• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUREAUCRACY NEUTRALITY AND CORRUPTION ERADICATION

Eko Noer Kristiyanto

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI

Jalan HR. Rasuna Said Kav. C-1 , Jakarta 12920, telepon: (021) 2525015

e-mail: ekomaung69@gmail.com

(Diterima 22 Maret 2017, Direvisi 27 Maret 2017, Disetujui 15 Juni 2017)

Abstrak

Dalam perspektif politik dan hukum pemerintahan, netralitas birokrasi menjadi isu yang senantiasa mencuat terlebih ketika memasuki agenda politik nasional. Birokrasi yang seharusnya netral dan fokus melayani rakyat telah dikendalikan oleh kekuatan politik. Bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi adalah korupsi. Birokrasi telah menjelma menjadi mesin uang untuk membiayai sekelompok elit dan partai politik. Tulisan ini mencoba menggambarkan bahwa netralitas menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya korupsi di negeri ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Ketidaknetralan birokrasi secara langsung maupun tak langsung akan merugikan rakyat karena seharusnyanya rakyatlah yang harus mereka layani, bukan sekelompok atau segelintir elit. Birokrasi yang netral akan menjadikan birokrasi sesuai fungsi utamanya yaitu melayani rakyat dan tidak disalahgunakan oleh sekelompok orang termasuk menjadikannya sumber korupsi

Kata Kunci: Birokrasi, Pemerintahan, Korupsi, Pemberantasan, Politik Abstract

In the government politics and laws perspective, neutrality became an issue that arise especially when entering national politics agenda. Bureaucracy that should have been neutral, had been controlled by politics power. Corruption is one of the most real form of the abuse of power. Bureaucracy has becoming fund machine to support group of elites and political party. This article is trying to describe that the neutrality has become important to prevent corruption. Normative law were used as a research method. The people was the ones that bureaucracy should serve, so the bureacracy that was not neutral will harm them. The neutral bureaucracy will make them as their main function, which is serve the people and will not going to be used by groups of elites as a mean to corrupt.

Keywords: bureaucracy, government, corruption eradications, politics

PENDAHULUAN

Dalam aspek politik dan hukum pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang mendesak untuk segera diwujudkan. Terlebih lagi karena birokrasi pemerintah Indonesia dianggap telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). akan tetapi, menurut Rasad (2006) pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi dengan

baik. Komitmen pemerintah terhadap reformasi birokrasi cenderung berbanding lurus dengan komitmen pemerintah ter- hadap pemberantasan KKN yang dianggap telah menjadi ciri khas dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironis, biro- krasi yang seharusnya berpihak kepada rakyat dan menjadi pelayan masyarakat, justru kehilangan legitimasi kepercayaan dari masyarakat itu sendiri.

Krisis kepercayaan tersebut semakin besar ketika kita mengaitkannya dengan konteks politik, Thoha (2003) mengatakan

birokrasi yang sejatinya netral (jika tak ingin dikatakan dan dipaksa untuk berpihak kepada rakyat) dianggap telah berpihak kepada kekuasan dan penguasa. Dalam suatu Negara yang menerapkan sistem demokrasi maka kehadiran partai politik dalam biro- krasi pemerintah menjadi suatu yang tak terelakkan. Menurut teori liberal, birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan- kebijakan pemerintah yang memiliki akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Sehingga birokrasi pemerintah tak hanya didominasi oleh pejabat-pejabat birokrasi yang meniti karir di dalamnya, namun juga ada bagian lain yang ditempati oleh pejabat-pejabat politik. Sistem yang ada disinyalir semakin melenggangkan asumsi tersebut, karena membuat politik dan kekuasaan terlalu mendikte birokrasi. Netralitas birokrasi Indonesia dalam implementasi masih perlu diperbaiki. Selama pemerintah tidak tunduk pada aturan maka birokrasi itu tidak netral karena budaya politik berhubungan erat dengan budaya birokrasi. Kehadiran partai politik dalam pemerintahan membawa pengaruh besar terhadap birokrasi peme- rintah, salah satu ekses yang harus dikritisi adalah terkontaminasinya birokrasi oleh ideologi dan pandangan politik termasuk

