• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV PROFIL MASYARAKAT

A. Masyarakat Umum

5. Budaya masyarakat

Budaya masyarakat sekitar kawasan umumnya dipengaruhi oleh budaya etnis Jawa dan Madura. Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat sekitar dengan nuansa Islam tradisional yang kental (Nahdatul

46 Ulama). Mulai tahun 1977 ada tradisi tahlilan, dzibaan, barzanji dan arisan yang dilakukan masyarakat di langgar setiap malam Jumat. Kesenian tradisional yang berkembang antara lain adalah Jaranan Kepang dan kesenian Kerawitan. Kegiatan gotong royong masyarakat masih tumbuh, yang terlihat antara lain kebiasaan “sambatan” (yaitu kegiatan membantu dalam membangun rumah kerabat/tetangga atau hajatan tanpa upah) pada saat membangun rumah para kerabat dan budaya bersih desa dan setiap ada perkawinan (Riyanto, 2005).

B.

Sejarah Masyarakat Pendarung

Berdasarkan laporan program Konsorsium FAHUTAN IPB - LATIN (2001) dapat dikutib sejarah desa Curahnongko yang ditulis dengan metoda PRA, seperti dikemukakan berikut ini.

Awal cikal bakal berdirinya desa Curahnongko yang merupakan asal muasal masyarakat pendarung dimulai pada tahun 1917 dengan kedatangan Pak Jah dan Pak Rah dua orang pendatang dari Madura. Kemudian mulai tahun 1919- 1921 dilakukan pembabatan hutan untuk perkampungan oleh kelompok Pak Jah dan Pak Rah tersebut.

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1929 telah mengeluarkan suatu ketentuan bahwa kawasan hutan Meru Betiri dan sekitarnya perlu dilindungi dan dilestarikan, kemudian ketentuan ini dikuatkan pada tahun 1938 dengan ketetapan dari .Pemerintah Hindia Belanda.

Tentera Jepang masuk ke Curahnongko pada tahun 1942. Semua hasil pertanian diminta dan disita Jepang. Makanan tidak ada, mulai pada tahun inilah orang-orang mulai banyak masuk hutan Meru untuk mencari yang bisa dimakan dan membuat pakaian dari kulit pohon ancar. Makanan yang dicari adalah gadung dan ketela pandesi. Kemudian setelah Jepang pergi, pada tahun 1947 Belanda masuk kembali dan membakar perkampungan Curahnongko. Banyak masyarakat kembali masuk dan bahkan mengungsi ke hutan. Orang-orang di hutan mengambil segalanya yang bisa dimakan atau dijual, seperti : gadung, madu, buah kemiri, buah kluwek, buah kedawung, buah joho dan lain-lain. Saat itu beberapa orang (termasuk mbah Setomi) mulai mengenal daerah-daerah yang banyak terdapat pohon-pohon kedawung dan jenis lain yang hasilnya laku dijual.

47 Kegiatan masyarakat masuk hutan yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil, biasanya terdiri 3 – 5 orang, yang bertujuan mengambil hasil hutan dan biasanya mereka menginap di hutan 2 - 5 hari. Kegiatan ini biasanya mereka sebut

m’darung, dan kelompok-kelompok kecil tersebut adalah pendarung.

Pada tahun 1948 mulai ada pengepul (pedagang pengumpul) tumbuhan obat, namanya Pak Alim, sebelumnya ia menerima pesanan dari luar daerah, biasanya dari Ajung, selanjutnya dia memberitahu para pendarung (mbah Setomi dan beberapa kawannya) bahwa saat ini musim buah tertentu, misalnya Kedawung sudah tua, Kemiri sudah tua dan dapat dipanen. Nanti kalau ketemu diambil dengan taksiran harga per kilo sekian. Jika harganya dirasa cocok, baru orang- orang masuk hutan mencari barang yang dipesan pengepul. Jika sebelum masuk hutan tidak punya uang dapat pinjam dahulu ke pengepul, berupa uang atau beras, jagung, cengkeh, dan lain-lain. Pinjaman biasanya dibagi dua, sebagian untuk kebutuhan keluarga di rumah, sebagian untuk bekal masuk hutan bersama gandengan teman masing-masing. Kegiatan mendarung ini berlangsung sampai sekarang dan meluas kepada masyarakat dari desa Sanenrejo dan desa Curahtakir. Perkembangan masyarakat ini terjadi antara lain karena adanya perpindahan dan perkawinan penduduk Curahnongko dengan masyarakat dari luar desa.

