena sumber hadis itu sendiri yakni Nabi Muhammad Saw dapat dianggap sebagai penafsir pertama al-Qur’an.14

Dalam catatan sejarah, terdapat beberapa kisah yang mendokumentasikan kegiatan Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an untuk mengarahkan umat-umatnya dalam memahami al-Qur’an. Sebagai contoh adalah kisah ketika Rasulullah Saw., menafsirkan surat Ali Imran ayat 92 sebagai berikut:

( ٌميِلَع ِهِب َهَّللا َّنِإ ف ٍءْيَش ْنِم اوُقِفْنُت ﺎَمَو نوُّبِحُت ﺎَّمِم اوُقِفْنُت ىَّتَح َّرِبْلا اوُلﺎَنَت ْن ل

92

)

Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.15

12M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan sanad hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan

pendekatan ilmu sejarah, 152

13Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005) 13

14Ahmad Hariyanto, “Tafsir Era Nabi Muhammad Saw”, Jurnal al-Tibyan 1, No. 1

(2016), 73

15al-Qur’an dan Terjemahannya, terj. T. M. Hasbi ash-Shiddiqi dkk (Jakarta: Penaung

(33)

Setelah mendengar bunyi ayat itu, seorang sahabat bernama Abu Thalhah berniat untuk menyedekahkan salah satu tanah yang dimilikinya di jalan Allah. Maka Rasulullah pun mengarahkan Abu Thalhah agar mengutamakan sedekahnya itu kepada kerabatnya terlebih dahulu.16

Pada intinya, tujuan hadis digunakan dalam penafsiran al-Qur’an tidak lain adalah untuk menjelaskan makna dari ayat al-Qur’an itu sendiri. Secara terperinci, setidaknya terdapat empat bentuk penggunaan hadis untuk menafsirkan ayat al-Qur’an. Pertama, hadis digunakan untuk mengukuhkan atau memperkuat isi kandungan al-Qur’an itu sendiri (Bayan al-Taqrir). Kedua, hadis dapat dijadikan alat untuk merinci ayat-ayat al-Qur’an yang kandungannya masih bersifat global, membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan ayat-ayat yang masih umum (Bayan al-Tafsir). Ketiga, adalah untuk mewujudkan hukum yang belum ada dalam al-Qur’an (Bayan al-Tasyri). Terakhir, hadis juga bisa berfungsi untuk menghapus hukum yang ada di dalam al-Qur’an (Bayan al-Nasakh).17

Meskipun hadis memiliki banyak fungsi yang kaitannya erat dengan penafsiran. Namun, tidak semua hadis dapat dijadikan sumber penafsiran. Menurut Husain al-Dzahabȋ, hanya hadis-hadis yang sudah dipastikan kesahihannya saja yang dapat dijadikan sumber penafsiran. Apabila terdapat sebuah penafsiran yang memanfaatkan hadis daif sebagai sumber rujukannya, maka penafsiran tersebut tertolak.18

16Ahmad Hariyanto, “Tafsir Era Nabi Muhammad Saw”, 75-76

17Isa Ansori, “Tafsir al-Qur’an dengan al-Sunnah”, Jurnal Kalam 11, No. 2 (2017),

531-535

(34)

21

BAB III

MENGENAL TAFSIR AL-RAZI UU SUHENDAR

Pada bab ini penulis akan menyoroti satu literatur tafsir yang lahir di masa modern dan masih terbilang baru dan menjadi sumber primer dari penelitian penulis. Tafsir tersebut memiliki judul lengkap Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat Juz ‘Amma & al-Fatihah (Basa Sunda) yang ditulis oleh Uu Suhendar. Uraian pada bab ini mencakup tiga sub bahasan yaitu biografi dari sang penulis kitab, alasan dibalik penulisan kitab, dan karakteristik dari Tafsir al-Razi. Dengan adanya uraian ini, diharapkan penulis akan mendapat penjelasan hal-hal yang berkaitan dengan Tafsir al-Razi secara detail yang akan berguna bagi penelitian penulis nantinya.

