• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1 Tokoh dan Penokohan

3.1.10 Canting

Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dapat disejajar- kan dengan prosa lirik Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), novel

Ibu Sinder (Pandir Kelana), ketiga karya tersebut menggambrkan sikap hidup wanita yang pasrah dan nrima. Menurut Sumanto (1987:19), novelet “Sri Sumarah” (Umar Kayam), Pengakuan Pariyem, dan Canting, ketiganya memiliki pusat pengisahan yang sama, yaitu wanita dengan latar budaya jagad Jawa.

Penggambaran tokoh Bu Bei, Pariyem, dan Ibu Sinder sangat berlainan bahkan dapat dikatakan bertentangan dengan penggam- baran tokoh Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, maupun Genduk Damirin. Tokoh-tokoh dalam kelompok pertama tetap ber- ada dalam iklim budaya Jawa di mana orang selalu setia berangan- angan mengenai wanita yang sumarah, nrimo, nurut, dapat menjadi

kanca wingkin, kalau siang bersedia menjadi alas kaki dan malam hari menjadi kasur atau selimut bagi laki-laki: awan teklek bengi lemek. Pada kelompok kedua, kita dihadapkan dengan tokoh yang diharapkan mampu membuka lagi sejarah kekuasaan kaum wanita dengan memberontak melawan perampasan hak oleh kaum laki- laki. Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri selalu bergerak me- lawan kekuasaan: ngono yo ngono ning ojo ngono, serta memberontak terhadap dinia priyayi. Jika prosa lirik Pengakuan Pariyem meng- hadirkan konsep pasrah yang ditegaskan lagi dengan sikap lega- lila dan hidup yang mengalir, maka novel Canting menyajikan kon- sep pasrah lewat penokohan Bu Bei dengan cara lain yang menawan (Sumanto, 1987:30).

“Menunggu adalah pasrah. Menunggu adalah menerima nasib, menerima takdir. Menjalani kehidupan. Bukan menyerah, bukan kalah, bukan sikap pandir. Pasrah ialah mengalir, ber- siap menerima yang terburuk ketika mengharap yang terbaik.” (Canting, hlm. 82)

Sikap pasrah Bu Bei tergambar juga lewat reaction of others to character (Bagaimana pandangan pelaku lain dalam suatu cerita terhadap pelaku utama) ketika Pak Bei berbincang-bincang dengan Ni.

“Saya makin sadar bahwa selama ini ibumu tak pernah me- rintangi saya. Tak pernah satu kalipun. Segalanya serba iya, serba inggih, serba sak-kersa, serba semau saya. Belum pernah ibumu menolak apa yang saya inginkan. Tidak dengan kata- kata, tidak juga dengan suara hatinya. Ibumu berhasil menya- tukan suara hatinya dengan tindakan suaminya sebagai wa- nita dengan suara hati seorang istri. Ini yang luar biasa. Ini sebabnya saya menganggap ibumu adalah wanita yang baha- gia, lahir maupun batin. Ini yang istimewa sebab ibum men- capai tingkat pasrah dalam artian sebenarnya. Ibumu bisa menyatukan antara karir, kepentingan pribadi, kepentingan seotang istri, kepentingan seorang ibu, dalam satu tarikan na- pas yang sama.”

(Canting, hlm 268-269).

Sikap pasrah Bu bei yang begitu kuat bukanlah sikap pasrah

yang mengalir, tidak berarti tidak ada kemungkinan bagi Bu Bei untuk “unjuk rasa” (Teeuw, 1987:23).

