• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Singapura

Sejak mencapai pemerintahan sendiri pada 1959, Singapura menghadapi berbagai ketidakpastian ekonomi dan gejolak perekonomian. Singapura memandang penyediaan tenaga kerja dan perumahan yang layak merupakan dua masalah pokok yang perlu segera dibenahi. Terkait penyediaan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sustainable merupakan satu-satunya jawaban. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, beberapa tujuan kebijakan yang lain akan dapat dipenuhi dengan lebih mudah. Pada tahun 1960 GDP/capita hanya SGD1,310 sementara saat ini 2014 SGD71,318, meningkat lebih dari lima puluh kali lipat. Penghasilan pekerja dengan 44 jam kerja/seminggu pada 1960 sebesar SGD120, sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi SGD3,770.

Sejak awal berdirinya, Singapura memiliki visi untuk menjadi bagian dari first world economics dalam waktu 3–40 tahun. Kunci untuk mencapai itu disesuaikan dengan keberadaan Singapura sebagai kota perdagangan tanpa sumber daya alam, tetapi memanfaatkan economic dynamism, menawarkan high quality of life, serta memiliki a strong national identity dan suatu konfigurasi kota global (global city).

Beberapa strategi utama yang dilakukan adalah (1) meningkatkan sumber daya manusia; (2) mempromosikan kerja sama tim nasional (promoting national teamwork); (3) berorientasi internasional; (4) menciptakan iklim kondusif untuk inovasi; (5) mengembangkan klaster manufaktur dan jasa; (6) spearheading economic redevelopment; (7) mempertahankan keunggulan daya saing internasional; dan (8) mengurangi vulnerabilitas.

Pertumbuhan ekonomi Singapura tidak terlepas dari peran aktif EDB (economic development board) yang bertugas mempersiapkan perkembangan ekonomi untuk medium dan long term, yaitu menerapkan prinsip realignment, redirecting, dan reorientation dilakukan secara fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman.

Tiga tahapan utama perkembangan ekonomi Singapura (CSS, 2015): (1) 1950s–1970s: membangun ekonomi nasional;

(2) 1980s–1990s: refining strategies: deepening and diversifying engines of growth (3) 1998–2000s: globalization and the challenges of sustainable, inclusive growth

37 Mendiang Perdana Menteri Lee pada 2012 (Neng, 2015) mengungkapkan “Without growth, we have no chance of improving our collective being… Slow growth will mean that new investments will be fewer, good jobs will be scarcer, and unemployment will be higher. Enterprising and talented Singaporeans will be lured away by the opportunities and the incomes they can earn in other leading cities. Low– income workers will be hardest hit, just as they were each time our economy slowed down in the last decade. Over time, our confidence will be dented. Thoughtful Americans have told me that a major challenge for the US after years of slow growth has been a profound loss of optimism. The same is true for Japan, and will be true of Singapore too if ever our economy stagnates.” Hal utama yang perlu dibenahi bagi Lee adalah menciptakan economic viability yang ditopang oleh struktur administratif yang bersih dan efisien untuk melaksanakan kebijakan ekonomi (Menon, 2007).

Strategi Industri Singapura dapat dijelaskan dalam prinsip sebagai berikut (CSS, 2015).

(1) Melihat dengan keterbatasan yang ada, yaitu negara kecil tanpa sumber daya alam, tetapi memiliki lokasi geografi yang strategis. Oleh karena itu, filosofi pengembangan ekonominya harus berdasarkan free market system dan outward orientation didukung oleh pemerintahan yang menyediakan kerangka legislatif, lingkungan yang stabil dan kondusif untuk bisnis, corporate governance yang baik, kebijakan yang memfasilitasi bisnis, investasi dalam infrastruktur dan tenaga kerja, serta kebijakan bagi pengembangan pemerataan kesempatan hidup layak.

