• Tidak ada hasil yang ditemukan

MINISTRY OF FINANCE

Joko Tri Haryanto

Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan

Jl. Dr Wahidin Raya No 1 Jakarta Pusat e-mail: Djohar78@gmail.com

(Diterima 6 Februari 2017, Direvisi 17 Februari 2017, Disetujui 15 Juni 2017) Abstrak

Upaya mewujudkan aparatur sipil negara (ASN) sebagai bagian dari reformasi birokrasi, memerlukan penetapan ASN sebagai profesi yang mengelola dan mengembangkan dirinya serta mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam prinsip merit manajemen. Karenanya, pola manajemen ASN justru diharapkan lebih diwarnai oleh aspek profesional dari sisi jabatan fungsional dibandingkan aparatur yang bersifat struktural. Permasalahannya, masih banyak kultur budaya yang terasa menghambat. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak sinergi antar jabatan fungsional bagi tata laksana dalam organisasi dengan menggunakan metode analisis kesesuaian regulasi dan lokus yang dipilih adalah Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif menggunakan metode analisis data regulasi. Berdasarkan analisis terhadap PMK No 234/ PMK. 01/2015, dihampir seluruh tugas pokok dan fungsi unit BKF mengemban misi analisis dan rekomendasi kebijakan sekaligus sebagai unit penelitian dan pengembangan di lingkup Kementerian Keuangan. Namun, masih ada beberapa overlapping antara jabatan fungsional dan struktural. Untuk beberapa unit kerja terpilih, seharusnya sudah dapat diwujudkan pembentukan unit jabatan fungsional bukan lagi struktural misalnya di PKPN, PKAPBN dan PKEM. Sementara di unit PKPPIM dan PKSK, masih diperlukan pembagian proporsi antara bidang fungsional dan struktural. Khusus di PKRB, berdasarkan tugas, keseluruhan eselon III dan IV masih tetap dipertahankan menjadi pejabat struktural.

Kata kunci: Birokrasi, ASN, Profesional, Struktural, Jabatan Fungsional

Abstract

In order to actualize ASN as a profession that manage and develop itself as well as be account with their performance based on merit system, is an effort to realize ASN as a part of the bureaucracy reform. Therefore, the pattern of the ASM management is expected to be more functional than structural. Still, there were work culture that’s been indicated to inhibit the effort. This study was conducted as a mean to observe the impact of the functional job in the public organization governance using regulatory compliance analysis method at The Fiscal Policy Agency (BKF). This study was using qualitative approach with regulatory data analysis method. Based on the analysis of PMK No 234/PMK. 01/2015, BKF responsible for the policies analysis and recommendation and was also act as research and development unit as well. However, there were task overlapping between functional dan structural job. For some chosen work unit such as PKPN, PKAPBN, and PKEM, they had been formed as functional job units. Meanwhile, at the PKPPIM and PKSK, there were still job proportion division between functional and structural job. At the PKRB in particular, all of the 3rd and 4th echelon were still maintained.

Key words: Bureaucracy, Civil servants, Professional, Structural, Functional

PENDAHULUAN

Dalam Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), disebutkan bahwa pembentukan UU tersebut didasarkan kepada pelaksanaan cita-

cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu di- bangun ASN yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi

politik sekaligus bersih dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Syarat ter- sebut menurut Neta (2013) juga menjadi kriteria utama pelaksanaan otonomi daerah di era reformasi dengan lebih menekankan aspek penciptaan kemandirian daerah di dalam menjalankan seluruh fungsi birokrasi, pelayanan publik dan pembangunan daerah.

ASN juga diharapkan mampu me- nyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Dengan demikian menurut Istujaya (2004), dapat dilihat bahwa peran dan amanat para ASN bukan lagi sekedar abdi negara pelayan masyarakat namun juga mengemban misi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga menurut Setyobudi (2013), unsur birokrasi diharapkan mampu menjalankan fungsi lebih mulia dalam mewujudkan tujuan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

Menurut Makaduro (2014), disadari bahwa untuk mewujudkan ASN sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu di- tetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya serta wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam menerapkan prinsip merit manajemen ASN. Regulasi tersebut juga memberikan perhatian tentang besarnya tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan aparatur sipil negara masih relatif besar khususnya terkait dengan perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh

jabatan dengan kompetensi dan kualiikasi

yang dimiliki calon dalam rekutmen, pengangkatan dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Artinya menurut Mangkunegara (2006), sinyalemen yang ada selama ini terkait proses rekrutmen, pengangkatan dan promosi yang masih belum transparan dan akuntabel memang dirasa benar adanya.

