• Tidak ada hasil yang ditemukan

Krisan (Chrysanthemum sp) adalah salah satu bunga potong utama di dunia. Jumlah bunga potong krisan menempati urutan pertama dari pemasaran semua bunga potong yang dipasarkan setiap tahun di Indonesia menyalurkan US$ 1 juta untuk pendapatan nasional pada tahun 2003 dan jumlahnya meningkat naik hingga US$ 1.8 juta pada tahun 2005. Namun, negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia hanya mensuplai kurang dari 10% dari krisan pasar dunia (Chomchalow 2005 dalam Budiarto et al. 2006). Perubahan-perubahan trend yang cepat dan dinamis dalam pasar budidaya bunga menentukan faktor dalam kelas dan harga. Hal ini berkaitan dengan preferensi konsumen pada warna, ukuran dan tipe bunga. Namun, bunga krisan yang dihasilkan oleh petani Indonesia mempunyai penampilan fisik yang kurang baik dan kualitas yang bergantung pada bahan tanaman yang baik dan metode pembudidayaan, selanjutnya berpengaruh pada harga yang tidak kompetitif dan kurang menguntungkan (Budiarto et al. 2006). Berikut adalah klasifikasi botani tanaman hias krisan:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermathophyta

Subdivisi : Angiospermae (biji berkeping dua) Ordo : Asterales (Compositae)

Famili : Asteraceae Genus : Chrysanthemum

Spesies : C. morifolium Ramat, C. Indicum, C. daisy dll.

Permintaan pasar akan bunga potong krisan meningkat sekitar 11.8% per tahun, berkaitan dengan hal itu upaya penyediaan benih yang bermutu di dalam negeri perlu mendapatkan prioritas (Soerojo 1991 dalam Raharjo et al. 2008). Hal itu dikarenakan usaha perluasan produksi bunga ditingkat petani selalu membutuhkan ketersediaan benih dalam jumlah yang memadai. Jika penyediaan benih tidak mampu mengimbangi lonjakan permintaan, maka produsen akan mencari alternatif dengan mengimpor bibit dari luar negeri. Bagi produsen yang tidak mampu mengimpor bibit, maka terpaksa menggunakan tanaman induk yang lama dengan resiko kualitas yang rendah. Untuk mendukung penyediaan benih bermutu tanaman krisan, Balai Penelitian Tanaman Hias telah mengembangkan teknik perbanyakan bibit dan produksi tanaman induk secara tepat (Marwoto et al.

2004 dalam Raharjo et al. 2008).

Sebagian besar penanaman bunga krisan berada di Jawa (Cipanas, Bandung, Yogyakarta) dengan tiga musim tanam setiap tahun. Pada penanaman tradisional, tanaman biasanya ditanami di rumah plastik yang dibangun dari bambu, karena tanaman bambu jumlahnya banyak dan tumbuh secara alamiah di alam. Namun, beberapa pembatas masih diperlihatkan selama proses produksi yang belum terpecahkan hingga saat ini dan kualitas serta produktivitas bunga perlu untuk dikembangkan. Penggunaan bambu untuk pembangunan rumah plastik, dinilai kurang tahan lama dibandingkan dengan kayu dan bahan permanen lainnya seperti aluminium. Kondisi ini mengarah para petani untuk merkonstruksi dan merenovasi rumah plastik hampir setiap lima tahun. Biaya-biaya dari aktivitas ini menjadi tambahan biaya dan akhirnya membuat proses produksi kurang menguntungkan (Boudoin dan Zabeltititz 2002 dalam Budiarto et al. 2007).

Disamping konstruksi bambu, masa hidup dari rumah kayu adalah 10 tahun. Di rumah kayu ada 20% lebih sinar yang masuk dibandingkan rumah plastik yang dibangun dengan bambu (Gunadi et al. 2006, diacu dalam Budiarto et al. 2007).