A. Biografi Penulis dan Alasan Ditulisnya Tafsir al-Razi

1. Rihlah Ilmiah dan Karir Uu Suhendar

Tidak banyak yang dapat penulis gali dari biografinya dikarenakan sumber informasi yang terbatas. Pada halaman belakang kitab, tepatnya setelah daftar pustaka, penulis mengetahui bahwa Uu Suhendar selaku pengarang Tafsir al-Razi adalah seorang kelahiran Tasikmalaya. Beliau lahir pada tanggal 9 Januari 1962 M.1

Beliau memulai pendidikannya dengan belajar di lembaga Pesantren Persatuan Islam 67 Benda Tasikmalaya dari mulai tingkat Madrasah Ibtidaiyah sampai dengan Madrasah Tsanawiyah. Setelah itu, beliau pun meneruskan pendidikannya di Muallimin Persatuan Islam yang terletak di Bandung dan lulus dalam kurun waktu dua tahun saja yang kemudian langsung dilanjutkan dengan berkuliah di IAIN Sunan Gunung Djati

1Uu Suhendar, Tafsir Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, (Tasikmalaya:

(35)

Bandung yang kini telah berubah status dari institut menjadi universitas. Di institut tersebut Uu Suhendar mengambil program studi Bahasa Arab. Tidak puas dengan gelar sarjana dan ilmu bahasa Arab yang telah didapatkan, lalu beliau pun mengambil program S2 di Ma‘had ‘Ulūm Islamiyah wa al-‘Arabiyah fi Indunisia milik pemerintah Arab Saudi yang ada di Jakarta. Terakhir, Uu Suhendar mendapatkan gelar doktor dari Universitas Islam Bandung dalam program studi Manajemen Pendidikan Islam.2 Melihat dari jurusan yang dipilihnya saat kuliah, sudah jelas bahwa Uu Suhendar tidak menuntut ilmu al-Qur’an dan tafsir secara formal. Biarpun begitu, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dia pernah belajar ilmu tersebut di tempat lain. Atau bisa jadi ilmu itu diperolehnya saat ia masih duduk dibangku sekolah menengah. Sehingga walaupun Uu Suhendar adalah orang yang mendalami ilmu bahasa Arab dan pendidikan, bukan berarti ia tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi seorang penafsir. Terlebih lagi ilmu bahasa Arab sendiri pun menjadi salah satu ilmu yang wajib dikuasai ketika seseorang ingin menafsirkan al-Qur’an.

Sekarang ini, beliau bekerja sebagai seorang dosen di salah satu perguruan tinggi, sibuk mengurus Majelis Ta’lim al-Razi, dan menjadi redaktur majalah Dakwah berbahasa Sunda, Bina Da’wah3 di Bandung.4

Dalam hal karya tulis, Uu Suhendar juga telah menelurkan beberapa karya lain selain Tafsir al-Razi, antara lain:

1. Qawa’idul ‘Arabiyyah al-Muyassaroh (Dasar-dasar Ilmu Nahwu dan Sharaf, Kajian Sistematis dengan contoh-contoh Aplikatif)

2Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, 281

3Majalah ini juga memiliki situs daring sendiri yang isinya membahas tiga persoalan

utama yaitu tafsir, hadits, dan toko Salah satu artikelnya yang berjudul Kajian Hadits Bahasa Sunda: TILU AMAL NU MAWA BAGJA adalah artikel yang langsung ditulis oleh Uu Suhendar. Lihat: Uu Suhendar, “Kajian Hadits Bahasa Sunda: TILU AMAL NU MAWA

BAGJA”,

(https://majalahbinadakwah.blogspot.com/2019/06/kajian-hadits-bahasa-sunda-tilu-amal-nu.html, diakses pada 16 Desember 2019)

(36)

23 2. Tafsir Tematik Lansia Dalam al-Qur’an (Panduan Hidup Sakinah

menuju Husnul Khatimah)

3. Mutiara Hadits Tarbawi (Kumpulan Kisah Edukatif dalam Hadis Nabawi)5

2. Latar Belakang Penulisan

Pada bagian pengantar kitab Tafsir al-Razi, Uu Suhendar telah menyebutkan secara gamblang setidaknya dua hal yang menjadi latar belakang mengapa beliau menulis kitab Tafsir al-Razi, dua hal tersebut adalah sebagai berikut:

a. Gempa dan Tsunami Tasikmalaya 2009

Aya kamelang jeung kahariwang nalika jadi relawan Tsunami jeung gempa bumi di wewengkon Tasikmalaya pakidulan sababaraha taun katukang; loba korban anu aral jeung subaha alatan musibah rongkah anu karandapan ngancurleburkeun pakaya anu jadi sumber kahirupan sapopoe, kituna mah teu ngabibisani lantaran hirup dipangungsian ngan ukur ngarep-ngarep bantuan anu daratang bari sekapeung mah loba disalahgunakeun. Aya tafakuraneun nalika nepi di biwir pasisir Cipatujah aya tangkal kalapa meh antel kana cai laut teu runtuh sedengkeun wangunan anu ngajungkring kabeh rata jeung taneuh teu walakaya nalika ditarajang Tsunami. Manahoreng tangkal kalapa mah boga akar laleutik tapi kereb anu nanceb kana jero taneuh sahingga nalika datang Tsunami nagen teu kepangaruhan. Lamun seug kaum muslimin mibanda akar aqidah anu kuat seperti akar kelapa tinangtu moal aya anu pindah pileumpangan ganti kayakinan sarta bakal tabah nyanghareupan tsunami jeung gempa bumi; utamana tsunami moral jeung gempa akhlak.6

“Ada rasa khawatir dan gelisah ketika menjadi relawan tsunami dan gempa bumi di daerah Tasikmalaya bagian selatan beberapa tahun kebelakang. Banyak korban yang jengkel dan tidak mau menerima keadaan karena bencana luar biasa yang terjadi telah menghancurleburkan segala kekayaan yang menjadi sumber kehidupan sehari-hari, hal itu bukan tanpa alasan sebab hidup di pengungsian hanya sekedar mengharapkan bantuan yang datang sambil terkadang banyak disalahgunakan. Ada renungan ketika sampai di bibir pesisir Cipatujah. Terdapat pohon kelapa yang walaupun menempel ke air laut namun tidak

5Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, 281

(37)

roboh sedangkan bangunan yang ngajungkring semua rata dengan tanah tidak berdaya saat diterjang tsunami. Manahoreng pohon kelapa memiliki akar yang kecil-kecil namun banyak yang menancab ke dalam tanah sehingga ketika tsunami menerjang sama sekali tidak terpengaruh. Andaikan kaum muslimin memiliki akar akidah seperti akar kelapa, tentu tidak akan ada yang berubah haluan mengganti keyakinan serta akan tabah menghadapi tsunami dan gempa bumi, terutama tsunami moral dan gempa akhlak.”

Pada tahun 2009 wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya diterjang oleh gempa berkekuatan 7,3 Skala Richter yang kemudian disusul dengan tsunami setinggi 1 meter di bagian wilayah pantai selatan di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.7 Kejadian ini pun menggetarkan hati Uu Suhendar sehingga beliau pun menjadi relawan untuk membantu orang-orang yang menjadi korban bencana tersebut. Selama menjadi relawan, ada satu hal yang menurutnya patut untuk dijadikan bahan renungan. Tatkala beliau tengah berada di pesisir pantai Cipatujah, terlihat olehnya sebatang pohon kelapa yang bagian bawahnya terendam oleh air laut akan tetapi pohon tersebut masih dapat berdiri dengan tegak dan kokoh sedangkan bangunan-bangunan buatan manusia yang terdapat setelahnya, seluruhnya rata dengan tanah. Ini bisa terjadi karena akar kelapa yang walaupun kecil dan serabut namun mampu menancap dengan kuat ke dalam tanah sehingga saat tsunami datang pohon tersebut tidak goyah. Hal ini membuatnya berfikir, andaikan manusia bisa memiliki akar akidah yang kuat seperti akar pohon kelapa tersebut, tentu manusia tersebut tidak akan goyah dalam hidupnya walaupun tsunami moral dan gempa akhlak menerjang.

b. al-Qur’an yang Terlalu Disakralkan

al-Qur’an nu jadi tatapakan hirup kaum muslimin kiwari can jadi dangdanan malah leuwih sondong dikaramatkeun, al-Qur’an dipusti-pusti dihade-hade macana malah diwaragadan ku nagara ti mimiti hamalan

7Rachmad Yuliadi Nasir, “Misteri Gempa dan Tsunami 02-09-2009”,

(www.kompasiana.com/rachmadbacakoran/54fef63fa33311c72750fa1c/misteri-gempa-dan-tsunami, diakses pada 06 September 2019)

(38)

