• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEJAWAAN GEREJA GANJURAN SEBELUM

B. Ornamen Kejawaan Bangunan Gereja

Pada tahun 1925, konferensi ke-2 Gereja Katolik se-Hindia Belanda dilakukan di Batavia. Untuk pertama kalinya wakil dewan Gereja dari Pulau Sumatera hingga Papua Timur berkumpul dan berdiskusi. Konferensi membahas upaya penyatuan agama Katolik pada masing-masing daerah9. Diharapkan dengan dilakukannya konferensi menjadi celah sekaligus membuka pintu penyebaran agama Katolik di Indonesia.

Josef Schmutzer yang aktif dalam kegiatan politis karena keterlibatannya dalam Katholieke Sociale Bond (Perkumpulan Sosial Katolik) dan Indische

Katholieke Partij (IKP) sejak tahun 1918 semakin tertantang untuk menyanggupi

permasalahan yang ada dalam konverensi ke-2 Gereja Katolik se-Hindia Belanda tersebut. Ia berupaya meneguhkan misi Katolik di tempatnya bernaung, yakni di desa Ganjuran. Dalam upayanya tersebut, mulai tahun 1922 hingga 1924, Josef dan Julius melakukan kontak dengan pihak-pihak yang memahami budaya Jawa.

56

Mereka bertanya dengan masyarakat lokal, yakni para pegawai pabrik gulanya, mengenai berbagai macam kebudayaan Jawa yang dapat dipadukan dengan agama Katolik. Celah demi celah berhasil diketahui oleh keluarga Schmutzer.

Konsep Katolik yang berakar dari kebudayaan Jawa pernah diajukan oleh Josef Schmutzer ke tahta Suci di Vatikan. Sayangnya tahta Suci tidak meluluskan beberapa materi terkait perpaduan tersebut. Dari berbagai materi yang diajukan hanya dua materi saja yang diluluskan, antara lain arca Hati Kudus Yesus dan arca malaikat yang terletak pada bagian altar gereja.10

Dalam perwujudannya pembuatan arca, Josef Schmutzer merekrut Iko pemahat tersohor asal kota Cirebon. Bersama Yong Soi Ling dan Adi, Iko membuat arca khas sinkretisme Jawa. Seluruh arca dan altar yang dibuat dibentuk menggunakan bahan batu putih. Sementara maket arca yang kini tersimpan di Belanda seluruhnya berasal dari kayu jati.

Gb. 22. Josef, Iko beserta pemahat lainnya sedang membuat arca (Sumber: St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani)

57

Upaya pengintegrasian nilai-nilai Kristiani dalam kebudayaan Jawa sebagai bagian dari inkulturasi yang dilakukan keluarga Schmutzer paling tampak nyata dalam pengggunaan lambang-lambang khas Jawa dalam gereja. Penggunaan lambang-lambang Jawa dalam konteks keagamaan tersebut paling penting bagi masyarakat Jawa khususnya penduduk Ganjuran. Karena orang Jawa biasanya dalam beragama mementingkan pengalaman batiniah.11

Karya inkulturasi utama Schmutzer di dalam gereja Ganjuran adalah altar dan lambang-lambang yang terdapat di sekitar altar. Serupa dengan tempat pemujaan agama Hindu dan Buddha, dalam tempat peribadatannya mereka menerapkan bangunannya sebagai punden berundak. Punden berundak tersebut dipahami apabila semakin ke atas tempat peribadatan, tempat tersebut semakin suci. Altar dalam gereja Ganjuran juga dibangun seperti punden berundak dan menurut konsep tiga dunia dalam agama Jawa (agama asli yang banyak dipengaruhi agama Hindu Siwa), yakni dari bawah ke atas antara lain bagian bhurloka (alam bawah), bagian bhuwarloka (alam antara) dan bagian swarloka (alam atas).12 Alam bawah melambangkan dunia tempat manusia hidup. Alam antara adalah tempat di mana manusia meninggalkan keduniawiannya dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya. Alam atas melambangkan surga, tempat kediaman Tuhan.13

11 Niels Mulder, 1983, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Kelangsungan dan

Perubahan Kulturil, Jakarta: Gramedia, hal. 21.

12 Orang Jawa menganggap dunia atau alam raya tersusun dalam tingkatan-tingkatan. Pandangan

semacam ini tercimin dalam pembangunan tempat pemujaan terhadap nenek moyang.

58

Bhurloka atau dunia bawah dalam altar di gereja Ganjuran diwujudkan pada kaki altar.14 Pada bagian ini terdapat relief-relief yang menggambarkan pepohonan, bunga-bunga, tiga burung pemakan bangkai dan dua rusa yang sedang minum dari sumber yang memancarkan tujuh aliran air. Pepohonan, bunga- bungaan dan burung pemakan bangkai melambangkan alam semesta yang tidak kekal. Kedua rusa yang sedang minum melambangkan umat manusia yang memperoleh keselamatan dari Gereja dan ketujuh sakramennya. Manusia yang dilambangkan sebagai rusa yang minum tersebut ibarat manusia berdosa mendambakan keselamatan dari kuasa Tuhan yang terus mengalir seperti air.