Krisan berasal dari daerah subtropis, sehingga suhu yang terlalu tinggi merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Temperatur rata-rata untuk pertumbuhan krisan berada pada suhu harian antara 17 0C sampai 30 0C. Pada fase vegetatif, kisaran suhu harian 22 sampai 28 0C pada siang hari dan tidak melebihi 26 0C pada malam dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal krisan (Khattak &Pearson 1997 dalam PUSLITBANGHORT 2006). Suhu harian pada fase generatif 16 0C sampai 18 0C (Wiltkins et al. 1990 dalam

PUSLITBANGHORT 2006). Menurut Maswinkel dan Sulyo (2004) dalam

PUSLITBANGHORT (2006), pada suhu di atas 25 0C, proses inisiasi bunga akan terhambat dan menyebabkan pembentukan bakal bunga juga terhambat. Suhu yang terlalu tinggi juga mengakibatkan bunga yang dihasilkan cenderung berwarna hitam, pucat dan memudar.

Tingkat pemberian pupuk untuk kehidupan atau masa pemberian makanan dari krisan pada pot, berdasarkan pada nitrogen adalah 350 - 400 ppm N. Selanjutnya, 375 ppm N digunakan sebagai taraf standar (100%) untuk studi. Jumlah fosfor dan kalium dalam 375 ppm larutan pupuk N adalah 175 dan 354 ppm, untuk masinng-masing pupuk. Masing-masing perlakuan pupuk dibuat menjadi pupuk lengkap. Untuk menjaga kesamaan perbandingan dari semua unsur makro dan mikro, keragaman pemberian pupuk dilakukan secara lurus dari pupuk ke tingkat spesifik dari setiap percobaan (Chau et al. 2005).

Beberapa pengaruh pembudidayaan menunjukkan pengaruh yang kuat pada pengaruh musim daripada pengaruh-pengaruh lainnya. ‘Tara’ dikenal dalam produksi komersial untuk pertumbuhan yang lebih kuat pada suhu produksi yang lebih tinggi, yang mana ditunjukkan dengan peningkatan cabang pada percobaan diakhir musim semi dan gugur (Schoellhorn 1996). 

Krisan merupakan salah satu jenis bunga potong yang banyak diminati konsumen untuk digunakan sebagai bahan dekorasi dan rangkaian bunga, karena relatif lebih tahan dibandingkan dengan jenis bunga potong lainnya. Pada saat ini ada dua jenis krisan yang dibudidayakan oleh petani, baik petani pengusaha

maupun petani kecil pada ketinggian tempat 600-1200 m dpl, yaitu krisan standar dan krisan spray dengan sekitar 30 varietas. Pada daerah pusat promosi dan pemasaran bunga Rawabelong juga terlihat adanya pasokan bunga krisan jenis lokal dan Holland. Krisan Holland volumenya hampir dua kali lipat dari volume krisan lokal. Pada pasar internasional krisan juga merupakan komoditi penting. Beberapa negara berkembang telah menjadi pemasok (supplier) ke pusat eropa, seperti Columbia (32%), Zimbawe (26%), dan Afrika Selatan (15%) (Ridwan 2005).

Kedudukan Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki sumberdaya lahan dan agroklimat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman hias bunga potong, telah memungkinkan tanaman krisan diproduksi sepanjang tahun. Perkembangan luas panen produksi dan produktivitas tanaman krisan pada tahun 2000 menunjukkan terjadinya peningkatan luas panen sebesar 62.20% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan luas panen tersebut diimbangi dengan peningkatan produksi sebesar 55.26%, meskipun produktivitasnya menurun dari 2.05 tangkai/m2 menjadi 1.97 tangkai/m2 (Direktorat Tanaman Sayuran, Hias, dan Aneka Tanaman 2001 dalam Ridwan 2005)

Perbedaan produktivitas dan kualitas dari pemotongan dihasilkan oleh tanaman induk bunga krisan di bawah kondisi terbuka menunjukkan perbedaan dalam respon tumbuh ke lingkungan yang lebih ekstrim. Studi dilakukan di musim hujan. curah hujan yang tinggi (22.54 mm/hari) diduga tidak hanya memberikan pengaruh fisik (pukulan air hujan) tapi juga akibat negatif ke lingkungan tanaman induk, seperti peningkatan kelembaban dan kondisi air di zona akar. Disamping, kondisi berawan disiang hari yang mempengaruhi jumlah tipe cahaya matahari yang diterima oleh tanaman, ketidaksesuaian lingkungan pada kondisi terbuka mempengaruhi kondisi fisiologi tanaman kualitas pertumbuhan yang mana akhirnya menurunkan produksi bunga potong (Hiclenton dan McRae 1984 dalam Budiarto & Marwoto 2009).

