WORKING PAPER
ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI
INDUSTRI NASIONAL DI ERA MASYARAKAT
EKONOMI ASEAN DAN PERDAGANGAN BEBAS
Masagus M. Ridhwan
Gunawan Wicaksono
Linda Nurliana
Pakasa Bary
Fenty Tri Suryani
Redianto Satyanugroho
September, 2015
WP/3/2015
ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI INDUSTRI NASIONAL
DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN
PERDAGANGAN BEBAS
Masagus M. Ridhwan, Gunawan Wicaksono, Linda Nurliana, Pakasa Bary,
Fenty Tri Suryani, Redianto Satyanugroho
1Abstrak
Penelitian ini mengkaji kinerja perdagangan internasional Indonesia dan
daya saing termasuk faktor pendukung yang berkontribusi terhadap kinerja
perdagangan tersebut. Dari hasil analisis yang dilakukan, daya saing produk
manufaktur domestik, khususnya yang berbasis teknologi menengah dan
tinggi, relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers di ASEAN
(Singapura, Malaysia dan Thailand) dan extra ASEAN khususnya Tiongkok.
Sementara daya saing produk yang berbasis teknologi rendah hingga saat ini
masih cukup baik meskipun ke depan akan semakin berkompetisi ketat
dengan Vietnam khususnya. Struktur ekspor industri nasional juga masih
sangat berorientasi
resource based
dengan nilai tambah rendah. Hasil studi
ini juga mengidentifikasi sejumlah faktor yang menyebabkan lemahnya daya
saing dimaksud terutama berkaitan erat dengan faktor kapabilitas domestik
khususnya masalah skill set dan ketenagakerjaan, logistik, kebijakan, dan
institusi domestik yang kurang kondusif serta kurangnya dukungan akses
pasar. Untuk itu, strategi nasional perlu diarahkan untuk membangun industri
yang berdaya saing tinggi. Hal itu dapat dicapai melalui peningkatan
(
upgrading
) dan
deepening
industri, penciptaan nilai tambah domestik, serta
pewujudan Indonesia sebagai basis produksi (hub) yang berorientasi ekspor.
Dengan demikian, rekomendasi strategi kebijakan
(dengan semangat
reformasi) yang perlu dilakukan meliputi aspek industri, investasi, dan
perdagangan yang bertumpu pada tujuh aspek, yaitu i) faktor institusi dan
leadership
, ii) skema insentif
trade and investment
, iii) faktor sumber daya
manusia (SDM) dan ketenagakerjaan, iv) infrastruktur, v) efisiensi teknis dan
business services
, vi) akses pembiayaan, serta vii) akses pasar.
Key word
: ASEAN Economic Community,
International Trade,
Industrial Policy
JEL
Classification
:
O2, O57, L52
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara formal akan diimplementasikan
pada akhir tahun 2015 meskipun prosesnya telah dimulai sejak ditandatanganinya
The ASEAN Framework Agreement on Economic Cooperation oleh para pemimpin ASEAN pada tahun 1992 (Kemenko, 2015). Dengan demikian, perdagangan bebas
sejatinya telah mulai diterapkan secara bertahap dan progresif oleh negara anggota
ASEAN melalui regional trade agreement (RTA) berbentuk ASEAN Free Trade Area (AFTA). Berbeda dengan AFTA, MEA lebih bersifat komprehensif yang mencakup
empat pilar dengan tujuan untuk mentransformasi ASEAN menjadi pasar tunggal
dengan basis produksi yang terintegrasi, dalam suatu kawasan ekonomi yang
berdaya saing, dengan tingkat pembangunan ekonomi yang semakin merata, dan
terhubung dengan jaringan produksi global. Komitmen negara–negara ASEAN di
MEA tidak hanya terdiri atas liberalisasi, tetapi juga meliputi reformasi ekonomi,
fasilitasi, dan harmonisasi regulasi. Secara substansial penerapan MEA sebenarnya
sebagian besar telah tercapai, misalnya, melalui penghapusan tarif, fasilitasi
perdagangan, agenda integrasi pasar jasa, fasilitasi investasi, simplifikasi dan
harmonisasi framework kebijakan pasar modal, fasilitas tenaga kerja terampil, dan
lainnya. MEA 2015 bukanlah tujuan akhir, melainkan merupakan suatu langkah
penting bagi perkembangan perekonomian ASEAN yang semakin terintegrasi.
Bagi Indonesia implementasi MEA merupakan salah satu langkah strategis
yang dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka mengambil manfaat
yang sebesar–besarnya dari globalisasi ekonomi. Aspirasi multilateral, terutama
yang berkaitan dengan integrasi ekonomi kawasan, seperti MEA dan lainnya, selain
memberikan kesempatan/peluang pasar yang lebih luas, juga mengandung
sejumlah tantangan/permasalahan yang kompleks.
Dalam hal ini, pemberlakuan MEA selain meningkatkan perdagangan intra
regional ASEAN, juga akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan
investasi, produksi, dan perdagangan di kawasan. Dengan perdagangan yang akan
semakin meningkat, surplus atau defisit perdagangan yang terjadi bagi suatu negara
cenderung akan semakin dinamis dan multidimensi. Dalam konteks hubungan
dagang internasional itu tentu akan sangat relevan dengan tugas Bank Indonesia
Defisit transaksi berjalan Indonesia yang telah terjadi sejak akhir tahun 2011
hingga periode berjalan sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor
domestik: masalah struktural pada industri dan perdagangan, dan faktor eksternal:
shock global. Struktur ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh industri pengolahan berbasis sumber daya alam (SDA) yang kinerjanya bergantung pada
harga komoditas. Berakhirnya commodity super cycle dan perlambatan ekonomi dunia menyebabkan turunnya harga komoditas yang berdampak negatif terhadap
ekspor Indonesia.
Gambar 1. Alur Pikir Permasalahan dan Strategi
Selain itu, pangsa industri Indonesia semakin menurun pada 1–2 dekade
terakhir dan secara bersamaan rata–rata pertumbuhan ekonomi menjadi lebih
rendah jika dibandingkan dengan tahun 1980-an. Saat ini industri pengolahan
Indonesia sendiri umumnya didominasi oleh industri yang berorientasi domestik
dengan tingkat kandungan impor yang tinggi. Salah satu penyebabnya adalah
lemahnya kebijakan investasi dan kurangnya koneksi pada pasar global.
Indonesia sendiri mempunyai potensi yang jauh melebihi kinerja saat ini.
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah, mengalami bonus
demografi, dan mempunyai letak geografis yang strategis. Selain itu, Indonesia juga
dapat mengoptimalkan momentum the rise of Asia untuk ikut mengembangkan ekonominya.
Dalam mengatasi berbagai permasalahan di atas dan untuk mengoptimalkan
saing industri di pasar global. Industri menjadi sentral dalam transformasi karena
industri merupakan lokomotif pertumbuhan menuju negara maju. Penyerapan
banyak tenaga kerja dapat menciptakan nilai tambah dalam perekonomian yang
pada akhirnya dapat menjadi sumber devisa secara fundamental.
