• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JA"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BEBERAPA

KARYA SASTRA INDONESIA

BERLATAR LOKAL JAWA

TAHUN 1970—1980-AN

Herry Mardianto

BALAI BAHASA YOGYAKARTA

PUSAT BAHASA

(3)

BEBERAPA KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JAWA TAHUN 1970 — 1980-AN

Penulis: Herry Mardianto

Penyunting: Imam Budi Utomo Dhanu Priyo Prabowo

Cetakan Pertama: Juni 2009

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali oleh: BALAI BAHASA YOGYAKARTA PUSAT BAHASA

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

BEBERAPA KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JAWA TAHUN 1970-1980-AN/Herry Mardianto

—cet. 1—Yogyakarta: Penerbit Balai Bahasa Yogyakarta, 78 + viii hlm; 14.5 x 21 cm, 2009

ISBN (10) 979-188-190-1 (13) 978-979-188-190-6

1. Literatur I. Judul II. Imam Budi Utomo 800

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(4)

PRAKATA

KEPALA BALAI BAHASA YOGYAKARTA

Salah satu tugas pokok Balai Bahasa Yogyakarta adalah me-lakukan pengkajian (penelitian) di bidang kebahasaan dan kesastra-an Indonesia dkesastra-an Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kalau dirunut sejarahnya, pengkajian (penelitian) itu secara rutin telah dilakukan sejak tahun 1970-an dan sampai sekarang sebagian besar hasil penelitian itu telah diterbitkan dan dipublikasikan ke masya-rakat. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan, sebagai salah satu instansi pemerintah yang bertugas melaksanakan program pem-bangunan nasional di bidang kebahasaan dan kesastraan, Balai Bahasa Yogyakarta adalah suatu lembaga yang mengemban amanat rakyat (masyarakat) sehingga ada kewajiban untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat (masyarakat). Oleh karena itu, sudah selayaknya kami, Balai Bahasa Yogyakarta, berusaha dan akan selalu berusaha menyuguhkan hasil kerjanya kepada masya-rakat, salah satu di antaranya adalah buku (terbitan) ini.

(5)

meng-gunakan bahasa, baik untuk berbicara atau menulis, untuk mem-baca atau mendengarkan, dan setiap hari pula—walaupun tidak disadari—kita juga menggunakan seni (sastra) untuk berinteraksi dengan sesama (orang lain). Untuk itulah, buku (terbitan) ini layak dibaca oleh siapa saja.

Selain hal di atas, Balai Bahasa Yogyakarta juga mengucapkan terima kasih kepada tim kerja, baik penulis, penilai, penyunting, maupun panitia penerbitan sehingga buku (terbitan) ini siap dipubli-kasikan dan dibaca oleh khalayak (masyarakat). Semoga buku ini benar-benar bermanfaat.

(6)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat bimbingan-Nya buku ini dapat diterbitkan. Di-harapkan agar buku ini pada gilirannya dapat menjadi bahan ma-sukan untuk pengkajian keberadaan sastra Indonesia di Yogyakarta, utamanya untuk kepentingan penyusunan sejarah sastra Indone-sia modern yang berada di Yogyakarta.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada (1) Kepala Balai Bahasa Yogyakarta yang telah memberi kesempatan kepada penu-lis untuk melakukan penelitian, dan (2) semua pihak yang merasa (baik secara langsung maupun tidak langsung) membantu me-wujudkan penerbitan buku ini.

Untuk perbaikan tulisan ini, penulis sangat mengharapkan masukan dari berbagai pihak yang menaruh minat terhadap per-kembangan dan pengembangan sastra Indonesia modern.

(7)
(8)

DAFTAR ISI

PRAKATA KEPALA BALAI BAHASA YOGYAKARTA ... iii

SEKAPUR SIRIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah ... 6

1.3 Tujuan ... 7

1.4 Anggapan Dasar dan Hipotesis ... 7

1.5 Landasan Teori ... 8

1.6 Metode dan Teknik ... 10

1.7 Sumber Data ... 10

1.8 Pengolahan Data ... 12

1.9 Ejaan ... 12

BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA JAWA ... 13

2.1 Latar Belakang Historis Kebudayaan Jawa ... 14

2.2 Pandangan Hidup Masyarakat Jawa ... 17

BAB III ANALISIS: TOKOH/PENOKOHAN DAN WARNA LOKAL JAWA ... 18

3.1 Tokoh dan Penokohan ... 18

3.1.1 Pengakuan Pariyem ... 20

(9)

3.1.3 Roro Mendut ... 24

3.1.4 Genduk Duku ... 27

3.1.5 Lusi Lindri ... 29

3.1.6 Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari ... 35

3.1.7 Jantera Bianglala ... 39

3.1.8 Generasi yang Hilang ... 41

3.1.9 Ibu Sinder ... 45

3.1.10 Canting ... 47

3.1.11 Titisan Nyai Ladrang ... 54

3.2 Wanita dan Latar Lokal Jawa ... 56

BAB IV BEBERAPA FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA TOKOH WANITA JAWA DALAM PROSA INDONESIA TAHUN 1980-AN ... 63

BAB V PENUTUP ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(10)