Jumlah bunga dari tanaman krisan dari penutupan polyetilen transparan secara signifikan lebih tinggi daripada dibawah penutupan polyetilen berwarna sedangkan tanaman dibawah bayangan polyetilen biru mempunyai jumlah bunga yang paling rendah. Hasil pola yang berlawanan ditemukan dalam hubungan

diameter tanaman. Bayangan polyetilen berwarna menurunkan jumlah bunga dan hasil biomassa sementara terjadi peningkatan diameter dan tinggi tanaman. Kandungan bioaktif dalam tanaman yang sehat yang tumbuh di bawah naungan polyetilen yang berbeda, mencapai puncaknya pada tahap yang berbeda melalui studi waktu, naungan polyetilen biru mempengaruhi biomassa dan akumulasi kandungan bioaktif (Jin et al. 2012). Pemberian sukrosa di dalam larutan perendam hendaknya dilakukan pada kondisi optimal, karena pada kondisi tersebut sukrosa berfungsi sebagai substrat respirasi untuk menghasilkan energi yang akan digunakan dalam proses kehidupan sehingga kesegaran bunga akan lebih lama (Wiraatnmajaya 2007).

Petani mempunyai pilihan jenis, warna bunga, dan asal bibit yang menghasilkan benih krisan sehingga dapat memperhitungkan secara ekonomi untuk memperoleh keuntungan maksimal dalam agribisnis tanaman hias dan tentu saja harus memperhitungkan jarak transportasi asal bibit, biaya yang dikeluarkan, pemasaran, minat konsumen dalam hal dan jenis bunga yang akan dijual ke pasar (Sukiyono 2005; Bachrein 2006; dalam Masyhudi dan Suhardi 2009). Pengalaman petani dalam budidaya bunga krisan juga turut memengaruhi pertumbuhan tanaman dan produksi bunga krisan. Kemampuan petani dan pengalaman bercocok tanam lebih menguatkan usahatani dan lebih mengembangkan teknologi budidaya krisan. Teknologi budidaya krisan lebih berkembang lagi pada tahun 2006 hingga 2007 dengan berbagai usaha efisiensi dan lebih merapatkan jarak tanam menjadi 8x8 cm bahkan pucuk apikal tanaman dipotong sehingga tanaman dapat memproduksi cabang dari ketiak daun yang berjumlah 2-4 cabang. Teknik ini lebih menguntungkan karena produksi bunga dapat meningkat 2-4 kuntum percabang sehingga dapat menambah keuntungan (Masyhudi dan Suhardi 2009).

Krisan merupakan salah satu jenis tanaman hias bunga yang sangat populer dan memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi di Indonesia serta mempunyai prospek pemasaran cerah. Selain menghasilkan bunga potong dan krisan dapat juga dimanfaatkan sebagai bunga pot yang digunakan untuk memperindah ruangan dan menyegarkan suasana, beberapa varietas krisan juga berkhasiat sebagai obat, antara lain untuk mengobati sakit batuk, nyeri perut, dan

sakit kepala akibat peradangan rongga sinus (sinusitis) dan sesak napas (Rukmana & Mulyana 1997; Anonim 2000, dalam Widiastuti 2004). Meningkatnya pemberian intensitas cahaya dari 55% menjadi 75% sampai dengan 100% diikuti dengan semakin lambatnya pemunculan cabang pada tanaman krisan, yang ditunjukkan oleh jumlah hari pengamatan yang banyak. Hal ini disebabkan sifat tanaman krisan sendiri yang selalu tumbuh tinggi bila mendapatkan intensitas cahaya matahari yang banyak. Intensitas cahaya tinggi berpengaruh terhadap aktivitas auksin pada meristem apikal. Apabila intensitas cahaya tinggi maka intensitas auksin meningkat pula sehingga menyebabkan tanaman krisan tumbuh tinggi (Widiastuti 2004).

Dokumen terkait