• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Budaya Makan

Budaya merupakan nilai-nilai dan kebiasaan yang diterima sebagai acuan bersama yang diikuti dan dihormati, dan menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama. Budaya juga diartikan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya menuntun orang dalam bertingkah laku, menentukan apa yang akan dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya, serta kapan seseorang boleh atau tidak mengonsumsi suatu makan dan bagaimana pangan tersebut dikonsumsi (Sulistyoningsih, 2014).

Studi tentang makanan dalam konteks budaya merujuk pada persoalan–

persoalan praktis serta perilaku konkret masyarakatnya. Kepercayaan suatu masyarakat tentang makanan berakibat pada kebiasaan (praktek) makan serta

sesuatu yang sangat kompleks karena menyangkut tentang cara memasak, suka dan tidak suka, serta adanya berbagai kepercayaan (religi), pantangan-pantangan dan persepsi mistis (tahayul) yang berkaitan dengan kategori makan: produksi, persiapan dan konsumsi makanan (Foster & Anderson, 2013). Adapun pengolahan atau cara memasak makanan dapat dilakukan dengan cara ditumis, direbus, digulai, digoreng, diasinkan, dibuat rendang, dll. Budaya makan juga menyangkut tentang kepercayaan sehingga manusia memiliki pantangan tersendiri terhadap suatu makanan dan pantangan tersebut bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar, misalnya pantangan makan daging babi pada orang yang beragama Islam dan pantangan makan daging sapi bagi orang yang beragama Budha.

Menurut Nurti (2017), masalah kebiasaan makan sebagai suatu bentuk tingkah laku berpola yang sangat terkait dengan kebudayaan, yang mencakup juga kepercayaan dan pantangan makan yang berkembang dalam sekelompok masyarakat.

Makanan dengan pengesahan budaya berarti akan berkaitan dengan kepercayaan, pantangan, aturan, teknologi, dan sebagainya yang tumbuh dan berkembang dalam sekelompok masyarakat, sehingga menjadi kebiasaan makan yang menjadi ciri khas sekelompok masyarakat dan yang membedakan dengan kelompok masyarakat lainnya. Makanan sebagai simbol-simbol tertentu akan memiliki makna-makna tertentu dalam banyak aktivitas sosial. Misalnya dalam makanan yang digunakan dalam perayaan adat, upacara adat atau upacara perkawinan. Makanan juga sebagai pembentuk identitas etnis, yang dapat dikenali dari jenis masakannya yang memiliki karakterisitik rasa yang khusus. Makanan dan perubahan budaya makan sebagai akibat masuknya makanan-makanan asing tidak hanya mempengaruhi praktik makan sehari-hari, namun juga pada acara-acara tradisional seperti perkawinan.

Peran makanan dalam kebudayaan merupakan kegiatan ekspresif yang memperkuat kembali hubungan–hubungan dengan kehidupan sosial, sanksi-sanksi, agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dengan berbagai dampaknya. Dengan kata lain, kebiasaan makan atau pola makan tidak hanya sekadar mengatasi tubuh manusia saja, melainkan dapat memainkan peranan penting dan mendasar terhadap ciri-ciri dan hakikat budaya makan. Pada beberapa masyarakat, makanan memegang peranan penting dalam peristiwa-peristiwa sosial atau keagamaan dalam kehidupan manusia. Makan tidak hanya memuaskan rasa lapar tetapi juga memberikan rasa senang dan memberikan suatu ikatan tertentu antara anggota keluarga atau kelompok dalam menikmati makanan.

Makanan sebagai suatu konsep budaya merupakan pernyataan yang sesungguhnya menyatakan “zat ini sesuai bagi kebutuhan gizi kita”. Semakin kuat kepercayaan-kepercayaan mengenai apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan makanan sehingga terbukti sangat sukar untuk meyakinkan orang untuk menyesuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang baik (Foster & Anderson, 2013).

Pada masyarakat Suku Melayu khususnya di daerah Sumatera bagian Selatan terdapat makanan khas tersendiri yang sudah membudaya. Penelitian Haruminori, dkk (2017)membahas tentang makanan etnik Melayu, yakni tempoyak. Tempoyak merupakan makanan sehari-hari masyarakat etnik Melayu dan sudah menjadi budaya dikarenakan jumlah durian yang melimpah di Palembang. Tempoyak terbuat dari buah durian yang difermentasikan dengan garam selama dua sampai tujuh hari. Bagi masyarakat etnik Melayu, tempoyak memiliki peranan penting sebagai pelengkap makanan mereka dan juga sebagai salah satu cara pengawetan makanan sehingga

memiliki umur simpan yang panjang. Rasa unik perpaduan antaran manis dan asam membuat tempoyak memberikan sensai sebagai penggugah selera bagi mereka.

Selain sebagai makanan pendamping nasi, tempoyak juga dapat digunakan sebagai bumbu seperti pada brengkes.

Budaya makan setiap suku beragam dan sangat menentukan pola makannya.

