• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebanyak 21 isolat bakteri dan 8 fungi pelarut fosfat hasil isolasi selanjutnya dimurnikan lagi dan dipilih berdasarkan pengamatan secara visual terhadap lebar zona jernih, sehingga diperoleh enam isolat bakteri pelarut fosfat dan enam fungi pelarut fosfat., selanjutnya diuji kuantitatif untuk mengetahui kemampuan pelarutan dari bakteri dan fungi terhadap fosfat dengan sumber P dari Ca3(PO4)2 terhadap masing-masing isolat. Masing-masing dari 6 bakteri dan 6 fungi tersebut beserta P-tersedia hasil pelarutan oleh masing-masing bakteri dan fungi tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh isolat bakteri dan fungi pelarut fosfat terhadap ketersediaan P pada media Pikovskaya cair.

Bakteri Fungi

Kode Isolat P-tersedia (ppm) Kode Isolat P-tersedia (ppm)

B6B 74.24 A25F 775.00 B16B 74.24 A49F 668.94 A25B 275.00 B40F 642.42 B25B 305.30 B4F 642.42 A8B 221.97 B39F 676.52 B1B 301.52 B26F 748.48

Berdasarkan data tabel 1 dapat diketahui bahwa bakteri yang memiliki daya larut P paling tinggi adalah B25B dengan P-larut 305.30 ppm P. Sedangkan fungi yang memiliki daya larut P paling tinggi adalah A25F dengan P-larut 775.00 ppm P. Hasil tersebut menunjukkan bahwa daya larut fungi terhadap P dengan sumber Ca3(PO4)2 yang berada pada media pikovskaya cair lebih tinggi daripada daya larut bakteri pelarut fosfat pada media yang sama. Bakteri yang memiliki daya larut P paling rendah terdapat pada isolat B6B dan B16B dengan nilai P larut masing-masing 74.24 ppm P. Sedangkan fungi yang memiliki daya larut P paling rendah adalah isolat B40F dan B4F dengan P-larut masing-masing 642.42 ppm P. Perbedaan kemampuan bakteri dan fungi dalam pelarutan P disebabkan masing-masing bakteri dan fungi menghasilkan asam organik yang berbeda-beda baik jenis maupun jumlah, sehingga mempengaruhi jumlah P yang dilarutkan. Berdasarkan Hasil uji kuantitatif, dipilih 2 isolat bakteri dan 2 isolat fungi yang

memiliki daya larut P tinggi untuk dinokulasikan pada carrier molases 5% yang akan dijadikan pupuk hayati.

           ( A ) ( B )

Gambar 5 Uji kualitatif bakteri pelarut fosfat ( A ) Isolat A8B ( B ) Isolat B1B

Selanjutnya untuk mengetahui hubungan pertumbuhan dengan daya larut P dari 6 bakteri dan 6 fungi yang terpilih, dilakukan uji kualitatif. Uji kualitatif ini juga bertujuan untuk mengetahui indeks pelarutan dari masing-masing bakteri dan fungi. Pertumbuhan bakteri dan fungi yang ditunjukkan oleh data diameter koloni bakteri dan fungi yang tersaji pada Tabel 2 dan Tabel 3, ternyata daya larut P yang

Tabel 2 Diameter koloni bakteri pelarut P dalam inkubasi selama 5 hari Kode Isolat Waktu Inkubasi (hari) Akumulasi

Pertambahan Diameter 0 1 2 3 4 5 ---mm--- B6B 3.13 3.63 5.63 5.81 6.38 6.69 3.56 B16B 4.00 4.75 4.94 5.38 5.94 7.31 3.31 A25B 4.00 4.88 5.00 5.00 5.00 5.25 1.25 B25B 4.63 5.63 5.88 5.94 7.06 7.06 2.44 A8B 5.00 5.00 5.00 5.00 5.25 5.50 0.50 B1B 6.00 7.38 8.25 8.44 9.88 10.13 4.13

tinggi tidak dikuti oleh pertumbuhan yang tinggi. Hal ini menunjukkan tidak hubungan antara daya larut P dan pertumbuhan bakteri dan fungi. Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa pertumbuhan bakteri paling tinggi terdapat pada isolat B1B, dengan nilai akumulasi pertambahan diameter tubuh sebesar 4.13, sedangkan pertumbuhan bakteri paling rendah terdapat pada isolat A8B dengan nilai akumulasi pertambahan diameter tubuh sebesar 0.50. Pertumbuhan isolat B1B meningkat pada 1 hari inkubasi dan relatif tetap pada hari kedua dan ketiga inkubasi, serta mengalami peningkatan pada hari keempat dan kelima inkubasi.

