• Tidak ada hasil yang ditemukan

Serangkaian paket kebijakan (I s.d. VIII) dikeluarkan sejak awal September 2015 dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri nasional dan perbaikan iklim investasi di dalam negeri. Paket– paket kebijakan itu secara ringkas disajikan sebagai berikut.

1. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I dikeluarkan untuk mendorong kemudahan investasi, efisiensi industri, kelancaran perdagangan dan logistik, serta kepastian bahan baku dalam negeri

2. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II dimaksudkan untuk meningkatkan investasi berupa deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk mempermudah investasi, baik PMDN maupun PMA. Langkah–langkah yang ditempuh lebih konkrit agar dapat langsung diimplementasikan, antara lain layanan investasi 3 jam, pengurusan yang lebih cepat terhadap tax allowance dan tax holiday, penghapusan PPN transportasi, insentif di kawasan pusat logistik berikat, pengurangan pajak deposito, dan perampingan izin kehutanan.

3. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penurunan harga bahan bakar untuk peningkatan daya beli, penurunan harga bahan bakar industri untuk peningkatan daya saing, perluasan wirausaha penerima KUR, serta penyederhanaan izin pertanahan. 4. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV dimaksudkan untuk menjaga daya beli

masyarakat melalui formulasi upah buruh untuk peningkatan kesejahteraan pekerja dan pemberian kredit modal kerja untuk UKM dalam rangka mendorong ekspor serta perluasan kebijakan KUR.

5. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid V dimaksudkan untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemberian insentif pajak untuk revaluasi aset, penghapusan pajak berganda untuk real estate, properti dan infrastruktur, dan deregulasi perbankan syariah.

6. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VI dilakukan melalui pemberian insentif berupa tax allowance dan tax holiday untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kepastian izin bagi investor di bidang pengelolaan sumber daya air, serta penyederhanaan izin obat dan bahan bakunya.

7. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VII yang memberikan keringanan untuk industri padat karya, termasuk di dalamnya keringanan pengenaan PPh Pasal 21 bagi

21 karyawan perusahaan s.d. penghasilan 50 juta rupiah per tahun yang lebih 50% produknya dieskpor.

8. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VIII yang pada saat penulisan laporan ini masih baru berupa rencana yang akan diarahkan bagi peningkatan kualitas produk menghadapi daya saing pada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Secara umum apabila semua paket kebijakan itu dapat terlaksana dengan baik segera dan sesuai dengan harapan, paket kebijakan tersebut akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan daya saing Indonesia dan memicu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Namun, konteks paket kebijakan lebih bersifat jangka pendek dan hulu (dalam rangkaian proses membuka usaha) sehingga masih perlu dilengkapi dengan kebijakan lainnya yang bersifat jangka panjang dan lebih bersifat hilir.

Paket kebijakan tersebut berpotensi untuk meningkatkan konsumsi, memperbaiki iklim investasi, dan mendorong pengadaan infrastruktur. Peningkatan konsumsi dapat tercapai melalui penurunan harga bahan bakar dan kebijakan peningkatan kesejahteraan pekerja (penentuan upah minimum dan harga rumah/rusunami untuk buruh). Peningkatan investasi dapat terjadi melalui prosedur investasi yang semakin cepat, kepastian bahan baku industri, kemudahan perizinan, insentif penempatan dana di dalam negeri, penurunan bunga KUR, insentif revaluasi aset, insentif KEK, dan penyederhanaan impor bahan baku obat. Infrastruktur sendiri dapat didorong melalui penghapusan PPN alat transportasi, penghilangan pajak berganda dana investasi real estate, properti dan infrastruktur, serta jaminan hukum bagi investor pengelola sumber daya air. Selain itu, pembangunan kawasan logistik berikat diharapkan dapat mempermudah proses distribusi barang, baik dari sisi input maupun output-nya. Namun, semua kebijakan dimaksud tidak akan efektif apabila tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Untuk itu, dibutuhkan perangkat pelaksana yang tidak saja trampil, tetapi juga punya integritas, bertanggung jawab dan berkinerja tinggi. Pengelolaan SDM untuk memenuhi hal tersebut menjadi suatu keharusan di samping prinsip-prinsip leadership yang berintegritas dan bertanggungjawab yang sangat diperlukan pada semua lapisan birokrasi pemerintah.

