• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARI F BUDI WURI ANTO

Dalam dokumen buku hiski 1compressed (Halaman 139-146)

SUBJECT MATTER “LI YAN/ THE OTHERS” DALAM NOVEL SASTRA I NDONESI A

ARI F BUDI WURI ANTO

Universitas Muhammadiyah Malang

[email protected]

ABSTRAK

Perkembangan sastra Indonesia kontemporer dalam salah satu aspeknya mengalami kemajuan dalam tema dan gaya penceritaan yang semakin terbuka. Sastra tidak lagi mengusung pengisahan tema- tema konvensional, nilai-nilai standard, dan narasi besar sesuai dengan arus utama sosial masyarakat. Novel kontemporer Indonesia mengalami keterbukaan dalam mengungkap tema kehidupan sosial masyarakat, bukan saja kelompok masyarakat pada umumnya, tetapi tema penceritaan tentang kelompok yang termarginalkan dalam masyarakat . Meskipun belum ada data atau hasil penelitian sosiologi sastra yang menunjukkan keterterimaan genre novel bertema seperti ini, namun dalam produksi novel Indonesia telah ada novel yang berkisah tentang sisi lain dan perspektif lain (“liyan/ The Others”) yang telah beredar di masyarakat. Tema yang secara berani dan muncul adalah tema-tema “Queer” yaitu kehidupan manusia yang mengalami perbedaan orientasi kehidupan/ disorientasi seksual. Makalah ini akan membahas secara konsep mengenai Tema Queer dalam Novel Indonesia Modern dan Kajian atas Novel yang berkisah tentang Kepribadian Tokoh yang Disorientasi Seksual. . Dengan menggunakan pendekatan Kajian Budaya (Cultural Studies), makalah ini selain membahas novel akan menginformasikan pengetahuan tentang Sastra dan Ideologi, khusunya membaca persoalan ideology secara post-strukturalisme- dan secara khusus akan menemukan konsep paradigma anti representasionalis-dalam sastra. Dengan bertolak pada konsep kajian budaya yang menolak hegemoni budaya dengan pendasaran bahwa kultur itu sifatnya beraneka ragam, tidak ada pusat atau inti atau budaya yang sama (common culture) dan munculnya fenomena

terfragmentasikannya budaya-budaya yang mendasarkan identasnya pada gaya hidup (lifestyle) yang merupakan konsekuensi dari migrasi, topik anak muda, gender, gaya hidup konsumtif.

Kata Kunci : Kajian Budaya, Tema Liyan/ The Other

Pendahuluan

Keterkaitan sastra dengan kajian budaya bersamaan dengan lahirnya kajian budaya pada Pusat Kajian Kebudayaan Kontemporer di Universitas Birmingham Inggris 1964 oleh Raymond Williams, Richard Hoggart, EP Thompson dan Stuary Hall. Dalam kaitan ini studi cultural bertujuan mempelajari produksi, resepsi dan penggunaan beragam teks, dan bukan semata-mata karena sifat-sifat internnya. Sebagai suatu kajian kritis, kajian budaya (studi cultural) menggali masalah-masalah kebudayaan dalam arti yang luas seperti identitas, ras, dunia kesusastraan, masalah imperalisme, kapitalisme dan kehidupan masyarakat yang terpinggirkan (marginalized), budaya massa, dan budaya masa kini. Kajian Budaya juga membahas ranah pemikiran yang pada masa sekarang mendominasi kehidupan bersama antarmanusia, seperti persoalan kekuasaan, hegemoni,

Wacana poskolonialisme di Negara-negara berkembang, gerakan kesetaraan gender (feminism), pengaruh media massa dalam perkembangan kebudayaan modern, globalisasi, teknokultur, dan teori-teori yang masih asing dalam tradisi keilmuan di perguruan tinggi maupun dalam perubahan modern seperti teori Querr. Dalam bidang kesusasteraan, studi budaya masuk secara luas dalam berbagai aspek, seperti kajian budaya di Australia yang melanjutkan tradisi Inggris yang merangkul sastra untuk nasionalisme dan pengembangan citra film untuk nasionalisme, di Perancis yang mengarah pada pengaruh perubahan teknologi atas sastra dan seni. Di Perancis dalam bidang teknologi kemunikasi terjadi penyebaran yang luas dari sastra kuno maupun modern yang terjadi pula dalam teater , seni lukis dan lain-lain.

