• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluarga Schmutzer dan Gereja Ganjuran

BAB II BERDIRINYA GEREJA GANJURAN

C. Keluarga Schmutzer dan Gereja Ganjuran

Sebagai kelompok orang Katolik pertama yang menempati daerah Ganjuran, keluarga Schmutzer memiliki tanggung jawab untuk mengemban misi penyebaran agama Katolik di daerah mereka tinggal. Karena sebelumnya telah dikatakan bahwa ada beberapa orang yang mengikuti Misa Kudus di rumah keluarga Schmutzer maka mereka merencanakan untuk membangun gereja di dalam kompleks pabrik. Sebelumnya, untuk memenuhi kebutuhan rohani Jemaat di Ganjuran yang masih sedikit itu, Pastor van Driessche mengadakan kunjungan tiga bulan sekali ditemani oleh seorang katekis pribumi Raden Mas Yusuf Purwodiwirjo.31

Awal mulanya tempat beribadat dilakukan di salah satu ruangan rumah utama keluarga Schmutzer. Namun seiring berkembangnya umat Katolik di Ganjuran tempat tersebut semakin tidak memadai. Pada tahun 1923 tempat ibadat dipindahkan ke salah satu bekas rumah pegawai pabrik gula Gondang Lipoera. Karena rumah tersebut dirasa cukup sebagai tempat ibadat sementara, maka kemudian diubah menjadi sebuah kapel dengan biaya dari keluarga Schmutzer.

30

Anton Haryono, op.cit., hlm. 129.

31 Raden Mas Yusuf Purwodiwirjo inilah yang dianggap sebagai orang pertama yang menyebarkan

agama Katoliik di Ganjuran oleh Josef Schmutzer. Pernyataan tersebut terdapat dalam buku

41

Pada masa itu merupakan masa perkembangan misi Katolik di Jawa. Sejalan dengan bertambahnya jumlah Standaardschool yang didirikan Schmutzer, jumlah umat Katolik di Ganjuran mengalami peningkatan pesat. Kurang lebih ada 237 permandian dewasa dan anak-anak antara tahun 1924 hingga 1928. Antara tahun 1929 hingga tahun 1933 terdapat 792 permandian dewasa dan 270 permandian anak-anak.32 Jika ditinjau dari jumlah atau presentase pertambahan umat Katolik saat itu, kehadiran keluarga Schmutzer menjadi daya tarik pertambahan umat. Hal itu dikarenakan setelah tahun 1933, keluarga Schmutzer sudah tidak lagi tinggal di Ganjuran. Mereka pindah ke negeri Belanda untuk melanjutkan pekerjaan mereka di sana. Di Belanda, mereka mendapatkan penghargaan khusus dari negerinya.

Di tahun 1924, kapel yang sebelumnya digunakan sebagai tempat ibadat umat Katolik Ganjuran dirasa sudah tidak mampu menampung Jemaat Katolik di sana. Julius mengusahakan membangun sebuah bangunan permanen yang dapat dijadikan sebagai gereja.33 Pembangunan gereja sebenarnya sudah disiapkan keluarga Schmutzer jauh-jauh hari. Pada tanggal 16 April 1924 pembangunan gereja Ganjuran dimulai, ditandai dengan peletakan batu pertama oleh keluarga Schmutzer sendiri. Maket dan disain gereja dibuat dengan penuh perhitungan, bahkan Schmutzer bersaudara telah menyiapkan rel kereta bagi altar jika

32 Lusia Esti Elihami, op.cit., hlm 54. 33 Ibid., hlm 54.

42

pelebaran gereja kelak terjadi.34 Pembangunan gereja Ganjuran melibatkan arsitek Belanda bernama van Oyen.35

Beberapa bulan kemudian gereja selesai dibangun, dan pada tanggal 20 Agustus 1924 diadakan pemberkatan altar gereja oleh Mgr. A. van Velsen, Vikaris Apostolik Batavia. Setahun setelah pemberkatan, gereja Ganjuran dilengkapi dengan sebuah lonceng yang didatangkan khusus dari Belgia. Lonceng gereja tersebut dinamai Elisabeth, sesuai dengan nama ibu mereka.

