• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEJAWAAN GEREJA GANJURAN SEBELUM

C. Candi Hati Kudus Tuhan Yesus

Candi Hati Kudus Tuhan Yesus merupakan puncak karya inkulturasi keluarga Schmutzer. Candi tersebut bisa dianggap sebagai puncak karya inkulturasi karena pada candi inilah kita bisa melihat terobosan paling berani dalam menggunakan simbol-simbol sakral lokal yang kemudian diberikan warna dan nafas Kristen. Keluarga Schmutzer yang berani mendobrak sekaligus menjawab tantangan dari konverensi ke-2 seHindia-Belanda yang diadakan di Batavia tahun 1925.

Menurut sesepuh lokal dikatakan bahwa, saat ditangani oleh Ferdinand Barends yang tidak lain adalah kakak tiri dari Josef dan Julius Schmutzer mengalami krisis serius. Pabrik gula Gondang Lipoera selama 25 tahun mengalami gagal panen dan kesukaran finansial. Begitu juga masa awal setelah Josef dan Julius Schmutzer membeli pabrik gula Gondang Lipoera. Keluarga Schmutzer yang tidak pernah putus asa dan selalu percaya pada Allah kemudian diberikan keberhasilan dalam mengurus pabrik gula tersebut. Keberhasilan yang mereka raih terkait dengan keberhasilan mereka dalam menemukan bibit gula yang bagus serta beberapa faktor lain dikaitkan dengan kuasa campur tangan Allah dalam kehidupan mereka. Sebagai ungkapan terima kasihnya kepada Allah, mereka ingin membangun sebuah monumen. Monumen tersebut selain ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan juga dimaksudkan untuk menghormati Hati Kudus Yesus.22

22 Van Rijkevorsel, L, SJ., 1928, Eerste Steenligging Van Een H. Hart Monument Op Java, dalam

66

Gb. 29. Candi HKTY tahun 1930 Gb. 30. Candi Penataran di Jawa Timur (Sumber: St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani) (Sumber: www.google.com)

Candi dibangun selama dua tahun lebih, mengambil disain dari Candi Penataran di Jawa Timur. Candi ini diperkirakan dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi. Dalam Kitab Nagarakertagama yang ditulis tahun 1365, bagi Raja Hayam Wuruk candi tersebut dianggap sebagai bangunan suci “Palah”. Dalam Kitab itu pula, Candi Panataran merupakan tempat percandian atau pemakaman bagi Ken Arok, cikal bakal Kerajaan Singasari. Candi Panataran yang megah menginspirasi Schmutzer untuk mengaplikasikannya pada monumen yang hendak dibangunnya. Pada tanggal 11 Februari 1930 Mgr. van Velsen memberkati candi berikut arca Kristus Rajanya dan mempersembahkan seluruh Jawa kepada Kristus. Setelah upacara pemberkatan yang berupa Misa Agung dan prosesi, diadakan pesta besar di halaman rumah keluarga Schmutzer. Upacara pemberkatan dan pesta dihadiri oleh para pemimpin Katolik dan umat dari seluruh Jawa.23 Pesta besar itu selain

67

sebagai ungkapan syukur, juga menjadi acara pelepasan Josef Schmutzer yang akan kembali ke Belanda.

Gb. 31. Prosesi dan perjamuan yang diselenggarakan oleh keluarga Schmutzer di pelataran Candi Hati Kudus Tuhan Yesus

(Sumber, St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani)

Pada upacara peletakan batu pertama itu diberkati sebuah arca Kristus Raja yang memperlihatkan hati Kudus-Nya yang bernyala-nyala. Arca berukuran setinggi 75 cm dan menggambarkan Kristus dalam pakaian raja Jawa tradisional duduk di atas sebuah tahta. Arca ini merupakan miniatur dari arca besar yang akan diletakkan di dalam candi. Arca Kristus Raja dimasukkan dalam ruangan di dasar candi (pripih) dengan disertai sepucuk surat persembahan yang berisi riwayat pendirian candi serta riwayat Gondang Lipoera yang dipahat pada lempeng kuningan. Pripih tersebut kemudian disegel dengan aspal agar tidak kemasukan air.

