• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluarga Schmutzer dan Pabrik Gula Gondang Lipoera

BAB II BERDIRINYA GEREJA GANJURAN

B. Keluarga Schmutzer dan Pabrik Gula Gondang Lipoera

Keluarga Schmutzer merupakan salah satu keluarga Belanda yang menetap di Ganjuran, Yogyakarta. Tidak diketahui secara jelas tentang orang Katolik pertama di Ganjuran, namun diyakini bahwa Stefanus Barends dan istrinya Elise Francisca Wilhelmia Karthaus adalah keluarga Katolik pertama di Ganjuran pada

8 Ibid., hlm. 862.

9 C.H Suryanugraha, Liturgi Autentik dan Relevan, 2006, Yogyakarta : CV. Titian Galang Printika,

29

pertengahan abad ke-19.10 Mereka adalah cikal bakal keluarga Schmutzer sekaligus pewarta agama Katolik pertama di Ganjuran.

Barends adalah orang Belanda yang cukup kaya di negerinya. Ia tiba pertama kali di Surabaya pada pertengahan abad ke-19 dan kemudian bersama istrinya ke Ganjuran untuk berbisnis di sana. Tidak banyak kontribusi yang diberikan keluarga Barends selama tinggal di Ganjuran. Tercatat pada tanggal 1 September 1862, Stefanus Barends membeli perkebunan tebu dan mengelolanya menjadi perusahaan keluarga. Selama pengelolaannya, perusahaan gula tersebut berjalan lancar karena pada waktu itu gula merupakan komoditi yang laris untuk perdagangan ekspor dari Indonesia. Masa-masa sulit pabrik gula di Ganjuran terjadi setelah pemilik pabrik gula tersebut meninggal dunia di tahun 1876. Di bawah pengelolaan anaknya, Ferdinand Barends, pabrik gula tersebut kurang memiliki andil besar bagi perkembangan Ganjuran.

Sepeninggal Stefanus Barends, istrinya Elise Karthaus kembali ke Surabaya dan menetap beberapa lama di sana. Selama tinggal di Surabaya, ia bertemu dan berkenalan dengan Gottfried Josef Julius Schmutzer. Pada akhirnya di tahun 1880, Gottfried Schmutzer dan Elise Karthaus menikah. Seluruh kekayaan Stefanus Barends diwariskan kepada Elise dan Ferdinand Barends, anak mereka. Di antara warisan itu adalah kebun tebu dan pabrik gula di desa Ganjuran, Yogyakarta, yang secara khusus diwariskan kepada Ferdinand Barends setelah ibunya menikah lagi dengan Gottfried J.J. Schmutzer.11

10 Warta Berkah Dalem Ganjuran Awal Misi Di Ganjuran, diakses 21 Agustus 2015, jam 10.23

WIB.

30

Pernikahan Gottfried Schmutzer dengan Elise Karthaus dikaruniai empat anak: Elise Anna Maria Antonia Schmutzer (1881), Josef Ignaz Julius Maria Schmutzer (1882), Julius Robert Anton Maria Schmutzer (1884) dan Eduard Wilhelm Maria Schmutzer (1887). Mereka menetap dan tinggal di Surabaya untuk beberapa lama. Putra terakhir dari pasangan Gottfried dan Elise meninggal pada tahun 1905 dalam usia 18 tahun karena serangan suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

Di Surabaya, Josef beserta adiknya, Julius sekolah hingga lulus sekolah menengah (HBS). Setelah lulus, mereka melanjutkan studi teknik di Delft, Belanda. Josef lulus sebagai insinyur pertambangan pada tahun 1902, meneruskan studi ke Paris sampai memperoleh Diploma Insinyur pertambangan pada tahun 1904. Pada tahun 1905 ia menjadi dosen di Utrecht dan tahun 1910 memperoleh gelar Doktor dari Sekolah Tinggi Teknik di Delft. Ia menjadi dosen sampai tahun 1912.12 Sementara itu adiknya, Julius Schmutzer berhasil meraih gelar Insinyur teknik dan tinggal di Belanda sampai tahun 1910.

Selama masa kuliah di Delft, kakak beradik Schmutzer aktif dalam gerakan mahasiswa Katolik. Sebagai aktifis mahasiswa mereka sering mengadakan diskusi. Salah satu yang mereka diskusikan adalah Ensiklik Rerum

Novarum,13 ajaran sosial Gereja yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891. Ensiklik Rerum Novarum berisi ajaran tentang tanggung jawab sosial Gereja dan seluruh anggota Gereja terhadap buruh dan situasi yang dialami buruh

12

Lusia Esti Elihami, op.cit., hlm 28.