Studi terkait MEA telah banyak dilakukan sebelumnya, baik dilakukan Bank
Indonesia maupun eksternal. Penelitian sebelumnya oleh Nugroho dan Yanfitri
(2011) yang menganalisis dampak liberalisasi di sektor barang, jasa, modal, dan
investasi menyimpulkan bahwa daya saing Indonesia lemah sehingga terdapat
kemungkinan Indonesia menjadi pihak yang dirugikan dari MEA. Salah satu studi
ERIA menyebutkan bahwa MEA akan memberikan manfaat bagi semua anggota
meskipun besarnya tidak sama. Indonesia tetap tumbuh, tetapi lebih rendah jika
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Survei yang dilakukan oleh BCG
(2014) menunjukkan bahwa perusahaan Indonesia cenderung memandang
pemberlakuan MEA sebagai ancaman, sedangkan perusahaan di Malaysia dan
Singapura lebih optimis dan memandang MEA sebagai peluang. Laporan AT&K
(2013) menyebutkan perusahaan lokal yang hanya berfokus pada pasar domestik
adalah perusahaan yang paling rentan terhadap MEA. Temuan tersebut
mengindikasikan bahwa perusahaan atau industri Indonesia cenderung
berorientasi domestik dan berdaya saing rendah di pasar global.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk
melihat secara mendalam daya saing Indonesia dan kemudian merumuskan strategi
kebijakan nasional untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Secara khusus
kebijakan ekonomi dan perdagangan yang telah diambil harus senantiasa ditinjau
ulang dan dipertajam agar Indonesia sebagai anggota terbesar di ASEAN dapat
menarik manfaat dari MEA. Pendekatan yang digunakan pada tahap awal adalah
analisis daya saing (trade competitiveness diagnostics) yang mengukur kinerja
perdagangan internasional Indonesia dibandingkan peer countries–nya, dalam hal ini dengan negara ASEAN lainnya. Aktivitas perdagangan merupakan lensa yang
berguna untuk mengukur daya saing. Pasar ekspor umumnya memiliki tingkat
persaingan yang tinggi sehingga negara yang memiliki daya saing tinggi di ekspor,
umumnya juga lebih unggul pada faktor domestik. Hal itu sejalan dengan hubungan
timbal balik antara perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang produktif
menjadi eksportir dan akan semakin produktif dengan adanya permintaan dari
pasar ekspor. Lebih lanjut, Reis dan Farole (2012) menyatakan bahwa hambatan
utama negara berkembang untuk bersaing dalam perdagangan internasional
seperti logistik, bea cukai, pembiayaan, kondisi faktor produksi, dan kurangnya
kompetisi.
Studi mengenai perdagangan tidak akan terlepas dari studi mengenai industri
dan investasi mengingat eratnya hubungan ketiga hal ini dalam menentukan daya
saing suatu negara, terlebih dalam pola perdagangan global value chain (GVC) saat
ini. Studi tersebut selanjutnya akan menjadi masukan dalam merumuskan
kebijakan industri, perdagangan, dan investasi sebagai strategi nasional dalam
menyambut MEA 2015–2025.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: (a) menganalisis daya saing industri nasional
pada era perdagangan bebas dunia (termasuk MEA, dll), dan (b) menyusun strategi
industri nasional yang berdaya saing tinggi.
Selain dapat memberikan kontribusi pada literatur terkait yang ada
sebelumnya, kontribusi penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan (a)
asesment pada kinerja dan daya saing ekspor Indonesia secara komprehensif dan menyeluruh (upstream ke downstream); serta (b) perumusan strategi nasional yang
khususnya berkaitan dengan peningkatan daya saing industri.
1.3 Batasan Penulisan
Penelitian ini mencakup analisis dan perumusan rekomendasi strategi
nasional terkait daya saing pada sektor industri manufaktur. Cakupan penelitian
tidak termasuk pada sektor jasa, seperti keuangan dan tenaga kerja, lalu lintas
modal, dan pilar keempat MEA berkaitan dengan integrasi pada ekonomi global.
1.4 Organisasi Penulisan
Penulisan kajian ini akan dibagi ke dalam lima bab yang dimulai dengan Bab
1 mengenai pendahuluan dan tujuan dari penelitian ini, kemudian dilanjutkan
dengan Bab 2 yang berisi studi literatur yang pernah dilakukan. Pada Bab 3
diuraikan metode dan data yang digunakan dalam riset ini. Hasil empiris, analisis,
dan rekomendasi kebijakan yang berupa strategi nasional yang dapat ditempuh
untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam upaya menjadikan Indonesia
pada Bab 4. Kajian ini ditutup pada Bab 5 yang berupa simpulan dan rekomendasi
II. STUDI LITERATUR
BAB II
–
STUDI LITERAT
2.1 Sekilas tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Declaration of ASEAN Concord II pada Oktober 2003 untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community) atau MEA yang merupakan perwujudan pasar tunggal bagi negara– negara anggota ASEAN. Selain itu, pembentukan MEA diharapkan mendorong
terwujudnya kesatuan basis produksi ASEAN yang didukung oleh aliran bebas
barang, jasa, tenaga kerja, dan modal (investasi). MEA diharapkan menjadi kawasan
ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan yang merata,
dan terintegrasi dengan ekonomi global. Pasar tunggal ASEAN dapat menjadi
peluang bagi perekonomian Indonesia, dan negara-negara ASEAN lainnya, untuk
mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup bangsa Indonesia.
Gambar 2. Pilar MEA
Dalam Cetak Biru MEA 2015 terdapat empat tujuan pilar utama MEA yang
ingin dicapai dan memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Pertama, pembentukan
pasar tunggal dan basis produksi. Tujuan ini akan menciptakan terjadinya aliran
bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, serta aliran modal yang lebih bebas
antarnegara di kawasan. Sebagai tahap awal disepakati dua belas sektor kerja
prioritas yang mewakili lebih dari 50% perdagangan intra-ASEAN, yaitu (1)
penerbangan, (5) otomotif, (6) elektronik, (7) teknologi komunikasi informasi, (8)
perikanan, (9) kesehatan, (10) logistik, (11) tekstil, serta (12) pariwisata. Indonesia
menjadi negara koordinator untuk sektor otomotif dan industri berbasis kayu.
Tercapainya tujuan tersebut akan mentransformasikan berbagai keragaman
karakteristik di kawasan menjadi peluang bisnis yang dapat menjadikan ASEAN
lebih dinamis dan kuat dalam global supply chain. Terbentuknya pasar tunggal akan
memfasilitasi terbangunnya jejaring produksi di dalam kawasan dan meningkatkan
kapasitas ASEAN sebagai pusat produksi global atau bagian dari global supply chain.Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap negara anggota ASEAN dituntut untuk meliberalisasi atau membuka pasar domestiknya.
Kedua, kawasan ekonomi yang kompetitif. Tujuan itu merupakan prakondisi
yang dibutuhkan untuk mendukung pencapaian pasar tunggal dan basis produksi
internasional. Pencapaian tujuan kedua itu dilakukan melalui kerja sama di
berbagai bidang yang meliputi (i) pengembangan infrastruktur, seperti transformasi,
informasi, energi, pertambangan, dan keuangan; (ii) kebijakan persaingan; (iii)
pelindungan konsumen; (iv) hak kekayaan intelektual; (v) perpajakan; dan (vi) e– commerce.
Ketiga, pembangunan ekonomi yang merata. Kawasan ASEAN memiliki
tahapan pembangunan ekonomi yang berbeda sehingga berdampak pada kesiapan
dan kecepatan dari negara anggota masing–masing untuk melakukan liberalisasi.
ASEAN harus dapat menjamin manfaat integrasi ekonomi kawasan yang dapat
dirasakan seluruh anggota dan masyarakat ASEAN. Hal tersebut dilakukan melalui
pengembangan UMKM dan kerja sama serta bantuan teknis dalam rangka
mengurangi kesenjangan pembangunan di antara negara–negara anggota, terutama
antara negara ASEAN-5 dan Brunei, Cambodia, Myanmar, Laos, dan Vietnam.
Keempat, terintegrasinya perekonomian global. Dengan tercapainya ketiga tujuan
di atas diharapkan pasar ASEAN semakin menarik bagi penanaman modal asing
dan industri ASEAN dapat semakin kompetitif di global supply chain. Dalam upaya
pencapaian tujuan itu, dilakukan pendekatan yang koheren dalam hubungan
ekonomi eksternal ASEAN dengan mitra dagang seperti ASEAN+1 (ASEAN+Tiongkok,
ASEAN+India, ASEAN+Jepang) atau ASEAN++ (ASEAN+3, EAS) untuk memastikan
sentralitas dari ASEAN dan memperluas partisipasi ASEAN dalam global supply chain.
Implementasi cetak biru MEA 2015 secara substansial telah tercapai.
mencapai 95% pada akhir tahun 2015. Untuk scorecard MEA Indonesia sendiri telah
mencapai 92,7%. Tingginya pencapaian scorecard MEA baik ASEAN dan Indonesia
mencerminkan bahwa ASEAN dan Indonesia secara konsisten telah memenuhi
komitmennya.
