• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV PROFIL MASYARAKAT

A. Sikap dan Aksi Konservas

3. Titik temu pengelolaan taman nasional dengan kepentingan masyarakat

Berdasarkan analisis kandungan visi, misi, strategi kebijakan, tujuan, sasaran, kegiatan dan tugas pokok pengelola yang disebutkan di atas, maka dapat diringkas hasil analisis secara keseluruhan seperti pada Tabel 20 berikut :

Tabel 20. Analisis kandungan visi, misi, strategi, tujuan, sasaran, kegiatan dan tugas pokok pengelola dengan tri-stimulus amar konservasi

Kebijakan pengelolaan Stimulus

alamiah

Stimulus manfaat

Stimulus religius

1. Visi Ada Ada Tidak jelas

2. Misi Ada Tidak jelas Tidak jelas

3. Strategi Ada Tidak ada Tidak jelas

4. Tujuan Tidak jelas Tidak ada Tidak jelas

5. Sasaran Tidak jelas Tidak ada Tidak jelas

6. Kegiatan Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas

7. Tugas pokok pengelola Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas

Pengalaman lapangan dari penelitian ini memberikan pembelajaran yang berharga, bahwa ternyata ada perbedaan visi antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola taman nasional yang harus dipertemukan menjadi visi bersama. Kalau tidak akan sulit terwujudnya konservasi hutan taman nasional, yang pada akhirnya akan berdampak negatif kepada masyarakat lokal dan terjadinya kerusakan lingkungan.

Titik temu ini belum bertemu, karena masyarakat terkendala dengan hak akses ke sumberdaya alam hayati, sedangkan pengelola terkendala dengan peraturan perundangan yang berlaku, termasuk kurangnya kapasitas SDM pengelola untuk memahami dan mengimplementasikan materi peraturan perundangan yang berlaku.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat hutan dan pengelola taman nasional memiliki agenda yang sangat berbeda terhadap taman nasional sehingga harus dibuat síntesis teori dan paradigma baru agar menjadi suatu kebijakan pengelolaan taman nasional yang disepakati semua pihak, terutama dengan masyarakat lokal.

129 Masyarakat hutan yang masih miskin materi maupun pengetahuan saat ini berpikir dan menyikapi sumberdaya hutan sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi hidup keluarganya. Agenda masyarakat hutan hampir selalu dimulai dengan kebutuhan untuk melindungi dan melegalisasi hak akan sumberdaya hutan termasuk lahan rehabilitasi yang mereka garap untuk memenuhi kebutuhan hidup dan untuk pemanfaatan mereka sendiri. Mereka menekankan pada pentingnya mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari sumberdaya hutan dan termasuk lahan rehabilitasi. Mereka mengharapkan kepastian hukum akan hak memanen hasil tanaman pokok yang mereka tanam di lahan rehabilitasi. Mereka menjadikan dokumentasi sejarah yang mereka buat melalui kegiatan rehabilitasi sebagai jaminan agar bisa tetap memanfaatkan sumberdaya hutan yang mereka bangun secara lestari. Berikut ini beberapa pernyataan yang muncul di masyarakat yang menunjukkan hubungan tidak harmonis dengan pengelola :

(1) Kami tahu bahwa dengan program agroforestri kami masyarakat Timur Sawah tidak lagi keluar masuk hutan untuk mencari berbagai jenis tumbuhan obat. Kami merasa telah terentaskan dari cap negatif sebagai masyarakat yang berada di bibir hutan.

(2) Seringnya kami masuk keluar hutan menjadikan posisi kami di mata petugas (pengelola) tidak lebih dari seorang pesakitan yang serba salah dan kami selalu menjadi target operasi para penjaga hutan.

(3) Kami selalu menjadi pihak yang dipersalahkan. Kami selalu menjadi ajang olokan sebagai masyarakat yang tidak mengerti apa itu kelestarian, apa itu keanekaragaman hayati dan sebagainya.

Dipihak pengelola taman nasional memiliki agenda yang seringkali dimulai dengan kepentingan untuk melindungi kawasan taman nasional yang terlarang bagi masyarakat berdasarkan pemahaman dan implementasi peraturan perundangan yang berlaku, sesuai dengan paradigma pengelolaan yang konservatif. Apabila pengelola melibatkan masyarakat lokal dalam rencana kerjanya, pengelola cenderung memandang masyarakat tersebut tidak lebih sebagai suatu sarana yang memungkinkan untuk mencapai tujuan konservatif, bukan melihat masyarakat itu sebagai subjek dan tujuan konservasi itu sendiri yang harus diwujudkan kesejahteraannya.