1.1 Latar Belakang

Fenomena yang menarik dalam perkembangan karya sastra (khususnya prosa) Indonesia pada tahun 1980-an adalah muncul-nya beberapa karya sastra yang berusaha mengungkapkan latar Jawa lewat fakta sastra sebagai elemen pembentuk cerita. Keistime-waan pengungkapan latar Jawa tersebut terletak dalam jalinan an-tara latar sosial yang tidak mungkin dapat dilepaskan hubungan-nya dengan faktor geografis. Berbagai tanggapan mengenai mun-culnya latar Jawa dalam novel Indonesia tahun 1980-an telah diberi-kan oleh para ahli maupun peminat sastra. Pradopo (1981) ber-spekulasi bahwa akan lahir tradisi sastra Indonesia asli yang mem-punyai teori poetika sendiri. Sumardjo (1982) melontarkan gagasan terjadinya arus balik kultural, masa berburu pada eksistensialis— absuditas mulai memasuki masa baru penggalian potensi asli. Sastroatmodjo (1983:3) mengomentari munculnya latar Jawa dalam karya sastra disebabkan oleh keterlibatan pengarang sebagai pe-nentu nilai budaya. Sementara itu, Sahid (1986:5) menyatakan mun-culnya sublkultur Jawa dalam karya sastra tahun 1980-an sedikit banyak berkaitan dengan usaha pengarang untuk menangggapi dan berkomunikasi dengan keadaan sosial budaya Jawa. Selanjut-nya, Teeuw (1987:41) menegaskan terjadinya semacam Jawanisasi dalam kesusastraan Indonesia adalah akibat dari dominasi tradisi Jawa.

BAB I

(11)

Berbagai alasan yang dikemukakan di atas membutikan bahwa karya sastra mampu menunjukkan fungsinya yang khas, merefleksikan kehidupan sosial budaya, mencerminkan pengaruh timbal balik antara faktor sosial dan kultural masyarakat tertentu (dalam konteks ini masyarakat Jawa). Keadaan ini mengisyaratkan akan pentingnya eksistensi karya sastra sebagai medium komu-nikasi budaya. Di samping itu, alasan-alasan tersebut di atas sekali-gus membuktikan kebenaran praduga Sumardjo (1982) bahwa secara sosiologis-historis ada kecenderungan “bergeraknya” episentrum sastra Indonesia dari Sumatera ke Jawa, khususnya Jawa Tengah. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya karya sastra yang secara sosiologis mengangkat tradisi subkultur Jawa, misalnya Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986) karya Ahmad Tohari; Canting (1986) karya Arswendo Atmowiloto; Tunjung Biru

(1985) karya Arti Purbani; Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi Ag.; Burung-Burung Manyar (1981), Roro Mendut (1984),

Genduk Duku (1987), Lusi Lindri (1986) karya Mangunwijaya, Tresna Atas Tresna (1983), Bukit Harapan (1984) karya Nasjah Djamin;

Titisan Nyai Ladrang (1986) karya Niken Pratiwi,; Ibu Sinder (1983) karya Pandir Kelana; dan Generasi Yang Hilang (1981) karya Suparto Brata.

(12)

novel Indonesia pada tahun 1920—1940-an mencakupi Sumatera Barat, 1940—1970 Jakarta, dan tahun 1970—1980-an mencakupi pulau Jawa, khususnya daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur sam-pai pulau Bali. Bukti yang dapat disimak untuk mendukung asum-si itu adalah novel Siti Nurbaya (1922), Azab dan Sengsara (1921)— keduanya mengungkapkan latar Minangkabau, Pulau (1976) karya Aspar mengangkat latar Makasar, Upacara (1978) karya Korie Layun Rampan menampilkan latar Kalimantan Selatan, dan Bila Malam Bertambah Malam (1971) karya Putu Wijaya dengan latar Bali. Pada tahun 1983 Mangunwijaya sempat mengangkat latar Ternate lewat novel Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa.

(13)

lokal selalu dikaitkan dengan kenyataan dunia luar yang ditunjuk oleh tanda tersebut. Kenyataan yang dimaksud adalah kenyataan sosial budaya dalam arti luas, meliputi aspek-aspek adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap dan pandangan hidup, hubungaan so-sial serta struktur soso-sial atau sistem kekerabatan.

Darma (1988:20) melontarkan gagasan bahwa kecenderungan untuk menghayati subkultur etnik seperti yang diperjuangkan oleh Umar Kayam, Linus Suryadi, Ahmad Tohari, dsb. Merupakan sua-tu usaha unsua-tuk memperkokoh identitas keindonesiaan, usaha un-tuk menhayati salah satu tradisi yang telah ikut andil atau berpar-tisipasi dalam mewujudkan konsep (ke)budaya(an) Indonesia.

(14)

Bagi Taine (dalam Damono, 1979:21), sastra bukanlah sekedar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya; sastra merupakan re-kaman atas tata cara zamannya – suatu perwujudan macam pikiran tertentu. Lebih tegas, Grabstein (dalam Damono, 1979:5) menyim-pulkan bahwa karya sastra tidak akan dapat dipahami secara leng-kap apabila dipisahkan dari lingkungan kebudayaan yang meng-hasilkannya. Karya sastra harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, sebab karya sastra merupakan hasil pengaruh tim-bal tim-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural (tuntutan sastra sebagai media komunikasi budaya). Siregar (1981:1) men-jelaskan bahwa untuk menjadikan novel sebagai media komuni-kasi budaya dapat ditempuh dengan menjadikan figur yang ter-identifikasi secara rasional dengan latar belakang budaya etnis tertentu.

Dari pembacaan data diketahui bahwa karya-karya sastra Indonesia tahun 1980-an memiliki kecenderungan mengidentifi-kasikan tokoh secara rasional dengan latar cerita (baca: budaya Jawa); mengacu kepada situasi sastra sebagai media komunikasi budaya. Penelitian secara cermat yang bertumpu pada aspek sastra sebagai media komunikasi budaya belum pernah dilakukan orang untuk memahami karya sastra Indonesia tahun 1980-an. Padahal, penelitian tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui kejelasan motivasi lahirnya karya-karya sastra dengan muatan latar lokal dan tokoh wanita Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an.