Sedangkan isolat A8B tidak menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dari hari pertama hingga hari terakhir inkubasi. Isolat A25B menunjukkan peningkatan pertumbuhan pada hari kesatu inkubasi dan tidak menunjukkan pertumbuhan yang kontras pada hari kedua hingga hari kelima inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa isolat A25B mengalami pertumbuhan yang cepat pada hari kesatu inkubasi dan pertumbuhan yang cukup stabil pada hari kedua hingga kelima inkubasi.

Pertumbuhan fungi paling tinggi terdapat pada isolat B4F, dengan nilai akumulasi pertambahan diameter miselium sebesar 82.50, sedangkan pertumbuhan fungi paling rendah terdapat pada isolat B40F dengan nilai akumulasi pertambahan diameter miselium sebesar 62.38. Dibandingkan dengan pertumbuhan bakteri pelarut fosfat, fungi pelarut fosfat memiliki pertumbuhan yang lebih cepat. Hal ini dikarenakan sifat genetik dan morfologi tubuh fungi

Tabel 3 Diameter miselium fungi pelarut P dalam inkubasi selama 4 hari

Kode Isolat 0 1 2 3 4 Waktu Inkubasi (hari) Pertambahan Diameter Akumulasi ---mm--- A25F 1.38 18.25 45.38 63.63 76.88 75.50 A49F 1.75 22.38 46.63 61.25 72.75 71.00 B40F 5.63 33.25 49.75 62.25 68.00 62.38 B4F 0.50 20.25 39.13 74.88 83.00 82.50 B39F 3.00 9.88 30.63 60.13 83.38 80.38 B26F 2.00 25.00 42.13 62.50 70.00 68.00

Pada inkubasi hari kedua, isolat B40F menunjukkan pertumbuhan tercepat dibandingkan dengan isolat lainnya. Sedangkan inkubasi hari keempat menunjukkan pertumbuhan tercepat pada isolat B4F dari isolat lainnya dibandingkan inkubasi hari ketiga.

Indeks pelarutan (IP) bakteri dan pelarut fosfat ditunjukkan di Tabel 2. Indeks Pelarutan (IP) fosfat merupakan perbandingan antara diameter zona jernih dengan diameter koloni bakteri atau fungi dan merupakan salah satu uji yang dilakukan untuk menetapkan isolat yang akan dijadikan pupuk hayati. Berdasarkan IP fosfat oleh bakteri yang tersaji pada tabel 4, nilai IP tertinggi bernilai 2.82 terdapat pada isolat A25B, sedangkan nilai IP terendah bernilai 1.11 terdapat pada isolat B6B.

Gambar 7 Ilustrasi penetapan Indeks pelarutan (IP) fosfat (a) diameter koloni, (b) diameter zona bening

Indeks pelarutan (IP) fungi pelarut fosfat ditunjukkan di Tabel 4. Nilai IP tertinggi bernilai 1.10 terdapat pada isolat B39F, sedangkan nilai IP terendah bernilai 1.02 terdapat pada isolat A49F dan B40F. Berdasarkan perbandingan Indeks Pelarutan (IP) fosfat oleh bakteri dan fungi, menunjukkan bahwa bakteri

Tabel 4 Indeks Pelarutan (IP) fungi pelarut P dalam inkubasi selama 4 hari

Bakteri Fungi

Kode Isolat IP Kode Isolat IP

B6B 1.11 A25F 1.05 B16B 1.48 A49F 1.02 A25B 2.82 B40F 1.02 B25B 1.60 B4F 1.05 A8B 2.60 B39F 1.10 B1B 1.64 B26F 1.03

memiliki IP yang lebih besar dari pada IP fungi. Hasil yang diperoleh dari uji kuantitatif, kualitatif (nilai Indeks Pelarutan (IP) ) fosfat ternyata tidak menunjukkan korelasi yang positif.