(2) Strategi industri meliputi bebarapa fase (Cahyadi dll., 2004; Yue, 2005, Neng, 2015)

a. 1965–1978: proses industrialisasi melalui strategi berorientasi ekspor dengan menarik investor asing dan mengembangkan industri manufaktur dan sektor keuangan. Perbaikan iklim tenaga kerja dan investasi serta menasionalisasi perusahaan karena sektor swasta tidak mampu menyediakan kapital yang cukup dan keahlian yang cukup, seperti Singapore Airlines, Nepture Orient Lines, Development Bank of Singapore, dan Sembawang Shipyard.

b. 1979–1985: memperbarui penekanan pada penngembangan tenaga kerja melalui pendidkan dan pelatihan. Mendorong otomatisasi industri, mekanisasi, dan komputerisasi. Memberi insentif untuk beralih ke teknologi dengan nilai tambah yang lebih besar dan kebijakan yang mendorong penanaman modal dalam industri padat modal dan keahlian.

38 c. 1986–2000: memperdalam basis teknologi industri, mengembangkan klaster industri, serta mempromosikan industri manufaktur dan jasa sebaai twin pillars dari perekonomian Singapura. Regionalisasi atau mendorong perusahaan-perusahaan di Singapura untuk melebarkan sayapnya ke wilayah di sekitar Singapura, di antaranya memanfaatkan gold triangle: Riau– Johor–Singapura.

d. 2000–sekarang: mengalihkan perhatian pada inovasi, pengetahuan, serta riset dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan menjadi bagian penting dari pengembangan perekonomian Singapura pada masa yang akan datang (Goh, 2005). Untuk itu, pelindungan hak properti intelektual diterapkan dan didukung penerapannya dengan law enforcement yang kuat. Oleh karena itu, fokus pada teknologi informasi harus dilakukan termasuk web–based commercial strategies dan e–government initiatives. Agar kemampuan entrepreneurship berkembang, kemampuan ini terus didorong dan termasuk dalam bagian penting dalam penelitian dan pengembangan. Terakhir, potensi manusia semakin dikembangkan, termasuk di dalamnya change management agar performa perusahaan semakin baik.

(3) Pada tahun 2010 ada tiga prioritas utama yang ingin dicapai, yaitu sebagai berikut.

a. Mendorong keahlian dalam setiap pekerjaan agar tingkat upah yang lebih tinggi dapat dipertahankan. Perusahaan didorong agar berinovasi, memperbaiki efisiensi dan membuat pekerjaan lebih baik, serta meningkatkan keahlian pekerja pada semua tingkat. Sedapat mungkin dihindari ketergantungan kepada tenaga kerja asing.

b. Memperdalam kemampuan perusahaan untuk menangkap peluang di Asia. Perusahaan perlu menumbuhkan ekosistem bisnis yang beragam, tetapi kuat menahan goncangan, mengomersialisasi R&D sebagai sumber competitiveness, dan mengembangkan fasilitas berdasarkan pasar untuk melebarkan pembiayaan internasional bank.

c. Membuat Singapura sebagai suatu distinctive global city and endearing home. Hal itu dicapai melalui pendalaman keahlian dalam berbagai bidang, menarik sumber daya manusia berpotensi tinggi dari luar negeri, dan membuat Singapura sebagai a distinctive global city.

(4) Strategi utama dalam satu dekade ke depan untuk mencapai tiga prioritas utama tersebut adalah sebagai berikut.

39 b. Menjadi Global–Asia Hub untuk industri manufaktur dan jasa

c. Ekosistem perusahaan yang beragam d. Inovasi yang tajam

e. Smart energy economy

f. Meningkatkan produktivitas tanah g. Global city, endearing home

Pada prinsipnya Singapura telah menerapkan apa yang diperlukan bagi suatu transformasi produktif yang berhasil (Nubler, 2014), yang ditopang oleh kebijakan industri yang baik (Lin and Treichel, 2014) dan dengan memanfaatkan keberadaan GVC yang semakin besar dalam ekonomi global saat ini (Milberg, Jiang dan Gereffi, 2014).