pengaruh dari igur-igur politik tertentu,

sehingga membuat birokrasi menjadi tidak netral, tentunya ini membuat birokrasi rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Karir puncak seorang pejabat karier masih berada dibawah pejabat politik yang notebene adalah pimpinan tertinggi disuatu institusi, misal saja seorang menteri di suatu kementerian, seorang kepala daerah di struktur pemerintah daerah. Ketidak netralan birokrasi ini tentunya secara langsung maupun tak langsung akan merugikan rakyat karena sejatinya rakyatlah yang harus mereka layani, bukan sekelompok atau segelintir elit. Dalam kondisi seperti ini maka birokrasi yang melayani kepentingan elit terkondisikan sebagai alat untuk melang- gengkan kekuasaan elit tersebut, birokrasi yang memiliki akses terhadap berbagai sumber daya dan anggaran menjadi alat

untuk memberi pemasukan dana bagi partai

politik dan igur-igur tertentu dalam rangka

pemenangan di ajang pemilihan umum pusat maupun daerah, proses yang tentunya sarat dengan praktik korupsi karena dilakukan secara tidak benar dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Fakta terbaru menunjukkan bahwa daftar nama kepala daerah yang ditangkap KPK semakin bertambah, diantaranya adalah walikota Tegal Siti Masitha yang disinyalir banyak melakukan mutasi pejabat yang mengkritisi kebijakannya termasuk terkait tindakan yang berpotensi korupsi, padahal birokrasi seharusnya berjalan dan mengabdi untuk masyarakat, akan tetapi kekuatan politik justru mengendalikan birokrasi. Sistem rekrutmen dan kuasa partai politik pun menumbulkan masalah, karena untuk mendapat dukungan dari parpol maka calon pejabat seringkali harus membayar mahar, mahar atau modal yang dikeluarkan oleh calon pejabat ini seringkali membuat pejabat dan elit partai terlibat lingkaran proyek-proyek ataupun upaya balik modal yang sering dilakukan dengan tindakan- tindakan koruptif.

Jika kita memahami hakikat dan fungsi birokrasi itu sendiri, tentunya ada kesenjangan yang serius antara cita dan kenyataan, suatu kesenjangan yang dapat diartikan sebagai suatu permasalahan yang harus segera diatasi, utamanya dalam momentum suksesi kepemimpinan yang baru. Kepemimpinan baru diharapkan mampu melanjutkan agenda reformasi birokrasi yang telah dimulai oleh rezim sebelumnya, pembenahan yang dianggap paling penting oleh penulis adalah bagaimana mengondisikan birokrasi di republik ini netral sehingga mampu mengoptimalkan fungsi utamanya untuk melayani rakyat. Penting untuk memahami mengapa netralitas birokrasi menjadi sangat penting untuk mendorong upaya pemberantasan korupsi, dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk mendorong netralitas birokrasi di negara ini.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif yang pada dasarnya

Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi (Eko Noer Kristiyanto)

meneliti kaidah-kaidah hukum dan asas-asas hukum, menelaah permasalahan dengan berpedoman pada data sekunder yaitu: bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar 1945, undang- undang, peraturan pemerintah, dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.

Bahan hukum sekunder yang dimaksud adalah doktrin, ajaran para ahli, hasil karya ilmiah para ahli, berita-berita dan hasil wawancara pihak terkait yang diperoleh dari surat kabar serta situs-situs internet yang relevan dengan judul penelitian. Data di atas dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research), penelurusan melalui media internet (online research), dalam hal ini penulis menitikberatkan dalam konteks hakikat birokrasi secara fungsi dan tugas lalu bagaimana hubungannya dengan netralitas dan potensi korupsi serta bagaimana pengaturannya dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia, apa sudah dianggap sesuai dengan tujuan reformasi birokrasi.

PEMBAHASAN

Birokrasi dan Administrasi Publik

Ciri-ciri birokrasi menurut Weber adalah, pertama, berbagai aktivitas regular yang diperlukan untuk mencapai tujuan- tujuan organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajiban- kewajiban resmi, kedua, organisasi kantor- kantor mengikuti prinsip hierarki, yaitu setiap kantor yang lebih rendah berada di bawah kontrol dan pengawasan kantor yang lebih tinggi, ketiga, operasi-operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah-kaidah abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan kaidah-kaidah

ini terhadap kasus-kasus spesiik, dan

keempat, pejabat yang ideal menjalankan kantornya berdasarkan impersonalitas formalistic tanpa kebancian atau kegairahan, dan kerenanya tanpa antusiasme atau afeksi. Birokrasi pemerintahan menurut Thoha (2003) seringkali diartikan sebagai

officialdom atau kerajaan pejabat, yaitu suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah pejabat. Di dalamnya terdapat yurisdiksi dimana setiap pejabat memiliki oficial duties. Mereka bekerja pada tatanan hierarki dengan kompetensinya masing-masing. Dwiyanto (2011) mengungkapkan bahwa pola komunikasinya didasarkan pada dokumen tertulis.