Dalam perjalanannya pada Cebu Declaration Januari 2007 pemimpin ASEAN
menyepakati untuk mempercepat pembentukan MEA menjadi efektif per 1 Januari
2016 untuk sektor–sektor strategis tertentu. Batas waktu implementasi pasar
tunggal ASEAN makin dekat sehingga perlu dilakukan asesment pencapaian komitmen-komitmen yang telah disepakati dalam pembentukan MEA. Hasil
pengukuran gap analysis yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia secara umum
menunjukkan bahwa upaya untuk mewujudkan aliran bebas perdagangan barang,
jasa, investasi, tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas telah
menunjukkan kemajuan yang cukup tinggi. Di antara pencapaian liberalisasi
tersebut adalah penurunan tarif impor hingga 0%, pemenuhan komitmen
liberalisasi foreign equity participation (FEP) untuk beberapa subsektor jasa, penghapusan restriksi investasi dan pengembangan sistem informasi investasi,
penandatanganan mutual recognition agreement (MRA), dan liberalisasi aliran modal.
2.2 Penelitian Sebelumnya
Sejumlah studi yang terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),
khususnya yang mendalami pemetaan pasar barang, jasa, tenaga kerja, modal, dan
investasi di kawasan ASEAN-5 serta melakukan gap analysis terhadap pencapaian
proses liberalisasi yang mengacu pada cetak biru MEA dan pencapaian key deliverables ASEAN secara keseluruhan, dapat diringkas pada Tabel 1.
Penelitian Ringkasan Studi
Reis dan Farole (2012) – “Trade competitiveness
diagnostic toolkit”
Framework analisis perdagangan internasional dengan dua pendekatan:
1. Trade outcomes analysis: menganalisis kinerja
perdagangan dalam dimensi intensive, extensive, quality, dan sustainability
2. Competitivenss diagnostics: menganalisis kinerja
faktor yang memengaruhi daya saing perdagangan – akses pasar, macro–incentive framework, factor conditions, trade promotion infrastructure
Reis dan Wrinkler (2012) – “Export Competitiveness in
Indonesia’s Manufacturing
Sector”
Menganalisis kinerja ekspor dan determinan industri manufaktur untuk sektor apparel, furnitur kayu, dan komponen otomotif.
Indonesia memiliki peluang kedua untuk mengembangkan industri manufaktur tradisional yang menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini didorong ketersediaan tenaga kerja dengan tingkat upah yang lebih rendah dibandingkan Tiongkok, ukuran pasar domestik, serta keterbukaan Indonesia di pasar dunia.
Policy actions yang harus diambil:
Jangka pendek: mengeksploitasi gap upah dengan Tiongkok
Jangka menengah: memanfaatkan pasar domestik dan potensi masuk ke Global Value Chain
Jangka panjang: persiapan saat keunggulan dari sisi biaya tidak lagi berlaku
Dengan prioritas reformasi di: i) transportasi dan logistik, ii) akses pembiayaan, iii) rigiditas pasar tenaga kerja dan training, iv) inovasi, v) standar, vi) collective actions, vii) transparansi dan predictability, viii) SEZ.
Munandar, et al (2007) –
“Integrasi Ekonomi Regional, Mobilitas Faktor Produksi Serta Peran Otoritas Moneter”
Aplikasi pendekatan equal share relationship dengan menggunakan database makroekonomi negara ASEAN untuk mengetahui dampak kebijakan moneter terhadap investasi.
Penelitian Ringkasan Studi
Nugroho dan Yanfitri (2011) –
“Potensi Dampak Pembentukan Pasar Tunggal
ASEAN terhadap
Perekonomian Indonesia”
Analisis kualitatif melakukan pemetaan kondisi pasar
barang, jasa, tenaga kerja, investasi di ASEAN dan
mengidentifikasi beberapa potensi dampak positif dan
negatif pasar tunggal terhadap perekonomian Indonesia.
Hasil Kajian lintas Satker (2011) – “Masyarakat Ekonomi
ASEAN 2015: Proses Harmonisasi di Tengah
Persaingan”
Analisis kualitatif dan kuantitatif mengenai dampak implementasi integrasi ASEAN serta tantangan bagi daya saing dan stabilitas makro Indonesia.
Anas, Narjoko, dan Aswicahyono (2015) – “Mapping of Indonesia
Potential on Trading Manufacture Products: A
Regional Perspective”
III. METODOLOGI DAN DATA
III
–
METODOLOGI DAN DATA
3.1 Analisis Daya Saing
Analisis daya saing (TCD) sebagian besar merujuk pada Trade Competitiveness Diagnostic (Reis dan Farole, 2012) yang merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai posisi, performa, dan
kapabilitas sebuah negara pada pasar ekspor, serta faktor yang memengaruhi daya
saingnya. Aktivitas perdagangan merupakan lensa yang berguna untuk mengukur
daya saing. Pasar ekspor umumnya memiliki tingkat persaingan yang tinggi
sehingga negara yang berdaya saing tinggi pada ekspor umumnya juga lebih unggul
pada faktor domestiknya. Hal itu sejalan dengan hubungan timbal balik antara
perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang produktif menjadi eksportir dan
akan semakin produktif dengan adanya permintaan dari pasar ekspor.
Di era liberalisasi untuk mengukur kinerja suatu perekonomian, kinerja
ekspor menjadi lebih penting daripada sebelumnya.. Ekspor tetap relevan sebagai
sumber utama penghasilan devisa, sarana untuk mencapai skala ekonomi dan
spesialisasi produksi, serta untuk mengakses teknologi baru. Secara tidak langsung
ekspor juga merupakan indikator efisiensi sektor industri saat menghadapi
kompetisi lebih ketat (akibat liberalisasi) dan lebih intensif (akibat penurunan biaya
transportasi). Sepanjang industri tetap menjadi mesin pertumbuhan, perubahan
struktural, serta pertumbuhan teknologi dan modernisasi, ekspor manufaktur yang
bertumbuh menjadi tanda bahwa mesin tersebut bekerja.
Analisis daya saing yang dilakukan terdiri atas dua komponen yang
umumnya dilakukan secara berurutan, yaitu sebagai berikut.
1. Analisis kinerja perdagangan (trade outcomes analysis) adalah kerangka untuk
memperoleh gambaran detail atas kinerja ekspor secara historis. Analisis itu
dilakukan melalui berbagai macam pendekatan serta pengolahan data sekunder.
2. Diagnostik daya saing (competitiveness diagnostics) adalah diagnostik yang
bertujuan untuk menganalisis daya saing, termasuk faktor–faktor yang
berkontribusi terhadap kinerja ekspor seperti pada tahap 1. Diagnostik
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif (analisis data sekunder) dan kualitatif
melalui survei dan wawancara (FGD), seperti wawancara dengan perumus
Hasil dari dua analisis tersebut akan dielaborasi lebih lanjut untuk
perumusan rekomendasi kebijakan dan perumusan strategi nasional. Gambar
berikut mengilustrasikan kerangka kerja dari analisis daya saing (TCD).
Sumber: Reis and Farole (2012)
Gambar 3. Framework Analisis Daya Saing
3.1.1 Analisis Kinerja Perdagangan
Analisis kinerja perdagangan (trade outcome analysis) memberikan penilaian
kuantitatif dan kualitatif dari performa perdagangan dengan menggunakan
dekomposisi pertumbuhan perdagangan internasional. Pertumbuhan ekspor dapat
terjadi karena empat dimensi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.
Dimensi
Pertumbuhan Ekspor
Sumber: Reis and Farole (2012)
Gambar 4. Dimensi Pertumbuhan Ekspor
Dalam melakukan analisis kinerja perdagangan, terdapat empat faktor
1. Intensive Margin
Pertumbuhan ekspor dalam dimensi ini tercipta dengan menjual produk
yang sama pada pasar yang sama. Peningkatan intensive margin dapat tercipta
melalui spesialisasi, baik pada antarproduk (across) maupun dalam produk
(within). Dimensi ini secara umum mengevaluasi tingkat, pertumbuhan, dan
pangsa pasar ekspor yang terjadi saat ini (existing). Hasil analisis intensive margin dapat menunjukkan posisi perdagangan Indonesia dibandingkan dengan negara–negara peers–nya jika dilihat berdasarkan nilai atau volume ekspornya.
