• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lusi Lindri

Dalam dokumen KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JA (Halaman 38-44)

3.1 Tokoh dan Penokohan

3.1.5 Lusi Lindri

Novel ini merupakan buku ketiga trilogi Roro Mendut. Pandang- an dunia yang terungkap dalam novel ini tetap berakar pada kon- sep pandangan masyarakat Jawa: ngono yo ngono ning ojo ngono.

Konsep ini muncul secara implisit dalam kutipan di bawah ini. “Apakah wanita yang pernah dipaksa, tetapi akhirnya setia dan menikmati kelonan pembunuh suami pertamanya itu, ikut bersalah juga selama tujuh belas tahun menghibur si algojo agung dengan bukit-bukit lezat dan lembah-lembah sarinya? Sampai mana manusia bersalah atau tidak bersalah dalam susunan-susunan hidup bersama si kuat makan si le- mah, yang boleh jadi mudah dicari alas-alas pengesahannya, tetapi yang nyatanya menjerumuskan sekian puluh ribu orang-orang besar dan kecil, dibantai, dibakar, digilas, diper- kosa? Hanya Allah Hyang Mubeng Rat memiliki hak wewe- nang mutlak menjatuhkan kepastian salah satu atau tidak bersalah Itu benar. Tetapi apakah alasan lantas bukan sejenis perahu pesiar Segarayasa yang nikmat terbuai angin semilir, untuk melupakan tanggung jawab? Untuk pura-pura tidak tahu, bahwa Segarayasa nyatanya hanya mungkin terben- tangseluas sekian ribu esok, sesudah dibayar dengan biaya ratusan ribu kuli-kuli paksaan sesama warga nagari; kaum terpenggal yang dipegat mendadak dari istri dan anak-anak yang kelaparan, karena tiada yang bekerja di sawah ladang? Kuburan Ratu Malang ini telah dipugar, diperindah oleh se- orang suami yang tergila-gila pada satu wanita, tetapi mem- bunuh tiga ratus lima puluh wanita lain, yang sehari-harinya mengabdi dengan kesetiaan dan ketaatan perempuan. Mana nalar? Mana kunci kemacetan cita rasa yang sehat? Semua cucu, semua anak telah menjadi tumbal bagi sang pengasa di Plered. Tumbal pada hakikatnya dari suatu iklim jiwa Jawa yang melahirkan seorang raden mas Sayidin alias raden mas Jibus alias Mangkurat.”

(“Lusi Lindri”, Nomor 34)

Refleksi pandangan Mangunwijaya yang menolak keme- nangan yang lahir dari gengsi dan ambisi tanpa memperhatikan ke- selarasan masyarakat terlihat pada sikap penolakan tokoh prota- gonis terhadap power dan kekuasaan Mangkurat. Jadi, interelasi

tokoh Lusi Lindri dengan tokoh Mangkurat mengalami keter- putusan yang disebabkan oleh adanya faktor luar berupa kekuasa- an. Faktor ini merupakan satu kesatuan yang utuh dan memba- yangi tokoh-tokoh cerita sehingga dalam cerita “Lusi Lindri” tam- pak bahwa arus kehidupan bergerak dari kekuatan (power) dan kekuasaan.

Pengusiran Tumenggung Singaranu yang arif dan budiman beserta Nyi Pinundi yang penuh keibuan dari Puri Jagaraga oleh Mangkurat, dapat dipandang sebagai faktor penyebab peralihan kedudukan Lusi Lindri dalam relasi antartokoh. Semula ia menjadi objek dalam hubungan relasional dengan Mangkurat, kemudian (dengan adanya kekuasaan yang menekan) Lusi Lindri mampu mengaktualisasikan diri menjadi subjek yang mengakibatkan Mangkurat menjadi objek dalam relasi tersebut.