Gb. 23. Relief bhurloka terletak pada bagian kaki altar yang menyimbolkan dunia yang tak kekal (Sumber: Dokumen Pribadi)

Bagian bhuwarloka atau dunia antara merupakan tempat dimana manusia meninggalkan keduniawiannya dan menghadap Tuhan. Bagian ini terdiri dari meja altar, tabernakel dan dua malaikat yang sedang menyembah melambangkan Gereja. Dengan melalui ketujuh sakramen Gereja, manusia ikut ambil bagian dalam misteri Kristus, dalam karya penebusan Kristus. Bagian ini menceritakan bahwa manusia tidak lagi aktif berusaha menghadap Tuhan, melainkan Tuhan

59

yang telah berinisiatif menyelamatkan manusia melalui karya penebusan Kristus.15 Karya penyelamatan tersebut masih diteruskan Kristus ditengah-tengah umat manusia melalui Gereja-Nya.

Alam atas atau swarloka diwujudkan dalam bentuk candi kecil yang terletak di atas tabernakel. Bagian ini melambangkan kerajaan surga. Di keempat sudut kaki candi terdapat relief lain seperti burung garuda, sapi, singa dan kepala bersayap yang melambangkan keempat pengarang Injil. Sedikit melihat ke tengah candi kecil tersebut ada figur orangtua dan merpati yang dalam satu kesatuan tampak merangkum monstran16 berisi Sakramen Mahakudus. Relief orang tua biasa ada di setiap candi-candi Hindu yang ada di Pulau Jawa, namun biasanya dalam rupa kalamekara.

Dari berbagai ornamen yang ada di bagian altar gereja tersebut ada bagian yang mengadopsi disain ornamen dari Barat. Ornamen tersebut ialah arca dengan figur Malaikat yang berada di sisi kiri dan kanan tabernakel. Dalam tradisi Barat, malaikat biasanya digambarkan sebagai figur anak-anak. Arca dengan figur malaikat yang dibuat oleh Iko lebih mirip ksatria kraton berpangkat tinggi. Arca malaikat dibuat dengan karakter seorang ksatria Jawa dengan menggunakan ikat pinggang motif kawung dan mahkota. Karakter tersebut direncanakan Josef karena ia melihat ksatria Jawa merupakan ksatria yang berabdi serta kuat dan taat pada titah rajanya. Hasilnya, kedua malaikat diletakkan di sisi kiri dan

15 Lusia Esti Elihami, op.cit., hlm. 70. 16

Monstran yang berasal dari bahasa Latin monstrare, artinya “memperlihatkan” atau

“mempertunjukkan”. Monstran sendiri merupakan wadah yang digunakan Gereja Katolik untuk

memajang Hosti Ekaristi yang sudah dikonsekrasi dalam upacara Pemberkatan Sakramen Maha Kudus.

60

kanan tabernakel17, mengapitnya dalam posisi sembah jangga dan menyembah tabernakel. Posisi sembah jangga merupakan posisi yang biasa dilakukan oleh abdi raja yang menyembah rajanya atau posisi dimana mereka menyetujui titah raja dan hendak melaksanakannya.

Gb. 24. Kedua Arca Malaikat yang mengapit tabernakel dalam posisi sembah jangga (Sumber: Dokumen Pribadi)

Selain altar di dalam gereja masih ada dua karya Schmutzer, yakni arca Hati Kudus Yesus dan arca Ibu Maria. Arca Hati Kudus Yesus terletak di sisi kiri altar gereja, atau tepatnya di sisi Utara altar. Sedangkan arca Ibu Maria terletak di sisi selatan altar. Arca ini, Yesus digambarkan sebagai raja yang bertahta di atas kursi raja atau singgasananya. Yesus sebagai raja memakai atribut lengkap yang biasa dipakai oleh raja Jawa, dengan mahkota, aksesoris-aksesoris, dan kain batik bermotif parang rusak. Kain batik bermotif parang rusak merupakan kain batik yang hanya boleh dipakai oleh raja Kraton saja, sedangkan yang tidak memiliki

17 Tabernakel merupakan tempat khusus menyimpan Sakramen yang telah disucikan: tubuh,

darah, jiwa dan keilahian Yesus dalam bentuk roti dan anggur yang digunakan dalam ritus komuni suci.

61

kedudukan sebagai raja dilarang untuk mengenakannya. Busana kerajaan klasik yang dikhususkan bagi raja juga menghiasi arca Hati Kudus Yesus.