2. Korea Selatan

Hanya dalam jangka waktu kurang lebih 60 tahun, Korea Selatan (Korsel) berhasil melakukan transisi dari perekonomian tidak berkembang, bahkan merupakan salah satu negara termiskin pada 1960an, menjadi negara maju. Keberhasilan tersebut dikenal dengan sebutan “The Korean Miracle” dan merupakan perkembangan ekonomi yang paling berhasil selama abad ke-20. Gross National Income (GNI) per kapita meningkat dari 85 dolar AS pada tahun 1961 menjadi lebih dari 20.000 dolar AS pada tahun 2006. Korsel menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-13 pada tahun 2014. Perkembangan ekonomi Korsel patut diperhatikan karena merupakan pembangunan dengan ekuitas, pengentasan kemiskinan yang tergolong cepat, dan tanpa peningkatan kesenjangan (inequality) selama proses transisi. Elemen-elemen yang menjadikan Korsel pemain utama dalam ekonomi global adalah bantuan dari komunitas internasional, pengabdian masyarakat Korsel untuk bekerja, usaha konsisten dari Pemerintah untuk membuka perekonomiannya, dan upaya perusahaan untuk berinovasi dan meningkatkan daya saing di pasar internasional.

40

Gambar 46. Transformasi Perekonomian Korea Selatan

Investasi pendidikan telah memainkan peran penting terhadap pertumbuhan Korsel yang cepat dan berkelanjutan. Strategi pembangunan berfokus pada pencapaian pertumbuhan produktivitas berkelanjutan dengan secara konsisten meningkatkan nilai tambah dari output. Untuk mencapai hal itu, tenaga kerja yang berpendidikan tinggi sangatlah diperlukan. Sejak berakhirnya perang Korea sampai dengan tahun 1960-an, Korsel mengadaptasikan kebijakan substitusi impor untuk pembangunan ekonominya. Tujuan utama perekonomian pada periode itu adalah meningkatkan lapangan pekerjaan dan memperbaiki neraca pembayaran. Korsel mulai mempromosikan industri substitusi ekspor dan impor dimulai dengan subsistensi pertanian (beras) dan padat karya, sektor manufaktur ringan (tekstil dan sepeda). Perekonomian Korsel kala itu banyak bergantung pada bantuan dana asing, salah satunya bantuan dari Amerika Serikat yang menyediakan bahan baku untuk industri three white pada tahun 1950 di Korea berupa gula, benang katun, dan tepung gandum. Akumulasi modal dan investasi dalam pendidikan dasar selama periode itu memungkinkan pergeseran bertahap ke atas rantai nilai tambah menuju komoditas yang lebih canggih. Kunci pergeseran itu adalah penggunaan teknologi yang diperoleh melalui lisensi asing dan diadaptasi untuk produksi dalam negeri.

Pada awal tahun 1960-an, perekonomian Korea Selatan masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Untuk membebaskan diri dari jeratan kemiskinan, Pemerintah Korsel mencanangkan Five–Year Economic Development Plan pada tahun 1962. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, Pemerintah membantu perkembangan industri impor subsitusi yang memproduksi barang antara dasar, seperti semen dan pupuk. Setelah itu, Pemerintah mempromosikan industri ekspor

1960s 1970s 1980s 1990s 2000s Development Stage Industrial Policy Science & Technology (S&T) Policy

Factor-Driven Investment-Driven Innovation-Driven

Support Export Development Expand export-orient light

industries

Promote Heavy & Chemical Industries

(HCI)

Expand technology- intensive industries Shift from Industry Targetting

to R&D Support

Promote high-technology innovation Provide Information Infrastructure and R&D

Support

Transition to Knowledge- Based Economy Promote New Engines of Growth and Upgrade R&D Scientific Infrastructure Setting Government Research Institutes (GRI) Technical and Vocation Schools R&D Promotion Act Daedeok Science Town KAIST:highly qualified personnel Scientific Institution Building MOST/KIST S&T Promotion Act Five-Year

