• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

3. Budaya Sekolah

26

4) Taat terhadap peraturan lainya di organisasi Peraturan lain yang mencangkup apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam organisasi atau instansi.

Aprileoni, dkk., (2020: 300) menyatakan bahwa indikator pengukuran kedisiplinan yaitu (1) Disiplin waktu, diartikan sebagai sikap/tingkah laku yang menunjukkan ketaatan terhadap jam kerja meliputi: kehadiran dan keputusan pegawai pada jam kerja, pelaksanaan tugas dan pekerja dengan tepat waktu dan benar. (2) Disiplin peraturan, peraturan maupun tata tertib yang tertulis dan tidak tertulis dibuat tujuan suatu organisasi dapat dicapai dengan baik. Untuk itu dibutuhkan sikap setia dari pegawai terhadap komitmen yang telah ditetapkan tersebut. Kesetiaan disini berarti taat dan patuh dalam melaksanakan perintah dari atasan dan peraturan, tata tertib yang telah ditetapkan. (3) Disiplin tanggung jawab.

Salah satu wujud tanggung jawab pegawai adalah penggunaan dan pemeliharaan peralatan yang sebaik baiknya sehingga dapar menunjang kegiatan kantor berjalan dengan lancar

Disiplin kerja yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kinerja, semangat kerja dan terwujudnya tujuan organisasi, guru dan siswa. Oleh karena itu setiap guru selalu berusaha agar mempunyai disiplin yang baik.

27

Secara etimologis pengertian budaya (culture) berasal dari kata latin colere, yang berarti membajak tanah, mengolah, memelihara ladang. Namun pengertian semula agraris lebih lanjut diterapkan pada hal-hal yang lebih rohani (Kurniasih, 2018: 1).

Secara terminologi pengertian budaya merupakan way of life, yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa (Rahmawati, 2020: 204). Budaya sekolah merupakan kunci keselamatan sekolah, kepuasan kerja guru, motivasi belajar siswa, dan prestasi akademik. Membentuk dan mengembangkan budaya sekolah yang positif memerlukan kesiapan untuk mengubah atmosfer sekolah. Budaya sekolah yang positif tidak akan terwujud tanpa saling pengertian dan komitmen antara guru dan siswa (Dernowska, 2017: 78;

Lubis & Hanum, 2020: 88; Carey, 2018: 246).

Budaya juga memiliki dampak yang serius terhadap proses manajemen, kepemimpinan, serta proses pembuatan keputusan yang dilakukan pimpinan.

Seperti diungkap oleh Deal & Peterson (2016: 12) menyatakan bahwa “It infl uences informal conversations in the faculty luch room, the type of instruction valued, how professional development is viewed, and the shared commitment to assuring all student learn”. Budaya sekolah memiliki konsekuensi logis terhadap perubahan suasana interaksi antarpribadi, kolaborasi, ketahanan belajar, semangat untuk terus maju, dorongan untuk bekerja keras. Supardi (2016: 221); Patimah, et al., (2021: 907); Muhsin, et al., (2020: 158); Endrimon, et al., (2019: 1); Halima, et al., (2021: 62) menyatakan bahwa budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktekkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa dan masyarakat

28

sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas (Anwar, et al., 2018: 282; Bin, et al., 2020: 90).

Sunandi & Firdaus (2021: 3) menjelaskan bahwa budaya sekolah dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu 1) budaya yang dapat diamati, berupa konseptual, yakni struktural organisasi, kurikulum behavior (perilaku); yaitu kegiatan belajar mengajar, upacara, prosedur, peraturan dan tata tertib; serta budaya yang dapat diamati berupa material, yaitu fasilitas dan perlengkapan; 2) budaya yang tidak dapat diamati berupa filosofi yaitu visi, misi serta nilainilai; yaitu kualitas, efektivitas, keadilan, pemberdayaan dan kedisiplinan.