13 Ensiklik (dari bahasa Yunani: egkuklios, “lingkaran”) adalah sebuah istilah dalam agama

Kristen Katolik. Arti sebenarnya ialah sebuah surat edaran Uskup. Tetapi dewasa ini ensiklik artinya adalah surat Paus sebagai Uskup Roma dan pemimpin Gereja Katolik dunia.

31

sebagai akibat dari industrialisasi.14 Pergejolakan terjadi antara kaum buruh dengan kaum pemilik modal di Eropa. Munculnya paham sosialisme yang semakin memojokkan kaum buruh, sehingga Gereja pun kemudian mengambil jalan keluar yakni dengan dicetuskannya Ensiklik karya Paus Leo XIII tersebut. Paus Leo mendukung hak-hak buruh untuk membentuk serikat buruh, namun ia menolak sosialisme dan mengukuhkan hak milik perseorangan, dalam upaya mengusahakan kesejahteraan rakyat.15 Josef dan Julius Schmutzer sangat terkesan dengan ajaran sosial Gereja ini.

Setelah meraih gelar Insinyur teknik di tahun 1910, Julius Schmutzer beserta ibunya kembali ke Jawa dan tinggal di Ganjuran. Di tahun 1912 ibunya, Elise Karthaus Schmutzer, meninggal dunia setelah sakit keras. Dengan kematian sang ibunda di Ganjuran, Josef Schmutzer mengundurkan diri dari profesinya sebagai dosen di Delft dan memilih kembali ke Ganjuran. Ketiga bersaudara Schmutzer, Elise, Josef, dan Julius Schmutzer sepakat membeli perkebunan tebu di Ganjuran dari Ferdinand Barends, anak pertama mendiang ibu mereka dari suami sebelumnya.16 Dengan demikian perkebunan tebu di Ganjuran sejak saat itu resmi menjadi milik keluarga Schmutzer.

14 Lusia Esti Elihami, op.cit, hlm 29.

15 Beding, Marcel B.A, Adjaran Sosial Geredja, 1965, Ende : ARNOLDUS Ende-Flores, hlm. 30. 16 Lusia Esti Elihami, op.cit, hlm 30.

32

Gb. 8. Kakak beradik Julius dan Josef Schmutzer beserta istri mereka. (Sumber: St. Claverbond 1928, Perpustakaan Kolsani)

Sejak kepindahan kakak beradik Schmutzer di Ganjuran, mereka bertempat tinggal di dusun Kali Gondang. Mulai tahun 1912 Josef dan Julius Schmutzer bekerja membangun pabrik gula milik mereka di Ganjuran. Karena rumah dan pabrik gula mereka terletak di dusun Kali Gondang, yang artinya “sungai siput” maka nama pabrik gula itu dinamakan sesuai nama dusun itu.17 Josef dan Julius Schmutzer berusaha memodernisasi pabrik gula yang sudah tua dengan mendatangkan mesin-mesin baru dan menerapkan teknologi yang paling maju saat itu. Mereka menerapkan sistem manajemen yang baik juga mengadakan kesepakatan kerja yang menguntungkan para pekerja. Kesepakatan kerja tersebut pada saat itu merupakan satu-satunya di Jawa (dan di seluruh Hindia Belanda).18

17 C.H Suryanugraha, op.cit., hlm. 117.

33

Kesepakatan kerja yang dipraktekkan oleh administrator dengan karyawan pabrik gula Kali Gondang merupakan hasil studi kakak beradik Schmutzer di Belanda. Mereka sangat tertarik akan Rerum Novarum, sebuah ajaran sosial gereja yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891. Ensiklik Rerum Novarum ini berisi ajaran tentang tanggung jawab sosial Gereja dan seluruh anggota Gereja terhadap buruh dan situasi yang dialami buruh sebagai akibat dari industrialisasi. Baginya, buruh merupakan mitra kerja yang sangat mempengaruhi kehidupan keluarga Schmutzer serta perkembangan pabrik gulanya. Mitra kerja tersebut harus diberikan karena menjawab persoalan perindustrian di Eropa.

Eropa pada masa itu mengalami perpecahan masyarakat akibat industrialisasi. Industrialisasi yang terjadi di Eropa membagi masyarakat berdasarkan kepemilikan modal. Kelas pertama dinamakan majikan atau kapital, sedangkan yang kedua adalah kelompok yang tidak memiliki modal sehingga mereka menjual tenaganya kepada pemilik modal. Mereka biasa disebut kelompok buruh, pekerja atau proletar. Perbedaan kelompok masyarakat memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, keluarga Schmutzer sangat tidak ingin mempraktekkan apa yang terjadi di Eropa karena hal tersebut justru akan merugikan dirinya serta masyarakat banyak.