Economic Plan incl.S&T

R&D and Private Research Lab

Promotion National R&D Plan

(NRDP) Private Sector Initiatives in R&D Promotion of Industrial R&D Leading Role in Strategic Area Informatization E-Government GRI Restructuring U-I-G Linkages Enhancing univ- research capability Promoting co-op research Policy coordination <New Challenges>  Universities’ Leading Role  Efficient National Innovation Systems (NIS)  Regional Innovations System (RIS) and Innovation Clusters Sources of

Competition

cheap labor

manufacturing capability innovative capability

CATCH - UP INNOVATION

41 padat karya seperti tekstil dan plywood yang memiliki daya saing internasional akibat dari biaya tenaga kerja murah dan mampu menyerap pengangguran maupun pengangguran terselubung. Dalam rangka mendukung industri ekspor, langkah- langkah mempromosikan ekspor secara luas diambil. Pinjaman dengan kebijakan suku bunga rendah diberikan untuk membantu perusahaan-perusahaan ekspor yang mengalami kesulitan keuangan. Berbagai bentuk perlakuan pajak diferensial diberlakukan kepada industri ekspor, seperti pembebasan pajak dan rabat tarif pajak. Pemerintah juga fokus pada mobilisasi yang efisien dan alokasi sumber daya investasi. Beberapa bank khusus didirikan untuk membiayai sektor–sektor strategis terbelakang seperti UMKM dan konstruksi perumahan. Bersamaan dengan hal tersebut, untuk mendorong masuknya arus modal asing, The Foreign Capital Inducement Act disahkan pada tahun 1966 dan bank asing diperbolehkan untuk membuka cabang sejak tahun 1967. Proses industrialisasi ekonomi Korsel yang cepat dibawah bimbingan Pemerintah selama tahun 1960-an menunjukkan kinerja yang mengesankan. Selama proses industrialisasi berorientasi pada pertumbuhan, sejumlah besar modal asing perlu didorong karena dana simpanan domestik tidak mencukupi untuk membiayai permintaan investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, jumlah uang beredar meningkat dengan cepat untuk membiayai berbagai proyek pemerintah.

Pertengahan tahun 1970-an implementasi kebijakan industri yang tepat guna oleh Pemerintah berdampak pada pergeseran ke pengembangan industri berat (contoh bahan kimia, besi dan baja, otomotif, serta pembangunan kapal). Seiring dengan industrial targeting, berbagai kebijakan diberlakukan untuk lebih meningkatkan kemampuan teknologi bersamaan dengan memperbaiki akses ke dan kualitas dari pelatihan teknis dan kejuruan. Tujuan mendorong HCI adalah untuk mendorong industri pertahanan, mengejar Jepang dalam industri HCI, merespons peningkatan proteksionisme dalam industri ringan, serta mencapai impor subsitusi pada barang kapital. Investasi dalam sektor–sektor baru didukung oleh insentif pajak dan keuangan serta pemberian bantuan pada grup perusahaan besar (Chaebol). Suksesnya transformasi industri berat dan kimia ke sektor ekspor baru mengakibatkan Korsel mampu mempertahankan laju pertumbuhan yang kuat sepanjang tahun 1970. Namun, dalam melaksanakan rencana pembangunan ekonomi yang ambisius dengan dana tabungan domestik yang tidak mencukupi, perekonomian diwarnai dengan kekurangan dana yang cukup besar. Kesenjangan investasi-tabungan ini dijembatani dengan mendorong masuknya dana asing atau dengan meningkatkan pasokan uang. Sebagai konsekuensinya, utang luar negeri

42 terus menumpuk dan inflasi kronis tetap terjadi. Efek samping hal tersebut menyebabkan pergeseran stance kebijakan pemerintah menuju strategi pertumbuhan berorientasi stabilitas.

