• Tidak ada hasil yang ditemukan

Burnout

Dalam dokumen HUBUNGAN ANTARA (Halaman 40-56)

DAFTAR LAMPIRAN

C. Tujuan Penelitian

1. Burnout

a. Pengertian Burnout

Burnout merupakan istilah psikologis yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kelelahan kerja. Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Bradley pada tahun 1969, namun tokoh yang dianggap sebagai penemu dan penggagas istilah burnout adalah Herbert Freudenberger, dalam bukunya, Burnout: The High Cost of High Achievement pada tahun 1974, memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out).

Definisi burnout secara umum ialah burnout ditandai dengan kelelahan emosional, depersonalisasi, dan menurunnya pencapaian pribadi. (Maslach dan Jackson, 1981). Seringkali terjadi ambiguitas antara beberapa istilah, seperti; depresi, kebosanan, stres terkait pekerjaan, dll. Yang mengakibatkan munculnya kebingungan terminologis yang membuat seseorang kesulitan dalam membedakan apa yang bisa dan tidak terkait dengan burnout.

18

Awalnya para ahli berfokus pada aspek praktis, mendorong konseptualisasi istilah pada satu sisi dan hal ini menjadi kesulitan para ahli dalam menetapkan definisi dari burnout yang lebih tepat (Maslach dan Schaufeli 1993).

Konsep burnout pertama kali dibentuk pada tahun 1974 oleh Freudenberger, ia menggambarkan burnout sebagai perasaan gagal, akibat tuntutan kerja yang berlebihan sehingga menguras banyak energi, personal resource, serta kekuatan spiritual pada pekerja.

Freudenberger dan Richelson (1980) mendefinisikan burnout sebagai perasaan gagal atau frustasi yang disebabkan oleh tuntutan kerja yang melebihi batas energi, imbalan yang tidak sesuai dengan hope (harapan), serta kegagalan dalam membangun sebuah hubungan dengan rekan kerja, sehingga mengalami penurunan pada komitmen dan efektivitas ditempat kerja.

Burnout berasal dari kesenjangan antara apa yang dianggap subjek sebagai ideal dengan realitas lingkungan kerja.

Menurut Freudenberger (1974) hal ini mengacu pada individu yang larut dengan emosinya, sehingga menimbulkan sikap negatif dan sinis. Burnout berkembang ketika orang memiliki gambaran ideal tentang diri mereka sendiri sebagai individu yang dinamis dan karismatik (Fernández et al., 2006).

19

Muncul sebuah kesepakatan para ahli, bahwa lingkungan kerja adalah sumber dari gejala burnout (Maslach dan Leiter, 1997). Meskipun benar bahwa kesenjangan antara harapan profesional dengan kenyataan pekerjaan sehari-hari selalu menjadi sumber kelelahan, maka harapan dengan kenyataan tidak sama dengan masa lalu. Misalnya, karya dan nilai tahun 1970-an tidak sama dengan sekarang.

Kesuksesan profesional tidak lagi menjadi subjek representasi yang sama. Pencarian status sosial, uang, kebutuhan sederhana untuk mencari pekerjaan dan mempertahankannya, telah menjadi prioritas saat ini. Mc Neese-Smith dan Crook (2003) menemukan bahwa sekelompok perawat dengan sedikit pengalaman profesional memberi nilai lebih besar pada aspek ekonomi daripada mereka yang telah menekuni profesi lebih lama.

Pines dan Kafry (1978) juga mendefinisikan burnout sebagai kondisi kelelahan mental, fisik dan emosional. Dale (1979) menganggap kelelahan sebagai konsekuensi dari stres yang berhubungan dengan pekerjaan dan memiliki intensitas serta durasi yang bervariasi. Pines dan Aronson (1988) mengklaim hal tersebut tidak terbatas pada mereka yang bekerja dalam memberikan sebuah pelayanan. Mereka percaya bahwa keadaan kelelahan mental, fisik, dan emosional ini

20

disebabkan oleh keterlibatan kronis yang berlebihan dalam situasi tertekan serta adanya tuntutan secara emosional.

Gil-Monte dan Peiró (1997) mendefinisikan burnout sebagai respon terhadap stress tingkat tinggi yang dipengaruhi oleh pekerjaan dimana adanya sikap dan perasaan yang negatif terhadap individu yang menerima pelayanan tersebut.