Adapun bureaucratic sublation di- dasarkan atas anggapan bahwa birokrasi pemerintah sesuatu Negara itu bukanlah hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana. Weber sendiri mengenalkan bahwa birokrasi yang riil itu mempunyai kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Walau dalam ke- nyataannya birokrasi itu tetaplah erat dengan kepegawainegerian, sehingga sebenarnya ketika kita berbicara tentang reformasi birokrasi maka secara langsung kita pun bicara tentang reformasi pegawai negeri (PNS) yang kini popular sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebenarnya menurut Ashiddiqie (2007) yang perlu ditata tak sekedar bentuk dan formatnya namun juga dari sisi substansinya, hal ini disebabkan karena di negara maju sekalipun berbagai kritik dan diskursus mengenai kelemahan birokrasi negara-negara maju pun terus bermunculan, maka tentunya negara berkembang seperti Indonesia yang selama ini senantiasa mencontoh praktik di negara-negara maju pun perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Seiring waktu, menurut Winarno (2016) birokrasi justru dianggap sebagai momok,banyak kegagalan kebijakan publik terutama di negara berkembang terjadi karena kesalahan-kesalahan birokrasi, di Indonesia birokrasi menghadapi persoalan yang pelik dan menggelisahkan.

Meskipun perlu diperhatikan juga bahwa suatu sistem birokrasi pun sangat dipengaruhi dan erat kaitannya dengan kondisi internal dan kondisi masyarakat masing-masing negara, sehingga tidak dapat diterapkan secara murni oleh suatu negara yang meniru negara lain.

Wakhid (2013) mengatakan bahwa administrasi negara sebagai organ birokrasi di Indonesia akan sulit bersikap independen dan netral. Dengan posisi seperti sekarang ini, administrasi negara berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan karenanya di- sebut administrasi pemerintahan. Posisi ini membuat birokrasi senantiasa dalam bayang-bayang kuat pemerintahan, baik Presiden-Wakil Presiden, Menteri, serta Kepala Daerah provinsi dan Kepala Daerah kabupaten/kota.

Model administrasi negara sebagai alat negara dan bukan aparat pemerintah ini dapat dilihat pada administrasi negara Jerman, yang juga dijadikan rujukan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dalam penyusunan RUU ASN. Administrasi negara di Jerman bukan aparat pemerintah, meskipun secara formal administrasi negara menjalankan tugas-tugas pemerintah. Hal ini karena, selain menjalankan tugas pemerintah, administrasi negara di Jerman juga menjalankan mandat konstitusi secara otonom. Dalam menjalankan tugas pemerintah, administrasi negara Jerman tidak harus tunduk dan taat kepada pemerintah. Pelayanan Publik dan Birokrasi

S e c a r a f i l o s o f i s , s a l a h s a t u fungsi negara adalah melindungi dan menyejahterakan rakyatnya, oleh karenanya menurut Puspitosaro et al., (2011) dalam rangka menyejahterakan rakyat itulah, maka negara memiliki kewajiban untuk memfasilitasi seluruh pemenuhan hak warga negara. Para founding fathers bangsa ini pun memahami dan menyadari betul hal ini dalam konsep bernegara, hal ini dapat dilihat dalam alinea 4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa cita-cita bangsa ini diantaranya adalah “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”

Isi dari pembukaan UUD 1945 di- atas menjelaskan bahwa negara memiliki t a n g g u n g j a w a b u n t u k m e m a j u k a n kesejahteraan umum dalam arti yang seluas-luasnya karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini tanggung jawab negara adalah bagaimana mengusahakan semua prasyarat, kondisi dan sarana maupun prasarana yang dapat mendukung tercapainya kesejahteraan publik dengan menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya.Pelayanan publik merupakan hak dasar bagi warga negara yang harus dipenuhi oleh negara karena pelayanan publik merupakan bagian dari kewajiban negara untuk menyejahterakan rakyatnya.

Dalam batang tubuh UUD 1945, kewajiban negara untuk menyelenggarakan pelayanan publik tercantum dalam pasal 34 ayat (3) yang menyatakan “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”

Untuk memenuhi kesejahteraan itulah maka negara melakukan pelayanan kepada masyarakatnya yang kita kenal sebagai pelayanan publik.