( A ) ( B )

Gambar 8 Uji kualitatif untuk penetapan Indeks Pelarutan (IP) fosfat: ( A ) Isolat A25B inkubasi hari ke-5( B ) Isolat B39F inkubasi hari ke-4

b a

Hasil uji kualitatif dan nilai Indeks Pelarutan(IP) digunakan sebagai data pendukung apabila terdapat nilai yang sama pada uji kuantitatif dalam penetapan isolat yang akan dijadikan pupuk hayati

Berdasarkan hasil uji kuantitatif pada Tabel 1, maka diperoleh dua isolat bakteri dan dua isolat fungi yang memiliki daya larut P tinggi. Kedua isolat bakteri dan fungi tersebut adalah B1B, B25B untuk isolat bakteri dan A25F, B26F untuk isolat fungi. Selanjutnya bakteri dan fungi terpilih tersebut melewati uji selanjutnya, yakni uji antagonis. Uji antagonis bertujuan untuk menentukan sifat kompatibel antara mikroorganisme yang akan dijadikan pupuk hayati. Hasil uji antagonis menunjukkan antara bakteri dan fungi satu sama lain tidak saling berlawananan (non-antagonis). Artinya, bakteri dan fungi dapat saling hidup dalam satu carrier molases 5%, sehingga dapat diinokulasikan secara bersamaan ke dalam carrier tersebut. Hasil uji antagonis tersaji pada tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji antagonis mikroorganisme pelarut fosfat.

No Kode Uji Isolat Antagonis Non-Antagonis

1 B1B X B25B - + 2 A25F X B26F - + 3 B1B X A25F - + 4 B1B X B26F - + 5 B25B X A25F - + 6 B25B X B26 F - +

Hasil uji total mikrob tersaji pada tabel 6. Hasil uji total mikrob pada pupuk hayati menunjukkan bahwa pupuk hayati mengandung bakteri pelarut fosfat dengan jumlah 1.5 x 107 cfu/ml, sedangkan fungi pelarut fosfat yang terdapat dalam pupuk hayati berjumlah 5.0 x 107 cfu/ml. Jumlah tersebut memenuhi kriteria uji pupuk hayati untuk aplikasi ke lapangan yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian (DEPTAN) N0 28/Permentan/SR.130/5/2009 tetntang uji pupuk hayati, yang mensyaratkan jumlah bakteri untuk uji pupuk hayati

Tabel 6 Hasil uji total mikroorganisme pada pupuk hayati

Jenis Isolat Jumlah cfu/ml

Bakteri Pelarut Fosfat 1.5 x 107

ke lapangan harus memenuhi jumlah ≥105 cfu/ml, sedangkan jumlah fungi pada pupuk hayati yang ingin diuji ke lapangan harus memenuhi jumlah ≥104 cfu/ml.

4.2. Sifat Kimia Tanah

4.2.1. Kandungan P-Tersedia Tanah

Kandungan P-tersedia tanah ditunjukkan oleh Tabel 7. Pada 1 MST terdapat perbedaan yang nyata pada sebagian besar perlakuan. Perlakuan 0 ml pupuk hayati + 50% pupuk P dan perlakuan 0 ml pupuk hayati + 100% pupuk P memiliki nilai P-tersedia yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan perlakuan 0 ml pupuk hayati + 0% pupuk P. Hal yang sama juga diperoleh pada perlakuan 50 ml pupuk hayati + 50% pupuk P dan 50 ml pupuk hayati + 100% pupuk P yang memiliki nilai P-tersedia yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 0 ml pupuk hayati + 0% pupuk P dan perlakuan 50 ml pupuk hayati + 0% pupuk P. Hal ini menunjukkan bahwa tanah yang diberikan pupuk P saja tanpa pupuk hayati baik 50% dosis rekomendasi maupun 100% dosis rekomendasi memberikan distribusi terhadap P-tersedia dalam larutan tanah dibandingkan dengan tanah yang tanpa diberikan pupuk P dan pupuk hayati. Namun antar perlakuan 0 ml pupuk hayati + 50% pupuk P dan 0 ml pupuk hayati + 100% pupuk P tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50 ml pupuk hayati + 50% pupuk P dan perlakuan 50 ml pupuk hayati + 100% pupuk P.