Menjadi menarik jika diulas pendapat Ibrahim (2008) yang menyebutkan bahwa suatu pemerintahan yang modern dituntut

untuk mengutamakan kualitas pelayanan kepada masyarakat melalui peningkatan efektivitas, efisiensi, profesionalisme sekaligus akuntabilitas pemerintahan itu sendiri sehingga dalam pelayanan terhadap masyarakat tidak dapat dilakukan secara sepihak, dimanapun masyarakatnya berada harus diberdayakan. Dan kinerja aparatur pemerintahan tersebut menurut Langi (2016) merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan secara berkelanjutan dan berkesinambungan untuk menunjukkan kualitas pelayanan termasuk melestarikan kepercayaan masyarakat selaku stakeholders

utama.

Sayangnya, Prasodjo (2009) me- nyebutkan bahwa pola pikir birokrat sebagai penguasa dan bukan sebagai pelayan publik telah menyebabkan kesulitan untuk melakukan perubahan kualitas pelayanan publik. Hal tersebut menjadi urgen jika dikaitkan dengan pendapat Osborne dan Gaebler (1996) yang menyebutkan bahwa misi utama dari adanya suatu pemerintahan adalah melakukan perbaikan (pembangunan) b u k a n h a n y a m e n g e j a r k e p e n t i n g a n uang semata. Misi utama lainnya adalah menyelenggarakan pelayanan publik (public services) yang prima kepada seluruh masyarakat. Tokoh lainnya, Hughes (1994) juga menambahkan bahwa pemerintah sesungguhnya memiliki peran yang sangat penting di dalam menentukan standar hidup riil dimana banyak orang menggantungkan diri pada pelayanan pemerintah seperti kualitas pen-didikan, kesehatan, transportasi umum, lingkungan, hukum, perencanaan kota dan sebaliknya.

Komitmen ini menurut Enceng & Tirtariandi (2013) hanya dapat dipegang kalau rakyat merasa bahwa pemerintahan yang berjalan masih mengarah kepada upaya untuk melindungi dan melayani masyarakat. Perasaan puas dari masyarakat menurut Waani (2014) akan terpenuhi apabila apa yang diharapkan dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah dengan tetap memperhatikan aspek kualitas dan terjangkau. Adapun tugas melayani masyarakat ini menurut Dharma (2005) lebih

Mewujudkan Konsep Birokrasi yang Kaya Fungsi Studi Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu

(Joko Tri Haryanto)

menekankan kepada upaya mendahulukan kepentingan masyarakat, mempermudah urusan masyarakat, mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan masyarakat serta memberikan kepuasan yang optimal kepada masyarakat.

Urgensi pelayanan umum menjadi semakin meningkat seiring dengan per- kembangan kebutuhan masyarakat umum dalam berbagai aspek kehidupannya. Dengan demikian menurut Rivai (2013), pelayanan publik akan mengalami tuntutan yang semakin meningkat dari masyarakat, khususnya yang terkait dengan kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Menurut Suwatin (2010), gelombang perubahan paradigma administrasi publik yang terjadi di belahan penjuru dunia disaat bersamaan juga tengah melanda Indonesia melalui gerakan reformasi birokrasi, karena menurut Mayore (2016) dirasakan selama ini penyelenggaraan pemerintahan belum sepenuhnya menunjang terwujudnya good governance sehingga reformasi menjadi suatu keniscayaan.

Terlebih dibeberapa periode sebelum- nya telah terjadi krisis kepercayaan ter- hadap sistem pemerintahan birokrasi negara kita. Birokrasi publik baik sipil maupun militer telah menempatkan dirinya lebih sebagai alat penguasa daripada pelayanan masyarakat. Kepentingan penguasa menurut Dwiyanto (2008) cenderung menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi publik. Dalam beberapa kesempatan, budaya birokrasi struktural sering dianggap penghambat utama upaya meningkatkan kualitas pelayanan tersebut. Menurut Moenir (2001), beberapa budaya birokrasi struktural yang menghambat diantaranya budaya me- nunggu perintah atasan, pasif, tidak kreatif, tidak berani mengambil keputusan, malas dan tidak inovatif.