25 pilemburan nepi ke istana tapi can ngabukur dina catur can ngabukti dina ngaronjatkeun ajên diri. Diantara sababiyahna mungkin kawatesna tafsir al-Qur’an anu ditulis ku basa anu bisa langsung ka harti utamana ku kaum muslimin anu aya di pilemburan. Ngulik eusining al-Qur’an jeung ngaguar ma’nana nepi ka betah ngamalkeunana lir ibarat urang ngali sumur, beuki mindeng sumur dijeroan maka bakal leuwih loba cai hikmah anu ditimba tina jero sumur al-Qur’an. Lamun ngali sumur ngan ukur make linggis jeung balicong bakal kawates cai anu kaluar tapi lamun ngali make elmu jeung teknologi bakal nimbus ratusan meter kajero sarta cai bakal ngaburial sorangan. Ngali eusining al-Qur’an make pirang-pirang pendekatan elmu pangaweruh bakal leuwih euyeub cai hikmah anu kabolêkêrkeun sarta bakal kadal ucap seperti anu pernah dikedalkeun ku Malaikat :”Subhānaka lā ‘ilma lanā illa mā’allamtanaā Innaka Anta al-‘alīmu al-Hakim” (Maha suci gusti abdi sadaya rumaos tuna elmu, kajabi anu parantos diwulungkeun ku Gusti ka abdi. Satemana Gusti nu Maha Uninga tur Maha Wijaksana).8

“al-Qur’an yang menjadi pijakan hidup kaum muslimin di masa sekarang belum menjadi dandanan malah cenderung dikeramatkan. al-Qur’an dipelihara dan dibaca dengan baik sampai dibiayai oleh negara dari mulai wilayah terkecil hingga ke istana tapi belum bisa meresap ke dalam hati dan belum bisa meningkatkan nilai diri. Beberapa hal yang menjadi sebabnya mungkin terbatasnya tafsir al-Qur'an yang ditulis dengan bahasa yang langsung bisa dimengerti terutama olah kaum muslimin yang ada di wilayah pedesaan. Menilik isi al-Qur'an dan membongkar maknanya sampai terbiasa mengamalkannya itu bagaikan kita menggali sumur, lebih sering sumur digali maka lebih banyak air hikmah yang ditimba dari dalam sumur al-Qur'an. Apabila menggali sumur hanya sekedar menggunakan linggis dan balincong, air yang keluar pun akan terbatas, akan tetapi kalau menggali dengan ilmu dan teknologi, akan mampu menembus ratusan meter ke dalam sertai air pun akan menyembur sendiri. Menggali isi al-Qur'an dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu pengetahuan akan lebih kaya air hikmah yang terkuak serta akan terjaga ucapan seperti yang pernah diucapkan oleh Malaikat: Maha suci Engkau, kami merasa tidak berilmu, kecuali yang telah Engkau berikan kepada kami. Sungguh Engkah Maha Mengetahui serta Maha Bijaksana.”

Alasan kedua mengapa Uu Suhendar tertarik untuk menulis kitab tafsir berbahasa Sunda adalah karena beliau merasa bahwa orang-orang pada

(39)

zaman sekarang begitu menyakralkan al-Qur’an dengan merawatnya baik-baik hingga hati-hati dalam membacanya agar tidak terjadi kesalahan, akan tetapi baginya orang-orang itu belum mampu meresapi dan mempraktekkan ajaran yang dikandungnya. Uu Suhendar beranggapan hal ini mungkin diakibatkan oleh terbatasnya tafsir al-Qur’an yang ditulis dengan bahasa yang bisa langsung dimengerti oleh orang-orang tersebut terutama orang-orang yang tinggal di daerah perkampungan.

Maka berlandaskan pada dua hal tersebut, akhirnya beliau pun berpikir untuk membuat sebuah kitab tafsir berbahasa Sunda yang dapat membantu manusia menguatkan akar keimanannya sehingga kemudian beliau tulislah kitab Tafsir al-Razi.