Johannes, dkk., (2020: 11), menyatakan bahwa budaya sekolah merupakan penjabaran dari nilai yang diterapkan di sekolah, norma yang ada dan diberlakukan di sekolah, serta harapan dan kebiasaan yang menggambarkan interaksi timbal balik antara satu anggota dengan lainnya. Lebih lanjut dikatakan Susanto (2016: 96), bahwa budaya sekolah adalah pola nilai, prinsip, tradisi dan kebiasaan yang terbentuk dalam perjalanan panjang sekolah, dikembangkan sekolah dalam jangka waktu yang lama dan menjadi pegangan serta diyakini oleh seluruh warga sekolah, sehingga mendorong munculnya sikap dan perilaku warga sekolah.

Pendapat Widiarto & Narsih (2019: 55) menyatakan bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada

29

anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada. Dalam proses mengubah budaya sekolah, kebijaksanaan kepemimpinan diperlukan untuk mempengaruhi para guru di sekolah, sehingga komitmen komunitas sekolah dapat ditingkatkan (Melville, et al., 2012: 132).

Budaya sekolah didefinisikan sebagai kepribadian kolektif sebuah sekolah atau sistem sekolah. Inilah atmosfer yang berlaku dalam sebuah organisasi dan ditandai oleh interaksi sosial dan masyarakat profesional. Budaya organisasi/sekolah adalah studi tentang persepsi yang dimiliki individu terhadap berbagai aspek lingkungan dalam organisasi. Budaya sekolah dapat meningkatkan atau membatasi kinerja guru dan warga sekolah lainnya. Budaya sekolah yang baik menggambarkan hubungan baik antara kepala sekolah, guru, dan pemangku kepentingan sekolah yang mendukung kinerja sekolah, (Geleta, 2017: 241). Budaya sekolah bisa dalam bentuk simbol, upacara-upacara, cerita-cerita yang merupakan terjemahan dari nilai dan kepercayaan yang ada pada semua warga sekolah (Arslangilay, 2018: 585; Moncrieffe & Moncrieffe, 2019: 2).

Budaya ini mungkin dengan sadar dibuat oleh anggota inti organisasi tersebut, atau ini mungkin terbentuk seiring perjalanan waktu organisasi tersebut.

Ini merepresentasikan sebuah elemen pokok lingkungan kerja yang mana pekerja melaksanakan pekerjaan. Budaya dalam sekolah merupakan suatu kebiasaan yang sudah dikembangkan atau dibentuk sejak lama. Budaya yang baik akan memberikan efek kinerja yang baik pula terhadap kinerja guru. Begitu juga

30

sebaliknya, budaya yang buruk akan mengakibatkan guru menjadi tidak nyaman dan tidak dapat mengeluarkan potensinya, sehingga kinerjanya semakin buruk.

Iklim organisasi atau budaya organisasi merupakan seperangkat sifat lingkungan kerja yang dirasakan oleh pekerja baik secara langsung maupun tidak langsung.

Seperangkat lingkungan kerja yang baik ini berutujuan untuk meningkatkan kinerja dari guru tersendiri (Yani, dkk., 2017: 44).

Sekolah merupakan bagian dari orga-nisasi masyarakat, yang tentunya memiliki nilai-nilai tersendiri yang dijadikan pedoman bagi sekolah tersebut.

Sekolah efektif merupakan sekolah yang membuahkan hasil-hasil yang stabil dan konsisten sepanjang waktu yang berlaku bagi semua siswa di dalam sekolah (Abdulkadiroğlu, et al., 2020: 1502; Huang, et al., 2020: 305). Proses belajar mengajar lebih berpusat pada siswa sehingga mampu menggali potensi yang ada.

Sekolah efektif sepatutnya menghasilkan jumlah besar peserta didik cemerlang dalam ujian, menggunakan sumber daya secara cermat, dapat menyelesaikan dengan baik tantangan internal dan eksternal, dan menghasilkan kepuasan yang baik di dalam sekolah. Sekolah menjadi idaman peserta didik, orang tua, dan masyarakat agar bisa mengikuti pembelajaran di sekolah tersebut.

Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau filsafah yang menentukan kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personel sekolah. Budaya kerja merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami,

31

yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama di antara seluruh unsur dan personel sekolah, guru, staf peserta didik, dan jika membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah (Kompri, 2017: 177).

Ohlson, et al., (2016); Zahed-Babelan, et al., (2019); Montoya-Ávila, et al., (2018) mengklaim bahwa sekolah yang bermutu tinggi menunjukkan budaya sekolah yang senantiasa memelihara kolaborasi, pemberdayaan, dan keterlibatan guru. Ohlson et al., (2016) menegaskan bahwa prestasi siswa dapat ditingkatkan dengan menciptakan budaya sekolah yang mendukung komitmen bersama untuk keberhasilan siswa, kompetensi guru dalam mengajar, proses pengambilan keputusan kolektif, pertumbuhan profesional yang berkesinambungan, dan keyakinan yang kuat bahwa semua siswa dapat mencapai kesuksesan.

Membangun budaya, ada tiga cara/strategi yang bisa dilakukan pemimpin dalam praktik kepemimpinan. Pertama, para pemimpin (dengan keterlibatan orang lain) mendefinisikan sebuah filosofi organisasi secara eksplisit, jelas, dan merupakan pernyataan ringkas tentang nilai dan keyakinan. Kedua, para pemimpin itu bekerja dengan orang lain untuk menentukan berbagai kebijakan, mengembangkan berbagai program, dan menetapkan beberapa prosedur, yang membuat filosofi itu menjadi suatu tindakan nyata. Ketiga, para pemimpin mencontohkan berbagai nilai dan keyakinan lewat tindakan-tindakan mereka pada setiap kesempatan dan mereka mempraktikkannya secara konsisten (Sashkin &

Sashkin, 2018: 126).

Guru memiliki peran besar dalam menciptakan budaya kerja yang kondu-sif nyaman untuk belajar. Guru sebagai pemimpin pembelajaran, menciptakan

pem-32

belajaran dengan pendekatan kultural atau dengan kata lain menciptakan budaya kerja yang kondusif melalui pembelajaran yang nyaman dan sejuk di dalam kelas.

Pentingnya budaya kerja ini disampaikan oleh Mulyasa (2015: 90) yang menjelaskan bahwa “iklim dan budaya kerja yang kondusif ditandai dengan terciptanya lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan tertib, sehingga pembelajaran dapat berlangsung secara efektif”.

Veeriah, et al., (2017: 19) menemukan bahwa budaya dikembangkan dan dibentuk melalui interaksi konstan antara staf anggota, siswa, dan masyarakat.

Budaya sekolah sangat berpengaruh pada perilaku guru dan siswanya, budaya sekolah yang baik dan positif akan memengaruhi komitmen dari warga sekolah untuk menjadi lebih baik termasuk guru. Dengan budaya sekolah yang baik menjadikan guru nyaman untuk bekerja, sehingga berusaha untuk menjadi lebih baik lagi dengan cara meningkatkan kompetensinya terutama kompetensi pedagogik. Budaya sekolah ini diharapkan mampu memperbaiki mutu sekolah yang berarti pula memperbaiki kompetensi pedagogik guru.

Pendapat Pourrajab & Ghani (2017: 19) sebagai akademisi yang dapat memimpin warga sekolah, kepala sekolah dan guru harus mampu menciptakan budaya sekolah yang berfokus pada kepentingan para siswa. Untuk memberi apa yang mereka harapkan, mulai dari fasilitas yang memadai dan guru yang berkompeten serta berpengetahuan. Menurut Prokopchuk (2016: 73) bagian dari membangun budaya sekolah yang positif adalah menciptakan landasan yang kuat berdasarkan visi dan misi yang jelas untuk sekolah dan stakeholder.