Walau dalam pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa birokrasi negara bukanlah birokrasi pemerintah semata namun secara riil, fungsi pelayanan oleh negara ini dilakukan pemerintah dalam pengertian sempit yaitu pemegang kekuasaan eksekutif. Menurut Prodjodikoro & Purbopranoto (2014), pemerintah dapat dibagi dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh fungsi kegiatan kenegaraan yaitu lembaga-lembaga kenegaraan yang diatur secara langsung oleh UUD 1945 maupun lembaga-lembaga yang diatur oleh Undang-Undang. Sedangkan pemerintah dalam arti sempit adalah Presiden/eksekutif. Menurut Prodjodikoro & Purbopranoto (2014) mengatakan pemerintah dalam arti luas meliputi segala

Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi (Eko Noer Kristiyanto)

urusan yang dilakukan oleh Negara dalam rangka penyelenggaraan kesejahteraan rakyat dan kepentingan Negara, sedangkan arti sempit adalah menjalankan tugas eksekutif saja.

Tugas dan fungsi aparat pemerintah dan birokrasi memang tak semata pelayanan publik, namun pelayanan publik menjadi suatu tolok ukur kinerja pemerintah yang paling kasat mata. Dalam hal ini masyarakat dapat langsung menilai kinerja pemerintah berdasarkan kualitas layanan publik yang diterima, karena kualitas layanan publik menjadi kepentingan banyak orang dan dampaknya langsung dirasakan masyarakat dari semua kalangan. Dalam konteks ini pula harus diakui begitu banyak praktik korupsi dalam ranah pelayanan publik dan kondisi birokrasi yang tidak netral membuat segala hal terkait birokrasi (izin, SDA, dsb) dari pusat hingga daerah seakan menjadi lahan basah untuk menyetor dan seakan menjadi sumber keuangan bagi kelompok tertentu. Korupsi public menurut Indrayana (2008) memiliki daya rusak yang lebih tinggi karena pelakunya mempunyai kekuasaan resmi di pemerintahan. Korupsi oleh pejabat publik ini dikatakan oleh DeCoste dalam Indrayana (2008) sebagai “political corruption” dan menyentuh pula “political morality”. Lebih jauh Heyman dalam Indrayana (2008) mengatakan bahwa korupsi secara nyata menghambat demokrasi.

Republik Indonesia telah memiliki payung hukum sebagai acuan yuridis dalam pelaksanaan pelayanan publik di negeri ini, yaitu, yang telah disahkan pada tanggal 18 Juli 2009. Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan public, Indonesia telah memiliki aturan mengenai hal tersebut yaitu Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik), dimana negara adalah pihak pertama dan utama yang bertanggungjawab dalam upaya pemenuhan hak-hak rakyat, bukan yang lainnya. Demikian pula pada proses reformasi dalam sektor pelayanan publik, negaralah yang harus mengambil peran dominan. Masyarakat yang merupakan pelanggan dari pelayanan publik, juga

memiliki kebutuhan dan harapan pada kinerja penyelenggara pelayanan publik yang profesional. Dengan tugas Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah adalah bagaimana memberikan pelayanan publik yang mampu memuaskan masyarakat. Terkait keutamaan rakyat dalam bernegara ini disepakati pula oleh berbagai teori, bahkan Motseseorang ahli pemerintahan dari timur (Cina) pun mengatakan bahwa dari seluruh unsur Negara, rakyat adalah bagian yang paling penting dan penguasa adalah bagian paling akhir kepentingannya. Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki raport buruk, khususnya semasa Orde Baru dimana yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Semua itu tentunya memiliki korelasi dengan mentalitas yang korup. Tidak bisa dipungkiri menurut Indiahono (2017) birokrasi yang ada sekarang ini merupakan warisan Belanda dan lebih jauh warisan masa kerajaan. Dalam banyak literatur ditemui bahwa sebenarnya rezim orde baru hanya sekedar melanggengkan saja mental korup seperti ini, karena pada kenyataannya budaya priyayi birokrat ini bahkan telah sangat laten semenjak jaman penjajahan dahulu, kaum priyayi yang dapat disamakan dengan birokrat jaman sekarang, melakukan KKN dengan memanfaatkan jabatannya. Dalam kenyataannya perilaku priyayi birokrat tersebut terus berlangsung hingga kini dalam birokrasi pemerintah kita. Birokrasi pasca orde baru yang bekerja mengendalikan kita selama belasan tahun menurut Patitinggi (2016) adalah birokrasi buruk, yang mengidap hal buruk dari masa lalu dan menjadi ancaman bagi demorratisasi walau telah banyak perbaikan melalui berbagai regulasi dan kebijakan, namun secara kultural tidak banyak yang berubah.