B. Karakteristik Tafsir

Untuk mendapatkan gambaran metode mengenai karakteristik dari Tafsir al-Razi, maka penulis membagi pembahasan pada poin ini menjadi tiga sub poin yang meliputi sumber, metode, dan corak yang ada pada tasir tersebut. Meskipun sebenarnya pada penelitian terdahulu yang berusaha membandingkan metodologi penafsiran yang digunakan antara A. Hasan dan Uu Suhendar menyimpulkan bahwasanya Tafsir al-Razi menggunakan sumber bi al-ma’tsūr dengan metode al-tahlīli dan corak bahasa.9 Namun sayangnya penulis tidak dapat menemukan penjelasan dari kesimpulan ini dikarenakan penulis hanya mendapatkan separuh dari tulisan tersebut dari mulai cover awal sampai bab satu saja. Sementara untuk bab dua hingga akhir hanya dapat diakses oleh pengguna terdaftar mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati. Dengan demikian, penulis akan berusaha mencoba mencari

9Penelitian tersebut dilakukan oleh Linda Dahlia pada tahun 2018 M yang ia tuangkan

dalam bentuk skripsi sebagai syarat untuk kelulusannya dari Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini telah penulis uraikan sebelumnya pada bab pertama.

(40)

27 alasan kesimpulan itu dengan melakukan pembacaan sendiri terhadap Tafsir al-Razi.

1. Sumber (Manhaj) Penafsiran

Sumber penafsiran terbagi tiga yakni bi ra’yi, bi ma’tsūr, dan bi al-isyāri dengan pengertian masing-masing sebagai berikut:

a. Tafsir bi al-ra’yi

ِهِمْه ف ى لَع ىَنْعم لا ِنﺎَيَب يِف ُرِس فُلما ِهْيِف دمتعتَي ﺎَم َوُه يْأَرلﺎِب ُرْيِسْفَّتلا

ىْأَّرلﺎِب هِطﺎَبْنِتْساَو صﺎ لخا

دَرَجُلما

10

Tafsir bi al-ra’yi ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya, mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada nalar semata.11

b. Tafsir bi al-ma’tsūr

Tafsir bi al-ma’tsūr ialah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan berdasarkan kepada penjelasan al-Qur’an, nabi, para sahabat melalui ijtihadnya, dan tabi‘īn. 12

c. Tafsir bi al-isyāri

Penafsiran dengan sumber ini adalah penafsiran al-Qur’an yang melibatkan kapasitas sufistik atau tasawuf. Mencoba memahami ayat-ayat dengan mengungkapkan makna atau isyarat di balik makna zahir ayat.13

Manhaj yang digunakan oleh Uu Suhendar dalam Tafsir al-Razi bisa dibilang adalah manhaj bi al-ma’tsūr. Pada setiap ayat yang ditafsirkan setidaknya selalu ada satu ayat yang berasal dari surat lain atau hadis yang

10Manna al-Qathan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1995),

342

11Abdullah Izzin,”Standar Penilaian Mamduh dan Mazmum Tafsir bi al-Ra’yi (Kajian

Terhadap Kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun Karya Muhammad Husein al-Zahabi)”. (Tesis, Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2017), 37

12Rosihon Anwar dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 149

(41)

kemudian digunakan untuk memberi penafsiran tambahan. Sebagai contoh, berikut ini adalah beberapa hadis dan ayat al-Qur’an yang beliau manfaatkan untuk menafsirkan surat al-Fatihah:

Ayat 1

Dina hadis riwayat Ahmad Rasul ngadawuh: Satiap lampah nu teu dimimitian ku Asma Allah moal kapanggih ganjaranana.14

“Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasul bersabda: Setiap tindakan yang tidak diawali dengan Nama Allah tidak akan ada pahalanya.”

Dina hadis riwayat Baihaqi Rasul ngadawuh :’ Jalma nu mibanda kanyaah ka sasama nu bakal dipikanyaah ku Allah, prak, geuara pikanyaah sakumna mahluk nu aya di bumi tinangtu bakal dipikanyaah ku Nu di langit.15

“Dalam hadis riwayat al-Baihaqi, Rasul bersabda: “Manusia yang menyayangi sesamalah yang akan disayangi Allah. Oleh karena itu, segeralah sayangi sesmua makhluk yang ada di bumi, tentu akan disayangai oleh yang ada di langit.”

Ayat 2

Sakumaha dijentrekeun dina QS. an-Nahl (16):8 :” Jeung Mantena (Allah) nu geus nyiptakeun makhluk nu maraneh teu arapal.16

Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nahl (16):8: “Dan Dialah (Allah) yang telah menciptakan makhluk yang kalian tidak ketahui.”