(15)

mengabaikan fungsi karya sastra sebagai media komunikasi bu-daya. Objek kajiannya pun terbatas pada beberapa karya sastra, tidak mencakupi semua karya sastra Indonesia berlatar Jawa yang terbit sekitar tahun 1980-an. Meskipun demikian, beberapa kajian terebut penting artinya dalam rangka pengembangan wawasan dan dapat digunakan untuk penentuan sumber data serta cakupan pembicaraan.

1.2 Masalah

Karya sastra Indonesia yang terbit pada tahun 1970—1980-an umumnya menampilk1970—1980-an cerita deng1970—1980-an latar Jawa. Sumardjo (1982) menyatakan bahwa secara historis sosiologis ada kecende-rungan bergeraknya episentrum sastra Indonesia dari Sumatra ke Jawa – khususnya Jawa Tengah. Dari 180 novel yang dijadikan data penelitian (Sumardjo, 1981:50) terlihat bahwa 32 novel meng-ambil lokasi bermain (latar tempat) di Jawa Tengah. Berdasarkan kenyataan itu, Teeuw (1987:41) menilai telah terjadi Jawanisasi dalam kesusastraan Indonesia tahun 1980-an.

Novel-novel dengan muatan latar lokal Jawa tersebut umum-nya memiliki tokoh utama dan atau tokoh penggerak cerita wanita. Hal ini setidaknya tercermin dari judul-judul novel yang mengacu pada nama atau kegiatan yang biasanya dilakukan oleh wanita Jawa, misalnya Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari, 1982), Can-ting (Arswendo Atmowiloto, 1986), Roro Mendut (1984), Genduk Duku

(1987), Lusi Lindri (1986) ketiganya karya Mangunwijaya, Titisan Nyi Ladrang (Niken Pratiwi, 1986), dan Ibu Sinder (Pandir Kelana, 1983).

(16)

penam-pilan tokoh wanita Jawa dalam prosa Indonesia tahun 1980-an masih terbelenggu sebagai objek dan belum berperan sebagai sub-jek dalam relasinya dengan tokoh laki-laki? Kalau memang demi-kian keadaannya, lalu apakah perbedaan kedudukan tokoh wanita dalam karya-karya tersebut dengan karya sastra periode Balai Pustaka yang memperlihatkan archetype kelemahan perempuan? Penelitian ini akan memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut.

1.3 Tujuan

Sesuai dengan permasalahan yang telah diungkapkan di atas, maka penelitian ini bertujuan: (1) melihat faktor penyebab muncul-nya latar lokal Jawa dalam novel Indonesia tahun 1970—1980-an; (2) mengetahui sejauh mana pengarang Indonesia mampu men-dudukkan tokoh wanita dalam cerita rekaan mereka; dan (3) mem-perhatikan dengan seksama relasi antara penggambaran tokoh cerita dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat – berusaha menemukan keterangan intern yang ada dalam karya sastra (khu-susnya mengenai perwatakan) dalam hubungannya dengan sikap hidup masyarakat Jawa.

1.4 Anggapan Dasar dan Hipotesis

Anasir Jawa yang muncul dalam karya sastra Indonesia tahun 1970—1980-an dapat dihubungkan dengan potensi pengarang yang akrab dengan budaya Jawa dan mereka berasal atau tinggal (setidak-tidaknya pernah menetap) di pulau Jawa (khususnya Jawa Tengah).

(17)

Dalam karya sastra dengan muatan latar lokal Jawa ternyata mempunyai tokoh utama tatau tokoh penggerak cerita wanita. Hal ini setidaknya mengisyaratkan adanya kehendak pengarang untuk mendudukkan tokoh wanita Jawa pada peringkat yang cukup pen-ting dalam perkembangan karya sastra Indonesia tahun 1980-an.

1.5 Landasan Teori

Seperti telah dijelaskan di bagian terdahulu, ada tiga peranan sastrawan dalam menciptakan karya sastra, yaitu menanggapi rea-litas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of comunication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation); maka jelas kiranya bahwa mempelajari karya sastra akan sampai pada taraf pemahaman terhadap kondisi sosial budaya suatu masya-rakat. Hogart (dalam Haridas, 1986:79) mengemukakan bahwa kesusastraan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat; karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan geografis tertentu. Lewat karya sastra dapat diamati pantulan tata nilai budaya yang dianut oleh suatu masyarakat – karya sastra menyodorkan sejumlah ide atau konsep-konsep mengenai manusia dengan segala persoalan-nya. Menurut Sumardjo (1979:12), sastra adalah produk masyara-kat, karya sastra berada di tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional dan rasional. Dalam anggapan seperti ini maka pendekatan yang tepat untuk diterapkan dalam menelaah karya sastra adalah pende-katan sosiologi sastra.

(18)

Manfaat penelitian dengan menerapkan pendekatan sosiologi sastra adalah dapat diketahuinya fungsi sosial dan kultural karya sastra di tengah masyarakat. Damono (1979:3) menyatakan adanya dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang bergerak dari faktor-faktor luar sastra yang lebih mempertimbangkan karya sastra sebagai proses sosial ekonomi. Dalam pendekatan ini, teks sastra tidak dianggap pen-ting. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan, analisis teks untuk mengetahui strukturnya yang kemudian dimanfaatkan guna memahami fenomena sosial yang ada di luar sastra. Model pendekatan kedua ini akan diguna-kan sebagai pegangan untuk membicaradiguna-kan tokoh wanita Jawa da-lam karya sastra Indonesia tahun 1980-an. Penelitian akan difokus-kan pada unsur penokohan dengan usaha menemudifokus-kan keterangan intern yang ada dalam karya sastra mengenai pandangan dan sikap hidup masyarakat Jawa, khususnya persoalan yang berkaitan de-ngan eksistensi wanita Jawa.