33

Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan Jabar & Susilo (2019);

Suharningsih (2017); Manuntun (2019); Bolat & Korkmaz (2021); Purwoko (2018); Darmawan (2019); Zulkarnaen, dkk., (2020); Kusumaningrum, dkk., (2020); Candra, dkk., (2019); Suhada (2021); Komar (2020); Utami & Negara (2021) membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya sekolah terhadap kinerja guru.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa budaya sekolah merupakan kepribadian organisasi yang membedakan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Bagaimana seluruh anggota organisasi sekolah berperan dalam melaksanakan tugasnya tergantung pada keyakinan, nilai dan norma yang menjadi bagian dari budaya sekolah tersebut.

b. Karakteristik Budaya Sekolah

Terdapat karakteristik dri budaya sekolah, seperti yang diungkapkan Spicer (2016: 8) budaya sekolah mencirikan kehidupan sekolah dan menentukan kualitas suasana sekolah dengan dimensi berikut, a) aturan dan norma, b) keamanan fisik dan keamanan sosial-emosional, c) dukungan untuk pembelajaran, d) penghormatan terhadap keragaman, e) dukungan sosial, f) keterhubungan dan keterlibatan sekolah, lingkungan fisik, dan g) kepemimpinan. Prokopchuk (2016:

74) juga mengidentifikasi tiga karakteristik yang diperlukan untuk membangun budaya sekolah positif yang memupuk kepercayaan, yaitu rasa hormat, pengakuan, dan pengambilan risiko. Prokopchuk juga menambahkan bahwa hubungan kolegial berdasarkan kepercayaan adalah landasan yang stabil di mana semua elemen budaya sekolah dibangun.

34

Lingkup tatanan dan pola yang menjadi karakteristik sebuah sekolah, Daryanto (2015: 3) menyatakan kebudayaan memiliki dimensi yang dapat diukur yang menjadi ciri budaya kerja seperti:

1) Tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi warga atau personil sekolah, komite sekolah, dan lainnya dalam berinisiatif.

2) Sejauh mana para personil sekolah dianjurkan dalam bertindak progresif, inovatif dan berani mengambil risiko.

3) Sejauh mana sekolah menciptakan dengan jelas visi, misi, tujuan, sasaran sekolah, dan upaya mewujudkannya.

4) Sejauh mana unit-unit dalam sekolah didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.

5) Tingkat sejauh mana kepala sekolah memberi informasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap personil sekolah.

6) Jumlah pengaturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku personil sekolah.

7) Sejauh mana personil sekolah mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan sekolah tertimbang dengan kelompok kerja tertentu atau bidang keahlian profesional.

8) Sejauh mana alokasi imbalan diberikan didasarkan atas kriteria prestasi.

9) Sejauh mana personil sekolah didorong untuk menggunakan konflik dan kritik secara terbuka.

10) Sejauh mana komunikasi antar personil sekolah dibatasi oleh hierarki yang formal.

Menurut Susanto (2018: 97), “budaya kerja dapat diukur dengan beberapa indikator, yaitu: inisiatif, toleransi terhadap tindakan beresiko, pengarahan/arah, integrasi, dukungan manajemen, kontrol, identitas, ssstem imbalan, toleransi terhadap konflik dan pola komunikasi”. Budaya kerja merupakan nilai tertentu yang dianut yang tercermin dalam suasana organisasi sekolah. Namun demikian aspek budaya yang secara potensial bersifat disfungsional, teristimewa budaya yang kuat pada suatu organisasi dapat memperlemah budaya organisasi. Robbins & Judge (2015: 295), menyebutkan aspek-aspek budaya yang bersifat disfungsional adalah sebagai berikut.

35 1) Penghalang terhadap perubahan

Budaya merupakan suatu beban, bilamana nilai-nilai bersama tidak cocok meningkatkan organisasi. Ini terjadi pada organisasi yang dinamis. Apabila lingkungan mengalami perubahan yang cepat, budaya yang telah berakar dari organisasi itu mungkin sudah tidak tepat lagi. Konsistensi perilaku merupakan suatu aset bagi sesuatu organisasi bila organisasi itu menghadapi suatu lingkungan yang mantap. Tetapi konsistensi itu dapat membebani organisasi itu dan menyulitkan untuk menanggapi perubahan-perubahan dalam lingkungan itu.