Selama di Yogyakarta, Julius Schmutzer sangat antusias serta tertarik dengan budaya Jawa. Ia sebagai pemerhati kebudayaan Jawa, sangat peduli terhadap sejarah, filosofi serta pendidikan masyarakat Jawa, khususnya daerah Ganjuran. Bentuk kecintaannya terhadap kebudayaan Jawa, Julius berinisiatif mengganti nama pabrik gula milik mereka menjadi Gondang Lipoera.

34

Nama Lipoera diambil dari nama dusun tetangga dusun Kali Gondang, yang artinya “penghiburan”.19

Antara tahun 1922 sampai 1924, Josef dan Julius Schmutzer melakukan kontak kepada pihak-pihak yang memahami budaya Jawa. Julius mengembangkan kebudayaan Jawa dengan beberapa kesenian, mulai dari musik, tarian serta beberapa upacara adat lokal. Upaya merangkul masyarakat lokal dengan para pekerja pabrik gulanya, ia melakukan upacara adat cemengan yakni tradisi besar di setiap pabrik gula sebelum musim giling tebu tiba.20 Selain itu, Schmutzer juga memberikan bantuan keuangan untuk para pekerja pabrik yang mengadakan hajatan seperti mantu, sunat dan lain-lain. Puncak perhatian Schmutzer terhadap budaya Jawa nampak pada pembuatan Candi Hati Kudus Yesus yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian selanjutnya.

Gb. 9. Upacara Cemengan yang dilakukan di PG Gondang Lipoera sebelum musim giling tiba (Sumber: St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani)

19 C.H Suryanugraha, op.cit., hlm. 120.

35

Dalam menjalankan pabrik gula, keluarga Schmutzer menggunakan bibit tebu unggulan agar lebih maju produksinya. Usaha yang dilakukan tersebut memberikan hasil dengan dinobatkannya pabrik gula Gondang Lipoera sebagai pabrik gula terbaik di jamannya, memiliki produksi paling tinggi di Pulau Jawa. Di tahun-tahun awal perkembangan pabrik gula Gondang Lipoera, areal penanaman tebu hanya berkisar 300 hektar, namun dalam kurun waktu 10 tahun areal penanaman tebu di Ganjuran mencapai 600 hektar.21 Di bawah kepemilikan Schmutzer bersaudara, pabrik gula Gondang Lipoera berhasil menjadi satu- satunya parbik gula swasta yang besar dan tidak terpengaruh resesi ekonomi dunia sekitar tahun 1920-an. Selain tu, ketika gelombang pemogokan melanda pabrik- pabrik gula lainnya sekitar tahun 1920-an, pabrik gula Gondang Lipoera tidak terpengaruh. 22

Gb. 10. Julius Schmutzer yang mengawasi panen tebu. (Sumber: St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani)

21 Lusia Esti Elihami, op.cit., hlm 31.

36

Dalam garis pengelolaan pabrik gula Gondang Lipoera nama Dr. Josef Schmutzer tidak ada dalam daftar susunan personalia di pabrik tersebut. Dalam daftar nama personalia nama Julius Schmutzer menjadi administrator atau pucuk pimpinan pabrik. Tidak tercantumnya nama Josef Schmutzer dalam susunan personalia pabrik gula Gondang Lipoera bukan berarti ia tidak memberikan andil terhadap perkembangan pabrik gula tersebut. Dalam pidato kenangan untuknya yang dibacakan di hadapan senat guru besar Universitas Utrecht disebutkan bahwa ia mengadakan penelitian atas beberapa varietas tebu unggul di pabrik keluarganya itu.23

Kakak mereka, Elise Noyons Schmutzer, tidak membantu secara langsung dalam mengelola pabrik gula milik keluarganya tersebut. Keterlibatannya dalam perkembangan pabrik gula Gondang Lipoera tampak pada pembelian berbagai teknologi pengelolaan tebu yang canggih dimasanya. Selain itu, karena tinggal di Belanda, ia juga menjadi penghubung kedua adiknya dengan petinggi-petinggi di Belanda. Sementara adiknya, Josef, menikahi Lucie Cornelie Amelie Hendriksz di tahun 1919. Selama menikah mereka tinggal di Ganjuran dan dikaruniai tiga anak. Mereka di sana bekerja sekaligus semakin mendekatkan diri mereka pada masyarakat Ganjuran, sebagai mitra kerja mereka.