Ada beberapa indikator yang dianalisis seperti rasio nilai perdagangan terhadap
PDB, revealed comparative advantage (RCA) sektoral, trade intensity index, trade
complementary index. 2. Extensive Margin
Untuk negara berkembang, dimensi ini kritikal untuk mendorong ekspor
dan penciptaan lapangan kerja. Extensive margin berarti menjual produk baru
atau menjual produk yang ada saat ini (existing) ke pasar yang baru. Struktur
ekspor yang semakin terdiversifikasi akan mengurangi kerentanan akan
demand shocks dan pergerakan harga di luar negeri. Diversifikasi ekspor juga penting sebagai indikasi arah pertumbuhan pada masa mendatang. Export diversification melihat konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor suatu negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan produk
dan pasar dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor spesifik
(sukses atau tidak).
3. Quality Margin
Dimensi ini mengevaluasi produk-produk ekspor berdasarkan kualitas
dan kecanggihannya. Produk yang mengandung nilai tambah lebih tinggi dari
sisi orisinalitas (ingenuity), skill, dan teknologi akan memiliki harga yang lebih
tinggi di pasar. Dengan demikian peningkatan (upgrading) kualitas produk
menjadi sumber yang pasti bagi pertumbuhan ekspor dan ekonomi. Dimensi ini
diukur dengan menganalisis teknologi, pendapatan, factor contents dari ekspor
untuk menentukan tingkat kecanggihan dan nilai produk, serta product space untuk mengidentifikasi sektor tempat suatu negara memiliki atau kehilangan
keunggulan.
4. Sustainability Margin
Agar ekspor baru dapat bertahan dan memberikan pertumbuhan jangka
memanfaatkan kesempatan dan mengatasi hambatan pada tahun-tahun awal.
Sustainability margin of new exporter mengevaluasi survival rate dari barang-barang yang diekspor, baik barang-barang baru maupun barang-barang yang sudah lama
diekspor. Selain itu, pada tahap ini dilihat juga pertumbuhan dan survival rate
dari hubungan ekspor, intensitas faktor ekspor, dan perbandingan tingkat
endowment nasional. Bentuk partisipasi perusahaan dan survival pada sektor ekspor membantu mengidentifikasi faktor utama (biaya entry, faktor, teknologi,
dan efisiensi) yang menjadi hambatan utama terhadap daya saing.
Analisis kinerja perdagangan dilakukan dengan 4 tahapan, yaitu sebagai
berikut.
a. Pemilihan peer countries bertujuan sebagai benchmark dari kinerja negara yang
diukur. Umumnya peer countries meliputi kombinasi antara negara tetangga, negara dengan ukuran, pertumbuhan ekonomi, struktur yang sama, dan negara
kompetitor.
b. Pengumpulan dan kompilasi data, baik cross section maupun time series.
c. Analisis dan interpretasi.
d. Identifikasi tantangan utama pada daya saing.
3.1.2 Diagnostik Daya Saing
Dalam melakukan diagnostik daya saing, terdapat beberapa aspek yang
dianalisa, yaitu sebagai berikut.
1. Akses Pasar
Akses pasar merupakan sebuah konsep yang membahas kebijakan
perdagangan yang dapat memfasilitasi atau membatasi eksportir untuk masuk
dan menjaga daya saingnya di pasar. Dalam market access dilihat faktor–faktor
yang menghambat penjualan barang ekspor, seperti hambatan tarif dan
Sumber: Reis and Farole (2012)
Gambar 5. Cakupan Akses Pasar
2. Faktor Sisi Suplai
Faktor ini mencakup banyak hal, termasuk tata kelola dan macrofiscal, kebijakan perdagangan dan domestik yang membentuk kerangka insentif bagi
pelaku usaha, serta faktor masukan (input) yang menentukan daya saing dari
sisi produksi.
3. Dukungan Promosi Perdagangan
Dukungan promosi perdagangan meliputi serangkaian intervensi oleh
pemerintah unuk mengatasi kegagalan pasar (market failures, seperti
coordination challenges, dan asymmetric information) dan kegagalan pemerintah yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor seperti promosi ekspor, special
economic zones (SEZ), serta badan koordinasi industri dan standarisasi.
Masing–masing dimensi tersebut membentuk kinerja ekspor melalui
pengaruhnya terhadap perusahaan melalui jalur sebagai berikut:
a. biaya tetap (fixed cost), risiko produksi, dan export entry;
b. biaya faktor dan transaksi yang menentukan daya saing produksi dari tingkat
pabrik; dan
c. tingkat teknologi dan efisiensi dari sektor atau perusahaan.
3.1.3 Forum Diskusi Terpumpun (Focus Group Discussion (FGD))
dilakukan dengan kondisi faktual yang terjadi. Secara garis besar FGD dilakukan
terhadap tiga kelompok, yaitu pelaku usaha, perumus kebijakan (pemerintah), dan
ahli dengan perincian sebagaimana tertera pada lampiran (Error! Reference source not
found.).
Selain kegiatan diskusi, juga terdapat kegiatan expert panel dalam perumusan rekomendasi strategi nasional yang melibatkan kementerian terkait
(Kemendag, Kemenperin, dan Kemenko), panel ahli dan akademisi, serta kalangan
pengusaha (Apindo).
3.2 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berfrekuensi tahunan dari periode
tahun 2000 hingga 2014, tergantung ketersediaan data. Tabel di bawah ini
menunjukkan data–data yang digunakan secara umum serta sumber datanya.
Mengingat jenis data yang digunakan sangat beragam, detil penggunaan data akan
dijelaskan lebih lanjut pada bagian analisis.
Tabel 2. Data
Variabel Sumber Data
Ekspor (per komoditas HS/SITC, per negara), Impor
(per komoditas HS/SITC, per negara, revealed
comparative advantage, konten teknologi ekspor, product sophistication, tariff, non tariff barriers, dan
lain–lain.
World Integrated Trade
Solution (WITS), World
Bank.
Populasi, PDB, Suku bunga pinjaman riil, akses
pembiayaan, bandwidth internet, konsumsi listrik,
logistik, dan lain–lain
World Development
Indicators (WDI), World
Bank.
Lisensi teknologi, pelatihan formal, sertifikasi kualitas
internasional, dan lain–lain.
Enterprise Surveys,
World Bank.
Kemudahan berusaha, doing business index, waktu
untuk ekspor/impor, dan lain–lain.
Doing Business, World
Bank.
IV. HASIL DAN ANALISIS
BAB IV
–
HASIL DAN ANALIS
4.1 Pemetaan Daya Saing Indonesia
Analisis daya saing yang dilakukan mengindikasikan adanya banyak
tantangan atas kinerja ekspor dan daya saing Indonesia. Dari hasil analisis kinerja
perdagangan, tantangan utama Indonesia adalah dari aspek intensive margin serta
quality margin. Jika dilihat diagnostik daya saingnya, tantangan pada ekspor tersebut terjadi karena kurangnya market access, incentive framework, factors condition, serta trade promotion facilititation.
4.1.1. Analisis Kinerja Perdagangan
Dari hasil analisis kinerja perdagangan (Tabel 3), kinerja ekspor Indonesia
terlihat tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand dan masuk
dalam klasifikasi negara low middle income country yang cenderung bersifat resource
based dan rendah nilai tambah. Vietnam terlihat mengalami peningkatan kinerja ekspor secara tajam dalam dua dekade terakhir. Secara umum Indonesia memiliki
permasalahan dan terlihat mengalami penurunan kinerja pada keempat dimensi
ekspornya dengan isu utama pada intensive dan quality margin. Kelemahan ekspor
Indonesia mengindikasikan bahwa industri Indonesia cenderung semakin inward oriented yang didukung dengan temuan analisis keterkaitan nilai tambah.
Tabel 3. Ringkasan Hasil Analisis Kinerja Perdagangan
Permasalahan Utama Ekspor Keterangan
Intensive Margin ↓↓ Keterbukaan perdagangan Indonesia turun dibandingkan awal tahun 2000, dengan
pertumbuhan ekspor sebagian besar produk dan pasar yang lebih rendah dari perdagangan dunia.
Tabel 3. (lanjutan)
Permasalahan Utama Ekspor Keterangan
Quality Margin ↓↓ Indonesia tertinggal pada ekspor produk high tech dan sedikit unggul pada primary products. Selain itu, bila dibandingkan selama 10–20 tahun terakhir, terdapat indikasi pergeseran produk ekspor Indonesia
dari low dan hightech menjadi medtech dan resource– based.