22

Gambar 45. Ringkasan Analisis Daya Saing Industri Indonesia

Gambar 45 menjelaskan secara ringkas Analsis Daya Saing Industri Indonesia dalam riset ini. Berdasarkan hal itu, dapat dilihat bahwa paket kebijakan telah menyentuh beberapa aspek yang memengaruhi daya saing (misalnya dari sisi infrastruktur, insentif investasi pada industri yang padat modal dan bernilai tambah, serta kebijakan pengupahan). Namun, masih banyak yang dapat dilakukan khususnya untuk perspektif jangka panjang, seperti pengembangan SDM dan yang bersifat hilir seperti masalah lahan untuk industri. Secara ringkas beberapa usulan rekomendasi kebijakan antara lain adalah sebagai berikut.

1. Pengembangan human capital,

2. Promosi ekspor/investasi, baik di dalam maupun di luar negeri.

3. Integrated KEK dengan infrastruktur pendukung seperti sumber energi dan sarana dan prasarana transportasi dengan berbagai moda transportasi.

4. Regulasi ketenagakerjaan yang juga memungkinkan free entry dan free exit yang lebih mudah.

5. Regulasi terkait tenaga kerja asing (TKA) dalam rangka investasi dan peningkatan nilai tambah industri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi TK domestik.

6. Faktor leadership yang nyata dan bertanggung jawab serta memberikan contoh yang mulia, jauh dari nilai-nilai tercela seperti korupsi, penggelapan, dan ketidakefisienan.

23 7. Penentuan strategi dalam rangka free trade agreement (FTA) yang akan menguntungkan secara agregat bagi Indonesia dan berdampak positif bagi daya saing Indonesia di pasar ekspor.

8. Sistem informasi yang lengkap dan mudah diakses baik oleh pengusaha, birokrat, akademisi maupun masyarakat umum yang memuat informasi dan persyaratan yang dibutuhkan untuk ekspor produk tertentu. Kenyataan bahwa sebagian besar kesepakatan perdagangan intra-ASEAN dan FTA lainnya masih belum banyak dimanfaatkan pengusaha Indonesia memberikan sinyal bahwa informasi dan birokrasi bagi pemenuhan ketentuan ekspor itu masih rumit dan memakan biaya. Selain sistem informasi harus terdapat kelembagaan yang dapat memberikan bantuan, terutama bagi pengusaha kecil dan menengah yang berusaha memanfaatkan peluang pasar akibat kesepakatan perdagangan yang telah dibuat.

9. Terlepas dari semua itu, pelaksanaan semua insentif dan paket kebijakan tersebut haruslah konsisten dan bukan hanya sebatas retorika sehingga akan terdapat hasil nyata dari segala kemudahan yang semestinya diberikan melalui berbagai paket kebijakan itu.

24

Box 2. Retrospeksi Kebijakan Industri Substitusi Impor

Kebijakan substitusi impor (SI) adalah kebijakan perdagangan dan ekonomi yang didasarkan pada premis bahwa negara berkembang harus berusaha untuk menggantikan produk impor dengan produksi dalam negeri. Kebijakan ini memiliki tiga prinsip utama, yaitu (1) kebijakan industri yang aktif untuk mempromosikan industri dalam negeri untuk memproduksi produk pengganti yang strategis, yang sering melibatkan investasi pemerintah pada infrastruktur dan sektor strategis, serta pembentukan bank pembangunan untuk mendukung kegiatan tersebut; (2) trade barriers yang bersifat protektif (yaitu, tarif dan kuota untuk melindungi industri baru/infant industry) dan mengubah terms of trade dari pola ekspor utama tradisional; dan (3) kebijakan moneter terkait nilai tukar dengan sistem multiple exchange rate untuk mendukung import nonkompetitif terhadap barang antara dan modal. Umumnya, tahap pertama SI bersifat "mudah" karena industri yang diproteksi adalah non-durable goods dan kemudian ke tahapan "dewasa", yaitu memperdalam SI, yaitu industri memproduksi nondurable consumer goods serta barang antara dan modal.

