• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV PROFIL MASYARAKAT

A. Sikap dan Aksi Konservas

VII. SINTESIS PENYELESAIAN MASALAH

3. Pengembangan tetelan sebagai hutan kebun kedawung dan keanekaragam hayati khas Meru Betir

Penerapan konsep tri-stimulus amar konservasi ini sebagai alternatif pemecahan masalah yang merupakan titik temu antara masyarakat sekitar hutan dan kebijakan pemerintah untuk pengelolaan taman nasional di masa mendatang.

Khusus untuk TNMB titik temu ini adalah meneruskan program rehabilitasi hutan di zona rehabilitasi seluas sekitar 4023 ha. Kegiatan rehabilitasi ini dimulai sejak tahun 2000 dengan mengacu demplot 7 ha yang dibangun tahun 1994. Masyarakat hutan menamakan lahan rehabilitasi ini dengan istilah tetelan. Masyarakat yang terlibat dalam program ini sampai tahun 2005 sebanyak 3556 kepala keluarga, terdiri dari 108 kelompok petani tetelan yang berasal dari 5 desa dengan luas kawasan yang direhabilitasi 2250 ha.

Hendaknya program rehabilitasi ini merupakan pengembangan hutan kebun keanekaragaman hayati menggunakan konsep tri-stimulus amar konservasi. Tetelan dapat merupakan suatu model hutan sistem agroforesty khas masyarakat Meru Betiri yang bercirikan keanekaragaman spesies tumbuhan obat. Keberhasilan konservasi melalui pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan hak kepemilikan yang jelas dapat kita ketahui dari beberapa contoh berikut. Seperti yang sudah kita kenal dengan parak di Sumatera Barat, pelak di Kerinci Jambi,

tembawang di Kalimantan Barat, talun di Jawa Barat dan repong di Pesisir Krui Lampung, masing-masing dengan ciri khasnya (Foresta, Kusworo, Michon dan Djatmiko, 2000).

Hendaknya pengelola TNMB segera melakukan program evaluasi kebijakan program rehabilitasi dengan melibatkan perguruan tinggi agar tetelan benar-benar secara bertahap tapi mantap merupakan titik temu antara masyarakat hutan

149 dengan kebijakan pengelolaan TNMB, sehingga tujuan ideal TNMB dapat terwujud di dunia nyata.

Kebijakan pengelolaan zona rehabilitasi TNMB yang mendesak untuk dilakukan adalah :

(1) Melakukan penjarangan tanaman pokok kedawung untuk sesama spesiesnya, minimal dengan jarak 30 m, kalau ini tidak segera dilakukan akan terjadi kegagalan konservasi kedawung ex situ.

(2) Melakukan domestikasi serta pengembangan budidaya dari berbagai spesies tumbuhan obat selain kedawung yang telah banyak berinteraksi dengan masyarakat pendarung dan telah menjadi komoditi ekonomi masyarakat, yaitu kemiri (Aleurites moluccana), pakem (Pangium edule), kemukus (Piper cubeba), joho lawe (Terminalia balerica), joho keling (Vitex quinata), kapulaga (Amomum cardonomum), cabe jawa (Piper retrofractum), serawu (Piper canimum), bendoh (Entada phaseoloides), kulit batang pule (Alstonia scholaris), arjasa (Agenandra javanica), suren (Toona sureni), kayu selasih, aren (Arenga pinnata) dan pinang (Areca catechu), serta berbagai jenis bambu dan lain-lain.

(3) Melakukan domestikasi dan budidaya berbagai spesies tumbuhan yang berasosiasi dengan kedawung di hutan alam tempat habitat alaminya. Adapun daftar spesies tumbuhan yang dimaksud dapat dilihat pada Lampiran 11. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk membangun habitat kedawung agar mendekati habitat alaminya, sehingga proses-proses bioekologisnya seperti siklus hara dan proses penyerbukan dapat terjadi secara normal dan bahkan kalau bisa lebih optimal.

(4) Melakukan domestikasi dan budidaya jenis kayu komersial sebagai bahan baku bangunan, perabot rumah tangga (furniture), badan perahu, bahan baku minyak wangi (parfum), dan lain-lain. Jenis kayu komersial yang sering diambil masyarakat dari TNMB, antara lain : kayu garu (Chicoheton divergen), kayu kembang rekisi (Michelia velutina), kayu selasihan (Cinnamomum porrectum), kayu pacar gunung (Cassine glauca), kayu bindung (Tetrameles mudiflora), kayu suren (Toona sureni), kayu sapen (Pometia tomentosa), kayu kepuh(Sterculia foetida), kayu bendo (Artocarpus

150

elasticus), kayu takir (Duabanga moluccana), kayu putat (Plachonella elasticus) dan kayu bungur (Lagerstroemia speciosa).

Program rehabilitasi dengan menanam tanaman pokok dari spesies pohon asli dari taman nasional yang bermanfaat dan bernilai ekonomi yang sudah lama dikenal dan berinteraksi dengan masyarakat. Sehingga kedepan bisa memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara berkelanjutan dan sekaligus terwujudnya konservasi keanekaragaman hayati taman nasional yang benar-benar langsung dapat dilakukan aksi konservasinya oleh masyarakat dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Selama ini kita bicara konservasi plasma nutfah, namun sangat kurang sekali menggali dan mengembangkan manfaat plasma nutfah tumbuhan hutan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar.