Sebagai pemerhati sejarah dan kebudayaan Jawa, Julius Schmutzer sangat antusias mempelajari lebih banyak mengenai sejarah serta kebudayaan masyarakat Yogyakarta terutama daerah Ganjuran. Menurutnya, dusun Lipoera amatlah penting bagi masyarakat Jawa. Hal ini terkait dengan sejarah kebangkitan kerajaan Mataram tahun 1586.36

Dikisahkan bahwa Panembahan Senopati, raja dan pendiri kerajaan Mataram Islam, sedang mengalami perlawanan dengan Kerajaan Pajang yang lebih kuat daripada kerajaannya. Ia melakukan petapaan di dusun Lipoera. Di sana ia mendapatkan sebuah wahyu bahwa ia akan menjadi penguasa seluruh Pulau Jawa. Setelah mendapatkan wahyu tersebut ia kemudian memimpin pasukannya melawan Kerajaan Pajang dan akhirnya menang. Pada masyarakat Jawa, kedatangan Islam abad ke-13 melahirkan beberapa masalah bagi mereka yang menganut Kejawen. Panembahan Senopati pun merasakan hal yang sama. Walaupun ia telah menjadi Islam karena alasan politis, mayoritas rakyatnya masih

34Video dokumenter “Candi Ganjuran –Tanah Para Terjanji” 35

Th. van Oyen merupakan arsitek Belanda yang terkenal saat itu khususnya dalam pembangunan gereja Katolik di Jawa. Van Oyen juga nantinya akan merancang arsitektur bangunan gereja di Semarang yang kini digunakan sebagai gereja Keuskupan Agung Semarang.

43

menganut Kejawen. Mereka masih melakukan tradisi adat mereka seperti mengunjungi Laut Selatan dan Gunung Merapi untuk memohon bantuan. Hal itu lah yang diyakini oleh masyarakat Ganjuran pada masa itu.37

Sadar dengan keadaan masyarakat serta karyawannya, Schmutzer bersaudara mencoba menyelaraskan hal tersebut dengan ajaran agama Katolik. Pada akhirnya dipilihlah sebuah Candi Jawa yang mengingatkan kita akan simbol bahwa seorang raja baru telah lahir di tanah Jawa, yakni Kristus Sang Raja. Candi yang dibuat dirancang menurut gaya candi Jawa, namun merupakan perpaduan antara dua gaya yakni candi yang berasal dari Jawa Tengah dan yang berasal dari Jawa Timur. Monumen ini dibuat atas ungkapan syukur keluarga Schmutzer dan dipersembahkan untuk Hati Kudus Yesus.

Pembangunan candi yang bersebelahan dengan gereja Ganjuran menambah daya tarik bagi masyarakat Ganjuran dan sekitarnya untuk lebih mengenal agama Katolik. Pembangunan kedua tempat ibadat itu merupakan ajakan bagi umat Katolik untuk lebih giat lagi beribadat kepada Tuhan. Sementara itu para guru eks-Muntilan banyak merasul melalui karya-karya pengajaran mereka. Di sana mereka tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu pendidikan saja, tetapi juga mengajarkan bagaimana umat Katolik dalam masyarakat multikultural.

Sejak tahun 1920 hingga tahun 1934 gereja Ganjuran masih berstatus stasi yang dikepalai oleh Pastor van Driessche. Pergantian kepemimpinan terjadi berkali-kali seperti Pastor Strater, Pastor Djajaseputra, Pastor Koch, dan Pastor Versteegh. Di masa itu pula terdapat beberapa katekis yang mendapingi Ganjuran

44

antara lain: R.M. Purwodiwirjo, R.M. Atmosatoto, R.M. Prawiromandjojo dan R.M. Adisusanto. Di tahun 1942-lah Ganjuran memiliki seorang pastor pribumi yang kemudian menetap, yakni Pastor Soegijapranata.38

45

Dokumen terkait