Kebijakan SI telah dianalisis dalam sejumlah studi oleh OECD, World Bank dan NBER (Reinert and Rajan, 2010). Analisis tersebut menunjukkan bahwa ada biaya makroekonomi terkait kebijakan SI. Pertama, SI menyebabkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Kebijakan nilai tukar yang overvalued menyebabkan bias terhadap ekspor dan mendukung sektor padat modal domestik sehingga mengarah pada underutilized capital, penurunan produktivitas modal, dan kegagalan investasi yang secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan pengangguran. Kedua, SI umumnya menyebabkan impor naik lebih cepat dari yang diharapkan karena permintaan barang modal dan barang antara untuk mendukung industri baru; sebagai akibatnya, masalah neraca pembayaran justru makin mendalam sehingga daripada mengurangi ketergantungan pada input impor (energi dan teknologi), strategi SI justru semakin meningkatkan impor secara signifikan. Ketiga, SI dinilai mendorong aktivitas mencari laba yang tidak produktif (directly unproductive profit seeking) yang mengalihkan sumber daya dari kegiatan produktif menjadi tidak produktif, tetapi menguntungkan. Yang selanjutnya akan mengurangi investasi dan pertumbuhan produktivitas serta pertumbuhan jangka panjang. Keempat, di negara–negara tempat pasar domestik relatif kecil, SI menciptakan pasar yang kurang kompetitif, yang dalam beberapa kasus menyebabkan menurunnya efisiensi, pertumbuhan produktivitas, dan inovasi.

25 Pada era 1990-an dampak SI pada kinerja ekonomi dipertimbangkan kembali, khususnya dalam konteks perekonomian Asia Timur yang bertumbuh pesat. Pandangan ini berargumen bahwa SI akan mendahului kegiatan ekspor dan merupakan prasyarat untuk export led growth. Argumen pandangan ini adalah tidak mungkin suatu negara dapat mengekspor tanpa mengakumulasi kemampuan teknologi pada fase SI yang mendahuluinya. Perbedaannya adalah pada tahap

“matang” dari kebijakan SI tersebut. Pada tahap ini negara Latin Amerika

melakukan pendalaman SI yang dibarengi dengan kebijakan moneter dan fiskal. Sementara itu, negara Asia Timur, pada tahap “matang” karena tetap melakukan SI dengan penekanan pada promosi ekspor serta mengaitkan insentif dengan kinerja ekspor. Model campuran SI ini dinilai lebih berhasil jika dibandingkan dengan pendalaman SI karena pemerintah (1) dapat melakukan disiplin terhadap sektor swasta berdasarkan kinerja standar (target ekspor) sebagai ganti dari subsidi terhadap sektor swasta; (2) menghindari ketidakseimbangan eksternal dengan promosi ekspor dan menjaga nilai tukar yang kompetitif; dan (3) berhasil melakukan desain proteksi dan promosi ekspor yang mendorong proses pembelajaran teknologi dan akumulasi pengetahuan.

Sebagaimana sejumlah negara berkembang lain di Asia, Indonesia juga menempuh jalur kebijakan industrialisasi dalam bentuk substitusi impor pada tahap awal proses industrialisasinya. Namun, berbeda dengan Korea, kebijakan SI di Indonesia tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif. Perbedaannya adalah kebijakan SI Korea--yang diterapkan secara selektif pada industri tertentu--terintegrasi dengan kebijakan lainnya seperti perdagangan, sumber daya manusia, dan teknologi. Sementara itu, kebijakan selektif di Indonesia tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan komplementer dalam perdagangan, SDM, dan teknologi (Kim, 2004).