(19)

Pengantar (1979). Pilihan ini dilakukan dengan pertimbangan bah-wa model pendekatan tersebut mengutamakan analisis teks sastra untuk mengetahui strukturnya yang kemudian dimanfaatkan guna memahami fenomena-fenomena perubahan sosial yang terjadi da-lam masyarakat.

1.6 Metode dan Teknik

Metode yang digunakan adalah metode sosiologi sastra yang melihat karya sastra secara deskriptif-dialektik. Pengertian dialek-tik dalam konteks ini adalah upaya untuk melihat secara timbal balik antara faktor-faktor di luar teks sastra dengan faktor internal teks sastra yang diteliti. Cara itu pertama-tama digunakan untuk memahami unsur internal teks sastra dan baru kemudian dikaitkan dengan faktor di luar teks sastra; sedangkan pembuktiannya ber-tolak penelusuran dan pendeskripsian berbagai fenomena yang ada dalam karya sastra untuk memperoleh simpulan.

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan lewat studi pus-taka. Artinya, data-data untuk keperluan analisis dikumpulkan dari sumber-sumber pustaka, yaitu berupa buku-buku sastra (novel) yang diterbitkan sekitar tahun 1980-an.

1.7 Sumber Data

Kata prosa yang dipakai dalam penelitian ini digunakan untuk membedakan karya-karya sastra yang berbentuk puisi, di samping karena tidak semua karya sastra yang dipakai sebagai data ber-bentuk novel. Istilah prosa yang dipergunakan mencakup penger-tian novel atau roman, dan prosa lirik. Selanjutnya, pengerpenger-tian novel dan roman tidak dibedakan secara istimewa karena (dalam masyarakat sastra Indonesia) perbedaan pengertian bukan meru-pakan persoalan penting; hal ini setidaknya dapat disimak dari penggunaan istilah novel dan roman yang tidak dibedakan dalam

Kamus Istilah Sastra (Panuti, 1984:53) serta Panduan di Dunia sastra

(Hartoko, 1986:95).

(20)

ter-sebut maka karya sastra yang dijadikan data dibatasi pada karya prosa dengan muatan latar lokal Jawa yang kuat dan tokoh utama/ penggerak ceita adalah seorang wanita. Pengertian latar lokal yang kuat mengacu definisi yang diberikan oleh Termoshuizen (dalam Navis, 1985:43), yaitu latar lokal yang menujuk pada latar sosial yang khas, latar geografis yang meliputi adat-istiadat, pandangan hidup, kebiasaan-kabiasaan, dan sistem kehidupan daerah tertentu (dalam hal ini subkultur Jawa). Penentuan data juga dibatasi dengan tahun penerbitan, yaitu karya prosa yang terbit sekitar tahun 1980-an. Adapun karya prosa yang dipakai adalah prosa lirik Oengakuan Pariyem, novel Burung-Burung Manyar, Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, Ronggeng Dukuh paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Generasi Yang Hilang, Ibu Sinder, Canting, dan novelet Titisan Nyai Ladrang.

Cerita Genduk Duku semula merupakan cerita bersambung yang dimuat dalam harian Kompas pada tahun 1985, kemudian diterbitkan dalam bentuk novel oleh Gramedia pada tahun 1987. Untuk itu analisis akan menggunakan novel Genduk Duku sebagai pegangan. Kisah Lusi Lindri pun semula dimuat sebagai cerita bersambung dalam harian Kompas, kemudian diterbitkan dalam bentuk novel (juga) oleh Gramedia pada tahun 1987. Dalam perwu-judannya sebagai novel ternyata banyak bagian yang hilang yang sifatnya sangat merugikan bagi kepentingan penelitian ini sehing-ga analisis dalam penelitian ini tetap bertitik tolak dari cerita Lusi Lindri yang dimuat secara bersambung dalam Kompas.

Pembahasan novel Ronggeng Dukuh Paruk akan dipadukan dengan Lintang Kemukus Dini Hari. Hal ini dilakukan mengingat

Ronggeng Dukuh Paruk hanya memaparkan tentang asal-usul Srin-til, belum begitu menampakkan gambaran problematika Srintil dalam menghadapi dunia ronggeng dan relasi opisisinya dengan tokoh lain. Prosa lirik Pengakuan Pariyem diangkat sebagai data mengingat karya ini merupakan titik pangkal pembicaraan menge-nai latar Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an.

(21)

dari buku “ilmu pengetahuan” tentang adat tata cara perkawinan putra-putri bangsawan lengkap dengan jenis pakaian yang dikenakan serta pertunjukan yang sebaiknya disajikan.

Novel Kadarwati Wanita dengan Lima Nama walaupun mem-punyai tokoh utama seorang wanita, tetapi tidak dimasukkan seba-gai data karena tidak memiliki spesifikasi latar lokal Jawa yang kuat. Anasir subkultur Jawa hanya terlihat lewat latar geografis yang menunjuk pada tempat bermain cerita di kota Yogyakarta, Magelang, dan Jakarta.

1.8 Pengolahan Data

Pengolahan data dipusatkan pada tokoh wanita (baik sebagai tokoh utama maupun tokoh penggerak cerita) tiap-tiap karya sastra dengan memperhatikan latar sosial budaya, geografis, dan pandangan hidup masyarakat Jawa yang berkaitan dengan konsep wanita Jawa. Dengan demikian, dalam analisis akan memperhati-kan pula unsur penokohan, latar, dan permasalahan dalam satu rang-kaian pembicaraan mengenai wanita Jawa dalam prosa Indonesia tahun 1980-an. Dalam penelitian ini disinggung pula latar belakang sosiologis yang dianggap menjadi faktor penyebab munculnya latar lokal Jawa dalam prosa Indonesia tahun 1980-an.