“Seminggu lebih Pak Bei tidak pulang ke rumah. Setelah itu setiap dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei mengetahui bahwa Bu Bei mengetahui. Tapi Bu Bei tak pernah menanyakan, tidak pernah mengurusi. Hanya Bu Bei tidak pernah menunjukkan sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama. Manata meja, mengatur anak-anak – saat itu belum pergi ke pasar Klewer dan bersikap manis serta menghormat. Hanya malam harinya, bu Bei berdiam diri bagai guling. Tak bereaksi walau juga tidak menolak. Ini selalu mem- buat esoknya, Pak Bei berangkat ke Mbakti dan menemukan apa yang tersendat di rumah. Apalagi kalau habis bertugas di medan perangBu Bei masih pasti mengetahuisiapa Karmiyem, dimana rumahnya. Entah bagaimana caranya. Mungkin saja dengan menyuruh mbok Tuwuh mencari tahu. Karena rasanya< Pak Bei seperti melihat mbok Tuwuh datang ke Mbakti. Tapi tak pernah terucap satu patah kata pun dari Bu Bei.”

Dari kutipan di atas jelas tergambar sikap keutamaan tokoh Bu Bei yang sangat dihargai oleh masyarakat Jawa, yaitru kemam- puan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung. Sikap Bu Bei tersebut mengacu pada prinsip-prinsip ke- rukunan yang berlaku dalam masyarakat Jawa. Menurut Suseno (1985:39) berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ke- tegangan dalam masyarakat atau antarpribadi sehingga hubungan- hubungan sosial tetap kelihatan selaras. Keadaan rukun bisa terjadi jika semua pihak berada dalam damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima. Dalam masyarakat Jawa (tertama priyayi) setiap macam perasaan yang negatif terhadap orang lain harus ditutup-tutupi, orang sangat dianjurkan untuk menyenangkan orang lain. Usaha ini guna menjaga tingkat keakraban dalam hubungan antarindividu. Suatu teknik lain untuk menghindari kekecewaan adalah kebiasaan berpura-pura, kemampuan ber-ethok-ethok, yaitu tidak pernah mengatakan apa yang benar-benar ada dalam pikiran (Geertz, 1983:331--332). Tokoh Bu Bei walaupun mengadakan “unjuk rasa” terhadap hubungan Pak Bei dengan Karmiyem, tetapi “unjuk rasa’ tersebut bersifat tertutup, tidak ingin menggoncang- kan keselarasan yang sudah ada.

Novel Canting mempunyai keunikan lain, yaitu menempat- kan Bu Bei dalam dua peran sekaligus: di rumah sebagai isti dn di pasar sebagai wanita karir. Pasar yang menjadikan Bu Bei tokoh yang terhormat, pasar tempat yang mungkin memberikan kepuasan batin sebagai manusia penuh: otoritas, keuangan, memberi ke- mungkinan di menjadi manusia independen, tidak tergantung pada suami, semacam wanita karier (Sumanto, 1987:30). Di sisi lain ia tetap mituhu kepada Pak Bei, yang harus menunggu jika keputusan memang mengatakan dia harus berhenti di pasar.

“Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang demikian jauh berbeda dengan suasana rumah. Bu Bei berubah menjadi seorang direktur, seorang manajer, seorang pelaksana yang sigap. Sejak memutuskan siapa yang menarik becak, kuli mana yang disukai, sampai dengan memilih Yutun dan Yumi.” (Canting, hlm. 41)

“Yang berbeda hanyalah penampilan Bu Bei di rumah dan di pasar Klewer. Dan itu hanya diketahui yang bersangkutan, dalam artian disadari. Tapi peran yang disediakan Pasar Kle- wer sedemikian besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa me- maki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan keberaniannya memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas.”

(Canting, hlm. 49)

Canting adalah simbol budaya yang kalah, tersisih dan melelahkan. Akan tetapi, Ni (Sabandini Dewaputri Sestrokusuma – tokoh komplementer) berusaha menekuni, mengubah keadaan tersebut walaupun harus berhadapan dengan Bu Bei maupun Pak Bei. Untuk menciptakan tragedi dan pencapaian klimaks, sosok Ni ditampilkan berbeda dengan Bu Bei. Ni berani tidak Jawa (ora njawani). Artinya ia dapat dengan sadar mengaku ada beberapa bagian dalam kehidupan di Ngabean yang tidak sepenuhnya bisa dipahami secara gamblang (Canting, hlm 236). Beberapa unsur pembeda tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Perbedaan sikap kedua tokoh itu tampak secara tajam setelah Bu Bei meninggal dunia dan Ni mengambil alih perusahaan batik cap Canting yang hampir bangkrut. Dulu bu Bei (anak desa Nusu- pan) tidak terlalu memikirkan gaji/tunjangan buruh batik, mem- bedakan buruh bau njaba dan bau njero, tidak menawarkan fasilitas berlebih, berdagang berdasarkan prinsip saling percaya; sedang-

