• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ronggeng Dukuh Paruk dan

Dalam dokumen KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JA (Halaman 44-48)

3.1 Tokoh dan Penokohan

3.1.6 Ronggeng Dukuh Paruk dan

Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari

merupakan dua dari trilogi novel Ahmad Tohari. Novel lainnya dalah Jentera Bianglala diterbitkan Gramedia pada tahun 1986. Trilogi novel Ahmad Tohari tersebut mampu memberikan corak yang spesifik dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, baik jika ditinjau dari segi permasalahan maupun segi latar.

Lewat Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari, Amad Tohari berusaha menyingkap kehidupan ronggeng di kalangan masyarakat Jawa yang nrimo ing pandum; kehidupan ronggeng yang harus dimulai dengan upacara bukak klambu hingga bersedia menjadi pelaku dalam upacara gowokan. Linggar Sumukti (1985) mengemukakan bahwa upacara bukak klambu merupakan upacara yang harus dijalani oleh calon ronggeng di Banyumas. Infor- masi lain menyebutkan bahwa konon gowokan berasal dari kata

gowok yang berarti ‘bilik’ atau ‘kamar’ yang sengaja dibuat sempit. Gowok ini dipergunakan latihan seks oleh seorang pemuda yang siap memasuki jenjang perkawinan. Pelatihnya adalah wanita de- wasa yang dianggap mempunyai pengalaman luas di bidang seks yang sengaja ditugaskan melakukan “pendidikan”. Kegiatan dalam

gowok itu kemudian dikenal dengan istilah gowokan. Wanita yang mem- beri pelajaran seks itu disebut pelanyahan, di samping ada pula yang menyebutnya dengan Nyi Ronggeng. Tradisi gowokan pernah mem- budaya di daerah Wangon kabupaten Banyumas dan di Kejobong. Dari uraian di atas terlihat bahwa permasalahan yang ditam- pilkan Ahmad Tohari bertolak dari kegiatan kehidupan ronggeng

di sekitar daerah Banyumas. Dugaan ini diperkuat dengan laporan Sutrisno (1983:10) yang menyatakan bahwa cerita tentang Srintil adalah kisah kehidupan ronggeng di Dukuh Paruk, sebuah desa kacil di Purwokerto, karisidenan Banyumas. Dengan pernyataan ini bukan berarti bahwa ronggeng hanya ada dan hidup di sekitar Banyumas. Di Cirebon pada tahun 1939 muncul istilah ronggeng kontrak, di samping itu muncul istilah ronggeng kaler (Ciamis), long- ser (Priangan Timur) dan kliningan (Cielungsi, Bogor). Hal ini setidak- nya membuktikan bahwa kesenian ronggeng hidup subur di dae- rah-daerah di Pulau Jawa. Jelas kiranya bahwa pemasalahan yang ditampilkan Ahmad Tohari adalah permasalahan kehidupan rong- geng dengan latar budaya Jawa.

Dalam Ronggeng Dukuh Paruk meskipun tokoh yang menda- pat porsi lebih banyak adalah Rasus, tetapi ini bukan berarti tokoh Srintil terkesampingkan. Tokoh Srintil bahkan merupakan tokoh yang menjadi titik tolak pemikiran Rasus dalam mengambil dan menen- tukan sikap. Dalam novel ini sekurang-kurangnya ada empat tokoh penting (perhatikan juga pernyataan Endarmoko, 1984:15) sepan- jang perkembangan kejiwaan Rasus, yaitu Srintil, Emak Mantri, dan sersan Slamet. Relasi tokoh-tokoh tersebut menjadi menarik karena tokoh Emak dan Mantri hanya merupakan tokoh rekaan Rasus belaka, di samping terjadinya opsisiantara Rasus dan Srintil. Tidak dapat dipungkiri lagi andaikata ada pendapat yang menga- takan bahwa tokoh Srintil dan Emak di satu sisi mewakili masa lalu Rasus (tradisional), di sisi lain tokoh Mantri dan sersan Slamet menggambarkan kekinian atau setidaknya masa depan Rasus (mo- dern).

Sebagai tokoh dengan muatan nilai-nilai tradisi, Srintil ber- usaha bersikap konform terhadap keadaan, percaya kepada Karta- reja bahwa ia dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Seca- menggala dengan tugas menjadi ronggeng (Ronggeng Dukuh Paruk, hlm. 23), bersedia menjalankan upacara sakral beruapa pemandian di depan makam Ki Secamenggala dan melakukan upacara bukak klambu agar benar-benar dapat diakui sebagai ronggeng di Dukuh Paruk. Srintil menjadi unsur paling penting bagi Dukuh Paruk, ia hidup di atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru yang sudah ditentukan, cetak biru seorang ronggeng.