Nilai P-tersedia paling rendah pada perlakuan 0 ml pupuk hayati + 0% pupuk P dikarenakan tidak adanya pemberian pupuk P dan pupuk hayati pada tanah sehingga jumlah P yang akan dilarutkan untuk menghasilkan P-tersedia pada tanah tersebut kecil. Sebaliknya nilai P-tersedia yang lebih tinggi pada perlakuan lainnya dikarenakan tanah mendapat tambahan unsur fosfat dari pupuk P dan mikroorganisme pelarut fosfat dalam pupuk hayati yang menyebabkan tingkat pelarutan fosfat untuk menghasilkan P-tersedia bagi tanaman lebih tinggi.

Mikroorganisme pelarut fosfat sangat berperan dalam melarutkan P tidak tersedia menjadi P-tersedia bagi tanaman. Kandungan anorganik yang tidak larut dari fosfor, sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman, tapi terdapat banyak mikroorganisme yang bisa membawa fosfat dalam larutan. Hal ini sering terbukti,

karena sepersepuluh hingga setengah bakteri yang diuji biasanya mampu melarutkan kalsium fosfat dan jumlah bakteri yang melarutkan fosfat yang tidak larut berada pada 105 hingga 107 per gram tanah, sebagai contoh bakteri yang sering melimpah pada permukaan akar (Raghu et al. 1966 dalam Alexander 1977). Spesies seperti Pseudomonas, Mycobacterium, Micrococcus, Bacillus,

Flavobacterium, Penicillium, Sclerotium, Fusarium, Aspergillus, dan lain-lainnya

sangat aktif dalam proses pengubahan fosfat yang tidak larut menjadi larut (Alexander 1977).

Tabel 7 Kandungan P-tersedia dan pH tanah pada pemberian pupuk hayati dan pupuk P

Perlakuan

Fase pertumbuhan

1 MST 10 MST

P-tersedia (ppm P2O5) pH P-tersedia (ppm P2O5) pH 0 ml pupuk hayati+0% P 713.0ab 5.6 621.2 5.8 0 ml pupuk hayati+50% P 815.5a 5.5 676.6 5.8 0 ml pupuk hayati+100% P 832.1a 5.4 642.0 5.8 50 ml pupuk hayati+0% P 615.6b 5.6 638.6 5.8 50 ml pupuk hayati+50% P 766.8a 5.6 653.4 5.8 50 ml pupuk hayati+100% P 840.4a 5.5 656.6 5.7 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda nyata pada Duncan taraf kepercayaan 95% (α = 5%)

Beberapa bakteri tanah, khususnya yang termasuk dalam kelompok

Pseudomonas dan Bacillus dan fungi yang termasuk dalam kelompok Penicillium

dan Aspergillus menunjukkan kemampuan mengubah fosfat yang tidak larut

dalam tanah ke dalam bentuk larut dengan mengeluarkan asam organik seperti asam format, asetat, propionat, laktat, glikolat, fumarat, dan suksinat. Asam-asam ini menyebabkan pH lebih rendah dan memutus ikatan yang membentuk fosfat. Selain itu hasil sekresi asam-asam organik tersebut berfungsi sebagai katalisator, pengkhelat dan memungkinkan asam-asam organik membentuk senyawa komplek dengan kation Ca2+, Mg2+, Fe2+, dan Al3+ sehingga terjadi pelarutan fosfat menjadi bentuk yang tersedia yang dapat diserap oleh tanaman (Rao 1982 dalam Wulandari 2001). Pelepasan H2PO4- menyebabkan jumlah fosfat dalam larutan tanah akan bertambah. Mengel dan Kirkby (1982) menyatakan proses akhir dimana fosfat organik diubah menjadi tersedia dengan pemecahan fosfat anorganik dengan sejumlah reaksi fosfat.