Kebijakan SI diterapkan pemerintah pada tahun 70-an, terutama setelah oil boom. Pada masa itu pemerintah menerapkan kebijakan industri SI yang dibiayai dari devisa berlimpah dari minyak. Tujuan kebijakan tersebut adalah memproduksi sendiri produk yang selama ini harus diimpor sehingga bisa menghemat devisa. Dalam perspektif industri kebijakan tersebut bertujuan untuk membangun kapasitas industri berat nasional berbasiskan proyek besar SDA. Kebijakan industri itu diwarnai dengan proteksi yang tinggi serta pembangunan industri berat yang justru bertentangan dengan keunggulan komparatif Indonesia, yaitu industri berbasiskan tenaga kerja murah (Basri, 2001 sebagaimana Damayanthi, 2008).

26 Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja, gas alam, kilang minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank–bank BUMN.

Jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1982 dan 1986 serta ambruknya nilai tukar dollar AS pasca–Plaza Accord menyebabkan pemerintah harus mencari sumber pembiayaan dalam negeri yang lain (Kim, 2004). Pemerintah kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan dan investasi asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang ditempuh adalah industrialisasi berorientasi ekspor. Fase ini ditandai dengan diluncurkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi pasar, termasuk di dalamnya deregulasi perizinan investasi dan deregulasi sektor perbankan dan keuangan yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai tukar rupiah untuk menjaga daya saing.

Industri manufaktur padat karya Indonesia mengalami masa keemasan di era ini dengan terjadinya relokasi industri dan investasi di sektor industri padat karya, seperti pakaian jadi dan sepatu dari Korsel, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Ekspor manufaktur yang menyumbang hingga 53 persen dari total ekspor (1993) nasional mencatat pertumbuhan riel hampir 30 persen per tahun pada kurun 1980– 1993. Pertumbuhan GNP di periode tersebut tercatat berkisar pada tingkat 7%, tidak terlalu jauh dari negara Asia timur lainnya.

Menurut Basri (2001), perubahan orientasi kebijakan ke arah pasar pada masa itu terjadi karena pilihan yang pragmatis–rasional dan bukan karena alasan yang bersifat ideologis.

Dalam era ‘70-an, ketika dana minyak tersedia dan peran kelompok nasionalis menguat, pilihan kebijakan yang non–pasar dan proteksionis … memiliki harga yang relatif ‘murah’ dibandingkan kebijakan pro–pasar … karena untuk memperoleh dukungan politik, pemerintah akan mengakomodasi tekanan kelompok kepentingan yang kuat pada waktu itu, sedangkan pada pertengahan 1980-an, ketika harga minyak jatuh, … pilihan kebijakan yang non-pasar menjadi relatif lebih ‘mahal’….

Liberalisasi yang terjadi waktu itu bersifat parsial dan gradual. Masih banyak proteksi industri dalam bentuk nontariff barriers dan beberapa sektor industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat. Kebijakan industrialisasi pada fase itu berorientasi untuk melakukan lompatan teknologi. Pemerintah menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi yaitu industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor transportasi

27 darat, industri telekomunikasi, sektor energi, industri rekayasa, industri mesin pertanian, industri pertahanan, dan industri pendukung yang terkait.

Argumen waktu itu adalah Indonesia tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Untuk mempertahankan kesinambungan pertumbuhan, diperlukan investasi pada teknologi canggih dan industri-industri bernilai tambah tinggi. Sumber penerimaan negara dalam jumlah besar diarahkan pada industri- industri yang mendapat proteksi dari pemerintah ini. Kebijakan proteksi dan subsidi terhadap kelompok industri strategis itu tetap dipertahankan pada masa 1985- 1997, demikian pula kebijakan substitusi impor untuk industri–industri berat.

Proteksi ini dinilai tidak berhasil karena industri–industri yang diproteksi secara ketat itu tidak menyumbang banyak pada pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan industri nasional. Hal itu berbeda dengan di Korea, industri berat di Korea mampu menjadi sektor generatif yang ikut melahirkan berbagai industri lain yang terkait dan menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja, yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi justru menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an, seperti tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dan elektronik. Namun, karena problem struktural, munculnya pesaing baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat karya yang berorientasi ekspor itu tidak mampu tumbuh secara optimal. Problem struktural yang melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah sempitnya basis produk dan basis pasar ekspor, tingginya kandungan impor, tidak adanya pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta rendahnya produktivitas (Kim, 2004).