Selain penampilannya sebagai raja, arca Hati Kudus Yesus juga menampilkan martabat ketuhanan-Nya dengan adanya sinar yang melingkupi bagian belakang kepala-Nya (dalam tradisi Jawa sinar di belakang kepala menunjukkan martabat kedewaan).18 Kaki Yesus beralaskan padmasana atau yang biasa disebut bunga teratai, bunga lambang kesucian dan kesakralan sekaligus bunga perlambangan kehidupan manusia. Tangan kiri arca Hati Kudus Yesus menyilakkan kain kain pundak-Nya dan tangan kanan-Nya menunjukkan

Gb. 25. Bentuk arca Hati Kudus Yesus (Sumber: www.google.com)

hati-Nya yang tampak bernyala-nyala. Yesus ingin menunjukkan kepada umat manusia bahwa cinta-Nya kepada manusia begitu besar. Bentuk relief Hati Kudus Yesus ini pun mengambil inspirasi dari candi-candi di Jawa. Josef Schmutzer, Iko (sang pemahat) serta Raden Mas Yusuf Purwodiwirjo (katekis Jawa yang saat itu bertugas di Ganjuran) mengambil figur Budha Maitrea dari candi Plaosan sebagai

62

bentuk arca. Dalam ajaran Budha Maitrea, dirinya sebagai lambang yang berarti tidak mengenal kecewa dan penderitaan.19

Di sisi selatan altar terdaat arca Ibu Maria. Pada relief ini Ibu Maria digambarkan sebagai seorang ratu Jawa. Atribut kebesaran seorang ratu nampak dalam mahkota, hiasan dada, hiasan tangan dan kaki yang terukir secara ditail dan indah oleh Iko sang pemahat. Pakaian yang dikenakan oleh Ibu Maria adalah pakaian panjang khas kraton dengan ikat pinggang dan kain kawung sebagai lambang derajat keningratan. Arca ini mengambil inspirasi dari arca Pradnyaparamita atau Ken Dedes dari Singasari. Pengambilan insiprasi Ken Dedes sebagai Ibu Maria dikarenakan Ken

Dedes merupakan sosok ibu cikal bakal dari Kerajaan Singasari yang menaungi seluruh tanah Jawa. Selain inspirasi dari arca Pradnyaparamita, Josef Schmutzer beserta timnya juga mengambil inspirasi dari relief permaisuri raja Kertarajasa Jayawardana dari Kerajaan Majapahit yang terdapat pada candi Rimbi.20 Ibu Maria dalam arca ini digambarkan sedang menggendong Yesus yang masih kecil. Walaupun masih kecil sebagai raja Yesus sudah berpakaian kebesaran seperti

19 Video dokumenter , loc.cit. 20 Lusia Esti Elihami, op.cit., hlm. 73.

Gb. 26. Arca Pradnyaparamita dari Singasari

63

layaknya raja Jawa, dengan kain yang bermotifkan parang rusak yang merupakan busana khas raja Jawa.

Gb. 27. Arca Bunda Maria yang terletak di sisi Selatan altar (Sumber: Dokumen Pribadi)

Penempatan kedua arca tersebut (Arca Yesus berada di utara altar dan Arca Ibu Maria di Selatan altar) juga memiliki makna penting dari kebudayaan Jawa. Bagi masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta, utara merupakan tempat bagi ayah dan selatan tempat bagi ibu. Hal ini terkait dengan mitos dan legenda gunung Merapi dan Laut Selatan. Gunung Merapi atau Sunan Merapi terletak di utara Yogyakarta, memberikan kesuburan dan pelindungan bagi masyakarat Yogyakarta. Laut Selatan yang dilegendakan dijaga serta ditinggali oleh Kanjeng Ratu Roro Kidul juga memberikan perlindungan serta berkat bagi masyakarat sekitar.

Telah dibahas sebelumnya beberapa materi yang diajukan oleh Josef Schmutzer kepada Tahta Suci di Vatikan, berikutnya yaitu adanya relief atau panel jalan salib. Panel jalan salib yang diukir oleh Iko menunjukkan konsep- konsep motif lokal, baik dari perawakan masyakarat lokal, pakaian, serta akesoris

64

yang dikenakan pada umumnya oleh Kraton Yogyakarta. Panel yang diakui saat itu hanyalah panel pertama dan kedua dari ke-14 pemberhentian jalan salib yang ada. Ukiran relief jalan salib yang diukir Iko juga mengambil ide dari salah satu candi di Jawa Tengah yakni Candi Sewu21. Ia mengukir bingkai jalan salib tersebut mengambil contoh dari relung yang ada di Candi Sewu. Untuk mengatasi permasalahan perizinan dari Tahta Suci, Josef menyuruh beberapa pegawai pabrik ataupun pengajar dari sekolah yang dibuatnya untuk membuat ke-14 pemberhentian jalan salib. Dipilihlah media batik saat itu, karena saat itu batik merupakan salah satu ciri khas masyarakat Jawa. Pada akhirnya gambar-gambar jalan salib dari batik menghiasi gereja. Relief jalan salib yang terbuat dari batu putih karya Iko, baru ditahun 1997 direalisasikan. Panel yang direalisasikan di tahun tersebut berjumlah 15. Pemberhentian ke-15 Yesus bangkit dari mati sebagai lambang umat Tyas Dalem yang diutus untuk menjadi berkat bagi sesama. Peletakan batu pertama Jalan Salib dilakukan oleh Romo Suto Wibowo, Pr.

Gb. 28. Panel jalan salib pemberhentian pertama yang diukir oleh Iko. (Sumber: Dokumen Pribadi)

65

Dokumen terkait