68

Gb.32. Pemberkatan Arca Hati Kudus Tuhan Yesus di pelataran candi (Sumber: St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani)

Gb. 33. Peletakkan batu pertama oleh Keluarga Schmutzer beserta staff pabrik gula Gondang

Lipoera dan guru yang mengajar di Standaardschool yang dibangunnya.

(Sumber: St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani)

Sehubungan dengan arca Kristus Raja kecil yang diletakan di dasar candi, Julius Schmutzer mengatakan, “Jika terjadi peperangan dan segala sesuatu yang dihancurkan, dan bahkan candi yang indah itu dihancurkan, Yesus akan selalu

69 hadir di Ganjuran, aman di dasar candi.”24

Sedangkan menurut beberapa pastor Belanda yang pernah tinggal di Ganjuran, penanaman sebuah arca pada tempat yang sangat penting sangatlah wajar. Dikatakan bahwa di Belanda, orang- orang yang memiliki tanah garapan biasanya ditaruh sebuah patung Yesus, atau Bunda Maria, atau patung santo-santa pelindung lainnya25. Peletakan patung tersebut diharapkan akan selalu memberikan berkah pada tanah yang ditanaminya agar lebih subur. Begitu juga yang diharapkan Schmutzer, ia ingin menjadikan Ganjuran sebagai tanah garapan yang subur dan berkembang bagi iman Katolik di tanah Jawa.

Gb. 34. Candi Hati Kudus Tuhan Yesus

(Sumber: Adi Santosa, Transformation Of The Ganjuran Church Complex: A Typological Study)

Candi dibangun menghadap ke Selatan, tepat berhadap-hadapan dengan rumah Schmutzer. Bagi penduduk setempat ini diartikan sebagai penghargaan terhadap mitologi Jawa tentang Kanjeng Ratu Kidul. Sama seperti peletakan arca Hati Kudus Yesus dan Ibu Maria di dalam bangunan gereja, keduanya masih berasal dari mitologi yang sama. Bangunan candi dan patung Hati Kudus Yesus

24 Video dokumenter, loc.cit. 25 Ibid.

70

juga bahkan terbuat dari batu andesit, batu yang berasal dari gunung Merapi. Penggunaan batu andesit dari Gunung Merapi lebih melambangkan Allah yang Mahakuasa bercitrakan sebagai bapak. Bagi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, Gunung Merapi dianggap sebagai bapak yang mahakuasa dengan segala bentuk mulai dari letusannya yang merusak hingga dampak dari letusan tersebut yang dapat memberikan kemakmuran bagi anak-anaknya (penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta). Figur arca Yesus sebagai raja juga merupakan suatu bentuk pencitraan Allah sebagai Bapak yang Mahakuasa.

Candi Hati Kudus Yesus memiliki tinggi 9 meter. Bangunan utama candi (ruang tempat arca diletakkan) berdiri di atas landasan (pelataran) selebar 14 x 5 meter. Dari landasan menuju tempat arca dihubungkan oleh tangga sebanyak 9 buah anak tangga. Arca yang diletakkan di candi sama dengan arca yang ada di dalam ruang gereja.26 Yesus bersandangkan klasik seorang raja Jawa lengkap dengan segala atributnya. Tinggi arca 1,5 meter dan di kakinya terdapat tulisan

Sampeyan Dalem Maha Prabu Jesus Kristus Pangeraning Para Bangsa. Artinya

kira-kira: Sri Baginda Yesus Kristus Raja Pelindung Para Bangsa.

Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran merupakan monumen sebagai ucapan syukur keluarga Schmutzer. Dari sini jelas bahwa Schmutzer ingin memperingati Allah sebagai Allah yang berbelaskasih, Allah yang Maharahim yang selalu bersedia menolong umat-Nya, yang dilambangkan dari hati yang menyala pada arca. Selain itu mereka juga ingin mengenang Allah sebagai Raja Mahakuasa, yang telah membimbing mereka melalui masa-masa tersulit dalam

71

kehidupan mereka. Bagi masyarakat Jawa, candi berfungsi sebagai tempat pertemuan antara para pemuja dengan raja yang sudah wafat ataupun dewa mereka. Candi Hati Kudus Tuhan Yesus juga dimaksudkan untuk menjadi tempat bertemunya umat dengan rajanya, yaitu Kristus.

Menurut Romo Utomo dalam homilinya saat Prosesi Agung Gereja HKTY Ganjuran tahun 2015 dijelaskan bahwa candi ini bercitra ibu sekaligus bapak. Sifat kerahiman Allah tampak dalam bentuk candi itu sendiri. Bagi masyarakat Jawa, candi merupakan tempat yang gelap dan suci yang melambangkan rahim seorang ibu. Rahim selalu dihubungkan dengan kelahiran (kehidupan baru) dan sangat erat hubungan dengan ibu. Allah yang Maharahim adalah Allah yang bercitra ibu yang berbelas-kasih yang mau menderita demi melahirkan manusia baru.27 Allah bercitra ibu (Allah yang Maharahim) juga tampak semakin jelas dengan dihadapkannya candi ke arah selatan, ke Laut Selatan di mana Kanjeng Ratu Kidul bersemayam.

Tidak hanya arah serta bahan pembuat candi saja yang mengambil mitologi yang dianut oleh masyarakat Jawa. Mitologi lain yang masyarakat Jawa anut dan diungkapkan dalam pembangunan candi yakni angka suci yang menjadi bagiannya. Angka suci yang dimaksud ialah angka 3 dan 9. Angka 3 diungkapkan dalam jumlah susunan tingkat pada candi, serta jumlah tangga pertama. Angka 3 melambangkan tingkatan atau tahapan manusia untuk bertemu dengan Allah sang Pencipta. Hal itu sudah dijelaskan pada bagian tingkatan yang ada di altar gereja. Angka 9 menghiasi seluruh bagian Candi Hati Kudus Tuhan Yesus. Tinggi candi

72

Ganjuran adalah 9 meter dan tangga untuk naik ke candi dari pelatarannya terdiri dari 9 tangga. Dalam tradisi kebatinan Jawa angka 9 dianggap angka suci karena tubuh manusia memiliki 9 lubang. Untuk dapat menghadap Tuhan orang harus “nutupi babahan sanga” atau menutupi kesembilan lubang yang dimiliki tubuh.28 Dengan kata lain untuk dapat bertemu dengan Tuhan orang harus mengingkari diri atau bermatiraga. Kesembilan lubang yang dipunyai bagi orang Jawa merupakan sumber nafsu. Hanya dengan mengekang nafsulah orang dapat bertemu dengan Tuhan. Dengan mengingkari diri (dilambangkan dengan menaiki kesembilan anak tangga) barulah kita dapat bertemu dengan Yesus.

Lambang 9 juga nampak di bagian luar candi, terdapat 9 buah candi kecil yang merupakan kran air. Air yang keluar tersebut berasal dari sungai bawah tanah di bawah Candi Hati Kudus Tuhan Yesus. Sumber air ditemukan, pemakaian air pertama kali dilakukan oleh Bapak Perwita yang tengah menderita sakit tahun 1998.29 Sama halnya dengan tempat-tempat ziarah lainnya, air yang berasal dari tempat suci juga dipercaya memberikan berkat bagi penggunanya serta sebagai ujud perantara kebaikan Tuhan. Sumber air yang mengalir di bawah candi kemudian dinamakan “Tirta Perwitasari”. Pemberian nama tersebut juga berasal dari Serat Bima Suci di mana Bima salah satu tokoh dari Pandawa Lima hendak mencari tirta perwitasari. Tirta perwitasari ini digambarkan sebagai sebuah sumber air sari kehidupan yang dapat menyelamatkan sekaligus menyempurnakan kehidupan Bima. Tirta adalah air, Sari merupakan sebuah inti.