Pines (1993) meyakini bahwa burnout adalah ketidakmampuan seseorang dalam memahami pekerjaan yang ia lakukan (Gomero, Palomino, Ruiz dan Llapyesán, 2005).

Pines (1993) menyebutkan, agar subjek menjadi lebih semangat, hal yang harus dilakukan ialah; memiliki komitmen yang tinggi dan memiliki rasa keterlibatan di tempat kerja.

Penyebab lain yang memunculkan burnout, terletak pada kebutuhan kita sebagai manusia untuk berpikir bahwa hidup kita dan segala sesuatu yang kita lakukan merupakan hal yang penting. Setiap orang memiliki penilaian tersendiri terhadap profesi tertentu. Setiap pekerjaan, terdapat rekan kerja yang memiliki peran dalam memberi penghargaan atas pencapaian yang dicapai oleh rekan kerjanya. Adanya sifat ketidakpedulian akan usaha dan kerja keras yang telah dilakukan oleh oranglain, akan menyebabkan munculnya burnout.

21

Menurut Cherniss (1980) burnout muncul melalui sebuah proses dimana seseorang yang profesional dan berkomitmen dalam pekerjaannya, namun dikarenakan faktor tekanan kerja yang terlalu tinggi membuat seseorang tersebut mengalami stress, lalu ia memilih untuk menarik diri dari pekerjaannya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Freudenberger (1974), yang melihat burnout sebagai “gangguan daya juang”

karakteristik individu menjadi faktor penentu dalam munculnya fenomena burnout. Subjek yang memiliki harapan tinggi dan kecenderungan profesional terhadap suatu pekerjaan akan menghasilkan beban kerja yang lebih besar, hal tersebut kemungkinan besar akan membuat subjek mengalami burnout.

Hasil penelitian Silvar (2001) menemukan bahwa kecenderungan bosan dengan segala faktor penyebabnya terjadi di lingkungan kerja maupun dalam kegiatan pembelajaran. Kejenuhan pembelajaran muncul dari pengulangan proses pembelajaran yang tidak mengarah pada pencapaian atau hasil yang memuaskan sehingga individu kelelahan secara fisik dan psikis.

Chaplin, 1995 juga menjelaskan burnout melanda individu disaat mereka kehilangan motivasi dan mengkonsolidasikan satu tingkat keterampilan tertentu sebelum individu tersebut mencapai tingkat keterampilan berikutnya.

22

Selain itu, kebosanan juga dapat terjadi karena proses bekerja yang telah mencapai batas kemampuan fisiknya sehingga menimbulkan kejenuhan (boring) dan kelelahan. Kurangnya apresiasi dari lingkungan kerja dan banyaknya pekerjaan biasanya menjadi salahsatu faktor kebosanan.

Seiring berjalannya waktu motivasi seseorang akan semakin menurun akibat dari situasi yang membosankan.

Sehingga, ia tidak dapat maksimal dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal ini, dapat memunculkan stres pada seseorang secara terus-menerus sehingga tidak dapat dikelola dengan baik.

Menurut (Atkinson, 2010) stres merupakan reaksi emosional akibat gangguan kognitif yang parah saat menghadapi stressor yang serius, sehingga mempengaruhi konsentrasi dan pola pikir seseorang. Cherniss (1980) menjelaskan "burnout adalah istilah psikologis yang mengalami kelelahan jangka panjang dan minat yang berkurang". burnout terjadi karena proses dan intensitas respons stres yang lama serta mengakibatkan kelelahan mental dan emosional.

Pines & Aronson (Silvar, 2001) juga menjelaskan"

burnout dapat didefinisikan sebagai keadaan kelelahan fisik,

23

emosional dan mental yang dihasilkan dari keterlibatan jangka panjang dengan orang-orang dalam situasi yang menuntut secara emosional". burnout terjadi karena proses dan intensitas respons stres yang lama yang mengakibatkan kelelahan mental dan emosional.

Definisi burnout, selalu ditekankan pada harapan subjek, konsep keadilan mereka, dan kualitas hubungan interpersonal.