Jumlah P-tersedia mengalami penurunan pada 10 MST pada setiap perlakuan jika dibandingkan dengan 1 MST. Penurunan P-tersedia ini dikarenakan fosfat mengalami transformasi menjadi bentuk yang tidak tersedia. Fosfat tanah diikat oleh sebagian besar kation tanah, yang menyebabkan fosfat tersedia berubah menjadi bentuk yang tidak tersedia. Jumlah P-tersedia paling rendah pada 10 MST terdapat pada perlakuan 0 ml pupuk hayati + 0% pupuk P. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan 0 ml pupuk hayati + 0% pupuk P memiliki nilai P-tersedia yang lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya namun tidak berbeda nyata antara setiap perlakuan. Jumlah P-tersedia yang sedikit pada perlakuan 0 ml pupuk hayati + 0% pupuk P, disebabkan tidak adanya tambahan fosfat dari pupuk P dan tambahan pupuk hayati yang mengandung mikroorganisme pelarut fosfat untuk melarutkan fosfat yang ada. Jumlah P-tersedia tertinggi yang terdapat pada perlakuan 0 ml pupuk hayati + 50% pupuk P mengindikasikan penambahan pupuk hayati pada perlakuan 50 ml pupuk hayati + 0% pupuk P, 50 ml pupuk hayati + 50% pupuk P, 50 ml pupuk hayati + 100% pupuk P belum menunjukkan pengaruh terhadap pelarutan fosfat untuk menjadi P-tersedia. Mikroorganisme pelarut fosfat yang terdapat pada pupuk hayati pada 10 MST tidak cukup berperan dalam proses pelarutan fosfat. Hal tersebut disebabkan keadaan kondisi tanah yang meyebabkan mikroorganisme pelarut fosfat tidak dapat melarutkan fosfat secara optimal.

Penurunan jumlah P-tersedia pada 10 MST pada setiap perlakuan tidak diikuti oleh penurunan pH seperti yang terlihat pada tabel 7, namun terjadi peningkatan nilai pH dibandingkan pada 1 MST. Hal tersebut disebabkan pada selang 2 MST hingga 10 MST akar tanaman giat atau aktif menghasilkan asam organik (H+) yang menyerap anion lebih besar dari pada kation, melepaskan (OH-) hasil hidrolisis pupuk P, sehingga pH meningkat.

4.2.2. Reaksi Tanah (pH H2O)

Nilai pH baik pada 1 MST maupun 10 MST yang tersaji pada tabel 7, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan. Pada 1 MST nilai pH terendah adalah 5.4 terdapat pada perlakuan 0 ml pupuk hayati + 100% pupuk P, sedangkan pH tertinggi terdapat pada perlakuan 50 ml pupuk hayati + 0%

pupuk P dan 50 ml pupuk hayati + 50% pupuk P. Pada 10 MST pH terendah adalah 5.7 terdapat pada perlakuan 50 ml pupuk hayati + 100% pupuk P, sedangkan pH pada perlakuan yang lainnya memiliki nilai yang sama yakni 5.8. Nilai pH yang tidak berbeda nyata antar setiap perlakuan dikarenakan pH pada 1 MST masih berada pada fase permulaan atau penyusaian terhadap kondisi tanah, seperti pengaruh pelarutan pupuk P, kadar air tanah yang tidak merata, dan sifat kimia tanah itu sendiri. Nilai pH tanah pada 1 MST mengalami peningkatan pada 10 MST sebesar 5%. Hal ini menunjukan adanya penurunan (H+) dalam larutan tanah pada 10 MST. Penurunan (H+) dalam tanah disebabkan oleh (H+) dalam larutan tanah bereaksi dengan (OH-) hasil hidrolisis pupuk P, mengakibatkan peningkatan (OH-) dalam larutan tanah, sehingga pH tanah meningkat. Selain menurunkan (H+) dalam larutan tanah, pupuk P juga mengasilkan H2PO42- yang dapat diserap tanaman, sedangkan Ca2+ berada dalam larutan tanah sebagai kation basa. Korelasi antara nilai pH dan ketersediaan P yang diamati pada 1 MST dan 10 MST adalah berbanding terbalik, yakni semakin tinggi pH suatu tanah maka semakin sedikit jumlah P-tersedia yang ada dalam larutan tanah. Hal ini menyebabkan tanaman akan terhambat dalam penyerapan P-tersedia yang terdapat dalam larutan tanah, karena pH terbaik untuk fosfor diambil oleh tanaman adalah 6.5 (Malakooti dan Nafisi 1995 dalam Mehvarz et al 2008).