Kim (2004) melihat problem struktural industri Indonesia sangat kompleks, lintas sektor dan kait-mengait; melibatkan pula kebijakan perdagangan, teknologi, sumber daya manusia, dan persaingan. Kesan yang ada selama ini, kebijakan pada tiap–tiap sektor berjalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk menyukseskan suatu proses industrialisasi, perlu kebijakan lintas sektoral yang saling mendukung, konsisten, dan koheren.

Kelemahan struktural industri Indonesia adalah hasil dari kegagalan kebijakan pada masa lalu yang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu sebagai berikut.

28 1) Tidak adanya kebijakan industrialisasi yang konsisten dan terintegrasi dengan kebijakan sektor lain (perdagangan, SDM, dan teknologi). Contohnya pembangungan berbasis teknologi yang ambisius tidak didukung oleh kebijakan teknologi pada tingkat industri yang harus dimotori oleh sektor swasta. Di Korea setiap kebijakan industri selalu disertai dengan kebijakan SDM dan pengembangan teknologi jangka panjang yang dikoordinasikan dalam framework pembangunan berjangka 5 tahun.

2) Kegagalan strategi industri yang dimotori perusahaan pemerintah. Kelemahan perusahaan pemerintah adalah adanya inefisien, korupsi, perilaku rent–seeking yang selanjutnya menyebabkan proteksi industri dalam jangka panjang dan merusak perkembangan sektor swasta.

3) Kegagalan dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM), kegiatan riset dan pengembangan (R&D) swasta. Mengingat kebijakan industri pemerintah ditujukan pada 10 industri strategis, dukungan dana untuk perusahaan pemerintah dan swasta di sektor lain lebih terbatas sehingga menyebabkan menurunnya pembiayaan bagi pusat riset dan laboratorium pengujian pendukung sektor swasta. Selain itu, tidak ada insentif fiskal untuk mendorong kegiatan inovatif pada perusahaan swasta.

4) Kegagalan dalam mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM). Ekonomi pasar hanya dapat berkembang jika disertai dengan pertumbuhan UMKM yang sehat. UMKM tidak hanya merupakan sumber penyedia lapangan pekerjaan, tetapi juga sumber penting untuk inovasi dan kompetisi. UMKM di Korea terhubung dengan industri manufaktur dalam sistem subkontrak yang menandakan hubungan antar industri yang erat. Sementara itu, di Indonesia sistem subkontrak antara UMKM dan industri besar belum berkembang. UMKM umumnya hanya menyediakan permintaan konsumen akhir dan bukan menyediakan input untuk perusahaan besar. Sebagai hasilnya, hubungan antarindustri sangat lemah sehingga menghambat pertumbuhan industri supply yang cost effective.

Sumber:

Kim, Chuk Kyo (2004). Industrial Development Strategy for Indonesia: Lessons from Korean Experience. Policy Recommendation Paper for Korea

Development Institute (KDI) and Korea International Cooperation Agency (KOICA).

29 Reinert, Kenneth A. and Ramkishen S. Rajan, eds., 2010. The in Princeton

Encyclopedia of the World Economy. Princeton and Oxford: Princeton University Press.

Damayanthi, Vivin Retno, 2008. Proses Industrialisasi Di Indonesia Dalam

Prespektif Ekonomi Politik. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 2 No.1 pp. 68–89.

30

Box 3. Studi Kasus Strategi Kebijakan Sektoral

1. Industri TPT

Pakaian merupakan salah satu industri ekspor tertua dan terbesar serta yang paling lazim. Industri tersebut merupakan batu loncatan untuk pembangunan nasional dan sering kali berperan sebagai industri pemula bagi negara yang terlibat dalam industrialiasi yang berorientasi ekspor karena biaya tetap yang rendah dan penekanan pada manufaktur padat karya. Secara historis, ekspansi global industri pakaian didorong oleh kebijakan perdagangan. Industri pakaian merupakan salah satu industri yang paling dilindungi dari semua industri, mulai dari subsidi pertanian pada bahan input (kapas, wol, dan rayon) serta sejarah panjang kuota berdasarkan general agreement on tariff and trade dalam MFA dan perjanjian penerusnya di bawah WTO, The Agreement on Textiles and Clothing (ATC).