1.9 Ejaan

(22)

Menyadari bahwa karya sastra merupakan sarana komuni-kasi budaya, pemahaman terhadap beberapa karya sastra Indo-nesia dengan latar lokal Jawa tidak dapat lepas dari pembicaraan mengenai aspek sosial budaya Jawa. Diharapkan dengan demikian kita dapat mengetahui motivasi-motivasi lahirnya karya sastra dengan latar lokal Jawa dan sampai pada kesimpulan bahwa karya sastra sastra merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap ke-kuatan-kekuatan sosial. Perspektif ini dapat mendudukkan karya sastra pada posisi sosial yang tepat, kita berusaha melihat kesu-sastraan dari konteks perkembangan masyarakatnya, tidak sekedar meyelewengkan ke dalam lingkup pembicaraan tentang takaran nilai-nilai estetik karya sastra. Sastra adalah produk suatu masya-rakat, mencerminkan masyarakatnya; dengan demikian, mempe-lajari sastra berarti mempemempe-lajari aspirasi masyarakat, tingkat kul-turalnya, seleranya, pandangan hidupnya, dsb. (Sumardjo, 1981:30). Pada tataran ini kita tidak bisa mengelak dari anggapan bahwa karya sastra adalah bentuk kreatif untuk menggambarkan manu-sia, baik secara pasti, secara sejarah, maupun secara sosial. Menurut Ralph Fox (melalui Faruk, 1982:19), membicarakan karya sastra dari sudut pandang sosiologi struktural, khususnya mengenai penokohannya, berarti membicarakan tokoh sebagai tipe manusia yang menunjuk kepada kelompok sosial tertentu sebagai elemen

BAB II

(23)

struktur kemasyarakatan secara menyeluruh. Sejajar dengan pendapat ini, Grebstein (melalui Damono, 1979:5) menyatakan bahwa masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: (pertama) sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan (kedua) sebagai tradisi, yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian, bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologis, menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural. Taufik Abdullah (1983:503) menjelaskan bahwa pada tingkat awal dapat dikatakan seni, khususnya seni sastra, tidak dapat dipisahkan dari adanya komunitas, suatu corak hidup sosial. Lebih jauh Kuntowijoyo (1987:127) menyatakan bahwa kar-ya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menkar-yampai- menyampai-kan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Akhirnya dapat ditarik kejelasan bahwa bagaimanapun juga sebagai manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu, sastra-wan dipengaruhi oleh pola kebudayaan pada masanya. Sistem nilai, adat kebiasaan, dan intuisi-intuisi yang hidup dalam masya-rakat dijadikan ilham penciptaan karya sastra. Dalam pembahasan ini, konteks sosial yang dimaksud adalah kondisi sosial budaya Jawa. Beberapa elemen yang dapat dikemukakan sebagai dasar penelaahan adalah latar belakang historis kebudayaan Jawa dan pandangan hidup dan sikap hidup orang Jawa. Gambaran sekilas mengenai elemen-elemen tersebut akan dipaparkan pada pem-bicaraan di bawah ini.

2.1 Latar Belakang Historis Kebudayaan Jawa

(24)

Indone-sia. Keadaan ini dibuktikan dengan penemuan-penemuan hasil penggalian (fosil) nenek moyang suku bangsa Jawa (Pithecantropus Erectus) yang ditemukan di sekitar lembah Bengawan Solo merupa-kan manusia Indonesia tertua yang sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu. Fosil lain yang lebih muda usianya ditemukan pula di sekitar lembah Bengawan Solo, disebut Homo Soloensis (Satoto, 1985:41—52). Pithecantropus Erectus (manusia kera berjalan tegak) diduga telah mempunyai benda hasil kebudayaan berupa kampak genggam pemotong (chapper).

Prijohutomo (dalam Satoto, 1985:56) memberikan keterangan bahwa sebelum pemerintahan Sanjaya (raja pertama yang mendiri-kan negara Mataram kuno), di Jawa Tengah sudah terdapat kebu-dayaan Hindu, sekalipun pada masa itu Mataram belum mempu-nyai pengaruh yang besar. Mengenai pengaruh luar yang masuk dan mempengaruhi kebudayaan Jawa (Ali, 1986:27) dapat dilihat dari konsep-konsep tentang raja di dalam perspektif kebudayaan Jawa yang merupakan kombinasi pengaruh antara ajaran-ajaran Islam dan Hindu-Budha.

Pengaruh Hindu-Budha terlihat pada sistematika pandangan manusia dalam bentuk hirarkis, adanya klasifikasi wong cilik dan

priyayi. Priyayi adalah semua orang yang menjalankan salah satu tugas dari raja, tetapi kaum priyayi tidak hanya terbatas pada ka-langan kraton (Jong, 1976:70). Pengertian periyayi menurut Koentja-raningrat (1985:37—42) adalah sekelompok orang terpelajar yang berorientasi kepada status dan kebahagiaan hidup di dunia ini. Lebih terinci Geertz (1983:305—348) mengemukakan bahwa tipe

(25)

bentuk rumah tempat kediaman, pakaian (terutama pakaian res-mi), gelar pada nama dsb. Dalam perkembangan yang lebih jauh maka kelompok priyayi dapat dibedakan menjadi priyayi pangreh-praja, priyayi intelektual, dan priyayi profesional.