Dari hasil penelitian ternyata bahwa program kegiatan pengelolaan yang selama ini sangat sedikit yang berkaitan dengan kepentingan peningkatan

130 kesejahteraan masyarakat dan peningkatan nilai tambah kedawung (stimulus manfaat) maupun yang berkaitan dengan konservasi potensi (stimulus alamiah). Pemahaman pengelola terhadap substansi peraturan perundangan yang berlaku yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional sangatlah minim. Paradigma baru pengelolaan taman nasional ádalah bagaimana sintesa kedua hal di atas, yaitu memposisikan masyarakat hutan sebagai subjek konservasi taman nasional. Sedangkan pengelola dan akademisi perguruan tinggi memfasilitasi masyarakat hutan untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya sendiri melalui pelestarian pemanfaatan sumberdaya keanekaragaman hayati taman nasional. Hal ini semua merupakan prasyarat terwujudnya konservasi taman nasional yang berkelanjutan. Sebagai contoh adalah perlu segera disempurnakannya konsep rehabilitasi lahan hutan oleh masyarakat, termasuk aspek legalitas yang menjamin hak-hak dan kewajiban masyarakat, sehingga penguatan dan pengembangan kapasitas masyarakat terbangun dengan wajar sesuai juga dengan pengetahuan yang mereka miliki.

Pendekatan yang lazim dipakai membangun dan mengelola taman nasional serta hutan-hutan negara, cenderung mengakibatkan konflik sumberdaya yang tidak terelakkan, terutama dengan masyarakat lokal. Taman nasional merupakan kawasan yang relatif luas, dimana penguasa tertinggi di sebuah negara awalnya mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau melenyapkan sesegera mungkin pemukiman penduduk dalam seluruh wilayah dan memberlakukan penghargaan lebih tinggi kepada nilai-nilai unsur-unsur biologi, ekologi, geomorfologi, atau estetis yang membentuk pembangunannya, ketimbang manusia masyarakat lokalnya. Konsep ini memunculkan pandangan, bahwa wilayah-wilayah bernilai tinggi bagi negara secara keseluruhan hanya dapat dikelola untuk melindungi sumberdaya hayati secara baik, apabila penduduk tidak menghuni atau jauh dari wilayah itu (McNeely, 1992).

Praktek pengelolaan taman nasional selama beberapa dekade ini, menggunakan “sistem nilai” konservasi alam di Indonesia berupa “pengawetan dan perlindungan hutan” yang menekan sekecil mungkin interaksi hutan dengan aktivitas masyarakat. Berarti pula secara tidak disadari melepaskan “sistem nilai” kearifan dan kepentingan masyarakat lokal terhadap hutan. Padahal “sistem nilai”

131 hutan dalam masyarakat lokal ini telah melekat dan mentradisi sudah secara turun temurun sebagai sumber dan bagian dari kehidupannya dan sekaligus telah terbangun suatu kearifan lokal yang justru dapat mendukung ke arah terwujudnya konservasi hutan itu sendiri. Sistem nilai ini kalau diuraikan ternyata mengandung dan sangat berkaitan dengan konsep “tri-stimulus amar konservasi”.

Sebagai contoh dapat dilihat pada sistem nilai dan kearifan tradisional masyarakat lokal yang berkembang dalam masyarakat adat berikut praktek pengelolaan hutan lestari yang dilakukannya (Hardjodarsono et.al., 1986) , seperti (1) Perkebunan tengkawang (Shorea stenoptera) di Kalimantan Barat ditemukan sudah ada oleh Prof. De Vriese ketika melakukan perjalanan dinas tahun 1857; (2) Hutan rakyat kayu pertukangan (jati, tembesu, merawan) di Palembang diketahui telah ada pada tahun 1932, ditemukan oleh C.N.A.de Voogd; (3) Perkebunan kemenyan (Styrax benzoin) di Palembang yang telah ada pada zaman Pemerintah Hindia Belanda tahun 1885, ekspor kemenyan dari Palembang antara tahun 1885- 1889 yang diperkirakan sebenyak 668 ton per tahun; dan (4) Hutan damar mata kucing (Shorea javanica) milik rakyat Krui, telah lama ada dan pada tahun 1937 ditemukan oleh Ir. F.W. Rappard pada saat mengumpulkan bahan untuk herbarium famili Dipterocarpaceae. Contoh-contoh ini merupakan wujud nyata bentuk-bentuk aksi konservasi sumberdaya hayati tumbuhan hutan yang berkembang atas inisiatif masyarakat lokal secara mandiri berlandaskan kepada nilai-nilai dan pengetahuan tradisional yang berkembang di kalangan mereka sendiri, jauh dari campur tangan pemerintah jajahan Hindia Belanda waktu itu.

Hal inilah dikemukakan Awang (2005) bahwa siapapun yang mengelola hutan publik hendaknya mau mempelajari tradisi-tradisi kehutanan yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian upaya-upaya dapat lebih bijak demi untuk kepentingan perlindungan kehidupan dalam arti yang lebih luas dalam memaknai keberadaan hutan di tengah masyarakat.

Hutan merupakan satu aset yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena hutan memberi banyak barang, jasa dan kepuasan batin kepada manusia, terutama bagi masyarakat sekitar hutan itu sendiri, yaitu berupa kelompok- kelompok masyarakat kecil dan unik, seperti contohnya masyarakat pendarung tumbuhan obat di TNMB.

132