Struktur dari rantai nilai pakaian (apparel value chain) dapat digambarkan seperti smile curve yaitu aktivitas yang bernilai tambah tertinggi berada di tahap praproduksi (R&D dan desain) dan pascaproduksi (pemasaran merk, logistik, dan jasa) dari proses produksi. Produksi aktual dari pakaian, yaitu penciptaan pekerjaan banyak terjadi, telah menjadi sangat kompetitif, terkonsentrasi, dan selalu terpapar tekanan beban biaya. Tahap-tahap utama dari peningkatan ekonomi (economic upgrading) dalam rantai nilai pakaian adalah sebagai berikut.

1. Assembly/Cut, Make and Trim (CMT)

Produsen pakaian memotong dan menjahit kain tenunan atau rajutan atau merajut pakaian langsung dari benang.

2. Original Equipment Manufacturing (OEM)/Full Package/Free on Board (FOB) Produsen pakaian bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan produksi termasuk CMT dan finishing. Perusahaan harus memiliki kemampuan logistik hulu, termasuk pengadaan (sourcing dan pembiayaan) bahan baku yang diperlukan, barang, dan trim yang diperlukan untuk produksi.

3. Original Design Manufacturing (ODM)/Full Package With Design

Model bisnis yang berfokus pada penambahan kemampuan desain untuk produksi pakaian.

4. Original Brand Manufacturing (OBM)

Model bisnis yang berfokus pada merk dan penjualan produk merk sendiri. Negara berkembang masuk ke segmen yang paling rendah dari rantai nilai karena berbagai keuntungan, termasuk perjanjian perdagangan yang menguntungkan, buruh kerja upah murah, dan faktor kedekatan dengan pasar.

31 Untuk masuk ke tingkatan segmen rantai nilai yang lebih tinggi, berbagai faktor lainnya perlu dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut di antaranya keberadaan industri tekstil domestik atau regional; produsen tekstil dan pakaian yang besar di suatu negara; komitmen yang kuat terhadap pertumbuhan industri dari pemerintah dan sektor swasta dibutuhkan dalam hal peningkatan desain dan merk agar dapat mengembangkan bakat yang dibutuhkan dan mendirikan merk nasional.

Meskipun industri pakaian global telah berkembang secara cepat sejak awal tahun 1970-an dan telah disediakan lapangan kerja bagi puluhan juta pekerja di beberapa negara kurang berkembang di dunia, industri tersebut telah mengalami dua krisis besar dalam lima tahun terakhir. Krisis pertama adalah peraturan The Multi Fibre Arrangement (MFA) yang menetapkan bahwa kuota dan tarif preferensial pada pakaian dan barang tekstil yang diimpor oleh Amerika Serikat, Kanada, dan banyak negara Eropa sejak awal tahun 1970-an dihapus oleh World Trade Organization (WTO) dan digantikan dengan perjanjian WTO tentang tekstil dan pakaian, yakni ATC (berlaku tahun 1995–2005). MFA/ATC membatasi ekspor ke pasar konsumen utama dengan memberlakukan batasan per negara (kuota) akan volume produk impor tertentu. Sistem itu dirancang untuk melindungi industri domestik Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan membatasi impor dari pemasok kompetitif seperti Tiongkok. Kekhawatiran negara berkembang kecil dan miskin yang bergantung pada ekspor pakaian bahwa mereka akan terdorong keluar dari sistem perdagangan global oleh persaingan kompetitor yang lebih besar seperti Tiongkok, India, dan Bangladesh. Krisis yang kedua adalah ekonomi. Resesi global yang terjadi baru-baru ini, yang dipicu oleh krisis perbankan di Amerika Serikat pada tahun 2008, dan yang menyebar cepat ke sebagian besar negara industri dan berkembang membawa dunia ke ambang krisis ekonomi yang paling parah sejak

Dokumen terkait