Bentuk fosfat sukar larut bergabung dengan Fe3+ dan Al3+ pada pH rendah lebih larut bila bergabung dengan Ca2+ dan Mg2+ pada nilai pH mendekati netral, dan sukar larut bila bergabung dengan Ca2+ pada nilai pH yang lebih tinggi. Ada wilayah yang lebar dalam pelarutan berbagai macam fosfat dan ketersediaan fosfat untuk tanaman, umumnya paling besar dengan pH skala 6-7 untuk sebagian besar tanah pertanian (Tisdale et al. 1985). Peningkatan pH juga disebakan oleh akar tanaman giat atau aktif mengashilkan asam organik (H+) yang menyerap anion lebih besar daripada kation, melepaskan OH-, hasil hidrolisis pupuk P, sehingga pH tanah meningkat.

4.3. Pertumbuhan Tanaman 4.3.1. Tinggi Tanaman

Pada umur 1 MST, perlakuan 0 ml pupuk hayati + 50% pupuk P dan 0 ml pupuk hayati + 100% pupuk P cenderung meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan perlakuan 0 ml pupuk hayati + 0% pupuk. Hal ini disebabkan pertumbuhan tanaman pada 1 MST merupakan awal pertumbuhan vegetatif dari tanaman sehingga sangat membutuhkan unsur hara P untuk memacu pertumbuhan vegetatif, seperti tinggi, dan jumlah daun. Hal yang sama juga ditemukan pada perlakuan 50 ml pupuk hayati + 50% pupuk P dan 50 ml pupuk hayati + 100% pupuk P yang mana menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 0 ml pupuk hayati + 0% pupuk P terhadap tinggi tanaman.

Tabel 8 Pengaruh pemberian pupuk hayati dan pupuk P terhadap tinggi tanaman krisan (cm)

Perlakuan Tinggi tanaman

(MST) 1 2 3 4 5 6 7 8 0 ml pupuk hayati+0% P 5.4 8.7 13.9 21.6 30.3 42.2 54.0 56.0 0 ml pupuk hayati+50% P 5.8 9.4 15.4 23.3 31.8 43.7 52.9 54.6 0 ml pupuk hayati+100% P 6.2 10.1 16.2 24.5 33.4 45.4 57.6 61.6 50 ml pupuk hayati+0% P 5.9 9.8 15.8 24.2 33.4 46.8 58.2 63.6 50 ml pupuk hayati+50% P 6.3 9.9 16.6 25.4 35.6 49.7 61.6 65.7 50 ml pupuk hayati+100% P 6.4 10.0 16.6 25.4 34.6 46.2 56.8 62.2

Pada 2 MST hingga 8 MST tidak terdapat perbedaan yang nyata antar setiap perlakuan terhadap tinggi tanaman. Hal ini dikarenakan pada 2 MST hingga 8 MST jumlah P-tersedia yang ada dalam tanah berada pada jumlah yang sangat tinggi dan hampir sama pada setiap perlakuan, sehingga tidak memberikan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan terhadap tinggi tanaman. Jumlah P-tersedia yang semakin menurun menunjukkan bahwa pada umur 2 MST hingga 8 MST kation-kation tanah seperti Al3+, Fe3+, dan Ca2+, sebagian besar membuat ikatan dengan fosfat dalam bentuk Al-P, Fe-P, dan Ca-P, yang menyebabkan unsur hara fosfat tidak tersedia bagi tanaman, sekalipun keadaan tanah sangat baik (Soepardi 1983). Pada tanah tua fosfat akan membentuk komplek hidrooksida Fe-P, hidrooksida Al-Fe-P, sedangkan pada tanah alkali membentuk komplek Ca-P.