Pihak pengelola bekerjasama dengan akademisi perguruan tinggi hendaknya melakukan kajian-kajian yang intensif dan sistematis untuk menjadikan dan meningkatkan nilai tambah sumberdaya keanekaragaman hayati yang terdapat dalam kawasan konservasi agar menjadi komoditi yang dapat bermanfaat secara langsung maupun tak langsung bagi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sekitar hutan, baik untuk pangan, papan dan kesehatan. Jenis-jenis tumbuhan obat yang selama ini dikembangkan perlu diteruskan dengan konsep Agro-forestry sekaligus mengembangkan agro-

industry skala rumah tangga. Sekitar 16 jenis tumbuhan obat unggulan yang sudah lama dipanen dari hutan oleh masyarakat, seperti kedawung, cabe jawa, kemiri, kluwek, joho lawe, pule pandak, kemukus, pule dan lain-lain. Begitu juga jenis-jenis penghasil kayu untuk perumahan rakyat seperti jenis suren, aromatik untuk parfum, penyedap pangan dari tumbuhan hutan seperti kluwek. Pengembangan lebah madu dan termasuk kemampuan untuk proses paska panen madu, peningkatan kualitas dan pengemasan harus sudah dimiliki kemampuan ini oleh masyarakat. Masyarakat peserta rahabilitasi lahan tetelan dan ini dapat menjadikan hutan semi alami seperti wujud hutan kebun repong yang sudah dibangun dan dikembangkan lebih 100 tahun yang lalu oleh masyarakat hutan di Pesisir Krui Lampung.

Komposisi spesies vegetasi yang tumbuh di sekitar pohon kedawung di hutan secara alami sangatlah penting untuk dijadikan acuan dalam pengembangan

151 penanaman pohon kedawung secara agroforestry di tetelan zona rehabilitasi. Selama ini dalam pengembangan kedawung di zona rehabilitasi belum mengikut sertakan penanaman spesies-spesies seperti acuan di atas. Kedawung tidak menyukai sesama spesiesnya hidup berdekatan, tetapi spesies lain yang beranekaragam seperti yang disebutkan di atas dia dapat hidup sehat, hal ini antara lain sebagai suplai nutrisi melalui pembusukan dan pendauran serasah dari beranekaragam spesies, maupun fungsi-fungsi interaksi yang saling menguntungkan yang belum banyak diketahui, seperti habitat hewan pelaku proses penyerbukan, dan lain-lain. Semua ini diduga akan sangat memberi pengaruh terhadap berbuahnya pohon kedawung yang ditanam selama ini.

Berikut dikemukan suatu pengalaman di hutan Amazona Brasilia yang dikemukan oleh Mendes (1994) mengenai domestikasi sejenis pohon polong- polongan, yaitu kacang Brazil (Bertholletia excelsa) secara monokultur yang gagal menghasilkan buah di suatu areal perkebunan.

Amerika Serikat setiap tahunnya mengimpor lebih dari 16 juta dolar polong- polongan Brasil yang dikumpulkan orang Indian dan masyarakat pengumpul dari pohon-ohon yang bertebaran di hutan-hutan alam Amazona. Beberapa tahun yang lalu, seorang pengusaha memutuskan untuk menanam pohon polong-polongan itu di sebuah perkebunan, karena dianggapnya lebih efisien. Pohon-pohon itupun ditanam dan tumbuh dengan baik dan pada masanya pohon-pohon itupun berbunga. Tapi pohon-pohon itu tidak berbuah. Tak seorangpun tahu pasti bagaimana pohon polong-polongan Brasil diserbuki. Tapi tampaknya itu bergantung pada kerja gabungan berbagai jenis lebah tertentu dan anggrek yang kesemuanya tidak ada di perkebunan. Penyerbukan atau perkembangbiakan spesies ini bergantung pada suatu interaksi yang rumit dengan lingkungannya, maka membersihkan lingkungannya secara efektif akan membunuh pohon itu.

Inilah juga yang dikhawatir bisa atau sedang terjadi di lahan tetelan zona rehabilitasi, bahwa pohon kedawung yang sudah ditanam secara agroforestry

sejak tahun 1994 dengan berbagai jenis tanaman semusim belum ada yang berbuah, tidak seperti pohon kedawung yang terdapat di hutan alam. Perlu diwaspadai pengalaman di Brazil dengan penanaman pohon kacang Brazil secara besar-besaran yang disebutkan di atas, yang gagal berbuah.

Pengalaman masyarakat hutan Meru Betiri ada kesamaan dengan pengalaman masyarakat hutan Amazona Brasil yang sama-sama merupakan ekosistem hutan hujan tropika. Peran perguruan tinggi dimasa global ini seperti yang dimuat kerangka pemikiran dalam penelitian ini, sangatlah penting.

152 Terutama berhubungan dengan perkembangan pengetahuan dan tukar menukar informasi dan pengalaman bagi masyarakat hutan dan pengelola untuk penyempurnakan pengelolaan hutan yang lestari pada masing-masing tempat. Sehingga tidak membuat kesalahan yang sama yang menimbulkan pemborosan waktu, tenaga dan biaya, sehingga segera terwujudnya kesejahteraan masyarakat hutan yang berkesinambungan dan sekaligus konservasi taman nasional tercapai.