Bu Bei Ni

Lahir sebelum kemerdekaan x Lahir setelah kemerdekaan Tidak mengenal sekolah x Sarjana Farmasi

Memahami usaha pembatikan x Kurang paham dunia batik Trdisional x Berusaha Sistematis Berpikiran lugu x Berpikiran maju

kan Ni mulai memikirkan gaji/tunjangan pegawai, menyamakan buruh bau njaba dan bau njero, memberikan fasilitas, mengadakan semacam pembukuan dalam setiap pengiriman maupun peng- ambilan barang.

Kehadiran tokoh Ni merupakan sarana untuk menciptakan ketegangan, menghadirkan konflik terselubung antara Pak Bei dan Bu Bei, Pak Bei dengan Mijin. Pertentangan ketiga tokoh ini tetap tidak terselesaikan secara eksplisit, sengaja “digelapkan” Arswen- do sampai cerita berakhir. Penciptaan situasi ini merupakan ke- unggulan Arswendo dalam mengulur ketegangan suasana, keingin- an terus menyembunyikan siapa sesungguhnya Ni, menghadirkan pertanyaan siapa ayah Ni sebenarnya: Apakah Ni lahir karena hubungan Pak Bei dengan Bu Bei atau hubungan antara Bu Bei dengan Mijin? Keadaan ini menjadi lebih tragis karena Pak Bei tidak pernah mau menyelesaikan persoalan Ni; di sisi lain Mijin diciptakan sebagai tokoh buruh pabrik yang penurut, tidak me- ngenal sekolah, tidak mudah mengerti, mengandalkan otot dalam bekerja, selebihnya Mijin adalah pribadi yang menarik bagi Bu Bei justru karena secara keseluruhan Mijin berbeda dengan Pak Bei (Canting, hlm 59).

Banyak alternatif yang ditawarkan Arswendo bagi pemecah- an konflik tiga tokoh tersebut, tetapi semua tidak menyelesaikan permasalahan, sebaliknya justru melahirkan teka-teki yang ber- kepanjangan.

“Tidak, tak ada yang menghubungkan kehamilan Bu Bei kali ini dengan Mijin. Tidak juga Pak Bei menyinggung hal ini. Selama ini Mijin tidak pernah menginjak ruangan dalam se- lain mengepel. Selama ini, hanya sekali Mijin berada di rung utama, yaitu saat memperbaiki tiang penyangga yang kero- pos. Mijin berada di ruang utama, akan tetapi manjat ke atas. Membantu mereka yang memperbaiki rumah itu saja. Barang- kali Mijin akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, jika dia ditanyai, tetapi tak ada yang menanyainya. Tidak juga istrinya sendiri. Tidak juga dirinya sendiri.”

“Pak Bei akhirnya menemui dukun yang terkenal itu. Bukan untuk mengurus Minah. Untuk mengurus dirinya sendiri. Untuk menanyakan bibit siapa yang berada dalam kansungan istrinya. Pak Bei memberikan uang, ayam putih, dan segala perlengkapan: termasuk tanggal lahirnya, tanggal lahir Bu Bei, asal-usul, dan segala yang ditanyakan.

“Apakah ada saudagar yang menghamili?”

Mbah dukun itu melihat ke telur, dan menggeleng. “Tidak.”

“Apakah ada kerabat dekat?”

“Tidak. Pak Bei benar mendengarkan jawaban yang saya lihat di dalam telur ini? Kalau Pak Bei mau melihat sendiri bisa.” Bu Bei menunggu.