Pendapat yang sama juga disampaikan Nugroho (2001) yang menyebutkan bahwa reformasi kultural dianggap sebagai reformasi yang paling sulit namun wajib dilakukan pertama kali karena menjadi bahasa pengantar peletakan proses reformasi di setiap tahap dan bagian. Padahal ke

depannya, menurut Usman dan Paranoan (2013), ASN dituntut untuk berperilaku dan berkinerja sama dengan pegawai swasta yang menjunjung tinggi aspek kompetensi dan kualitas profesionalisme. Untuk itulah, peran dari jabatan fungsional ke depannya dianggap menjadi makin penting, mengingat manajemen aparatur sipil negara justru diharapkan lebih diwarnai oleh aspek profesional dari sisi jabatan fungsional dibandingkan aparatur yang bersifat struktural. Jargon yang coba dikembangkan menurut Darmanto dan Fadillah (2010) adalah suatu manajemen yang kaya fungsi dalam mendukung upaya profesionalisme aparatur sipil negara dalam menjalankan misi pelayanan prima kepada seluruh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

Permasalahan

Dalam lingkup internal Kementerian Keuangan, kebutuhan akan adanya jabatan fungsional sudah diakomodasi dalam Per- aturan Menteri Keuangan PMK Nomor 27/PMK. 01/2014 tentang Pedoman Pem- bentukan dan Penggunaan Jabatan Fungsional Tertentu di Lingkup Kementerian Keuangan (PMK Pembentukan dan Penggunaan JFT di Kemenkeu). Dalam PMK tersebut disebutkan bahwa pembentukan jabatan fungsional tertentu ditujukan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan pembinaan karir pegawai serta mutu pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan serta menggunakan jabatan fungsional tertentu yang telah ada di lingkungan Kementerian Keuangan.

PMK tersebut juga mendeinisikan jabatan

fungsional sebagai kedudukan yang me- nunjukkan tugas, tanggungjawab dan wewenang serta hak seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam rangka menjalankan tugas pokok dan fungsi keahlian dan/ atau ketrampilan untuk mencapai tujuan organisasi.

Dalam penjelasan PMK, juga di- uraikan bahwa jabatan karir di Kementerian Keuangan cenderung didominasi jabatan struktural yang jumlah formasinya relatif terbatas dan statis. Adapun jabatan fung-

sional, notabene merupakan jabatan untuk mewadahi pengembangan profesionalisme PNS, hanya mencakup sebagian kecil bidang tugas pokok Kementerian Keuangan maupun bidang pendukung. Konsekuensinya sebagian besar pegawai cenderung me- ngalami ketidakjelasan profesionalisme serta dihadapkan kepada jalur karir yang tidak memadai. Kondisi ini jelas memicu potensi demotivasi pegawai serta menjadi kendala bagi terwujudnya organisasi Kementerian Keuangan yang profesional serta berkinerja tinggi.

Padahal, Kementerian Keuangan merupakan instansi pemerintah yang me- ngemban tugas pokok di bidang pengelolaan keuangan negara sehingga memiliki peran yang sangat strategis dalam turut mewujudkan Indonesia yang sejahtera, di- plomatis dan berkeadilan.

Berdasarkan tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan ini, kemudian diturunkan ke dalam tugas pokok dan fungsi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai salah satu unit eselon I yang relatif penting. Terlebih BKF dituntut menjadi lembaga kebijakan fiskal yang utuh, tangguh, kompeten dan terpercaya yang berfungsi sebagai Think Tank Kementerian Keuangan dengan menyusun rencana langkah-langkah

yang dibutuhkan terkait kebijakan iskal

secara utuh baik dari sisi substansi maupun sisi teknis.

BKF juga diberikan mandat untuk

merencanakan kebijakan iskal dan me-

lakukan analisis seta memberikan rekomen- dasi kepada Menteri Keuangan. Mekanisme kerja BKF dengan unit eselon I teknis dalam melaksanakan tugas analisis di bidang

kebijakan iskal adalah sebagai berikut:

1. Setiap usulan rumusan kebijakan

iskal dari unit-unit pelaksana teknis

disampaikan kepada Menteri Keuangan dan BKF;

2. Setiap usulan rumusan kebijakan ter- sebut dianalisis oleh BKF untuk diter- bitkannya usulan rekomendasi kepada Menteri Keuangan terkait usulan rumusan kebijakan dari unit pelaksana teknis tersebut;

3. Setiap usulan rekomendasi kebijakan fiskal disampaikan kepada Menteri Keuangan dan unit pelaksana teknis yang terkait;

4. Setiap usulan rekomendasi dari BKF dibahas oleh unit pelaksana teknis untuk ditanggapi sebelum ditetapkan sebagai materi dalam peraturan pemerintah meliputi Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, Presiden, dan Peraturan

Perundang-undangan di bidang iskal.