Pola makan Suku Melayu berbeda dengan Suku Jawa. Menurut penelitian Handayani (2012) yang meneliti pola makan pada Suku Melayu dan Suku Jawa menunjukkan bahwa Suku Melayu cenderung mengonsumsi lauk pauk yang bersumber dari hewani, hal ini berkaitan dengan faktor lingkungan fisik masyarakat Melayu yang memiliki ternak dan hobi memancing. Pengolahan makanan bersantan dilakukan dengan cara digulai, dibuat pepes dan kari. Sedangkan suku Jawa cenderung mengonsumsi lauk pauk nabati karena masyarakat Suku Jawa tersebut memiliki kebun atau lahan pertanian, pengolahan makanannya dilakukan dengan cara ditumis, dimana hal ini sesuai dengan konsep makanan Suku Jawa yang penting makan karena semua makanan lezat dikonsumsi apabila dalam keadaan lapar walaupun mungkin hanya dengan nasi dan karak atau kerupuk.

Menurut penelitian Syahril (2013), Suku Batak Toba cenderung mengonsumsi nasi dan lauk pauk lebih banyak dibandingkan Suku Jawa. Nasi yang dikonsumsi oleh Suku Batak Toba dalam sehari rata-rata 370-400 gram atau satu hingga dua porsi/piring untuk satu kali makan dan jumlah lauk pauk sebagai sumber protein yang dikonsumsi sebanyak 100-150 gram dalam sehari atau satu hingga dua potong lauk pauk tiap kali makan. Pengolahan lauk pauk sering dengan cara digulai dan digoreng. Sedangkan Suku Jawa mengonsumsi nasi 300-350 gram atau satu porsi/piring untuk satu kali makan dan jumlah lauk pauk sebagai sumber protein

yang dikonsumsi rata-rata 50-100 gram sehari atau satu potong lauk setiap kali makan yang sering diolah dengan cara digoreng. Selain itu, Suku Batak Toba juga memiliki pantangan makan otak-otak hewan dan daging bagi orang tua yang mempunyai penyakit (alasan kesehatan), sedangkan pada Suku Jawa memiliki pantangan terhadap makanan daging babi karena adanya larangan bagi penganut agama Islam.

Berbeda dengan budaya makan pada etnis Tionghoa, penelitian Pangaribuan dkk (2014) menunjukkan bahwa etnis Tionghoa cenderung mengonsumsi nasi dan mie sebagai sumber karbohidrat serta tahu, tempe, dan telur sebagai lauk. Selain itu, etnis Tionghoa juga memiliki pantangan makan daging sapi karena adanya perintah bagi yang menganut agama Budha.

Upacara adat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Nias yang tumbuh dan berkembang secara historis pada masyarakat suku tersebut. Salah satu upacara tradisional yang masih dan terus dipertahankan oleh masyarakat Nias adalah upacara perkawinan, kematian, dan perayaan hari-hari besar agama. Hal ini tidak terlepas dari makanan yang disajikan setiap upacara adat yang ada kaitannya dengan status gizi dan kejadian hipertensi pada masyarakat tersebut. Budaya yang masih melekat dalam masyarakat nias hingga saat ini yaitu setiap acara atau pesta yang dilakukan pasti menyajikan daging babi (zimbi) sebagai salah satu bentuk penghormatan bagi tamu yang diundang. Daging babi menjadi menu lauk utama sehingga selalu disajikan di setiap acara dalam masyarakat nias. Selain itu, budaya makan daging babi di daerah Nias juga sering dikonsumsi sambil minum minuman beralkohol/bir ataupun tuak (tuo) oleh kaum bapak.Karena konsumsi daging babi sudah menjadi kebiasaan maka tidak jarang juga masyarakat Nias membeli daging

babi demi memenuhi keinginan atau selera mereka untuk mengonsumsi daging tersebut. Dengan budaya yang demikian, masyarakat Nias memiliki angka konsumsi daging yang cukup tinggi.

Cara pengolahan daging babi yang sering dilakukan adalah digoreng, dipanggang, dibuat rendang, dikecap/semur, dibuat saksang, direbus atau dibuat sup, dan diawetkan dengan garam (ni’owuru). Hal yang membuat Budaya Nias berbeda dengan suku lain yaitu pengolahan daging babi yang dilakukan dengan cara diasinkan. Pada setiap acara pesta daging babi yang berlebih diawetkan dengan cara mengasinkan daging tersebut dengan garam sehingga memiliki daya awet yang lebih lama. Untuk mengonsumsi daging yang telah diasinkan tersebut masyarakat Nias mengolahnya lagi dengan cara digoreng atau dipanggang. Jenis dan pengolahan makanan tersebut rata-rata mengandung tinggi kalori, lemak jenuh, tinggi garam dan tinggi protein yang kemungkinan akan memicu terjadinya hipertensi. Penelitian yang dilakukan oleh Eliska (2014) yang meneliti budaya dan pola makan pada Suku Alas menunjukkan bahwa masyarakat Suku Alas memiliki kebiasaan adat dan pola makan yang dapat menyebabkan kejadian hipertensi. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa masyarakat Suku Alas dalam acara adat sering mengonsumsi makanan seperti rendang daging lembu, gulai daging kambing dan gulai nangka, serta pola makan masyarakat Suku Alas yang terkait dengan kebiasaan mengonsumsi garam.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara budaya dan pola makan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat Suku Alas.

Dokumen terkait