Sustainability Margin ↓ Durasi ekspor Indonesia hanya lebih baik dari Filipina
Keterangan:
↓ : sedikit tertinggal dibandingkan peers ↓↓ : tertinggal dibandingkan peers
4.1.1.1 Intensive Margin
Intensive margin diukur dengan melakukan asesmen terhadap tingkat, pertumbuhan, dan pangsa pasar yang mencerminkan struktur dan daya saing dari
basket ekspor yang telah ada. Berdasarkan data neraca perdagangan pada periode
tahun 2009–2013, secara rata-rata Indonesia masih mencatat surplus meskipun
dengan tingkat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan periode tahun 2004–
2008. Beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam memiliki tingkat
ekspor yang cukup tinggi hingga mencapai lebih dari 50% dari PDB-nya. Meskipun
demikian, impor yang tinggi turut membebani kinerja neraca perdagangan negara–
negara tersebut. Namun, Malaysia mampu mencatat surplus neraca perdagangan
hingga 15% dari PDB sepanjang tahun 2009–2013.
Gambar 6 menunjukkan tingkat keterbukaan perdagangan suatu negara
relatif terhadap tingkat PDB per kapitanya. Indikator ini mengindikasikan seberapa
penting ekspor dan impor barang dan jasa dalam sebuah perekonomian atau
seberapa terintegrasi suatu perekonomian dengan dunia jika dibandingkan dengan
peers-nya. Tingkat keterbukaan Indonesia pada tahun 2009–2013 dibandingkan tahun 2004–2008 menurun dari 60% ke 50%. Angka itu lebih rendah dibandingkan
Sumber: WDI, WITS Worldbank, diolah
Gambar 6. Openness to Trade
Indikator lainnya adalah ekspor/kapita yang mengukur keberadaan suatu
ekonomi di pasar internasional. Negara yang memiliki nilai ekspor/kapita yang
tinggi mengindikasikan pendapatan ekspor dolar yang tinggi dari basis produksi
domestik yang terdiversifikasi dengan baik dan tidak berbasis SDA. Ekspor per
kapita Indonesia (Gambar 7) sesuai dengan karakteristik lower middle income, yang
jauh lebih rendah dari upper middle-high seperti Malaysia dan Singapura. Jika dilihat dari indikator lainnya, yaitu share of merchandise trade (non oil and gas), rasio Indonesia bahkan lebih rendah dibandingkan lower middle income countries (Gambar 8).
Sumber: WITS Worldbank, diolah Sumber: WITS Worldbank, diolah
Pertumbuhan ekspor dapat disebabkan oleh perubahan pada harga (export
value), volume ekspor (export volume), atau keduanya. Export value index merupakan nilai ekspor (c.i.f) yang dikonversi ke dolar AS dan dinyatakan dalam persentase dari
rata-rata tahun dasar. Export volume index merupakan rasio antara export value index dan unit value index-nya. Indikator ini (Gambar 9) merefleksikan indeks perdagangan berdasarkan nilai dan volume perdagangan. Selama periode tahun
2009–2012, Tiongkok dan Vietnam menunjukkan pertumbuhan ekspor yang cukup
tinggi berdasarkan nilai dan volume ekspornya. Meskipun berdasarkan export volume index, Indonesia berada pada posisi terakhir, tetapi nilai barang ekspor Indonesia relatif moderat.
Jika dilihat dari pasar tujuan ekspornya, pasar ekspor Indonesia
terkonsentrasi ke Tiongkok dan Jepang dengan pangsa 20% dan 18% dari total
ekspor. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga menjadikan Tiongkok sebagai negara
tujuan ekspor utamanya dengan indeks intensitas perdagangan yang lebih tinggi
dibandingkan Indonesia.
Indikator trade intensity index (Gambar 10) menunjukkan tingkat intensitas
ekspor dari suatu negara ke negara mitra dagangnya. Indeks itu digunakan untuk
melihat apakah sebuah negara mengekspor lebih banyak ke mitra dagangnya
dibandingkan dengan ekspor dunia ke negara tersebut. Trade intensity index menggunakan logika yang sama dengan RCA, tetapi untuk pasar bukan produk.
Jika trade intensity index > 100, hal itu mengindikasikan bahwa hubungan dagang
antara negara– dan lebih intensif jika dibandingkan dengan rata–rata dunia (�)
dengan negara- . Indonesia memiliki intensitas perdagangan yang tinggi ke Jepang
dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika. Pola itu relatif sama dengan
Sumber: WITS Worldbank, diolah Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 9. Export Value Index vs.
Export Volume Index
Gambar 10. Trade Intensity Index to
Japan
Trade complementarity index digunakan untuk melihat apakah profil ekspor suatu negara sesuai dengan profil impor mitra dagangnya atau justru bersifat
komplementer. Nilai indeks yang tinggi mengindikasikan kedua negara
mendapatkan keuntungan dari hubungan perdagangannya. Berdasarkan trade complementarity index Indonesia sepanjang periode tahun 2009–2012, semua negara peers rata–rata memilki besaran indeks yang sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kebutuhan impor Indonesia dipenuhi dari profil–profil
ekspor dari negara–negara tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia
merupakan pasar ekspor bagi negara peers–nya. Sementara itu, trade complementarity index Malaysia menunjukkan nilai yang rendah dengan Indonesia dan Jerman, artinya produk ekspor Malaysia tidak sesuai dengan kebutuhan impor
Indonesia dan Jerman.
Indikator lainnya adalah orientasi pertumbuhan yang dapat dilihat dari
Orientasi Pertumbuhan Produk dan Pasar. Orientasi Pertumbuhan Produk
mengevaluasi potensi pertumbuhan ekspor dengan membandingkan compounded annual growth rate (CAGR) dari produk ekspor utama suatu negara terhadap pertumbuhan perdagangan dunia untuk produk tersebut. Negara dengan
pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan dunia berarti mengalami
peningkatan pangsa di pasar dunia. Negara yang ekspor utamanya di sektor yang
memiliki pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke
depan. Sementara itu, pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia
Sumber: WITS Worldbank, diolah Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 11. Pertumbuhan Produk
Ekspor Indonesia
Gambar 12. Pertumbuhan Produk
Ekspor Vietnam
Sumber: WITS Worldbank, diolah Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 13. Pertumbuhan Pasar
Ekspor Indonesia
Gambar 14. Pertumbuhan Pasar
Ekspor Vietnam
Gambar 11 memperlihatkan ekspor produk Indonesia yang umumnya
tumbuh lebih rendah dari perdagangan dunia (di bawah garis 45 derajat). Produk
Indonesia yang memiliki pangsa yang besar umumnya bersifatnya komoditas,
seperti mineral fuels. Untuk beberapa produk manufaktur, Indonesia meningkatkan
pangsanya dalam perdagangan dunia, tetapi porsinya masih kecil pada basket
ekspor Indonesia. Hal itu berbeda dengan Vietnam (Gambar 12) yang mengalami
peningkatan pasar untuk hampir semua produk unggulannya. Pertumbuhan ekspor
manufakturnya lebih besar dari pertumbuhan dunia dan merupakan produk
dominan pada basket ekspornya.
Orientasi Pertumbuhan Pasar mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar
ekspor suatu negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar
relatif terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari rest of the world (ROW). Gambar 13 memperlihatkan pertumbuhan ekspor Indonesia ke mitra dagangnya
lebih rendah dari pertumbuhan impor mitra dagang dari ROW. Pasar dimana
(Gambar 14) justru meningkatkan pangsanya di hampir seluruh mitra dagangnya
dengan pangsa ekspor terbesar ke USA.
4.1.1.2 Extensive Margin
Extensive margin mengukur diversifikasi ekspor dari dua dimensi, yaitu menjual produk baru atau menjual produk existing ke pasar yang baru. Ukuran yang digunakan adalah konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor suatu
negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan produk dan pasar
dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor spesifik (sukses atau tidak).
Dari sisi extensive margin, kinerja Indonesia relatif moderat dibandingkan dengan peers meskipun dari beberapa ukuran, Indonesia tertinggal. Indikator pertama menghitung jumlah mitra dagang dan produk yang diekspor suatu negara,
yang dihitung pada 6-digit HS level2. Dalam satu dekade (Lampiran–Gambar 49)
Indonesia mengalami peningkatan moderat dalam jumlah produknya sebesar 83,
sedangkan Vietnam bertambah signifikan sebesar 1024. Selain itu, hanya sebagian
kecil ekspor Indonesia yang ditujukan ke high income countries jika dibandingkan dengan negara lain (Lampiran–Gambar 50).