Perkembangan kesusasteraan di Indonesia sebagai suatu bagian dari studi kebudayaan yang dalam perkembangannya memberi warna yang lebih beragam apabila ditinjau dari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya sejak Balai Pustaka 1920. Awal pertumbuhannya menggambarkan kajian budaya karena warna nasionalisme, kolonialisme, kesetaraan gender dalam kurun Balai Pustaka sampai Pujangga Baru, dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang. Selain nasionalisme juga penumbuhan identitas dan sastra menjadi bagian dari politik identitas kebangsaan baik dari aspek tema-tema yang disajikan maupun dalam pemakaian bahasa Indonesia. Selanjutnya muncul persoalan multikulturalisme dan perjuangan kelas dalam menghadapi ketidakadilan sosial. Perkembangan sastra Indonesia kontemporer dalam salah satu aspeknya mengalami kemajuan dalam tema dan gaya penceritaan yang semakin terbuka. Sastra tidak lagi mengusung pengisahan tema-tema konvensional, nilai-nilai standard, dan narasi besar sesuai dengan arus utama sosial masyarakat.

Novel kontemporer Indonesia mengalami keterbukaan dalam mengungkap tema kehidupan sosial masyarakat, bukan saja kelompok masyarakat pada umumnya, tetapi tema penceritaan tentang kelompok yang termarginalkan dalam masyarakat . Meskipun belum ada data atau hasil penelitian sosiologi sastra yang menunjukkan keterterimaan genre novel bertema seperti ini, namun dalam produksi novel Indonesia telah ada novel yang berkisah tentang sisi lain dan perspektif lain (“liyan/ The Others”) yang telah beredar di masyarakat. Pada mulanya keberanian dalam tema lewat novel Ayu Utami berjudul Saman yang berkisah pada persoalan kapitalisme dan pembukaan lahan sawit yang dibumbui dengan kisah-kisah romantisme dan realisme kehidupan manusia melalui konflik-konflik kepentingan. Sebagai penulis sastra perempuan cukup berani dalam mengungkap tema dan eksplorasi kehidupan seksualitas dari sudut pandang tradisi timur. Muncul pula D. Lestari lewat Supernova yang mencoba bermain tema-tema kontemporer dan pengarang perempuan lain seperti Djenar Maesa Ayu, dll. Kajian Budaya yang mengangkat kesetaraan gender, jauh sebelumnya juga pernah diangkat oleh NH Dini pada hampir semua novelnya yang bertema perempuan berkarir, ordinat dan subordinat perempuan, Toety Herati Noerhadi dengan perjuangan perempuan dalam kesetaraan, dan sastrawan perempuan lain di atasnya.

Pada persoalan sekarang muncul topik yang jarang ditulis dalam mainstream tema cerita. Tema yang secara berani dan muncul adalah tema-tema “Queer” yaitu kehidupan

manusia yang mengalami perbedaan orientasi kehidupan/ disorientasi seksual. Makalah ini akan membahas secara konsep mengenai Tema Queer dalam Novel Indonesia Modern dan Kajian atas Novel yang berkisah tentang Kepribadian Tokoh yang Disorientasi Seksual. Ketika persoalan seks muncul dalam sastra, sebuah kondisi perkembangan sastra yang menjadi perdebatan adalah antara kebebasan dalam tematik novel dengan persoalan nilai. Antara fakta dan “kelayakan diperbincangkan” dalam sastra publik.

Ancangan Post- Strukturalisme

Secara struktur tema-tema yang berkembang dalam dunia sastra Indonesia adalah tema yang mapan dan berkembang sebagai oposisi biner antara pahlawan dan pengkhianat, baik hati dan jahat, kekayaan dan kemiskinan, dll. Tema dimaknai sebagai satu hal yang pasti dan final. Post-Strkturalisme mengikuti konsep bahwa mana selalu berada dalam proses yang tidak pernah final, karena pada dasarnya makna merupakan sebuah jeda untuk arus penafsiran atas penafsiran. Dalam perspektif strukturalisme, bahasa adalah hubungan antara penanda dan petanda, namun dalam tafsiran post- strukturalisme, bahasa jauh lebih rumit dibandingkan dengan sekedar hubungan antar penanda dan petanda.