Ayat 3

Dina QS Luqman 12 :” Sing saha jalma anu syukur maka buah tina syukurna teh keur dirina sorangan sarta sing saha jalma anu kufur maka satemena Allah Maha Beunghar (teu butuh ka nu sejan) tur Maha Pinuji.17

“Dalam surat Lukman ayat 12: “Barang siapa yang bersyukur maka hasil syukurnya tersebut adalah untuk dirinya sendiri serta barang siapa yang

14Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, 13

15Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, 13

16Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, 14

(42)

29 kufur maka memang Allah Maha Kaya (tidak perlu yang lain) serta Maha Terpuji.”

Ayat 4

Dina QS Azzuhruf:85 dijentrekeun yen karajaan atawa kakawasan Allah ngalimpud langit jeung bumi sarta diantara kaduana.18

“Dalam surat al-Zukhruf ayat 85 dijelaskan bahwa kerajaan atau kekuasaan Allah itu meliputi langit dan bumi serta antara keduanya.” Ayat kaopat ngadorong sangkan ati-ati dina ucap jeung lampah ulah patoja’iyah jeung Syari’ah lantaran amal sagede siki sasawi nu hade jeung nu goreng bakal puguh balitunganana. (QS Al-Zalzalah 99:7-8)19

“Ayat keempat mendorng agar hati-hati dalam berkata dan bertindak jangan munafik dan syariah sebab amal sebesar biji zarrah yang baik dan yang buruk belum tentu perhitungannya.”

Ayat 6

Leuwih dijentrekun deui dina QS Surat Maryam 76: “ Jeung Allah bakal mancegkeun pituduh ka jalma nu geus meunang pituduh.20

Lebih dijelaskan lagi dalam surat Maryam ayat 76: “Dan Allah akan menguatkan petunjuk kepada orang yang telah mendapat petunjuk.” Rupa-rupa pamadegan jeung jalan kahirupan sakabehna kudu ngamuara kana Shirath Al-Mustaqīm sakumaha dijentrekeun dina Qs Al-Maidah :16 : “Ku eta kitab, Allah ngabingbing jalma-jalma nu nuturkeun karidloanana kana Subulassalam (jalan-jalan kasalametan) jeung (ku eta kitab) Allah ngaluarkeun jalma-jalma ti nu pararoek ka nu caang kalayan izin Mantena jeung ngabingbing maranehanana kana Shirot almustaqim (jalan nu lempeng)”.21

“Bermacam-macam pendapat dan jalan kehiduppan seluruhnya harus bermuara kepada ṣirāṭ al-Mustaqīm sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 16: “Dengan kitab tersebut, Allah membimbing orang-orang yang mengikuti keridhaannya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab tersebut) Allah mengeluarkan orang-orang dari kegelapan menuju

18Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, 14-15

19Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, 15

20Uu Suhendar, Tafsir al-Razi Kasaluyuan Surat, Ayat jeung Mufrodat, 16

Referensi

Dokumen terkait

Analisa tanah setelah penelitian menunjukkan bahwa pada P0 sampai P9 memiliki kandungan Nitrogen dalam kategori rendah sekali sampai kategori rendah, P dan K dalam kategori

(2000) menunjukkan bahwa benih tisuk yang dikecambahkan pada subsrat pasir memiliki daya berkecambah paling rendah jika dibandingkan dengan substrat vermikulit,

Pada proses penyembuhan luka infeksi untuk kelima perlakuan dapat dilihat perbedaan dimana luka infeksi pada hari ke-7 untuk salep ekstrak daun Binahong (SEDB) 20%,

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh penulis, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan tulisan yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul

Hasil penelitian ini adalah penyimpanan entres jati pada media pelepah pisang ambon selama enam hari mampu mempertahankan persentase keberhasilan okulasi sebanyak 66,67%,

GGE biplot menghasilkan visualisasi grafik yang menggambarkan penampilan genotipe pada lingkungan spesifik, adaptablitas genotipe pada beberapa lingkungan

sama dengan Gunung T’ien-t’ai.” Dalam surat kepada Tuan Ueno, Ia menuliskan, “Ini adalah tempat kediaman yang sangat bagus bagi seorang pelaksana Saddharma Pundarika

Kegiatan belajar mengajarnya sama dengan pada gambar di atas namun rintangan kotaknya ditambah menjadi tiga lapis ke depan. Tujuan pembelajaran ini adalah