Indikator lainnya adalah jangkauan ekspor. Pertumbuhan ekonomi
umumnya disertai dengan adanya produk baru dan kematangan ekonomi ditandai
dengan kemampuan negara tersebut untuk memelihara hubungan dagang.
Indikator jangkauan ekspor menginformasikan kelahiran, survival, dan kematian produk serta nilai dan jumlah pasarnya. Tingkat kematian yang tinggi pada beragam
sektor mengindikasikan volatilitas ekonomi; sedangkan jika terkonsentrasi pada
beberapa industri, tingkat kematian itu mengindikasikan evolusi produksi domestik.
Gambar 15 memperlihatkan Error! Reference source not found.produk Indonesia
yang mencapai lebih dari 10 tujuan ekspor, pada tahun 2010 sebanyak 1.961
produk, kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi 2.099 produk. Jumlah itu
sekitar 50%–53% dari total 3.906 produk yang survive pada kurun waktu tahun 2010–2013. Angka tersebut memperlihatkan perbedaan yang jauh jika
dibandingkan dengan Tiongkok (Lampiran-Gambar 51), yaitu produk yang
mencapai lebih dari 10 pasar adalah sebanyak 4.123 (2010) dan meningkat menjadi
4.133 (2013) yaitu sekitar 87–88% dari total 4.687 produk yang survive. Selain itu,
tingkat kematian produk Indonesia cukup tinggi dibandingkan peers (Tabel 4)
dengan surviving product bernilai tinggi adalah natural resources–based goods (Tabel 5).
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 15. Jangkauan Ekspor Indonesia Tahun 2010
–
2013
Tabel 4. Perbandingan ASEAN
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Tabel 5. Top Surviving Product
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Indikator lainnya adalah Hummels-Klenov untuk produk dan pasar. Indikator
ini terdiri atas intensive margin (IM) dan extensive margin (EM). IM produk mengukur
apakah suatu negara big player pada produk yang diekspornya (pangsa suatu negara pada produk yang diekspornya di perdagangan dunia) dan EM mengukur
seberapa penting barang yang diekspornya secara global (ekspor ragam portofolio
relatif terhadap semua ekspor dunia). Untuk Hummels-Klenov pasar, IM
mengindikasikan apakah suatu negara big player pada pasar ekspornya dan EM mengukur seberapa penting pasar ekspornya secara global. Dalam satu dekade
Suriviving
(Gambar 16 dan Gambar 17) Indonesia mengalami peningkatan moderat dan hanya
lebih baik dari Filipina dalam meningkatkan pangsanya di produk dan pasar
ekspor-nya. Vietnam terlihat signifikan meningkatkan prduk dan pasar yang bernilai secara
global (EM) dan Tiongkok terlihat paling berhasil meningkatkan perannya pada
produk dan pasar ekspornya (IM).
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 16. Hummels Klenov dari Segi Produk
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 17. Hummels Klenov dari Segi Pasar
4.1.1.3 Quality Margin
Quality margin mengukur kinerja ekspor dari sisi kualitas, yang antara lain dilakukan melalui analisis komponen teknologi, tingkat kecanggihan (product
sophistication), product space, serta relative quality. Klasifikasi produk ekspor menurut komponen teknologi dimungkinkan menggunakan SITC 3 digit
(EXPY)3 merujuk pada Hausmann, Hwang, and Rodrik (2007). Lebih lanjut, product
space merujuk pada Hidalgo et al. (2007) yang memetakan koneksi antarproduk berkeunggulan komparatif pada suatu negara.
Komponen teknologi dan kecanggihan yang rendah pada produk ekspor
Indonesia membuat margin kualitas produk ekspor Indonesia sangat terbatas,
khususnya jika dibandingkan dengan negara–negara peers. Indonesia tertinggal pada ekspor produk high tech dan sedikit unggul pada primary products. Selain itu,
apabila dibandingkan selama 10–20 tahun terakhir, terdapat indikasi pergeseran
produk ekspor Indonesia dari low dan high tech menjadi med tech dan resource-based. Sementara itu, Tiongkok beralih dari low tech menjadi high tech.
Produk ekspor Indonesia memiliki tingkat kecanggihan yang rendah jika
dibandingkan dengan peer countries. Tingkat kecanggihan produk ekspor di Indonesia mengalami tren penurunan walaupun PDB per kapita secara konsisten
meningkat. Padahal, menurut Felipe (2010), pada umumnya kenaikan EXPY 10%
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.5%.
Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah
Gambar 18. Perkembangan dan Pangsa Ekspor berdasarkan Komponen
Teknologi
Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah
Gambar 19. Tingkat Kecanggihan Produk Ekspor dan PDB Per Kapita
Melalui analisis product space4, terdapat indikasi bahwa product space
Indonesia semakin menjauh dari core-nya. Indonesia mengalami penurunan jumlah
produk berkeunggulan komparatif pada dense forest (mesin, elektronik, garmen, tekstil, dan furnitur) yang banyak “diserap” oleh Tiongkok. Keunggulan komparatif
hilang pada elektronik, mesin, dan furnitur yang merupakan tendensi keunggulan
komparatif pada upper-middle countries. Hal itu menunjukkan risiko (lower) middle
income trap. Menurut Hidalgo et al (2007) daya saing rendah pada klaster industri dengan proximity tinggi (dense forest) akan menyulitkan transisi ke income group yang lebih tinggi. Sementara itu, Tiongkok mengalami kenaikan keunggulan
komparatif pada mesin dan elektronik yang kemudian mengindikasikan bahwa
Tiongkok juga “menyerap” keunggulan komparatif pada Jepang.
4Konsep product space mengacu pada Hidalgo et. al. (2007) yang dipetakan dengan product
space explorer (http://www.chidalgo.com/productspace/data.htm) dan Cytoscape
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber data ekspor dari WITS.
Gambar 20. Product Space Indonesia Tahun 2000 dan 2013
Tabel 6. Perubahan Product Space pada Beberapa Negara Lain
Negara Perubahan Product Space (2013 vs 2000)
Indonesia Garmen, mesin, dan elektronik turun
Jepang Mesin dan Elektronik turun
Thailand Penurunan garmen dan tekstil, namun machinery naik
Malaysia Penurunan furniture
Tiongkok Machinery dan Electronics naik
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber data ekspor dari WITS.
Beberapa produk terindikasi masih berkualitas baik dibandingkan peers. Produk dengan kualitas yang kompetitif sekaligus bernilai tinggi adalah alat berat.
Pada komoditas penyumbang nilai ekspor tertinggi, relative quality5 dari produk
Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah copper, natural rubber, tin, gold, dan chemical wood pulp. Pada komoditas dengan unit price tertinggi, relative
quality dari produk Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah crane lorries, lifting machinery, dan tower cranes.
Lebih lanjut, pada gambar dibawah, dapat diketahui produk ekspor dengan
pangsa pasar tinggi, tetapi kualitas rendah, yaitu natural gas dan nickel. Copper mempunyai pangsa pasar tinggi dengan kualitas tinggi. Selain itu, produk yang
mempunyai pangsa pasar rendah, tetapi kualitas tinggi adalah crane lorries dan lifting machinery. Lebih lanjut, antara tahun 2010 ke 2013 terdapat peningkatan pangsa pasar dan kualitas pada crane lorries, pesawat, dan natural gas. Sementara
itu, terdapat penurunan pangsa pasar pada tower crane.
Sumber: Perhitungan peneliti; sumber data ekspor dari WITS.
Gambar 21. Posisi Pangsa Pasar dan Relative Quality Produk Ekspor
4.1.1.4 Sustainability Margin
Kemampuan untuk mempertahankan hubungan perdagangan merupakan
suatu ukuran perekonomian yang berkembang dengan baik (well developed
economy). Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengevaluasi durasi dan ketahanan hubungan produk-partner serta menjelaskan faktor–faktor yang
memengaruhi product birth dan extinction.