Demikian halnya dengan subjek matter sebuah novel tentang kehidupan manusia, bukan sekedar beberapa penanda dan petanda tentang tema dalam satu kata, melainkan pemberian koma pada kata tersebut, misalnya tema percintaan yang disusul dengan percintaan yang seperti apa? Antara siapa dengan siapa? Model apa? Dan beberapa pertanyaan lain yang menggambarkan belum finalnya sebuah kata penanda tema/subjek matter karya sastra. Jaques Derrida memiliki pandangan berbeda dengan Saussure yang menekankan bahwa tanda akan bermakna karena mempunyai perbedaan, sementara Derrida menggambarkan sifat tanda sebagai hal yang terpecah yang berarti mempertahankan dan membedakan.

Dalam sebuah karya sastra, tema dekonstruktif harus selalu tampak pada hubungan-hubungan tertentu. Hubungan ini adalah sebuah struktur penandaan kritis (dekonstruktif) yang akan dihasilkan dari bacaan yang menjadikan pembaca ingin lebih mengetahui terhadap apa yang tersirat. Jaques Lacan menekankan pada ideology novel/ roman sebagai pencarian subjek matter/ tema tanpa akhir. Michel Foucault dan Edward Said menekankan pada penggunaan bahasa. Bagaimana bahasa digunakan dan bahasa diartikulasikan dalam praktik budaya dan praktik sosial. Hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah dialogis.

Berkaitan seksualitas dalam sastra, Foucault menolak hipotesis represif yang terkait sensor dan pelarangan. Seksualitas dalam sastra harus didekati dalam wilayah diskursif. Foucault menaruh minat pada cara manusia memproblematisasikan dirinya dan apa yang dilakukannya . Sementara itu Jacques Lacan menekankan pada bahasa sebagai dimensi simbolik, penanda tidak memiliki kandungan makna positif kecuali bila didefinisikan melalu perbedaan. Tema-tema karya sastra sebagai wacana ketidaksadaran dan “the others”. Ego yang diciptakan oleh serangkaian identifikasi imajiner dan subjek

yang dipandang merupakan hasil efek bahasa. Langkah pemikiran Lacan lebih mengarah pada depersonalisasi teori psikoanalisis.

Post-Strukturalisme dalam kajian sastra ditekankan pada pemakaian bahasa dalam fiksi naratif yaitu heterogenitas penggunaan bahasa sebagai intervensi pengarang sekaligus pengkisah, visi fiksionalitas, terutama dalam bagaimana dunia dipandang oleh pengarang dalam cerita (vokalisasi) dan susunan dunia fiksi dalam alur cerita yang dikisahkan. Dalam analisis novel, resepsi sastra dapat dijadikan pijakan teori. Resepsi sastra digunakan dalam analisis novel dengan pertimbangan (a) sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap hanya memberikan perhatian terhadap unsure-unsur, (b) timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka kesadaran humanism universal, (c) kesadaran bahwa nilai- nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalui kompetensi pembaca, (d) kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca, dan (e) kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca (Ratna, 2002:166).

Subjektivitas dan I dentitas

Subjektivitas dan Identitas adalah dua kata yang saling keterkaitan dalam kajian budaya. Subjektivitas dipahami sebagai kondisi keberadaan seseorang dan proses yang dialami ketika menjadi subjek. Subjek akan patuh pada proses-proses sosial yang menjadikan “subjek bagi” diri sendiri maupun orang lain. Identitas diri merupakan konsep yang dipegang oleh “self”, sedangkan harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial diri. Keduanya berbentuk narasi bagaimana diri sendiri melihat diri sendiri dan orang lain melihat diri sendiri. Dalam kajian budaya, subjektivitas dan identitas bersifat sosial dan cultural. Sementara konsep yang mengarah pada upaya menyusun dunia tergambarkan dalam konsep representasi.