Keluarga Schmutzer di Indonesia tidak hanya berbisnis gula, tetapi juga sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Salah satu kegiatan mereka yaitu dalam organisasi sosial-politik. Sejak tahun 1920 keluarga Schmutzer terlibat dalam KSB atau Katholieke Sociale Bond (Perkumpulan Sosial Katolik) yang

37

salah satu kegiatannya di Yogyakarta adalah diskusi mengenai Rerum Novarum,24 seperti yang telah mereka lakukan saat studi di Delft. Tahun 1917 Josef Schmutzer tercatat ikut mendirikan Katholieke Vererniging voor Politieke Actie yang pada tahun 1918 bergabung dalam Indische Katholieke Partij (IKP).25 Puncak keterlibatan Josef Schmutzer dalam kegiatan politik yakni keikutsertaannya dalam Volksraad atau DPR Hindia Belanda pada tahun 1918 sebagai wakil dari IKP.

Selama di Yogyakarta, keluarga Schmutzer menjalin kerjasama yang baik dengan pemimpin Yogyakarta saat itu, Hamengku Buwono VIII. Bukti dari kerjasama tersebut adalah pembangunan irigasi di Kebonongan, Bantul. Dengan dibangunnya irigasi yang canggih pada masanya itu, penghasilan pabrik gula

Gondang Lipoera semakin melimpah. Keuntungan dari pabrik gula digunakan

untuk membangun sebuah rumah sakit Katolik Onder de Bogen yang berarti “di bawah lengkung” yang kini berganti nama menjadi Panti Rapih. Rumah sakit ini sejak awal dikelola oleh kongregasi biarawati Carolus Borromeus (CB) dari Maastricht yang sudah berpengalaman di bidang perawatan orang sakit.26 Rumah sakit ini berdiri atas inisiatif Romo Strater, SJ. dan Katholieke Sociate Bond.27 Peletakan batu pertama dilakukan oleh Ny. CTM. Schmutzer van Rijekervorrel pada tanggal 14 September 1928. Setahun kemudian, bangunan ini diresmikan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII.

24 B. Kieser, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 29. 25 Ibid., hlm. 30.

26

Anton Haryono, 2009, Awal Mulanya adalah Muntilan: Misi Jesuit di Yogyakarta 1914-1940, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 151.

27 Rumah Sakit Panti Rapih: Ex Rumah Sakit Onder de Bogen, diunduh pada tanggal 5 September

38

Gb. 11. Rumah Sakit Katolik Onder De Bogen (Sumber: www.google.com)

Keuntungan yang melimpah juga digunakan oleh keluarga Schmutzer untuk mendirikan poliklinik di Dusun Ganjuran, Kelurahan Sumbermulyo, untuk memberikan pelayanan kesehatan pada pegawai pabrik gula dan masyarakat sekitar. Tercatat poliklinik setiap harinya melayani 40 sampai 50 orang dan terus berkembang. Pada tanggal 4 April 1930, poliklinik diresmikan menjadi rumah sakit dengan nama Rumah Sakit Santa Elisabeth, dengan kapasitas 30 tempat tidur. Ny. Schmutzer beserta suster-suster Carolus Borromeus (CB) yang telah berpengalaman di RSK Onder De Bogen, melakukan pelayanannya di rumah sakit ini.28 Karena rumah sakit St. Elisabeth dikhususkan bagi masyarakat menengah kebawah, perkembangannya sangatlah pesat. Rumah sakit ini kemudian

39

Gb. 12. Suster dari kongregasi Carolus Borromeus memeriksa masyarakat sekitar Ganjuran (Sumber: www.rselisabeth.com)

mengembangkan sayapnya dengan mendirikan 4 poliklinik di sekitar Bantul yakni di daerah Pete, Kretek, Bantul dan Pugeran.

Bagi Julius Schmutzer, pelayanan dalam bentuk sosial, ekonomi dan kesehatan masih dirasa kurang. Bersama dengan istrinya, Caroline Theresia Schmutzer, ia membangun 12 Standaardschool di tahun 1922 di sekitar Ganjuran. Ke-12 sekolah tersebut menjadi perlambangan para rasul yang menyebarkan sekaligus mengajarkan ajaran Gereja.29 Salah satu sekolah yang ada tersebut kini benama SD Kanisius Ganjuran. Standaardschool dianggap sebagai fondasi awal kegiatan pendidikan di Indonesia. Hal itu dikarenakan ditahun-tahun berikutnya dibuka beberapa sekolah seperti Volksschool, Vervolgschool, Schakelschool dan

40

HIS.30 Standaardschool diselanggarakan karena sekolah berbahasa Jawa lebih terjangkau dan realistik dibandingkan dengan HIS. Perlu diketahui untuk menyelenggarakan HIS, dibutuhkan sejumlah tenaga pengajar yang mahir dalam berbahasa Belanda.

Dokumen terkait