Export Duration yang mengukur tingkat kelangsungan hidup selama periode tahun dari hubungan produk baru-pasar dengan nilai minimal USD10.000. Selama
rentang waktu 10 tahun (tahun 2003–2013), pangsa kelangsungan hidup hubungan
produk baru-pasar yang bertahan di Indonesia adalah sebesar 61,2% dengan jumlah
Filipina dan Malaysia, tetapi lebih rendah dibandingkan Vietnam, Thailand,
Tiongkok, dan India (Gambar 22).
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 22. Durasi Ekspor
Perubahan pada arus ekspor dapat terjadi sepanjang dua margin yang
berbeda, yaitu intensif dan ekstensif. Intensive margin meliputi perubahan pada arus
perdagangan saat ini (existing) yang dapat dibagi lagi menjadi peningkatan,
penurunan, dan kepunahan (extinction). Extensive margin meliputi penambahan arus perdagangan baru yang mungkin terjadi karena pengenalan produk baru
(introduction of a new product), masuk ke pasar baru (entry into new market), atau
diversifikasi produk dengan mitra dagang saat ini. Indikator decomposition of export
growth along margins of trade mendekomposisi semua pertumbuhan perdagangan menjadi salah satu dari tujuh kategori eksklusif sesuai dengan margin tersebut.
Suatu negara yang sudah mengekspor ke berbagai pasar dan telah sangat
terdiversifikasi portofolio ekspornya mungkin memiliki potensi terbatas untuk
ekspansi pada extensive margin. Bahkan, untuk negara–negara berkembang, extensive margin umumnya menyumbang tidak lebih dari 20% pertumbuhan ekspor (Brenton dan Newfarmer, 2009). Sementara itu, bagi eksportir yang telah mature, pertumbuhan umumnya terjadi pada intensive margin.
Dari Error! Reference source not found. (Lampiran) dapat dilihat keenam negara
menghadapi tantangan persaingan yang kompetitif dalam produk dan pasar
tradisional dengan kerugian terjadi dalam intensive margin, termasuk punahnya hubungan produk–pasar. Dalam EM kinerja ekspor negara–negara tersebut tidak
menunjukkan pertumbuhan yang berarti, hanya sebagian kecil peningkatan pada
penjualan produk yang ada ke pasar baru. Indonesia relatif lebih baik dari Filipina
dilihat bahwa pertumbuhan Tiongkok relatif lebih baik karena IM tumbuh 105,04%
dan penurunan ekspor sebesar 4,97%. Dari dimensi EM, Vietnam tumbuh 2,73%,
lebih tinggi dibandingkan Indonesia sebesar 0,96%.
Indonesia Vietnam
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 23. Dekomposisi Pertumbuhan Ekspor tahun 2003
–
2013
Indikator export suspension and factor endowments mengidentifikasi aliran perdagangan yang bernilai paling sedikit 10.000 dolar AS yang menghilang sejak
tahun awal. Indikator itu dipilih untuk membandingkan faktor intensitas produk
tersebut terhadap faktor pendukung tertentu milik negara tersebut. Harapannya
adalah kematian produk lebih mungkin terjadi jika faktor intensitas suatu produk
berada jauh dari faktor pendukungnya. Jika titik faktor pendukung suatu negara
diwakili oleh perpotongan antara rata–rata intensitas modal manusia dan fisik,
dapat dilihat seberapa jauh atau seberapa dekat faktor intensitas ekspor dari titik
rata–rata faktor pendukungnya. Dari Gambar 24 terlihat bahwa ekspor Indonesia
pada tahun 2013 tidak begitu selaras dengan faktor pendukungnya. Hal itu
ditunjukkan jarak antara faktor intensitas ekspor dengan titik perpotongan faktor
pendukungnya yang cukup jauh. Berbeda halnya dengan Thailand, mayoritas
ekspor besarnya berada relatif lebih dekat dengan faktor pendukungnya. Hal itu
dapat mengindikasikan kelangsungan ekspor produk–produk di Thailand akan lebih
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 24. Export Relative to Endowment
–
Indonesia 2013
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 25. Export Relative to Endowment
–
Thailand 2013
4.1.2 Diagnostik Daya Saing
Indonesia memiliki permasalahan pada keempat dimensi daya saing dengan
isu terutama pada tenaga kerja (skill set), logistik, kebijakan, dan institusi domestik
yang tidak kondusif serta kurangnya dukungan market access dari sisi free trade agreement (FTA) dan non-tariff measures (NTMs). Hal itu juga ditemukan dari hasil FGD dengan pelaku usaha, faktor utama yang disebutkan adalah ketidakpastian
Tabel 7. Ringkasan Diagnostik Daya Saing
Tantangan Utama Ekspor Indonesia
Keterangan
Akses Pasar ↓↓ Didominasi oleh non-tariff measures dari negara maju. FTA Indonesia relatif tertinggal dibandingkan
negara kawasan.
Incentive Framework ↓↓ Kebijakan FDI Indonesia paling tertinggal dibandingkan peers. Dari sisi kebijakan dan institusi
domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah
di ASEAN dan menurun dalam 10 tahun terakhir.
Factors Condition ↓↓ Tenaga kerja khususnya pada skill set, kondisi logistik merupakan hambatan utama.
Trade and Invesment Facilitation
↓ Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi Indonesia adalah di bidang standar dan sertifikasi
yang belum memenuhi standar internasional dengan
promosi investasi dan ekspor yang tergolong lemah.
Keterangan:
↓ : Sedikit tertinggal dibandingkan peers ↓↓ : Tertinggal dibandingkan peers
4.1.2.1 Akses Pasar
Hambatan terbesar dari segi akses pasar didominasi oleh non-tariff measures
yang banyak diterapkan oleh negara-negara maju yang merupakan tujuan ekspor.
Rendahnya tarif bea masuk di negara-negara maju seharusnya menjadi peluang
bagi peningkatan ekspor Indonesia. Namun, proteksi dari segi non-tariff measures,
seperti sanitary and phytosanitary (SBS) dan technical barriers (TBT) yang berlaku di beberapa negara maju dapat menjadi hambatan bagi eksportir dalam melakukan
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 26. Tarif Impor di Beberapa Negara
Rata–rata tarif bea masuk untuk barang impor yang diterapkan oleh
Indonesia berkisar antara 5%–10%. Negara–negara maju tujuan ekspor, seperti USA
dan Jepang menerapkan tarif bea masuk barang impor <5%. Amerika, Jepang,
Tiongkok, Korea, India, dan Eropa memberlakukan tarif bea masuk yang tinggi
untuk produk–produk pertanian, berkisar antara 5%–35%. Di Indonesia, tarif bea
masuk untuk produk pertanian relatif sama dengan produk–produk non-pertanian.
Beberapa negara di kawasan, seperti Thailand dan Vietnam memberlakukan tarif
bea masuk yang lebih tinggi untuk produk pertanian. Bilateral trade arrangement antara Indonesia dan beberapa negara tujuan ekspor menyebabkan produk–produk
Indonesia bisa mendapatkan tarif bea masuk yang lebih rendah. Jika dibandingkan
dengan negara–negara kawasan, tarif bea masuk yang berlaku di Indonesia dan
Filipina tergolong paling rendah, terutama untuk produk–produk impor dari negara–
negara Asia Tenggara. Eropa memberlakukan non-tariff measures yang cukup tinggi,
terutama dalam bentuk TBT dan SPS. Oleh karena itu, respon yang krusial adalah
Tabel 8. Daftar Non
–
Tariff Measures di Beberapa Negara
Sumber: WITS World Bank, diolah
Indonesia relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers dalam
menjajaki dan ikut serta dalam regional trade agreements (RTA) dengan negara– negara di luar ASEAN. Misalnya, Indonesia tidak mempunyai RTA dengan Eropa
atau AS, padahal negara–negara di kawasan tersebut mempunyai produk yang
bersifat komplementer dengan Indonesia. Sebagai salah satu implikasi, berdasarkan
hasil FGD dengan pelaku usaha, beberapa perusahaan asing lebih memilih
melakukan ekspansi ke Vietnam daripada ke Indonesia karena negara Vietnam
mempunyai keunggulan dalam hal akses pasar. Indonesia juga akan berisiko
terkena dampak negatif trade diversion atas RTA yang tidak diikuti.