Pengertian wong cilik merupakan satuan dasar sosial politik petani, kehidupan berpusat di sekitar batih (keluarga inti). Hubung-an di Hubung-antara mereka (Kartodirdjo, 1984:40—41) bersifat tertutup dan kerap kali terpencil, desa sangat berkepentingan dalam mem-pertahankan keserasian internal dan kerjasama yang baik. Kelom-pok yang termasuk golongan wong cilik adalah kaum pedagang, pengrajin, tukang, dll. Prinsip hubungan sosial wong cilik terdiri dari dua bagian besar (Ali, 1986:14—16): prisip kerukunan untuk menciptakan keselarasan dan prinsip hormat berdasarkan pen-dapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis serta tiap individu wajib menyadari keadaan ini, mempu-nyai rasa wedi, isin, dan sungkan. Pengaruh Islam di Jawa mela-hirkan adanya Islam santri dan Islam kejawen (Koentjaraningrat, 1985:339). Islam santri adalah penganut agama Islam di Jawa yang secara taat menjalankan ajaran agama Islam. Islam kejawen adalah golongan orang Islam yang walaupun tidak menjalankan salah satu rukun Islam, tetapi tetap percaya kepada ajaran keimanan agama Islam dan tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta sehingga kebanyakan orang Jawa selalu bersikap nerima, yaitu menyerahkan diri kepada takdir. Menurut Mulder (1981:31), golongan bukan muslim santri telah mencampur-kan beberapa konsep dan cara pandangan asli mengenai alam dunia ini dan alam adikodrati (alam gaib). Kenyataan ini terwujud dalam kebatinan atau mistik Jawa. Lingkup agama Islam, menurut Jong 1976:102), searah dengan kebatinan di kalangan masyarakat Jawa, selalu menekankan tema ketuhanan, pamoring kawula gusti, neneng hening (penghayatan dari dalam).

(26)

terdapat golongan wong cilik. Di samping itu, kebudayaan Jawa tidak dapat kita lepaskan dari pengaruh sistem nilai luar, yaitu Hindu-Budha dan kultur Islam.

2.2 Pandangan Hidup Masyarakat Jawa

Pandangan hidup orang Jawa terbentuk dari penggabungan alam pikiran yang terpengaruh oleh ajaran Hindu-Budha dan Islam. Pengaruh kepercayaan Hindu terdapat dalam kitab Parama-yoga karya Ranggawarsita, sedangkan pengaruh filsafat Islam tersirat dalam serat karya Ranggawarsita, sedangkan pengaruh filsafat Islam tersirat dalam serat Centhini karya Yasadipura II. (Herusatoto, 1985:74—78). Sikap hidup orang Jawa tercermin da-lam ada-lam kebatinan orang Jawa yang pada dasarnya ingin men-capai kesatuan harmonis yang selaras. Keadaan ini tidak dapat kita lepaskan dari sikap hidup (Jong, 1976:17) yang meliputi dis-tansi, konsentrasi, dan representasi, yang berpijak pada konsep

rila, narima, sabar. Sikap rila yang sering juga disebut iklas merupa-kan kesediaan melepas hak milik, kemampuan, dan hasil karya secara tulus ikhlas kepada Tuhan, ini mengingat karena semua yang tampak atau ada itu di dalam kekuasaan Tuhan Sikap narima

atau nrima (Suseno, 1985:143) berarti merasa puas dengan segala nasib dan kewajiban yang sudah ada. Sikap nrima (Jong, 1976:19) menuntut kekuatan untuk menerima segala sesuatu tersebut. Sikap ini merupakan perisai orang Jawa terhadap penderitaan yang di-akibatkan oleh malapetaka. Sikap temen mewajibkan kepada orang Jawa untuk selalu jujur (Suseno, 1985:144). Diharapkan dengan demikian orang akan mempunyai sikap adil. Di samping itu, orang Jawa diharapkan untuk selalu bersikap sederhana (prasaja), meng-anggap diri lebih rendah dari orang lain (andhap asor), selalu sadar akan batas-batas dan situai dalam bergerak/berbuat (tepa slira).

Sikap sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketak-sabaran, dan ketiadaan nafsu yang bergolak (Geertz, 19883:323). Orang sabar akan selalu bersikap hati-hati dalam mengambil ke-putusan dan mawas diri dalam langkah hidupnya. Sikap sabar ber-kaitan dengan sikap rila dan narima. Orang yang bersikap rila dan

(27)

3.1 Tokoh dan Penokohan

Membicarakan prosa Indonesia tahun 1970—1980-an dapat dicermati dari segi penokohan yang merupakan unsur intrinsik bagi penciptaan karya sastra (khususnya prosa) dengan melihat relasi oposisi protagonis atau tokoh penggerak cerita dengan anta-gonis dan tokoh komplementernya. Kenney (1986:26) menggaris-kan bahwa penokohan merupamenggaris-kan bagian dari struktur internal ceita. Menyadari bahwa dalam sebuah karya sastra telah terkan-dung aspek-aspek sosial budaya (tuntutan novel sebagai media komunikasi budaya) maka pemahaman terhadap segi penokohan menyarankan melibatkan aspek-aspek sosial budaya yang terkait dalam penciptaan karya sastra . Sesuai dengan tentutan tersebut maka pembahasan ini tidak dapat lepas dari persoalan dan kondisi sosial masyarakat Jawa.

Unsur penokohan merupakan faktor penting dalam pencipta-an cerita rekapencipta-an, sebab setiap tokoh mempunyai fungsi-fungsi ter-tentu sebagai pendukung cerita. Tanpa kehadiran tokoh tidak mung-kin terjadi cerita dengan segenap peristiwa: perjuangan, perten-tangan, berbagai konflik manusia dengan manusia; manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam sekitar, dan bahkan manusia dengan dirinya sendiri.