Novel yang dibahas dalam makalah ini, adalah Subjektivitas pengarang dalam mengungkapkan pikiran dan gagasannya sebagai identitas yang “ berlawanan “ dengan identitas pada umumnya. Ia merupakan sebuah cara mengartikulasikan sebuah fakta yang menunjukkan identitas diri sekaligus identitas sosial, personal sekaligus sosial tentang diri serta hubungannyaan orange lain. Novel yang dikaji dalam makalah ini mempersoalkan subjektivitas dan identitas. Tema seksualitas dan persoalan kelompok yang nir identitas dalam masyarakat. Dalam kajian budaya, tema yang diungkap termasuk dalam bahasan seksualitas yang “tak terkelaminkan”. Identitas diri sebagai lelaki atau perempuan merupakan landasan sebuah identitas diri yang dipandang sebagai fungsi dari tubuh dan atribut-atributnya. Persoalan jenis kelamin merupakan identitas dengan sikap- sikap cultural, baik terhadap maskulinitas dan femininitas, dan menurut perubahan sosial, ada peran yang ditukar atau sudut pandang seksualitas tertentu. Pada masa Pujangga Baru, ketika Novel Belenggu karya Armijn Pane muncul di masyarakat, persoalan kebebasan perempuan menjadi pembicaraan, belum persoalan perselingkuhan. Namun, ketika Layar Terkembang lewat tokoh Tuti yang aktif di masyarakat, masyarakat

merespon positif karena seiring dengan semangat Pujangga Baru dan tahun-tahun Sumpah Pemuda.

Pada masa sekarang ketika semangat keterbukaan masyarakat semakin meningkat, tema-tema dan subjek matter karya sastra semakin berkembang melewati batas-batas identitas kelamin dan subjek-subjek terkelaminkan. Budaya dan bahasa menempati peran penting dalam pemahaman kelamin dan gender. Pada Novel “Lelaki Terindah” (Andrei Laksana, PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) mengambil subject matter manusia-manusia tanpa identitas seksualitas yang termarginalisasikan secara sosial-kultural di masyarakat. Demikian juga pada Novel Bila Hasrat Telah Usai (Andi Lotex, 2007) yang lebih menonjolkan ungkapan pribadi tentang hasrat-hasrat yang tak tersalurkan dan terkendala persoalan nilai –nilai masyarakat khususnyakultural. Kedua novel Indonesia kontemporer ini bukanlah sebuah cerminan dari kondisi keberadaan yang alami, melainkan sebuah persoalan representasi. Tubuh yang terkelaminkan selalu direpresentasikan sebagai hasil wacana regulative. Dalam post-strukturalisme, variasi- variasi cultural yang membedakan “hasrat/ ketertarikan seksualitas” sudah tentu tidak bisa terstruktur secara oposisi binner melainkan dimaknai sebagai sesuai yang lain (the other).

Novel “Lelaki yang Terindah” (2010, 214 halaman), menggambarkan sebuah perjalanan batin tokoh Valent. Ditulis dengan gaya jurnalis, puitis dan naratif berbasis plot. Valent seorang eksekutif muda, professional, mapan, kondisi tubuh ideal sebagai tubuh lelaki, baik wajah maupun postur, sebagai akibat “kekeliruan pengasuhan” mengalami gangguan disorientasi seksual menjadi seorang laki-laki yang tertarik kepada laki-laki. Ia kehilangan figure seorang ayah dan hidup dalam proteksionis ibu karena masa kecil yang sudah menderita sakit diabetis. Disebabkan latar belakang sosial dan keluarga, Valent mampu menutupi kegelisahan dan bersandiwara demi nama baik keluarga, diri sendiri, dan karirnya. Pada usia mapan ia akan menikahi seorang gadis bernama Kinan. Untuk mengisi hari-hari di akhir lajang, Valent mengadakan perjalanan wisata ke Thailand. Secara kebetulan bertemu dengan Rafky, seorang wartawan, lajang, professional, menyukai petualangan. Selama dalam pesawat sampai tak terduga satu hotel di Bangkok, menjadikan Valent berupaya menyalurkan hasrat yang selama ini terpendam dan terahasiakan. Rafky seorang laki-laki heteroseksual. Pada awalnya hanya menganggap Valent sebagai teman perjalanan dan teman mengobrol selama dalam perjalanan. Sampai pada suatu saat terjadi hubungan yang semestinya tidak dilakukan dan sempat membuat Rafky marah, namun kondisi Valent yang rapuh dan hidupnya tergantung suntikan insulin, nalurinya berubah menjadi kasihan dan berusaha memperpanjang kesempatan hidup Valent. Kondisi ini justru menjadikan Rafky juga menjadi tertarik dan terjadilah hubungan homoseksualitas diantara keduanya sampai seusai perjalanan Thailand.