2) Penghalang terhadap keanekaragaman

Adanya pegawai baru yang berlainan karena ras, kelamin, etnis, atau perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas pegawai akan menciptakan suatu paradoks. Pimpinan menginginkan pegawai baru itu menerima baik nilai budaya dan organisasi itu. Bila tidak, kecil kemungkinan pegawai itu dapat beradaptasi.

Budaya yang kuat merupakan tekanan yang besar bagi pegawai baru untuk menyesuaikan diri (conform). Tentunya, pegawai baru membatasi pada rentang nilai dan gaya yang dapat diterimanya. Oleh karena itu, budaya kuat dapat merupakan beban bila budaya itu dengan efektif menyingkirkan kekuatan inti tersebut yang dibawa orang-orang dengan latar belakang yang berlainan ke dalam organisasi.

3) Penghalang terhadap merger dan pencaplokan

Aspek ketiga ini tidak ada relevansinya dengan penelitian, maka tidak akan dibahas. Dalam perkembangannya budaya organisasi akan mengalami benturan dan konflik budaya. Benturan budaya dan konflik budaya merupakan dua gejala budaya

36

yang perilaku dan ragamya bisa sama tetapi motifnya berbeda. Benturan terjadi terutama antara nilai lama dengan nilai baru, tetapi konflik terjadi antar kekuatan.

Proses kontak budaya, perbedaan budaya secara objektif dapat menimbulkan benturan budaya, tetapi konflik budaya tidak harus terjadi dalam proses kontak budaya jika kontak itu soft. Konflik budaya adalah konflik nilai dan konflik nilai adalah gejala konflik kepentingan. Robbins menjelaskan konflik budaya di bawah kondisi when cultures collide. Dijelaskan bahwa budaya tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Konflik budaya timbul jika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang budayanya berbeda dengan budaya sendiri.

Usaha mencapai suatu tujuan sekolah selain dipengaruhi oleh motivasi juga didukung oleh suasana yang kondusif. Pengaruh budaya dan iklim sekolah terhadap prestasi sangat besar sehingga banyak pakar memberi perhatikan khusus terhadap budaya dan iklim sekolah, budaya organisasi, termasuk di dalamnya budaya kerja, merupakan variabel kunci yang bisa mendorong keberhasilan suatu organisasi.

Budaya kerja yang mengangkat nilai-nilai positif diharapkan dapat membiasakan anak untuk berperilaku positif. Siswa akan melihat bagaimana nilai-nilai yang ditanamkan organisasi sekolah akan mempengaruhi perilaku individu dan sekolah.

Keadaan di lapangan masih ada beberapa sekolah yang belum mampu menciptakan budaya kerja yang kondusif. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kurang terbinanya hubungan baik antara kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan kepala sekolah dengan siswa (Suharningsih, 2017:

245).

37

Budaya sekolah juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kepuasan kerja guru. Sangat penting untuk mengevaluasi kegiatan organisasi untuk mempertahankan kinerja yang positif (Vos, et al., 2012: 57). Veeriah, et al., (2017:

19) menemukan bahwa budaya dikembangkan dan dibentuk melalui interaksi konstan antara staf anggota, siswa, dan masyarakat. Budaya sekolah sangat berpengaruh pada perilaku guru dan siswanya, budaya sekolah yang baik dan positif akan memengaruhi komitmen dari warga sekolah untuk menjadi lebih baik termasuk guru (Rissanen, et al., 2018: 63; Bartlett, et al., 2017: 109).