Tokoh-tokoh dalam cerita rekaan dapat dibedakan menjadi tiga macam (Ratna, 1985:49—50), yaitu (1) tokoh utama atau

pro-BAB III

(28)

tagonis, tokoh yang berperan pada awal sampai akhir cerita; (2) tokoh kedua atau antagonis adalah tokoh yang memberikan ke-seimbangan terhadap tokoh protagonis; dan (3) tokoh ketiga atau pelengkap (disebut juga dengan tokoh komplementer) adalah to-koh-tokoh sampingan yang ikut berperan dalam mempercepat penyelesaian cerita. Memahami tokoh secara baik tidak mungkin hanya dengan melihat pribadi tokoh semata-mata, tetapi perlu di-pahami melalui relasi antartokoh yang satu dengan tokoh lainnya. Perspektif ini dikedepankan dengan menyadari bahwa tokoh-tokoh dalam cerita mempunyai watak sendiri-sendiri yang berbeda bahkan saling bertentangan. Watak-watak yang berbeda antar-tokoh (Pradopo, 1976:31) menyebabkan terjadinya konflik-konflik antara para pelaku. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada hakikatnya para pelaku atau tokoh itu adalah pengejawantahan pikiran-pikir-an ypikiran-pikir-ang dipertentpikiran-pikir-angkpikiran-pikir-an atau digabung-gabungkpikiran-pikir-an. Pikirpikiran-pikir-an-pikir- Pikiran-pikir-an yPikiran-pikir-ang berbeda tersebut diwujudkPikiran-pikir-an dalam bentuk dPikiran-pikir-an watak yang berbeda-beda sehingga terjadilah penokohan atau perwatak-an (Pradopo, 1976:32).

Berangkat dari pemikiran bahwa karya sastra merupakan media komunikasi budaya, kita harus mampu melihat sejauh mana tokoh teridentifikasi oleh latar belakang budaya etnis yang muncul sebagai latar cerita. Sumardjo (1981:57) menegaskan bahwa sebuah cerita yang mengambil latar masyarakat tertentu, di suatu tempat dan di suatu masa, harus mampu memberi pengetahuan khusus tentang masyarakat tersebut lengkap dengan permasalahan, per-watakan, sikap hidup, ambisi tokoh, dsb. Lebih khusus lagi Ratna (1985:163) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan karya sas-tra sebagai produk sosial, setiap protagonis jelas mewakili masing-masing semestaan yang telah dihidupi.

(29)

novel Burung-burung Manyar, Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jnetera Bianglala, Generasi Yang Hilang, Ibu Sinder, Canting, dan Titisan Nyai Ladrang.

Menyadari bahwa unsur penokohan hanya meruapakan salah satu aspek totalitas karya sastra maka untuk melengkapi pembahas-an akpembahas-an dikaitkpembahas-an pula dengpembahas-an unsur latar dpembahas-an permasalahpembahas-an seba-gai aspek penting dalam membangun cerita rekaan.

3.1.1 Pengakuan Pariyem

Keberhasilan prosa liris ini mengungkapkan latar lokal Jawa menyebabkan Djawanai berasumsi bahwa untuk dapat mengerti

Pengakuan Pariyem, pembaca atau pendengar perlu memahami sedikit banyak ciri-ciri formal bahasa, nilai-nilai sosial budaya yang tercermin, dan latar belakang kemasyarakatan serta kebudayaan yang melahirkan karya tersebut. Pemahaman ini (Djawanai, 1982:2) merupakan tuntutan dan sekaligus kendala untuk memahami tingkah laku dan bahasa Pariyem. Suyitno (1986:136) mengemuka-kan bahwa meskipun Pariyem tidak bisa mewakili secara keselu-ruhan pribadi wanita Jawa, setidaknya Pariyem mampu memberi-kan gambaran mengenai sistem budaya Jawa, minimal dalam ku-run waktu dan lokasi budaya tertentu. Pernyataan ini mengisyarat-kan bahwa untuk dapat memahami Pengakuan Pariyem dengan baik, pembaca harus terlebih dahulu memahami kondisi sosial budaya masyarakat Jawa.

Pariyem merupakan nama seorang wanita tokoh utama da-lam Pengakuan Pariyem. Ia bekerja sebagai babu keluarga nDoro Kanjeng Cokro Sentono yang hidup bersama Raden ayu Cahya Wula-ningsih, istrinya, dan dua anak mereka, yaitu Raden Bagus Ario Atmojo dan nDoro Putri Wiwit Setyawati di nDalem Suryomen-taraman Ngayogyakarta. Karena ulah Raden Bagus Ario Atmojo, Pariyem hamil. Atas perlakuan majikannya itu, Pariyem tidak be-reaksi apa-apa. Ia pun cukup puas dengan menjadi selir.

(30)

masyarakat Jawa: nDoro Kanjeng Cokro Sentono di peringkat kelas atas atau priyayi dan Pariyem dari peringkat kelas bawah atau wong cilik. Sebagai wong cilik, Pariyem merasa tidak berhak menuntut dan merasa senang dengan apa yang dilakukannya. Ia bersikap

nrima ing pandum.

“Ya,ya, Pariyem saya

Maria Magdalena Pariyem lengkapnya “Iyem” panggilan sehari-harinya dari Wonosari Gunung Kidul

Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono Di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta Saya sudah terima, kok

Saya lega lila

Kalau memang sudah nasib saya Sebagai babu, apa ta repotnya? Gusti Allah Mahaadil, kok Saya nrima ing pandum” (Pengakuan Pariyem, hlm. 35)

Sebagai profil wanita Jawa dari kalangan wong cilik Pariyem dalam keseluruhan cerita menunjukkan sikap pasrah, lega lila, nrima, dan senantiasa menyadari kedudukannya sebagai wong cilik. Kon-disi ini menggambarkan cita-cita masyarakat Jawa dalam mencipta-kan tata tertib masyarakat yang selaras. Di dalam masyarakat Jawa, orang sebagai individu tidak menjadi penting: bersama-sama me-reka mewujudkan masyarakat dan keselarasan masyarakat men-jamin kehidupan yang baik bagi individu-individu. Tugas moral seseorang dalam masyarakat Jawa (Mulder, 1981:36) adalah men-jaga keselarasan dengan menjalankan kewajiban-kewajiban sosial. Pariyem menyadari bahwa penguasa, priyayai, mempunyai wewe-nang, tanggung jawab, dan kewajiban-kewajibab yang berbeda dengan wong cilik.