Pak Bei menggantung persoalan.

Saat itu pun is menggeleng, dan meninggalkan dukun itu.” (Canting, hlm. 66—67)

Jika kita sependapat dengan Sumanto (1987:30) yang secara implisit menyatakan bahwa Mijin yang berkekuatan luar biasa, yang sesekali menarik perhatian Tuginem (nama kecil Bu bei) ada- lah ayah Ni, maka dapat digambarkan bagan hubungan Pak Bei dengan Bu Bei sebagai berikut.

Karmiyem Pak Bei

Bu Bei Mijin

Ada beberapa indikasi yang secara tidak langsung menunjuk- kan bahwa Ni sebenarnya merupakan anak Mijin.

“Anakmu sudah lahir, Bu,” kata Pak Bei di samping Bu Bei yang masih susah mengatur napas.

“Hitam seperti cengkerik.” Bu Bei menangis lagi.

Dulu, ketika kelima anaknya lahir, Pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama itu. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat menghisap dan membuat sakit.

——

“Aha, saya masih pantas menjadi seorang ayah,” kata Pak Bei bergurau

“Tahun depan juga masih pantas,” kata Bu Bei Noto. “Aku tahu kau namakan apa anakmu ini,” kata Pak Meng- gung. “Pasti ada hubungannya dengan Suryomentaram.” “Namanya Subandini Dewiputri Sestrokusumo.”

“Kok pakai Sestrokusumo segala. Kamu kurang yakin itu darahmu sendiri? Terdengar tawa ramai.”

(Canting, hlm. 82-83)

“Pak Bei dulu pernah menyangsikan apakah Ni putri kan- dungnya atau bukan. Ada semacam keraguan. Dan Pak Bei mengatakan kalau Ni jadi pembatik, itu berarti ia berasal dari darah pembatik. Dari buruh batik.

Sejak kecil Bu Bei selalu memarahi Ni jika mencoba mendekati pembatik. Jika tanganya memegang lilin atau peralatan batik, Bu Bei akan menyentil keras sekali. Hingga Ni menangis. Sejak kecil Bu Bei tak mengizinkan Ni mengetahui soal-soal mem- batik. Diawasi dengan sangat hati-hati. Dan Bu bBei mulai lega ketika Ni tak menunjukkan perhatian pada pembatikan.” (Canting, hlm 190)

Beberapa indikasi di atas menjadi lebih jelas jika dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan: (a) keengganan Pak Bei menyele- saikan permasalahan secara tuntas, (b) keengganan tersebut ber- kaitan dengan pencapaian harmoni atau keseimbangan keadaan, dan (c) keinginan kuat Ni untuk menjadi pengusaha batik. Per- tanyaan yang muncul kemudian adalah: mengapa Pak Bei dapat menerima kehadiran Ni tanpa konflik terbuka? Jawaban atas per- tanyaan ini tidak dapat dilepaskan dari makna kehadiran Pak Bei dalam keseluruhan cerita: tugas Pak Bei ternyata bukan sekedar menjaga keselarasan tetapi justru mengembalikan adanya kemung- kinan tidak selaras (Canting, hlm. 368).

Hal lain yang berpengaruh terhadap sikap-sikap Pak Bei yang dapat menerima Ni (yang memang aeng – yang berambisi meng- urusi usaha batik walau sebenarnya ia tidak tahu hapengkong ten- tang pembatikan), mampu meredam konflik baik terhadap Bu Bei maupun Mijin; yaitu kenyataan bahwa Pak Bei bukan sekedar tokoh pembantu yang muncul karena diperlukan sebentar. Pak Bei ter- nyata lebih mirip pemeran utama. Tenang, berwibawa, tapi tuntas. Segala apa dilakukan dengan terbuka, tapi juga masih banyak yang tidak bisa diperkirakan (Canting, hlm. 103).

Dalam dokumen KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JA (Halaman 56-63)

Dokumen terkait