Awal tahun 1980-an, efek samping dari manajemen ekonomi berorientasi pertumbuhan makin mencolok. Krisis minyak yang kedua dan kekacauan politik dalam negeri memberikan dampak yang cukup berarti. Akibatnya, perekonomian Korsel mengalami berbagai kesulitan selama tahun 1980 dan mencatat pertumbuhan negatif pertama sejak Development Plan pertama kali dicanangkan dan defisit transaksi neraca berjalan yang besar. Untuk mengatasi kesulitan itu, Pemerintah melakukan langkah–langkah penyesuaian struktural untuk meningkatkan efisiensi ekonomi. Pertama, Pemerintah menggeser prioritas kebijakan ekonomi dari pertumbuhan ke stabilitas dan secara aktif mendorong penyesuaian investasi berganda dan likuidasi perusahaan-perusahaan bermasalah. Bersamaan dengan kebijakan itu, pergeseran ke ekonomi yang lebih terbuka dan deregulasi dilakukan secara bertahap, sebagai bagian dari langkah menuju private– initiative pada manajemen ekonomi. Sayangnya, upaya tersebut tidak begitu membuahkan hasil karena situasi ekonomi politik yang rentan. Meskipun demikian, kebijakan moneter dan fiskal yang ketat serta kestabilan baru harga minyak internasional, berkontribusi pada pembangunan dasar perekonomian Korsel yang stabil. Namun, pertumbuhan ekonomi yang terus tinggi menyebabkan ketidakstabilan harga baru. Selain peningkatan inflasi, upah juga mengalami peningkatan.

Korsel terus menekuni manufaktur bernilai tambah tinggi pada tahun 1990- an dengan mempromosikan inovasi teknologi tinggi. Kenaikan upah buruh domestik dan apresiasi mata uang Won telah mengakibatkan defisit neraca transaksi berjalan yang cukup besar, yang memicu serangkaian reformasi, termasuk reformasi pasar keuangan. Bersamaan dengan pendirian infrastruktur informasi yang modern dan lebih mudah diakses, ekspansi kemampuan pengembangan riset tetap dilakukan di industri Korsel, yang pada akhirnya menarik minat tenaga kerja terampil yang dihasilkan dari ekspansi pemerintah akan sistem pendidikan tinggi. Pasca- terjadinya krisis keuangan pada pertengahan tahun 1990-an, upaya kebijakan dilakukan untuk mentransformasi perekonomian Korsel menjadi ekonomi berbasis pengetahuan yang memunculkan berbagai inovasi serta meningkatkan produktivitas secara keseluruhansehingga dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Banyak faktor yang berperan dalam perubahan ekonomi Korsel yang

43 cepat. Salah satu faktornya adalah pembangunan infrastruktur informasi dan memanfaatkan potensi dari ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Thailand

Thailand berhasil menjadi “Detroit of Asia” dengan keunggulannya menjadi

pusat industri otomotif di ASEAN. Hal tersebut dicapai dari skill, teknologi, industri pendukung, dan klaster melalui learning dan akumulasi kemampuan. Analisis product space menunjukkan bahwa pada tahun 2013 yang dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah produk berkeunggulan komparatif untuk garmen di Thailand berkurang.

Pencanangan untuk menjadi negara dengan keunggulan pada industri otomotif sudah dilakukan sekurangnya sejak 3 dekade lalu. Pertumbuhan ekonomi Thailand pada tahun 1980 hingga awal tahun 1990-an sangat tinggi. Hal itu didorong oleh tingkat investasi yang sangat tinggi dengan 20% pertumbuhan jangka panjang dikontribusikan oleh stok modal fisik (Warr, 2011). Terkait dengan hal itu, Warr (2011) menjelaskan bahwa Thailand sejak beberapa dekade lalu tidak takut untuk memiliki tingkat integrasi yang dalam pada sisi investasi dan perdagangan dengan seluruh dunia.

Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer. Data ekspor dari WITS.

Dokumen terkait