Hutan Curahnongko mulai dibabat pada tahun 1955 dan ditanami jati milik Perhutani sedang yang melakukan pembabatan adalah masyarakat petani dan yang menanam jati juga masyarakat petani Curahnongko. Sebagai upahnya petani boleh menanam palawija di sekitar tanaman jati yang masih kecil, hasilnya untuk masyarakat petani. Tanaman palawijanya adalah jagung, padi gogo dan tembakau. Setelah 3 tahun, tanaman sela ditutup dan petani harus keluar dari areal Perhutani. Model seperti ini juga dilakukan oleh Perhutani di Wonowiri, Kali Tapeh dan Pondok Jati, yang dilakukan berurutan waktunya. Daerah Wonowiri hutan alam primer ditebang pada tahun 1958 dan diganti dengan tanaman Jati.

Penanaman Jati pada tahun 1967 dilakukan secara besar-besaran di sepanjang perbatasan hutan alam memanjang ke arah Barat sekitar 2000 ha. Bagi masyarakat petani yang diwakili oleh mbah Setomi pembabatan hutan alam, kemudian diganti dengan Jati itulah awal kerusakan dan kesusahan masyarakat, karena setelah itu air menjadi susah, udara menjadi panas, apalagi kalau kemarau

48 pasti terjadi kebakaran, padahal dulu sama sekali tidak pernah terjadi kebakaran. Sebelum itu kalau mencari madu cukup di sekitar desa saja di pinggir hutan. Biasanya mereka berangkat pagi jam 6 dan paling siang jam 9 sudah kembali dengan membawa 25 botol madu. Mencari tumbuhan obat juga tidak perlu jauh- jauh ke dalam hutan, paling sore jam 5 sudah sampai rumah membawa hasil. Setelah menjadi hutan Jati, orang mulai banyak masuk jauh ke hutan sampai ke Meru, Nanggelan, Gergunung, ke tempat-tempat yang dulu terlarang dan angker.

Kampung Andongrejo mulai memisahkan diri dari desa Curahnongko menjadi desa Andongrejo pada tahun 1990.

Masyarakat pendarung dari desa sekitar TNMB mengambil beranekaragam sumber daya alam hayati yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri. Adapun bentuk sumberdaya hayati TNMB yang diambil oleh masyarakat pendarung dapat dikelompokkan sebagai berikut (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004a) :

1. Pengambilan kayu jenis komersial sebagai bahan baku bangunan, perabot rumah tangga (furniture), badan perahu, bahan baku minyak wangi (parfum), dan lain-lain. Jenis kayu komersial yang sering diambil, antara lain : kayu garu (Chicoheton divergen), kayu kembang rekisi (Michelia velutina), kayu selasihan (Cinnamomum porrectum), kayu pacar gunung (Cassine glauca), kayu bindung(Tetrameles mudiflora), kayu suren (Toona sureni), kayu sapen (Pometia tomentosa), kayu kepuh(Sterculia foetida), kayu bendo (Artocarpus elasticus), kayu takir(Duabanga moluccana) dan lain-lain.

2. Pengambilan kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari bagi rumah tangga ataupun dijual ke pasar, bahan bakar industri genteng, dan lain-lain.

3. Pengambilan bambu; seperti bambu bubat (Bambusa sp), bambu wuluh (Schizastychyum blumei), bambu lampar (Schizastychyum branchyladium) yang diperlukan sebagai bahan baku pengasapan tembakau (sujen dan glantang), kerajinan anyaman bambu (gedhek/dinding rumah), bahan baku industri pembuatan sumpit (chopstick).

4. Pengambilan rotan; seperti rotan manis (Daemonorops melanocaetes), rotan slatung (Plectomocomia longistigma), rotan warak (Plectomocomia elongata)

49 yang diperlukan bahan baku kerajinan sendiri ataupun dijual dalam bentuk rotan asalan ke industri-industri kerajinan.

5. Perburuan satwa; untuk dijual dalam keadaan hidup sebagai binatang peliharaan ataupun berupa daging, tanduk, bulu, kulit, telur dan lain-lain. 6. Pengambilan tumbuhan obat ada sekitar 15 spesies yang banyak diambil,

antara lain kedawung. Hasil tumbuhan obat ini umumnya sebagai bahan baku pembuatan obat-obatan tradisional yang dijual kepada tengkulak.

Umumnya masyarakat pendarung ini terbagi kedalam kelompok-kelompok pendarung berdasarkan spesifik kelompok komoditi. Khusus kelompok masyarakat pendarung kedawung umumnya adalah juga pendarung komoditi tumbuhan obat lainnya dan termasuk madu. Tetapi umumnya mereka tidak mendarung komoditi lainnya selain tumbuhan obat dan madu.