Pada tanah Andosol akan berikatan dengan alofan membentuk alofan fosfat (Leiwakabessy 1989 dalam Lestari 1994), sedangkan pada kondisi masam ion Al, Fe berekasi dengan ion fosfat membentuk garam Fe-P atau Al-P yang tidak larut.

Gambar 8 Pertumbuhan vegetatif krisan (tinggi dan jumlah daun) pada 2 MST, 4 MST, 6 MST, dan 8 MST pada setiap perlakuan

Keterangan: 0 ml pupuk hayati+0% P (P0D0) 50 ml pupuk hayati+0% P (P1D0)

0 ml pupuk hayati+50% P (P0D1) 50 ml pupuk hayati+50% P (P1D1)

0 ml pupuk hayati+100% P (P0D2) 50 ml pupuk hayati+100% P (P1D2)

6 MST 8 MST P0D0 P0D1 P0D2 P1D0 P1D1 P1D2 4 MST 2 MST

Hanafiah (2005) menyatakan dibanding N, maka P tersedia dalam tanah relatif cepat menjadi tidak tersedia akibat segera 1) terikat oleh kation tanah (terutama Al dan Fe pada kondisi masam atau dengan Ca dan Mg pada kondisi netral) yang kemudian mengalami presipitasi (pengendapan) atau 2) terfiksasi pada permukaan positif koloidal tanah (liat dan oksida Al/Fe) atau lewat pertukaran kation (terutama dengan OH-). Ketidaktersediaan fosfor setelah 2 MST juga menunjukkan bahwa ketika pupuk P yang mulanya mengandung P tersedia bagi tanaman, namun pada akhirnya cepat bereaksi dengan tanah dan menjadi kurang tersedia untuk diambil tanaman (Sundara et al 2002). Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk H2PO4-, HPO4-, PO4-. Pada umumnya bentuk H2PO4- lebih tersedia bagi tanaman daripada HPO4- dan PO4-. ketersediaan fosfor anorganik sangat ditentukan oleh pH tanah, jumlah dan dekomposisi bahan organik, serta kegiatan jasad mikro dalam tanah ( Lal 2002 dalam Suliasih dan Rahmat 2007).

Pada 1 MST hingga 8 MST penggunaan pupuk hayati + pupuk P (50% P dan 100% P) tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman. Perlakuan tersebut menunjukkan peningkatan tinggi rata-rata tanaman yang lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan 0 ml pupuk hayati + 50% pupuk P dan 0 ml pupuk hayati + 100% pupuk P. Hal tersebut disebabkan adanya peran mikroorganisme pelarut fosfat dalam melarutkan fosfat yang diberikan sehingga fosfat menjadi lebih tersedia bagi tanaman yang kemudian mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman. Ini menunjukkan mikroorganisme pelarut fosfat berperan dalam ketersediaan unsur hara fosfat dalam tanah. Pelarutan fosfat oleh mikroorganisme pelarut fosfat didahului dengan sekresi asam-asam organik, diantaranya asam sitrat, asam glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glikosilat, malat, dan fumarat. Hasil sekresi tersebut akan berfungsi sebagai katalisator, pengkhelat dan memungkinkan asam-asam organik tersebut membentuk senyawa komplek dengan kation Ca2+, Mg2+, Fe2+, dan Al3+ sehingga terjadi pelarutan fosfat menjadi bentuk tersedia yang dapat diserap oleh tanaman (Rao 1982 dalam Wulandari 2001). Berdasarkan rata-rata tinggi tanaman, maka perlakuan yang menunjukkan peningkatan tinggi yang signifikan adalah perlakuan 50 ml pupuk hayati + 50 % P.

4.3.2. Jumlah Daun

Pemberian pupuk hayati dan pupuk P pada setiap perlakuan tidak menyebabkan perbedaan yang nyata dari jumlah daun tanaman. Hal ini dikarenakan unsur hara P tidak cukup berperan untuk perkembangan sel daun pada masa pertumbuhan vegetatif (1-8 MST), sehingga jumlah daun antar perlakuan tidak berbeda nyata.