Dari uraian mekanisme kerja di atas, terlihat bahwa peran BKF sangat vital dalam mendukung kesuksesan kerja Kementerian Keuangan. Karenanya, menjadi urgen ada- nya kebutuhan jabatan fungsional di lingkup BKF. Namun demikian, melalui kajian ini perlu dikaji secara mendalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa dampak adanya jabatan fungsional bagi organisasi dan tata laksana BKF? 2. Bagaimana simulasi sinergi antara

jabatan fungsional di dalam organisasi dan tata laksana BKF yang eksisting?

Aparatur Sipil Negara dan Jabatan Fungsional

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU-ASN) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ASN adalah profesi bagi PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah. Sementara pegawai ASN adalah PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, PNS dideinisikan sebagai

warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Sedangkan jabatan fungsional adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional berdasarkan keahlian dan ketrampilan tertentu.

Mewujudkan Konsep Birokrasi yang Kaya Fungsi Studi Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu

(Joko Tri Haryanto)

D a l a m K a m u s B e s a r B a h a s a Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan aparat adalah badan pemerintahan, instansi pemerintah, pegawai negeri, alat negara. Sementara istilah aparatur pemerintah sendiri

dideinisikan sebagai alat kelengkapan negara

terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan serta kepegawaian yang memiliki rasa tanggung jawab dalam melaksanakan roda pemerintahan sehari- hari. Masih meminjam istilah dalam KBBI, aparatur juga dapat diartikan sebagai alat negara atau aparat pemerintah. Jadi dikatakan bahwa aparatur merupakan alat perlengkapan negara yang terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan dan kepegawaian yang memiliki tanggungjawab menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Dengan demikian pengertian aparatur tidak hanya dikaitkan dengan orangnya tetapi juga dikaitkan dengan fasilitas ataupun ketentuan organisasi dan sebagainya.

Dalam pasal 10 UU-ASN disebutkan bahwa pegawai ASN berfungsi sebagai: pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat serta pemersatu bangsa. Dalam pasal 11 nya disebutkan bahwa pegawai ASN bertugas untuk melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ber- laku, memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas sekaligus mem- pererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasal 18 UU-ASN menguraikan lebih lanjut jabatan fungsional keahlian yang terdiri dari ahli utama, ahli madya, ahli muda dan ahli pertama.

Berdasarkan PMK Pembentukan dan Penggunaan JFT di Lingkup Kementerian Keuangan di Kemenkeu, jabatan itu sendiri diartikan sebagai sekumpulan pekerjaan yang berisi tugas-tugas yang sama atau berhubungan satu sama lain, dan di dalam pelaksanaannya dituntut kecakapan, penge- tahuan, ketrampilan serta kemampuan yang sama meskipun tersebar di berbagai tempat. Dalam perjalanannya, pengangkatan dalam lingkup jabatan fungsional pada dasarnya

diproyeksikan sebagai jalur pengembangan profesional bagi setiap PNS baik di pusat maupun di daerah. Itu artinya konsep jabatan fungsional mengandung strategi pembinaan karir dan profesionalisme PNS sedari awal. Melalui pembinaan jabatan fungsional ini, kedepannya diharapkan seluruh PNS baik di tingkat pusat maupun di daerah betul- betul menjadi sumber daya manusia (SDM) aparatur negara yang berwibawa, berdaya guna serta berhasil guna. Keseluruhan PNS tersebut juga diharapkan mampu menjalankan tugas di bidang masing- masing secara profesional adaptif terhadap perkembangan lingkungan sekaligus terbina karirnya secara konsisten.

Pelayanan Publik

Yusribau (2014) menjelaskan bahwa pelayanan publik (public service) dianggap memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan umum atau pelayanan masyarakat. Dalam lingkup pemerintahan, pelayanan publik lebih dipopulerkan dengan istilah pelayanan prima, pelayanan satu atap, pelayanan satu pintu yang keseluruhannya bermuara kepada upaya pemenuhan kepuasan masyarakat atau pelanggan. Sementara menurut Tjiptono (2011), yang dimaksud dengan kepuasan masyarakat adalah hasil dari adanya perbedaan-perbedaan antara harapan konsumen dengan kinerja yang dirasa oleh pengguna layanan. Beberapa akademisi seringkali mengindentikkan kepuasan pelanggan dengan kualitas jasa pelayanan.