Di Jakarta hubungan berlanjut sampai akhirnya rahasia itu terbuka. Kinan sebagai tunangan Valent pada awalnya shock namun akhirnya ia menyadari fakta dari sebuah sisi masyarakat yang terpinggirkan dan belum diakui baik secara agama, sosial dan cultural ini. Kemarahan keluarga, kekecewaan, menjadi akhir cerita dan berakhir kematian Valent karena penyakit diabetis yang diderita. Kematian Valent digambarkan dengan kepuasan

karena telah jujur pada semua orang dan mengajarkan kepada semua orang bahwa kelompok identitas semacam ini hidupnya penuh dengan penderitaan. Valent adalah tokoh sentral novel yang mengemban tema, amanat dari subject matter identas kelamin dan seksualitas. Komentas atas novel ini sebagaimana tertulis pada halaman sampul bagian belakang berasal dari Ramadhan KH, budayawan dan sastrawan yang mengomentari dengan pernyataan keberanian mengungkap subject matter sebagaimana Sanusi Pane dan Armijn Pane pada masanya.

Media massa yang mengomentari berasal dari Koran Tempo dan Harian Bisnis yang memberi komentar atas munculnya sastrawan kontemporer laki-laki. Sementara Kompas memuji keberanian mengambil tema kehidupan gay dan subject matter cinta dalam pandangan sisi lain. Sementara pada novel Bila Hasrat Telah Usai yang ditulis Andi Lotex (2007:500 halaman), lebih mengedepankan solilokui, curhat pada diri sendiri mengenai kehidupan gay yang selalu jatuh cinta tanpa memiliki dan selalu dalam ketidakberhasilan. Bahasa yang digunakan lebih menggunakan gaya kontemporer dengan bahasa gaul cirri khas anak muda. Berbeda dengan Andrei Laksana yang naratif, Adi lebih pada gaya yang bebas. Andi berkisah tentang nasibnya sebagai laki-laki yang mencintai laki-laki yang tidak pernah berlabuh dan selalu ditinggalkan karena orientasi bukan cinta melainkan libidalitas saja. Dikisahkan kekecewaan seorang lelaki yang memiliki kekasih lelaki tanpa status dan tujuan yang jelas, mengisahkan sejumlah pacar yang pernah menjadi teman kencan, dan kegalauan hati. Novel ditulis tanpa narasi yang jelas, semacam catatan harian, bahasa dalam status face book, sms dan ungkapan- ungkapan persolal.