Burnout merupakan hasil dari harapan yang tidak terpenuhi serta menghasilkan demotivasi, hal ini membuat subjek berperilaku seperti robot. Tingkat burnout yang berbeda dapat mengubah efikasi diri, komitmen, keadilan, dan kontrol hubungan interpersonal. Fenomena ini disebut juga dengan

"jerami yang mematahkan punggung unta" ini terjadi baik dalam struktur pribadi maupun organisasi.

Harapan yang tidak terpenuhi akan menyebabkan subjek menjadi kurang berkomitmen, sebaliknya memilih perilaku robotik tertentu yang akan merusak efikasi diri dan rasa keadilan mereka, baik itu di tempat kerja maupun dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Pines (1993) juga mengembangkan model yang sama tetapi ia menggabungkan gagasan bahwa dengan adanya upaya individu untuk membuat sebuah makna eksistensial dalam

24

bekerja justru akan mengalami burnout. Dengan demikian burnout akan berkembang pada subjek yang sangat termotivasi oleh pekerjaan mereka dan sangat diidentifikasi dengan pekerjaan mereka ketika mereka gagal mencapai tujuan mereka, harapan yang tidak sesuai sehingga mereka frustasi dan merasa bahwa tidak mungkin untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan.

Burnout juga terjadi sebagai respon terhadap banyak tuntutan tinggi sehingga individu menjadi stres dan tidak mampu mengelola tuntutan tersebut. Cherniss (1980) menjelaskan bahwa dinamika burnout dimulai dengan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap individu. Hal ini menunjukkan bahwa kebosanan mengajar diawali dengan munculnya stres akibat tuntutan baik dari diri sendiri, pimpinan, aturan maupun masyarakat.

Dampak yang terjadi pada guru mengalami kelelahan emosional (emosional exhaustion), sinisme dalam mengajar (sinisme), dan rasa percaya diri yang berkurang. Leiter (1991), menyatakan bahwa subjek yang menderita burnout tidak memiliki jadwal tetap, menerima upah rendah, memiliki tuntutan yang tinggi dan bekerja di lingkungan yang tidak menguntungkan. Hallsten (1993) mengungkapkan bahwa burnout terjadi ketika adanya peran aktif individu yang

25

menjelaskan situasi terancam atau terganggu tanpa memiliki alternatif yang tepat.

Leiter dan Schaufeli (1996) menganggap bahwa burnout berkaitan dengan pekerjaan apa pun di mana orang secara psikologis terlibat dalam pekerjaan itu. Pendapat ini berdasarkan pemikiran bahwa, burnout merupakan krisis dalam hubungan, baik itu antara subjek dan pekerjaannya maupun dengan rekan kerja.

Dalam perspektif islam, burnout dikenal dengan istilah futur. Futur merupakan salahsatu penyakit hati (rohani) yang berdampak pada timbulnya rasa malas, bekerja mulai lambat serta memiliki sikap terlalu santai dalam melakukan suatu amaliah atau pekerjaan yang awalnya pernah dilakukan dengan penuh semangat dan menggebu-gebu berubah menjadi rasa malas.

Dalam hadits juga membahas terkait kejenuhan, hadits ini bukan sekedar relevan, namun juga menunjukkan bukti ketinggian ajaran islam. Sebagaimana Rasulullah SAW menyebutkan tentang kejenuhan dan memberikan tata cara yang lurus.

Menceritakan pada kami Rauh, menceritakan pada kami Syu‟bah, mengabarkan kepadaku Husain, aku mendengar dari

26

mujahid dari Abdullah bin Amr berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Sesungguhnya yang setiap masa amal itu ada jenuhnya (futur) maka barang siapa yang jenuhnya membawa kearah sunnah, maka dia mendapat petunjuk. Namun barang siapa jenuhnya membawa kearah selain itu (selain sunnah Nabi Saw), maka dia binasa”

Dari hadis diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap kegiatan atau aktivitas yang kita lakukan pasti ada masa giatnya dan masa jenuhnya. Begitu juga dengan belajar yang giat, terus menerus dan berulang-ulang tanpa mengalami perubahan tentunya akan membuat seorang siswa menjadi malas, bosan, tertekan, jenuh, dan sebagainya.

b. Aspek-aspek burnout

Maslach (2001) mendefinisikan konsep burnout terdiri dari tiga dimensi, diantaranya; kelelahan emosional, depersonalisasi, dan Ineffectiveness:

1. Kelelahan emosional mengacu pada kondisi stress yang melibatkan fisik dan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari intensitas dalam berinteraksi yang dilakukan secara terus-menerus antara pekerja dengan klien. Hal ini ditandai dengan perasaan frustasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan dan merasa terjebak, sehingga mudah tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas;

27

2. Depersonalisasi diwujudkan dalam bentuk sikap negatif yang berkaitan dengan pekerjaan sehingga terjadinya peningkatan iritabilitas dan hilangnya motivasi. Depersonalisasi pada akhirnya dapat mengakibatkan stigmatisasi dan celaan. Hal ini ditandai dengan sikap individu yang menjauh dari lingkungan sosial, apatis, tidak peduli terhadap lingkungan dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Depersonalisasi dapat menyebabkan kebingungan karena mengacu pada keadaan psikologis, dimana adanya ekspresi perasaan yang mengganggu dalam diri yang mendominasi seseorang.

3. Ineffectiveness merupakan keadaan dimana seseorang mengalami penurunan terhadap sense of accomplishment atau tidak ada lagi memiliki motivasi untuk berprestasi. Rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri, individu tidak pernah merasa puas dengan hasil karyanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Berkurangnya pencapaian pribadi dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan dalam pencapaian dan adanya konsep diri yang negatif, merupakan manifestasi dari situasi yang tidak memuaskan.

Sedangkan Pines dan Aronson mengemukakan bahwa terdapat tiga aspek dari burnout yakni:

1. Kelelahan fisik, yaitu kelelahan yang terkait dengan fisik dan

28

energi fisik. Sakit fisik seperti sakit kepala, demam, sakit punggung, rentan terhadap penyakit, tegang pada otot leher dan bahu, sering terkena flu, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan makan. Sementara energi fisik dicirikan sebagai energi yang rendah, rasa lelah yang kronis, dan lemas;

2. Kelelahan emosi adalah kelelahan yang berhubungan dengan perasaan pribadi seperti, putus asa, mudah tersinggung, tidak peduli pada tujuan, depresi, dan tidak berdaya;

3. Kelelahan mental adalah menyangkut rendahnya penghargaan diri dan depersonalisasi. Cirinya merasa tidak berharga, tidak cakap, tidak kompeten, dan tidak puas terhadap pekerjaan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ketiga pendapat di atas memiliki kemiripan pandangan, sehingga dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi dari burnout dapat dibagi menjadi 5 aspek, meliputi: kelelahan fisik, kelelahan mental, kelelahan emosional, depersonalisasi, dan rendahnya penghargaan terhadap diri.

29

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi burnout

Faktor yang mempengaruhi burnout menurut Maslach (Puspitasari & Handayani, 2014) yaitu:

1. Faktor individu, meliputi karakteristik individu, sikap terhadap pekerjaan dan karakteristik kepribadian

2. Faktor situasional, meliputi jenis pekerjaan, karakteristik pekerjaan, karakteristik pekerjaan dan karakteristik organisasi.

Sebagaimana, kondisi individu yang memiliki perasaan gagal atau frustasi yang disebabkan oleh tuntutan kerja yang melebihi batas energi, imbalan yang tidak sesuai dengan hope (harapan), serta kegagalan dalam membangun sebuah hubungan dengan rekan kerja, sehingga mengalami penurunan pada komitmen dan efektivitas ditempat kerja.

d. Faktor Pendukung Terciptanya Burnout

Faktor-faktor pendukung terciptanya kondisi burnout di lingkungan kerja tempat terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima pelayanan yang menyebabkan kelelahan secara fisik (depletion) (Maslach, 1982). faktor-faktor individu yang ada pada pemberi pelayanan yang turut memberikan kontribusi terhadap timbulnya burnout. Dengan demikian timbulnya burnout tidak semata karena stres namun disebabkan oleh adanya: a. Karakteristik individu, b. Lingkungan kerja, dan c.