Meskipun demikian, sesungguhnya

kedua konsep tersebut kerap kali dideinisikan

secara berbeda karena memiliki konstruk yang memang berbeda. Untuk melihat sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah, Parasuraman dalam Tjiptono (2011) menyebutkan ada lima dimensi yang harus diperhatikan yaitu:

1. Tangibles yaitu kualitas pelayanan

yang berupa sarana isik perkantoran,

kemodernan, peralatan yang digunakan, daya tarik fasilitas yang digunakan, kerapian petugas serta kelengkapan peralatan penunjang;

2. Reliability yaitu kemampuan dan ke- andalan untuk menyediakan pelayanan yang telah dijanjikan;

3. Responsiveness yaitu kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat sert atanggap terhadap keinginan konsumen;

4. Assurance yaitu keramahan serta sopan santun pegawai dan kemampuan untuk mendapatkan kepercayaan konsumen;

5. Emphaty yaitu sikap tegas dan penuh perhatian dari pegawai dan dapat me-

mahami kebutuhan spesiik dari konsumen.

Pendapat tokoh lainnya seperti Moenir

(2002) mendeinisikan pelayanan publik

sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan tertentu dimana tingkat pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melayani atau dilayani, ter- gantung kepada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pengguna. Pelayanan pada hakikatnya adalah se- rangkaian kegiatan, karena itu proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh ke- hidupan organisasi dalam masyarakat. Proses tersebut selalu dilakukan sehubungan dengan saling memenuhi kebutuhan antara penerima dan pemberi pelayanan. Sementara itu Sinambela, dkk (2006) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat

pada suatu produk secara isik.

Lebih lanjut Atmaja (2002) men- jelaskan bahwa pelayanan publik dapat di- artikan sebagai pemberian layanan keperluan orang atau masyarakat yang memiliki kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan sebelumnya. Sinambela dkk (2006) menambahkan bahwa untuk mencapai kepuasan dalam pelayanan prima, beberapa indikator utama yang wajib dipenuhi adalah: 1) transparansi yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;

2) akuntabilitas yaitu pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3) kondisional yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap ber-

pegang pada prinsip eisiensi dan efektivitas;

4) partisipasif yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

Jika dikaitkan dengan administrasi publik maka pelayanan adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat.

Kata kualitas ini memiliki banyak deinisi

yang berbeda serta bervariasi mulai dari yang sifatnya konvensional hingga yang lebih strategik. Adapun definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk misalnya kinerja (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use) serta estetika (esthetic). Kinerja itu

sendiri dapat dideinisikan dalam beberapa

pemaknaan. Kinerja dapat dipahami sebagai tingkat keberhasilan atau merupakan the degree of accomplishment atau dengan kata lain kinerja merupakan suatu tingkat pencapaian tujuan organisasi.

Hal ini disampaikan oleh Rue dan Byars dalam Nasucha (2004) yang menyebutkan bahwa kinerja merupakan prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan suatu kegiatan dapat menunjukkan seberapa jauh tingkat kemampuan pelaksanaan tugas- tugas organisasi. Selain itu juga dikaitkan dengan efektifitas pelaksanaan program dalam sebuah organisasi.

Jika mendasarkan kepada peng- golongan berdasarkan metodologi penelitian yang digunakan, maka kajian ini dapat di- kategorikan sebagai penelitian yang sifatnya deskriptif eksploratif dimana peneliti akan mengkaji kesesuaian antara jumlah eselon yang ada di BKF dengan membandingkan regulasi PMK serta UU ASN. Untuk itulah pendekatan penelitian yang digunakan lebih mendasarkan kepada pendekatan kualitatif menggunakan metode analisis data regulasi.

Mewujudkan Konsep Birokrasi yang Kaya Fungsi Studi Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu

(Joko Tri Haryanto)

Adapun sumber pustaka yang digunakan ditujukan untuk menganalisis berbagai teori yang terkait dengan regulasi terkait jabatan fungsional, organisasi tata kerja, sinergi dan dampak jabatan fungsional di dalam BKF serta kualitas pelayanan publik.

Terkait dengan pemilihan jenis data yang digunakan, sebagian besar merupakan data sekunder yang didapatkan dari dasar hukum UU ASN dan PMK yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja termasuk jabatan fungsional di Kementerian Keuangan. Untuk sampel, dipilih BKF dengan memper- timbangkan peran dan fungsi BKF yang sangat strategis di dalam melakukan analisis

dan perumusan rekomendasi kebijakan iskal

di Kementerian Keuangan.

PEMBAHASAN

Organisasi Tata Laksana di BKF

Pengaturan organisasi dan tata laksana di dalam lingkup Kementerian Keuangan termasuk BKF, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/ PMK.01/2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (PMK OTK Kemenkeu). Bab yang mengatur tentang BKF adalah Bab XII dari mulai pasal 1669 hingga pasal 1840. Dalam pasal 1670 disebutkan bahwa BKF memiliki tugas menyelenggarakan perumusan, penetapan dan pemberian rekomendasi kebijakan