Tabel 9 Pengaruh pemberian pupuk hayati dan pupuk P terhadap jumlah daun tanaman krisan. Perlakuan Daun (helai) 1 2 3 4 5 6 7 8 0 ml pupuk hayati+0% P 0 ml pupuk hayati+50% P 0 ml pupuk hayati+100% P 50 ml pupuk hayati+0% P 50 ml pupuk hayati+50% P 50 ml pupuk hayati+100% P 5.0 8.4 12.6 17.2 22.0 29.4 35.8 43.6 5.4 9.6 15.4 21.4 28.2 38.0 43.0 47.0 5.8 10.2 15.4 20.2 26.0 33.0 38.0 45.0 5.6 9.2 14.2 18.4 22.6 32.2 38.6 50.0 5.6 9.4 15.6 21.4 27.0 38.4 43.8 50.6 5.8 9.6 14.8 19.6 28.8 33.2 39.4 46.8

Dalam perkembangannya daun lebih membutuhkan unsur hara N dari pada P. Pengaruh serapan fosfat oleh tanaman untuk perkembangan daun sangat kecil. Berdasarkan rata-rata pertambahan jumlah daun, maka perlakuan yang memiliki peningkatan jumlah daun paling tinggi adalah perlakuan 50 ml pupuk hayati + 50 % P dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Jumlah daun yang tinggi dibutuhkan tanaman dalam peristiwa fotosintesis. Tanaman dengan jumlah daun yang lebih tinggi akan memiliki jumlah klorofil yang lebih banyak sehingga fotosintat yang dihasilkan dari proses fotosintesis lebih banyak. Selanjutnya fotosintat ini akan ditraspor ke seluruh bagian tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, seperti peningkatan tinggi tanaman dan proses pembungaan. Jumlah daun yang melimpah dari tanaman akan memacu pertumbuhan tanaman.

4.3.3. Warna Daun

Warna daun daun ditunjukkan oleh Tabel 10. Berdasarkan pengamatan terhadap warna daun ternyata tidak ditemukan perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan dari 1 MST hingga 8 MST. Pada 1 MST warna daun setiap perlakuan

termasuk kategori hijau. Pada 2 MST hingga 4 MST, setiap perlakuan memiliki warna daun yang termasuk dalam kategori lebih hijau. Sedangkan pada 5 MST hingga 8 MST warna daun tanaman dari setiap perlakuan termasuk dalam kategori sangat hijau.

Tabel 10 Pengaruh pemberian pupuk hayati dan pupuk P terhadap warna daun pada 1 MST – 8 MST.

Perlakuan Warna Daun

1 2 3 4 5 6 7 8 0 ml pupuk hayati+0% P 3 4 4 4 5 5 5 5 0 ml pupuk hayati+50% P 3 4 4 4 5 5 5 5 0 ml pupuk hayati+100% P 3 4 4 4 5 5 5 5 50 ml pupuk hayati+0% P 3 4 4 4 5 5 5 5 50 ml pupuk hayati+50% P 3 4 4 4 5 5 5 5 50 ml pupuk hayati+100% P 3 4 4 4 5 5 5 5 Keterangan : 1 = kurang hijau; 2= cukup hijau; 3= hijau; 4= lebih hijau; 5= sangat hijau

4.4. Kualitas Panen

4.4.1. Bobot Basah dan Tinggi Akhir

Pemberian pupuk hayati dan pupuk P tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dari bobot basah pada setiap perlakuan. Secara umum, rata-rata bobot basah yang terdapat pada perlakuan 0 ml pupuk hayati + 0% P menunjukkan bobot basah yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Ini menunjukkan bahwa tanaman yang mendapat tambahan fosfat dari pupuk P memiliki bobot basah yang lebih besar secara rata-rata namun tidak berbeda secara statistik. Adapun pada perlakuan 50 ml pupuk hayati + 0% P memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi daripada perlakuan 0 ml pupuk hayati + 0% P dikarenakan pupuk hayati yang mengandung mikroorganisme pelarut fosfat mampu melarutkan residu pupuk P dari penggunaan lahan sebelumnya sehingga dapat meningkatkan ketersediaan fosfat untuk diserap oleh tanaman.

Dokumen terkait