Bagian dari membangun budaya sekolah yang positif adalah menciptakan landasan yang kuat berdasarkan visi dan misi yang jelas untuk sekolah dan stakeholder (Murphy & Louis, 2018: 32; Carter & Abawi, 2018: 49). Prokopchuk (2016: 74) juga mengidentifikasi tiga karakteristik yang diperlukan untuk membangun budaya sekolah positif yang memupuk kepercayaan, yaitu rasa hormat, pengakuan, dan pengambilan risiko. Prokopchuk juga menambahkan bahwa hubungan kolegial berdasarkan kepercayaan adalah landasan yang stabil di mana semua elemen budaya sekolah dibangun. Gedik & Bellabas (2015: 101) menyarankan bahwa kepala sekolah dan guru harus bekerja bersama dalam meningkatkan budaya sekolah dan mencapai tujuan sekolah yaitu prestasi siswa yang terus meningkat (Datnow & Park, 2018: 42).

Kepala sekolah memainkan peranan penting dalam membantu, memperbaiki, dan mendukung praktik pengajaran di kelas oleh guru dan pencapaian hasil siswa (Manaseh, 2016: 31). Budaya sekolah diharapkan mampu memperbaiki mutu sekolah yang berarti pula memperbaiki kompetensi guru.

38

Menurut Pourrajab & Ghani (2017: 17) bahwa sebagai akademisi yang dapat memimpin warga sekolah, kepala sekolah dan guru harus mampu menciptakan budaya sekolah yang berfokus pada kepentingan para siswa. Untuk memberi apa yang mereka harapkan, mulai dari fasilitas yang memadai dan guru yang baik dan berpengetahuan. Budaya sekolah yang sehat dapat membantu menghasilkan generasi siswa, keluarga dan pendidik yang bersedia bekerja sama untuk mencapai setiap visi, misi dan aspirasi sekolah (Thapa, et al., 2013: 357).

Faktor-faktor yang mempengaruhi budaya sekolah menurut Dernowska (2017: 67), a) visi dan misi sekolah, b) hubungan kerja guru dan staf, c) jenis komunikasi d) perilaku dan gaya kepemimpinan kepala sekolah, e) kepercayaan guru dan staf terhadap kepala sekolah. Ohlson, et al., (2016) mengklaim bahwa sekolah yang bermutu tinggi menunjukkan budaya sekolah yang senantiasa memelihara kolaborasi, pemberdayaan, dan keterlibatan guru. Ohlson et al., (2016) menegaskan bahwa prestasi siswa dapat ditingkatkan dengan menciptakan budaya sekolah yang mendukung komitmen bersama untuk keberhasilan siswa, kompetensi guru dalam mengajar, proses pengambilan keputusan kolektif, pertumbuhan profesional yang berkesinambungan, dan keyakinan yang kuat bahwa semua siswa dapat mencapai kesuksesan.

Penelitian Jabar & Susilo (2017: 288-289) menemukan tiga temuan utama yang diungkap dalam penelitian komponen budaya sekolah. Temuan ini dikelompokkan ke dalam komponen nilai-nilai, keyakinan yang dianut warga sekolah, dan artefak budaya sekolah. Nilai-nilai keunggulan yang memandu aktivitas individu dijadikan sebagai patokan setiap aktivitas individu dalam

39

menjalankan kesehariannya di sekolah. Nilai-nilai tersebut juga dijadikan dasar dalam proses pembuatan keputusan oleh pimpinan dalam mengelola lembaga.

Keyakinan-keyakinan positif yang berkembang di sekolah merupakan motivasi dari dalam yang menjadi pendorong penciptaan keunggulan yang dihasilkan sekolah.

Keberadaan artefak sekolah yang menjadi bukti keunggulan, ciri khas sekolah, pengingat, motivasi, serta referensi sekolah dan warganya dalam mencapai tujuan.

Berdasarkan pendapat di atas, penelitian menggunakan indikator budaya sekolah dari Jabar & Susilo (2017: 288-289) yang terdiri atas: (1) Nilai-nilai aktivitas sekolah dan individu, (2) Keyakinan yang berkembang di tengah-tengah warga sekolah, dan (3) Artefak budaya sekolah. Dari indikator tersebut, kemudian akan dijadikan butir-butir untuk membuat instrumen kuesioner budaya sekolah.

Dokumen terkait