Perlu diingat bahwa perubahan dalam watak tokoh cerita dapat terjadi bertepatan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam perkembangan alur. Akibat adanya suatu peristiwa (Luxemburg dkk., 1984:141) dapat mengakibatkan profil psikologis seorang tokoh berubah dan hubungan-hubungan antara berbagai tokoh dapat berubah pula. Sebaliknya, perubahan dalam watak seorang tokoh dapat mempengaruhi perkembangan peristiwa-peristiwa tersebut. Bagan III menunjukkan fase perubahan keberadaan Lusi Lindri dari objek menjadi subjek dalam relasinya dengan Mang- kurat. Kondisi ini membawa dampak pengelompokan tokoh, yakni tokoh protagonis dengan tokoh komplementer yang beroposisi dengan tokoh antagonis.

Dalam Genduk Duku, tokoh protagonis Genduk Duku me- rupakan tokoh yang berusaha menciptakan harmoni (keseimbang- an) hubungan antara kekuasaan dan prestise (harga diri), bergerak dari salah satu sikap pandangan hidup masyarakat Jawa: ngono yo ngono ning ojo ngono. Beban tersebut dikenakan kepada Lusi Lindri yang sejak semula dipersiapkan Mangunwijaya untuk mengganti- kan Genduk Duku dalam menghadapi kekuasaan.

Usaha tersebut dapat dipahami dengan memperhatikan arti atau nilai anak di kalangan masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa (Kodiran, 1979:44) pada prinsipnya ada dua macam nilai anak, yaitu nilai positif (meliputi keuntungan emosional, ekonomi, dan sosial) serta nilai negatif (adanya beban perasaan, ekonomi, fisik, kemasyarakatan). Dengan memiliki Lusi Lindri berarti Genduk Duku memiliki keuntungan emosional dan keuntungan sosial: dapat mewariskan tradisi keluarga, turut membentuk watak dan proses sosialisasi Lusi Lindri. Jadi, dapat dimengerti jika dalam proses penyelesaian cerita terjadi penggabungan kekuatan antara Lusi Lindri dengan Genduk Duku, sebab keduanya sama-sama meiliki jiwa dan sikap memberontak Roro Mensut, penolong penderita, pembela kaum yang terbelenggu, cerdas dan berani. Faktor penen- tu lain adalah bahwa mereka merupakan tokoh yang bergerak mewakili gagasan Mangunwijaya dalam mewujudkan konsep pan- dangan hidup masyarakat : ngono yo ngono ning ojo ngono; melawan kekuasaan yang berdasarkan gengsi dan ambisi kekuasaan. Kedua

hal ini dapat diamati lewat makna kekalahan Mangkurat dan per- nyataan dalam kutipan berikut ini.

“Ya, tak ada kesimpulan lain: Mangkurat telah tamat. Raja Agung yang masih dapat disebut Susuhunan Senapati ing Alaga yang terakhir bernama Nyakrakusuma. Sesudah itu tinggal kubangan para cacing pita. Bersama setiawan Luwak- Luweng, Lusi dan Peparing masih ingin berusaha tetap men- jadi manusia wajar saja, yang tak berselera memakan orang lain.”

(“Lusi Lindri”, No. 83)

Pemberontakan Lusi Lindri terhadap dunia kaum Istana Mangkurat di samping dapat ditafsirkan sebagai salah satu wujud perlawanan terhadap kekuasaan yang dipaksakan, juga sekaligus menghadirkan Lusi Lindri sebagi figur wanita Jawa yang kontro- versial, berbeda dengan kebiasaan wanita Jawa yang merasa bang- ga jika dapat hidup di lingkungan kaum bangsawan.

“Maka jelaslah sekarang mengapa tersiar desas-desus, bahwa Istana sedang mempersiapkan lomba besar-besaran untuk mencari dua ribu calon di dalam negeri sendiri yang paling ayu dan ditaksir paling memenuhi selera putera Mahkota. “Hoahaha, mampus kau Lusi. Terang gadis seperti kamu ini tidak lulus dalam saringan. Hohaha. Apa Tidak menyesal?” “Satu hembusan nafsu pun, pangeran, hambamu tidak pernah dibisiki gagasan apalagi keinginan untuk dipakai oleh orang seperti putera mahkota.”