Berdasarkan kedua novel tersebut tampak bahwa dua-duanya berbicara persoalan kehidupan gay dengan praktik homoseksual dalam sastra. Keduanya menginformasikan sebuah dunia, sebuah identitas yang jauh dari pemahaman struktur rata-rata orang Indonesia tentang laki-laki, perempuan, percintaan, menikah dan keberanian mengungkap subject matter “liyan/ the other” yang menjadi cirri khas kajian budaya, yang mencoba menjadi peran advokatif bagi persoalan sosial yang terpinggirkan, kritis, dan partisipatorik. Novel ini berada dalam tataran di luar struktur narasi besar. Jumlah produksi karya sastra ini sangat terbatas dan hanya diterbitkan untuk pemahaman akan persamaan hak individu. Novel kontemporer ini berkisah tentang anak muda, gaya dan perlawanannya lewat subject matter yang dihadirkan. Sebuah novel kontemporer Indonesia dengan sub kultur anak muda dengan persoalan baru yang bersifat “liyan”. Persoalan gender, sebuah ruang budaya anak muda dan sekaligus perlawanan. Tema- tema Querr, dengan sub tema kelamin, gender, identitas, subjek terkelaminkan, representasi, mulai muncul dalam khazanah sastra Indonesia kontemporer meskipun dengan jumlah yang sangat sedikit. Hal ini dimungkinkan karena faktor keterterimaan masyarakat tentang nilai-nilai. Munculnya karya seperti Jangan Main-main dengan Kelaminmu (Nayla, 2004) , Renungan Kloset (Rieke Dyah Pitaloka) juga mempersoalkan tema-tema kelamin, subjektivitas dan representasi. Subjek matter dalam konteks perubahan sosial budaya dalam sastra Indonesia Kontemporer.

Penutup

Subject matter “liyan/ the other” dalam karya sastra Indonesia menggambarkan semakin bervariasinya tema-tema cerita yang diangkat dalam perkembangan kontemporer sastra Indonesia. Salah satu bagian sastra Indonesia kontemporer muncul karya sastra dengan ide cerita pada sekelompok masyarakat yang “terkucilkan” secara sosial budaya, misalnya kelompok homoseksual, atau kelompok termarginalkan yang lain merupakan liyan/ the other. Liyan memang terpahami sebagai kelompok minoritas, kelompok di luar pranata sosial yang lazim. Hal ini bukan sekedar persoalan struktur dalam masyarakat. Hal ini sebagai persoalan yang memerlukan analisis ideologis dan bukan sekedar analisis bentuk dan isi. Sastra Indonesia kontemporer yang diawali munculnya novel Saman (Ayu Utami,1998) membawa pemahaman semakin identitas dan representasi menjadi topik-topik dengan subject matter yang menyiratkan keterbukaan dan ruang dialog.

Demikian juga dengan Lelaki Terindah (Andrei Laksana) yang tetap santun dalam

bertutur, jelas dalam menggabarkan narasinya serta amanat yang hendak disampaikan. Subject matter liyan/ the other dalam sastra Indonesia kontemporer, persoalan yang terkait kelamin, gender, dan subjek tak terkelaminkan sebagai konstruksi-konstruksi sosial yang secara intrinsic terimplikasi dalam persoalan representasi. Contoh-contoh novel seperti Lelaki Terindah (Andrei Aksana, 2010), Bila Hasrat Telah Usai (Andi Lotex,2007), Saman (Ayu Utami, 1998), dll. bukan sekedar berkisah tentang esensi biologis dan seksualitas semata, melainkan persoalan identitas dibicarakan. Kajian Budaya mempelajari representasi subjek dan identitas terkelaminkan dalam sastra dan budaya poluler. Keberadaan sastra Indonesia kontemporer dari kacamata teori representasi menggambarkan (a) mengungkap sifat arbriter proses signifikasi sastra dan perubahan sosial,(b) membongkar makna lebih dalam daripada sekedar melakukan oposisi biner yang cenderung hitam putih, (c) mendorong kemauan untuk hidup dalam keragaman.

DAFTAR PUSTAKA

Aksana, Andrei. 2010. Lelaki Terindah. Novel. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Barker, Chris.2005. Cultural Studies. Teori dan Praktik. Jogjakarta: Bentang.

Beilharz, Peter. (terj. Sigit Jatmiko). 2002. Teori-teori Sosial. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Lotex, Andi. 2007. Bila Hasrat Telah Usai (Novel).Jakarta: Daya Cipta.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Sutrisno, Mudji. (Ed.) 2006. Cultural Studies.Tantangan bagi Teori-teori Besar Kebudayaan. Yogyakarta: Koekoesan.

Storey, John. (Terj. Dede Nurdin). 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Memetakan Lanskap Konsep Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam.

Strinati, Dominic. (terj.Abd.Muchid).2009. Popular Culture Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.

Dalam dokumen buku hiski 1compressed (Halaman 139-146)