28 Ibid.

73

Secara kebetulan, orang pertama yang mengaku telah dikabulkan doanya setelah meminum air tersebut bernama Bapak Perwito.

Gb. 35. Kran air Trita Perwitasari yang bejumlah 9, masing-masing terdapat 3 di setiap sisi Candi HKTY

(Sumber: Adi Santosa, Transformation Of The Ganjuran Church Complex: A Typological Study)

Beberapa tahun setelah penemuan dan pembuatan kran dari Tirta Perwitasari tersebut, dibangunlah tempat lain di sisi barat candi sebagai pengganti kran air yang telah ada. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor pertama yaitu semakin banyaknya peziarah yang mengambil air dari kran di pinggir candi menyebabkan saluran utama yang tepat di bawah candi tidak mampu lagi menghasilkan air. Faktor kedua, karena bila banyak orang yang mengambil air di pinggir candi, suara percikkan air yang disebabkan dari kran tersebut menggangu kekhusyukan doa para peziarah. Baru di tahun 2005 tepat setahun sebelum gempa Yogyakarta tahun 2006 terjadi kran dari Tirta Perwitasari tersebut dipindahkan.

74

Gb. 36. Kran air Tirta Perwitasari yang sudah dipindah tahun 2005 (Sumber: Dokumen Pribadi)

Untuk melengkapi ornamen dalam gereja, dilengkapi pula rangkaian peristiwa jalan salib yang digambarkan dengan inkulturasi kejawaan dengan agama Katolik. Schmutzer dan Iko yang sebelumnya telah membuat sebuah relief jalan salib pemberhentian pertama dengan corak Hindu-Jawa yang melekat pada pakaian Yesus dilarang oleh Vatikan, namun usahanya untuk melengkapi ornamen gereja tetap dilakukan. Pada tahun 1930, gambar rangkaian peristiwa Jalan Salib masih berupa kain kanvas yang dibatik menjadi cerita dan difigura serta diletakkan di atas jendela gereja.30 Pada tahun 1997, panel-panel Jalan Salib dibuat dengan relief yang diukir pada batu berwarna putih. Jumlah panel pemberhentian tersebut ada 15 dimana pemberhentian ke-15, Yesus bangkit dari mati sebagai lambang umat Tyas Dalem yang diutus menjadi berkat bagi

75

sesama31. Untuk memulai Jalan Salib diawali dengan berdoa di patung Ibu Maria seperti yang ada di dalam bangunan gereja, namun patung ini terbuat dari batu andesit hitam.

Gb. 37. Arca Bunda Maria untuk memulai doa Jalan Salib di Ganjuran. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Gb. 37. Relief Jalan Salib di pelataran Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. (Sumber: Dokumen Pribadi)

76

Dari beberapa Romo yang memimpin Gereja Ganjuran, banyak diantara mereka yang membangun bangunan di luar bangunan gereja, seperti pastoran, parkiran serta tempat berjualan bagi masyarakat sekitar. Pada tahun 2000 saat Romo G. Utomo, Pr. menjadi romo paroki Ganjuran, ia memprakarsai pemasangan jendela pada dinding-dinding sayap gereja agar dapat dibuka pada hari raya, mengingat perluasan gereja hampir tidak mungkin dilakukan lagi. Setelah ditetapkannya Ganjuran sebagai tempat peziarahan tahun 1997, di tahun 2003 dibangun dua buah bangunan tambahan di sisi utara dan selatan gereja. Bangunan tersebut berbentuk pendapa dengan atap kampung dan berfungsi sebagai tempat berkumpul beberapa paguyuban yang ditangani oleh Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dan paguyuban lainnya, serta digunakan sebagai tempat umat beribadah saat hari raya besar.

Gb. 38. Nampak pendapa dengan atap rumah kampung yang ada di sisi Utara dan Selatan gereja (Sumber: www.google.com)

77

Dokumen terkait