Perkembangan watak Srintil secara penuh terlihat dalam

Lintang Kemukus Dini Hari. Relasi oposisi yang terjadi antara Srintil dengan Rasus, Srintil dengan lingkungannya, mampu memper- lihatkan eksistensi ronggeng dengan segenap persoalan yang harus dihadapi dan menghadirkan konflik yang berkepanjangan. Untuk memberi kesan dinamis, Srintil melakukan pengingkaran terhadap tradisi. Pengingkaran ini lebih terasa disebabkan oleh desakan emosi, bukan atas dasar adanya kesadaran untuk melaksanakan proses ‘kebebasan dari’ ke proses ‘kebebasan untuk’. Jadi, pembe- rontakan yang dilakukan Srintil berbeda dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Roro Mendut (Roro Mendut) maupun Genduk Damirin (Generasi Yang Hilang).

Karya sastra berwujud pengedepanan secara sistematik dan maksimal. Kondisi ini tercipta dengan adanya deviasi-deviasi yang terjadi dalam karya sastra. Deviasi yang tampak dalam Lintang Kemukus Dini Hari terlihat pada pemilihan latar cerita dan diksi. F. Rahardi (1984: 17) dan Eko Endarmoko (1984:10) sama-sama mengakui kehebatan Ahmad Tohari dalam mengungkapkan latar cerita yang dipenuhi oleh berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan ber- macam-macam hewan. Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Endarmoko, 1984:11) menampilkan 20 macam unggas, 16 macam serangga, 11 macam hewan menyusui, 5 macam reptil dan 5 hewan lainnya. Di dalam Lintang Kemukus Dini Hari (Mardianto, 1986) ditemukan 37 macam unggas, 18 macam serangga, 15 macam hewan menyusui, 3 macam hewan mengerat, 3 macam binatang melata, 1 macam bina- tang amphibi, 4 macam binatang merayap dan 4 macam binatang

lainnya. Pengungkapan latar semacam ini merupakan hal yang menarik karena sebelumnya hampir tidak ada karya sastra Indo- nesia yang mamanfaatkan dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai unsur latar cerita. Dalam Lintang Kemukus Dini Hari, pelu- kisan latar alam sangat terasa kaitannya dengan penggambaran emosi tokoh cerita.

“Srintil meneruskan perjalanan ke rumah Tampi hendak meng- ambil Goder. Masih di dekat rumah Sakum dia melihat sepa- sang bunglon berkejaran di ranting pohon dadap. Yang betina lari tunggang-langgang lalu melompat ke dahan lain. Yang jantan mengejar, ragu-ragu lalu menyusul melompat. Kali ini dia luput dan terbanting ke tanah. Diam dan seakan-akan mati. Warna kulitnya yang semula hijau terang perlahan-lahan ber- ubah warna tanah. Binatang itu baru bergerak setelah langkah Srintil begitu dekat. “Bila Kang Sakum tidak picek tentu dia akan berkata kepadaku; jangan membabi buta mengejar orang yang lari. Nanti terbanting seperti bunglon itu.”

(Lintang Kemukus Dini Hari, hlm. 92)

Sebagai sosok wanita Jawa, Srintil menunjukkan sifat yang khas; pasrah dan nrima. Sikap-sikap ini sekaligus mewakili pandang- an masyarakat Dukuh Paruk yang percaya bahwa semua kegetiran merupakan bagian garis hidup yang harus dilalui. Dalam hidup ini orang harus nrima ing pandum; ikhlas menerima jatah (Lintang kemukus Dini Hari, hlm. 53). Penyelesaian konflik (baik konflik da- lam maupun konflik luar) yang dialami Srintil tidak lepas dari sikap nrima dan tradisi Dukuh Paruk yang mengajarkan bahwa hidup mesti demikian adanya, hak hanya kelihatan samar di ba- wah sikap yang nrima ing pandum (hl. 188). Usaha Srintil untuk me- milih, menentukan sikap menolak kemauam “priyayi” akhirnya ter- halang oleh sikap pasrah dan pandangan Srintil serta masyarakat Dukuh Paruk pada umumnya bahwa sesuatu itu terjadi karena kehendak sang Mahasutradara.

Latar lokal di samping tergambar melalui sikap Srintil yang

juga tercermin melalui kepercayaan masyarakat Dukuh Paruk terhadap keramat makam Ki Secamengggala. Di samping itu, seloroh cabul, sumpah serapah, dan kehidupan ronggeng lengkap dengan calungnya adalah unsur-unsur penting dari sistem nilai di wilayah Dukuh Paruk, semacam etos kebudayaan masyarakat padukuhan terseebut. Latar lokal dalam novel ini diperkuat oleh tradisi gowokan yang pernah membudaya di Banyumas.

Dalam dokumen KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JA (Halaman 44-48)

Dokumen terkait