• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TRANSFER

5.1 Implementasi Kebijakan Transfer Pricing Documentation

5.1.2 Birokrasi

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Bila faktor sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan , dan implementasi dari suatu kebijakan masih gagal kita dapat melihat apakah struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Kebijakan transfer pricing documentation membutuhkan kerjasama banyak orang, serta sumberdaya yang banyakd dan mengerti tentang transfer pricing akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.

Struktur birokrasi Direktorat Jendral Pajak terkait dengan karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan Wajib Pajak dalam menjalankan kebijakan. Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana, karena biroksrasi merupakan salah satu unsur penting dalam pengimplementasian suatu kebijakan. Secara sadar maupun tidak sadar dalam suatu birokrasi terjadi bentuk-bentuk organisasi untuk suatu kesepakatan kolektif yang terkadang sengaja dibentuk untuk menjalankan suatu kebijakan ini.

Bicara faktor birokrasi menurut Edward III, hal terpenting yang perlu dibahas ketika membahas struktur birokrasi dalam pelaksaan kebijakan ini

yaitu mengenai Standard Operating Procedures (SOP) dan Fragmentation. Adanya SOP atau petunjuk pelaksanaan harus dibuat secara sederhana dan tidak menyulitkan aparat pelaksana dalam menjalankan suatu kebijakan tanpa mengurangi makna secara keseluruhan. Fregmentasi dalam hal ini maksudanya adalah penyebaran tanggung jawab dalam melaksanakan tugas yang melibatkan unit di luar organisasi. Kelemahan fregmentasi birokrasi usaha adalah di mana para otoritas pajak dengan alasan priorotas dari organisasi masing-masing mendorong tindakan untuk menghindari koordinasi dengan organisasi yang lain. Padahal penyebaran wewenang dan sumber untuk melaksanakan kebijakan komplek membutuhkan koordinasi satu dengan yang lain.

Secara resmi Direktorat Jendral Pajak dalam implementasi kebijakan transfer pricing documentation mengacu pada peraturan yang paling baru di PER-32/PJ/2011. Dalam pelaksanaannya para Administrasi Pajak bekerja sama dengan Wajib Pajak dan konsultan menjalankan kewajibannya demi memaksimalkan berjalannya kebijakan ini. Sruktur organisasi-organisasi yang melaksanakan kebijakan transfer pricing documentation mempunyai pengaruh penting dalam mengimplementasikannya kebijakan ini.

Salah satu dari aspek-aspek strukturan paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja yang ukurannya berdasarkan Standard Operating Procedures (SOP) tadi. Prosedur-prosedur yang ada untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum digunakan dalam struktur birokrasi Direktorat Jendral Pajak dan prosedur dari Wajib Pajak. Dengan menggunakan SOP, para Wajib Pajak dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pihak Administrasi Pajak dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, dan pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibelitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Kurangnya sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan transfer pricing documentation ini seharusnya membantu dalam menjelaskan penggunaan SOP yang berulang-ulang.

Para implementator masih kurang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah transfer pricing di Indonesia, hal ini disebabkan juga karna kurangnya ilmu pengetahuan mengenai transfer pricing. Keibjakan yang dibuat para otoritas pajak seharusnya tidak terkait hanya masalah mengatur tentang masalah kewajaran dalam bertransaksi antar perushaan yang memiliki hubungan istimewa, tetapi ada baiknya juga dibuat aturan prosedur-prosedur yang jelas. Prosedur yang diharapkan dari Wajib Pajak ketika penanganan mengenai isu transfer pricing, pengawasan sampai penyelesaiannya. Sebaiknya, apabila para implementator mengandalkan prosedur-prosedur biasa yang menyederhanakan pembuatan keputusan dan menyesuaikan tanggung jawab program dengan sumber-sumber yang ada.

Selain cara-cara yang disesuaikan dengan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, pemakaian waktu dan pemborosan dapat menghambat implementasi. Setiap komponen dalam sistem yang harus menjelaskan target apa yang ingin dicapai dari hasil kebijakan yang sudah dibuat. Pemborosan akan terjadi bila cara-cara yang lazim ditujukan untuk suatu tujuan yang dipertahankan selama waktu tertentu dan diterapkan dalam keadaan-keadaan di mana cara-cara tersebut sudah tidak diperlukan sama sekali. Hal ini berarti bahwa suatu cara tertentu berhasil untuk diimplementasikan dalam suatu kebijakan belum tentu berhasil jika digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan lain. SOP terkadang dapat menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk memaksimalkan suatu kebijakan. Semakin besar suatu kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi, semakin besar juga probabilitas SOP menghambat implementasi. Waktu yang lama dan perilaku yang ditentukan dengan jelas dalam undang-undang mungkin dapat membantu dakam mengatasi cara-cara lazim birokrasi yang tidak semestinya.

Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang sesuai dan kontrol yang besar dapat menyesuaikan tanggung jawab yang

baru daripada birokrasi-birokrasi yang apa adanya tidak terkontrol. Intensitas kecenderungan-kecenderungan pelaksana akan mempengaruhi pencapaian kebijakan. Para implementatir mempunyai pilihan-pilihan yang secara negative munkin dakan menimbulkan sikap menentang tujuan-tujuan dari suat kebijakan. Apabila hal ini sampai terjadi, maka persoalan implementasi akan mengundang perdebata. Selain tingkah laku yang kurang kuat mungkin dapat menyebabkan para Wajib Pajak dapat mengalihkan perhatian dan mengelak secara sembunyi-sembunyi. Sebaiknya orang dapat melihat peran pengawasan dan pelaksanaan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan efektif dari suatu implementasi.

Perhatian utama yang menitik beratkan pada kecenderungan-kecenderungan dari para implementator, perhatian menyangkut konflik cenderung juga dapat diarahkan kepada empat komponen lain dari model yang secara langsung mempengaruhi faktor ini, yaitu sumber-sumber kebijakan, komunikasi antar kantor pajak dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan lainnya. Hal ini berarti bahwa konflik kecenderungan yang mungkin terjadi meliputi semua variable model implementasi kebijakan. Direktorat Jendral Pajak sebagai pihak yang punya otoritas dan berperan penting dalam mengimplementasikan kebijakan ini dituntut melakukan tugasnya secara efektif dalam mengeluarkan peraturan kebijakan-kebijakan baru yang dapat diterapkan di Indonesia sehingga dapat berjalan di lapangan, khususnya terkait isu transfer pricing.

Sifat sturktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fregmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar di antara beberapa organisasi, sering juga terjadi desentralisasi kekuasaan yang dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan dari dibuatnya kebijakan tersebut. Kutipan wawancara dengan Bapak Arman Imran terkait sentralisasi dan desentralisasi dalam kasus transfer pricing:

“Jadi ada dua sistem yang digunakan yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Misalnya sentralisasi itu semua keputusan di tangan PT. ABC (Amerika), di Indonesia berapa, Vietnam berapa dan Papua

Nugini berapa, tahun ini harus ngapain itu semua di tangan PT. ABC. Yang kedua adalah desentralisasi, di mana tiap-tiap cabang punya otonomi sendiri. Otonomi dalam penetapan harga, menentukan target penjualan. Sehingga tiap-tiap anak perusahan yang berada di negara yang berbeda bisa bersaing untuk mendapatkan laba perusahan sebesar-besarnya.”

Birokrasi dalam suatu perusahaan juga dapat mempengaruhi praktek transfer pricing yang terjadi di Indonesia. Birokrasi sentralisasi ataupun desentralisasi yang mengakibatkan pemegang keputusan berada di negara mana, ketika suatu perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak luar negeri dan sistem yang digunakan sentralisasi maka pihak otoritas pajak harus lebih mewaspadi transaksi yang terjadi dalam hal ini. Bisa terjadi rekayasa-rekayasa harga transfer antar pihak yang memiliki hubungan istimewa ini, berbeda dengan sistem desentralisasi karena tiap negara bersaing untuk memperoleh laba yang besar. Laba yang besar juga akan mengakibatkan pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan tersebut juga akan bertambah, sehingga pemasukan negara juga akan naik.

Hal yang masih berkaitan dengan suatu birokrasi itu salah satunya adalah sumber dayanya yang masih kurang memahami lebih dalam isu transfer pricing. Jika kembali membahas faktor sumber daya dari sisi pihak Administrasi Pajak bila, semakin besar suatu birokrasi yang diisi dengan orang yang masih kurang pengetahuannya dibandingkan dengan orang yang ahli dalam kasus transfer pricing maka semakin berkurangnya juga kemungkinan suatu kebijakan itu bisa berjalan dengan semaksimal mungkin.