(“Lusi Lindri”’ No. 49).

Kutipan di atas mengisyaratkan penolakan tokoh protagonis terhadap rasa keunggulan, nafsu kuasa Mangkurat, dan penging- karan terhadap pandangan bahwa wanita di seluruh kerajaan ada- lah milik susuhunan.

Pentingnya kedudukan Lusi Lindri dalam pengertian sebagai tokoh wanita yang diposisikan dengan tokoh laki-laki secara impli-

sit dapat dipahami lewat penampilan citra Lusi Lindri sebagai tokoh protagonis, di samping bisa ditelusur dari pandanga-pan- dangan tokoh komplementer terhadap Lusi Lindri sebagai wanita perkasa, wanita luar biasa yang mampu membugilkan siapa sebe- narnya raden Jibus Mangkurat, membugilkan segala bentuk kekua- saan sewenang-wenang (“Lusi Lindri”, no. 76). Ada benarnya jika Ratna (1985:165) menyatakan bahwa roman-roman sesudah perang banyak membicarakan usaha wanita dalam mengenali hak dan ke- wajiban yang sama dengan pria, wanita bukan lagi sebagai anta- gonis semata, tetapi seharusnya dapat berfungsi sebagai protagonis dalam masyarakat dan rumah tangga, demikian juga dalam cerita rekaan. Dalam analisis ini, kondisi tersebut tergambar lewat ung- kapan kegelisahan Lusi Lindri.

“Benarkah manusia hanya selembar wayang kulit kerbau yang ditatah berlobang, yang kaku menunggu tertancap di

gedebog pisang, dan tinggal dimbil digerak-gerakkan dan di- tempeli bincang bicara dari luar karena dia endiri bisu tuli? Berulang-ulang ibunya telah mewaeiskan riwayat Roro Men- dut yang cerdas berani; yang tak gentar melawan kehendak seorang panglima besar berbalatentara ratusan ribu perwira dan prajurit gagah berserta ratusan moncong meriam; seorang gadis teladan yang sadar resiko memilah sendiri siapa yang boleh mengairi sawah raganya, keris berpamor apa yang diizin- kan beristirahat dalam warangka jiwanya,”

(“Lusi Lindri”, No. 50).

Kekuatan Lusi Lindri mempertahankan kehadirannya meng- akibatkan eksitensi Mangkurat dalam relasi oposisi dengan Lusi Lindri tidak lebih sekedar keris beracun warangan (“Lusi Lindri”, No.22), seorang berjiwa cebol yang selalu merasa takut di luar ista- na (“Lusi Lindri”, No. 36), bunglan muda yang sudah tidak dapat berpikir waras (“Lusi Lindri”, No. 53).

Latar lokal Jawa dalam novel ini tersirat lewat sikap sumarah tokoh protagonis dan beberapa tokoh komplementer dalam men- jalani hidup, menghadapi tragedi, adanya kepercayaan terhadap

Nyai Rara Kidul sebagai kekasih dan pemberi kesaktian kepada Panembehan Senapati ing Alaga beserta seluruh keluarga raja keturunannya., kepercayaan kepada Mbah Petruk si Merapi ke- kasih ratu Samudere Selatan, penggunaan ungkapan perumpama- an mengenai tokoh cerita yang selalu dikaitkan dengan tokoh- tokoh dalam dunia pewayangan. Latar lokal yang bermakna sosial tercermin dari hubungan abdi dan raja, hubungan wong cilik de- ngan pryayi, suatu hubungan yang menghendaki sikap sendika da- wuh dan sikap hormat yang mendalam.

Dalam dokumen KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JA (Halaman 38-44)

Dokumen terkait