4.1.2.2 Incentive Framework
Incentive framework merupakan salah satu determinan daya saing dari sisi suplai, yaitu kerangka insentif yang dihadapi pelaku usaha. Terdapat dua hal yang
dikupas, yaitu kebijakan perdagangan dan investasi serta kebijakan dan institusi
domestik. Dari sisi kebijakan perdagangan dan investasi, kebijakan FDI Indonesia
paling rendah dibandingkan peers (Gambar 27) karena hanya sektor pertambangan,
minyak dan gas, serta listrik dan perbankan yang keterbukaan terhadap investasi
asing lebih tinggi daripada rata–rata. Sementara itu, dari sisi kebijakan dan institusi
domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah di ASEAN dan jika
meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2014 (peringkat 120). Beberapa
aspek jauh lebih rendah dari peers seperti starting a business, registering property,
enforcing contracts, dan paying taxes (Gambar 29).
Sumber: Doing Business, diolah Sumber: Doing Business, diolah
Gambar 27. Ease of Establishment
Index
Gambar 28. Ease of Doing
Business
Sumber: Doing Business, diolah
Gambar 29. Kemudahan Berusaha di Indonesia
4.1.2.3 Factor Conditions
Kondisi tenaga kerja, logistik, serta beberapa faktor lain yang kurang baik
menjadi hambatan keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara peers lainnya.
Untuk kondisi tenaga kerja, terdapat biaya yang tinggi. Upah minimum
kondisi negara maju. Upah minimum yang terlalu tinggi menyebabkan PHK serta
pemindahan pabrik ke provinsi dengan UMR lebih rendah. Biaya pemecatan juga
sangat tinggi dibandingkan peers, yaitu sekitar 50 kali gaji mingguan. Selain itu, terdapat beberapa implicit cost seperti banyaknya labor union yang menyulitkan proses negosiasi, banyaknya demonstrasi, serta meningkatnya risiko operasional.
Dari sisi skill, terdapat permasalahan yang lebih serius. World Bank (2014)
menyatakan bahwa (1) terdapat skill mismatch, 50% lulusan SMA/setara dan 15%
lulusan universitas bekerja di unskilled position; (2) 70% pengusaha manufaktur
mengatakan ‘sangat sulit’ untuk mengisi skilled positions; (3) hanya 5% pekerja yang
memperoleh on-the-job training formal. Lebih lanjut, hasil FGD mengindikasikan bahwa Indonesia membutuhkan medium dan high skilled workers pada tahun 2020.
MEA menyebabkan Indonesia akan mengalami shortage skilled labor.
Sumber: World Development Indicators, diolah Sumber: Global Competitiveness Index, WEF
Gambar 30. Upah Minimum dan
Produktivitas
Gambar 31. Biaya Pemecatan
Kondisi logistik memprihatinkan dan sangat menghambat perkembangan
daya saing. Walaupun data WDI menunjukkan bahwa Logistic Performance Index dan kondisi infrastruktur Indonesia sedikit meningkat, kondisinya masih lebih
rendah dibandingkan peers. Skor international shipments turun dan menempati peringkat terbawah. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan untuk ekspor-impor
relatif lama dibandingkan negara peers, yang antara lain karena adanya hambatan
akses di darat dan proses bongkar muat di pelabuhan.
Beberapa masalah lain yang diketahui adalah (1) kecepatan, bandwidth,dan
harga internet broadband tidak kompetitif; (2) kurangnya sertifikasi internasional dan compliance atas produk ekspor dan proses industri; (3) kurangnya penggunaan
Sumber: Doing Business, World Bank Sumber: World Bank
Gambar 32. Upah Minimum dan
Produktivitas
Gambar 33. Logistic Performance
Index
Sumber: Ookla Net Index Sumber: Enterprise Surveys, World Bank
Gambar 34. Biaya Bulanan Internet
Gambar 35. Persentase
Perusahaan dengan Lisensi
Teknologi Asing
4.1.2.4 Trade Promotion Infrastructure
Infrastruktur promosi perdagangan meliputi berbagai intervensi Pemerintah
untuk mengatasi kegagalan pasar (tantangan koordinasi dan informasi asimetrik)
dan kegagalan Pemerintah yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor, termasuk
promosi ekspor tradisional dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), lembaga
koordinasi industri, standar dan sertifikasi, serta inovasi.
Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi Indonesia adalah di
bidang standar dan sertifikasi. Meskipun banyak hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan hal tersebut dari perspektif kelembagaan, masalah yang timbul lebih
banyak dari rendahnya tingkat kecanggihan industri/perusahaan Indonesia, yang
pada gilirannya terkait dengan salah satu tantangan daya saing fundamental, yaitu
inovasi.
Tantangan utama untuk meningkatkan daya saing kualitas produk ekspor Indonesia adalah mampu memberikan standar internasional (bahkan mempunyai sertifikasi untuk membuktikannya).
Berdasarkan data pada Sumber: WDI, diolah
Gambar 36
, hanya 3% perusahaan Indonesia yang memiliki sertifikasiberkualitas internasional, jauh tertinggal dengan negara kawasan lainnya.
Kebanyakan standar teknis penting diberlakukan oleh pembeli internasional
atau mitra dagang agar para eksportir memenuhi standar tersebut sehingga
dapat berlanjut dengan pemberian kontrak. Sebagian besar perusahaan industri
Indonesia sudah memenuhi standar nasional, tetapi belum dapat memenuhi
standar internasional. Kendala utamanya adalah masalah besarnya biaya
sertifikasi standar internasional dan implikasinya terhadap daya saing.
Sertifikasi ternyata meningkatkan biaya produksi, sementara biaya tersebut
sukar untuk ditransmisikan ke konsumen.
Selain itu, masih lemahnya infrastruktur standardisasi Indonesia juga
menjadi penyebab kurang kompetitifnya produk ekspor Indonesia. Banyak
laboratorium penguji di Indonesia tidak mendapat pengakuan internasional
sehingga memengaruhi proses sertifikasi dan pemenuhan standar yang
dibutuhkan oleh pembeli internasional. Daya saing eksportir Indonesia juga
ditentukan oleh rezim standar nasional. Rezim standar nasional yang lemah
ditambah dengan kurangnya monitoring dan penegakan peraturan berkontribusi
pada terjadinya kompetisi kualitas rendah pada pasar domestik.
Sumber: WDI, diolah
Gambar 36. Internationally
–
Recognized Quality Certification
b. Inovasi
Industri di Indonesia perlu terus meningkatkan kualitas produk dan daya
mencapai hal tersebut bergantung pada kapasitas inovasi dari sektor industri
masing–masing. Sumber: WDI, diolah
Gambar 37
dan Sumber: World Economic Forum GCI, diolahGambar 38
menunjukkan kesenjangan (gap) yang terjadi pada kapasitasinovasi Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun perusahaan. Alokasi
anggaran untuk riset dan penelitian di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya. Kebanyakan industri di Indonesia masih
mengandalkan pembeli internasional untuk memberikan persyaratan spesifikasi
desain dan teknik sehingga hanya memproduksi sesuai dengan spesifikasi. Hal
itu membatasi kemampuan potensial sektor industri untuk dapat menciptakan
inovasi dan bergabung pada Global Production Networks (GPN). Bahkan, proses
replikasi produk pun tidak selamanya berhasil dilakukan oleh industri di
Indonesia karena persyaratan presisi yang begitu ketat dan rendahnya toleransi
yang diperbolehkan. Kurangnya perhatian terhadap kualitas dan desain
berhubungan erat dengan rendahnya tingkat kecanggihan suatu perusahaan.
Banyak perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1980-an merasa telah
nyaman dan tidak merasa perlu mengambil risiko untuk mendorong inovasi
desain industri. Walaupun demikian, berdasarkan informasi dari pelaku usaha,
hanya sedikit industri yang mulai melakukan inovasi dengan mendesain
beberapa produk untuk pasar domestik dan juga mulai bergabung dalam Global
Value Chain (GVC).
Sumber: WDI, diolah
Gambar 37. Pengeluaran R&D (%
PDB)
Sumber: World Economic Forum GCI, diolah
Gambar 38. Kualitas dari
Lembaga Riset
Pada tingkat perusahaan, investasi pada riset dan pengembangan masih
tergolong rendah. Institusi atau lembaga untuk mendukung pengembangan
3.7