Dalam pelayanan publik yang di- peruntukkan untuk kepentingan rakyat maka akan terkait pula dengan kepentingan

publik. Perkembangan teoritis kepentingan publik menurut Nurmandi (2010) sangat dipengaruhi oleh tiga mainstream dalam administrasi publik, yaitu:

1. The Old Public Administration, aliran ini mengacu kepada teori normatif, dimana

kepentingan publik dideinisikan sebagai

sesuatu yang ideal, dapat distandarkan pada nilai tertentu yang mewakili nilai kepentingan publik. Kepentingan publik adalah moral dan standar etika yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Kepentingan publik juga merupakan etika tertinggi yang diterapkan dalam urusan- urusan politik.

2. New Public Management, yang meng- gunakan sektor privat dan pendekatan bisnis dalam sektor publik, menekankan desentralisasi dan demokrasi memandang

bahwa kepentingan publik dideinisikan

oleh masyarakat, warga negara direduksi s e b a g a i k o n s u m e n , N e w P u b l i c Management meminjam teori pasar, harga pasar ditentukan secara terbuka, “harga pasar” itulah kepentingan publik. 3. The New Public Service, menurut aliran

ini, kepentingan publik adalah hasil dari sebuah dialog tentang nilai-nilai bersama yang diagregasikan dari kepentingan individual. Oleh karena itu, pelayan publik tidak hanya selalu merespon permintaan “pelanggan”, tetapi lebih berfokus pada membangun hubungan baik dengan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan antar warga negara. Sebagai implikasinya The New Public Service tidak percaya pada privatisasi, karena organisasi publik melayani karena uang, birokrat pun disebut perannya. Pelayanan publik merupakan hubungan antara lembaga publik secara keseluruhan dengan citizen secara keseluruhan.

Negara yang diwakili oleh pemerintah mengemban mandat publik untuk memenuhi kebutuhan publik, termasuk menciptakan barang publik. Pemerintah menurut Thoha (2003) memiliki kekuatan mamaksa yang sah (otoritas) untuk mempengaruhi perilaku dan pembuatan keputusan oleh individu di masyarakat. Sehingga dapat dibayangkan

betapa penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang berujung kepada korupsi akan begitu rentan terjadi, utamanya ketika para birokrat pemerintah ini tidak netral secara politis. Secara teoritik dan praktik, terdapat perbedaan antara pemerintah dan pemerintahan, pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara. Sedangkan menurut Ridwan (2014) peme- rintah adalah organ/alat yang menjalankan pemerintahan dan jika diartikan secara sempit maka pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif, pengertian inilah yang kita kenal sebagai birokrasi.

Birokrasi dan Politik

Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi me- rupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi. Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi siapa. Persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi. Sehingga karenanya, kemudian muncul pernyataan bahwa supremasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, dan adanya asumsi tentang superioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi. Tawaran ideal pernah juga ditawarkan bahwa manakala fungsi politik berakhir maka fungsi administrasi itu mulai (when politic end, administration begin). Sehingga birokrasi murni menjalankan kebijakan politik namun tak terlibat sama sekali dalam pembentukan kebijakan itu. Dikotomi antara politik dan administrasi ini juga diakibatkan karena adanya kesalahan perubahan referensi dari fungsi ke struktur, dari perbedaan antara pembuatan kebijakan (policy making) dan implementasi kebijakan, antara pejabat politik dan pejabat karier birokrasi.

Telah dibahas sebelumnya bahwa penyebab ketidaknetralan birokrasi adalah

Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi (Eko Noer Kristiyanto)

politik dalam hal ini partai politik, partai politik sangat berkepentingan untuk me- nempatkan kader-kadernya dalam birokrasi, dalam tataran praktis kepentingan ini berwujud menjadikan birokrasi sebagai penghasil uang bagi partai politik sang kader, tentu saja uang-uang yang berasal dari birokrasi ini dihasilkan dengan cara- cara yang tidak patut dan melanggar aturan, bukti nyata dapat kita lihat ketika elit-elit partai yang memimpin birokrasi terlibat korupsi bahkan sebagian besar diantaranya telah dijatuhi vonis. Dalam sebuah berita di KOMPAS yang ditulis oleh Syafiq (2016), tertera judul: “Birokrasi mesin uang untuk kepentingan politik”. Dalam berita tersebut tampak munculnya gejala politisasi birokrasi. Seorang narasumber misalnya, mengatakan dalam salah satu riset ICW yang dikutip KOMPAS bahwa sumber pendapatan parpol antara lain berasal dari penempatan pejabat eselon 1.Pejabat eselon 1 sebagai pembantu menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada menteri termasuk menteri yang berasal dari partai