30

Keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan.

a. Karakteristik Individu

Sumber dari dalam diri individu yang memberi kontribusi atas timbulnya burnout dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian (Caputo,1991;

Farber,1991; dan Maslach,1982).

b. Lingkungan Kerja

Beban kerja atau overload yang berlebihan dapat menyebabkan pemberi pelayanan merasakan adanya ketegangan emosional saat melayani klien. Hal ini dapat memberikan dorongan bagi pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari untuk terlibat dengan klien (Maslach, 1982).

c. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Pelayanan

Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, sehingga secara tidak disengaja dapat menyebabkan terjadinya tekanan emosional karena keterlibatan antar mereka yang bisa memberikan penguatan positif serta kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya (Freudenberger, 1974)

31

Faktor terpenting yang memiliki hubungan dengan burnout ialah harapan. Harapan memiliki pengaruh yang signifikan dengan semua dimensi burnout. (Gustaffson, 2010).

Sebagaimana hasil penelitian oleh Aufa (2014) tentang upaya untuk mencegah terjadinya burnout, diantaranya ialah harapan, yang menjadi upaya preventif bagi guru BK agar tidak mengalami burnout.

Gracia dkk (2013) berpendapat bahwa harapan yang tinggi disebabkan oleh sosialisasi antisipatif yang buruk, dapat menghalangi subjek untuk melakukan penyesuaian dengan apa yang diharapkan juga dapat diterima.

Yavas dkk (2015) menyebutkan bahwa harapan berperan dalam meningkatkan engaged serta mencegah efek kerugian dari burnout berupa kelelahan (exhaustion). Pines (1993) menyebutkan, agar subjek menjadi lebih semangat, hal yang harus dilakukan ialah; memiliki komitmen yang tinggi dan memiliki rasa keterlibatan di tempat kerja.

Work engagement memiliki efek positif pada kinerja. guru yang engaged ia akan bekerja dengan penuh semangat dan merasakan hubungan yang mendalam di sebuah organisasi tempat ia bekerja. Mereka mulai berinovasi dan ikut terlibat dalam organisasi untuk lebih maju (Truss dkk, 2008 ).

32

Faktor lain penyebab munculnya burnout adalah kondisi lingkungan kerja yang kurang baik. Ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang diberikan institusi/lembaga terhadap individu, seperti adanya persaingan yang kurang sehat antara sesama rekan kerja merupakan suatu kondisi lingkungan kerja psikologis yang dapat mempengaruhi munculnya burnout pada seseorang (Sihotang, 2004).

Secara umum, guru Bimbingan dan Konseling sering dihadapkan pada kasus dengan klien yang sama. Artinya, terdapat klien yang sudah diberikan bimbingan secara berulang-ulang dengan berbagai perlakuan yang diberikan, akan tetapi tingkah laku dan perbuatannya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.

Dalam menyikapi hal tersebut, perlu adanya upaya tersendiri agar guru Bimbingan dan Konseling tetap dapat bekerja dengan baik. Salahsatu upaya yang dapat dilakukan oleh guru BK adalah dengan senantiasa memiliki harapan dalam setiap proses pekerjaannya.

Dapat dipahami, bahwa burnout yang terjadi pada guru bimbingan konseling, merupakan akibat dari ekspektasi yang tidak terpenuhi yang menimbulkan demotivasi sehingga subjek berperilaku robotik. Tingkat kelelahan yang dialami

berbeda-33

beda sehingga mengubah efikasi diri, komitmen, keadilan, serta kontrol dalam hubungan interpersonal.

Cherniss (1980) menyatakan bahwa gejala-gejala seseorang mengalami burnout antara lain; terdapat perasaan gagal di dalam diri, cepat marah dan sering kesal, sering merasa bersalah dan menyalahkan, keengganan dan ketidakberdayaan, bersikap negatif dan menarik diri, perasaan capek dan lelah setiap hari, hilangnya perasaan positif terhadap klien, menunda kontak dengan klien dan membatasi telepon dari klien, bersikap sinis dan sering kali menyalahkan klien, sering sulit tidur bahkan sampai menggunakan obat penenang, menghindari diskusi mengenai pekerjaan dengan teman kerja, sering demam dan flu, sakit kepala dan gangguan pencernaan, tidak lues berpikir dan resisten terhadap perubahan, rasa curiga yang berlebihan, paranoid, konflik perkawinan atau keluarga yang berkepanjangan.

Dalam dokumen HUBUNGAN ANTARA (Halaman 40-56)

Dokumen terkait