(31)

Ada admiral ada gedibal Ada cantrik ada resi Ada kawula ada gusti Ada siswa ada guru Ada priyayi ada babu

Kedua-duanya tak terpisahkan: Dua itu satu, satu itu dua

Loro-loroning atunggal

Tapi pangkat bukan ukuran Yang menakar martabat insan Karena peran dan kewajiban Pangkat pun kita sandang” (Pengakuan Pariyem, hlm. 35)

Penggambaran tersebut secara implisit mencerminkan dasar moral orang Jawa dalam menempatkan eksistensi dirinya. Dasar moral orang Jawa (Mulder, 1981:36) terletak pada kewajiban dan hubungan antara orang-orang yang tidak sama kedudukannya. Rendra (1938:8) menyatakan bahwa masing-masing individu da-lam masyarakat Jawa harus tahu kedudukannya: apakah ia klerek

priyayai, kepala, rendahan atau bawahan, perempuan, lelaki, semua-nya pusemua-nya kedudukan sendiri-sendiri dan tidak bisa disamakan begitu saja.

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat ditarik kejelasan bahwa Pariyem merupakan tokoh wanita Jawa tradisional yang

nrima, pasrah, sabar, dan mampu menyelaraskan diri dari nama tua ayahnya, Karso Suwito, yang artinya, ‘bertekad bulat meng-abdi’

3.1.2 Burung-Burung Manyar

(32)

perlawanan terhadap Republik Indonesia. Sebaliknya, tokoh La-rasati, teman dekat Teto, mempunyai pendirian yang berlawanan dengan Teto. Bersama ayahnya, Pak Antana, Larasati berpihak kepada republik.

Relasi oposisi di atas menghadirkan konflik cerita yang berisi muatan kritik sosial dan kritik terhadap dunia priyayi Jawa, di sam-ping menggambarkan sikap-sikap tokoh yang mengacu kepada tradisi subkultur Jawa. Sahid (1986:68) menunjukkan bahwa sikap yang mengacu kepada subkultur Jawa terlihat pada tokoh Larasati (Atik), Marice, dan Bu Antana. Terhadap pernyataan ini, kita harus lebih berhati-hati dalam melihat sikap dan sifat tokoh Larasati. Kontradiksi tokoh Larasati menyebabkab di satu pihak ia bertindak menurut acuan tradisi subkultur Jawa dan di sisi lain ia membe-rontak terhadap keberadaan kaum priyayi; suatu sikap yang di-anggap tidak njawani.

Proses pelaksanaan ‘kebebesan dari’ tradisi (tokoh Larasati) terlihat dari penolakan tokoh Larasati terhadap penggunaan gelar

den Rara (Burung-Burung Manyar, hlm. 11), kebahagiaan Larasati dalam menerima kenyataan bahwa ibunya menikah tidak dengan seorang pangeran atau kaum istana (hlm. 22), dan ia bersyukur karena tidak menjadi seorang putri kraton (hlm. 23). Alasan ini bisa ditambah lagi dengan melihat kenyataan bahwa Larasati bu-kan tipe wanita Jawa yang meyadari kodratnya sebagai wanita, tidak bersikap pasrah dan nrima seperti umumnya wanita Jawa kebanyakan.

“Atik bukan gadis desa yang serba menerima dan sumarah

belaka. Atik adalah tipe Klenting Kuning. Ngunggah-unggahi

ia tidak gentar, dan itu hak setiap wanita. Dari pihak lain, si Teto juga bukan Ande-Ande Lumut.”

(Burung-burung Manyar, hlm. 239)

(33)

(1983:125) menjelaskan bahwa dalam hal perjodohan, wanita Jawa

priyayai dan juga wong cilik tidak mempunyai hak untuk melakukan pilihan dan mengambil keputusan sendiri.

Beberapa uraian di atas membuktikan bahwa Larasati bukan merupakan tokoh wanita produk kraton yang memiliki ciri tradi-sional konservatif. Dapat dikatakan bahwa Larasati merupakan gambaran wanita Jawa masa kini dengan ciri-ciri seperti yang ditunjukkan Sadli (1983:153): cerdas, berinisiatif, berani menolak sesuatu jika tidak sesuai dengan pandangannya, dan tidak segan melontarkan pendapat.

Hal yang menarik adalah kontras antara Larasati dengan du-nia Belanda. Bagaimanapun juga fanatiknya Teto pada pihak Be-landa, namun terasa adanya ikatan yang halus untuk tetap kontak dengan Indonesia. Larasati seolah-olah menjadi dunia ideal yang tidak bisa dikesampingkan oleh Teto. Larasati menjadi semacam simbolisasi ibu pertiwi yang diam walau membutuhkan sesuatu yang selalu bergerak. Novel Burung-Burung anyar mempunyai cerita yang unik karena merupakan novel Indonesia yang mengacu pada plot dan tokoh cerita wayang.

3.1.3 Roro Mendut

Novel sejarah Roro Mendut karya Mangunwijaya mengisah-kan perebutan kekuasaan daerah Pati oleh Sultan Agung. Raja Mataram memerintahkan Tumenggung Wiroguno untuk meng-ambil alih kekuasaan Adipati Pragola. Perintah itu berhasil dilak-sanakan Tumenggung Wiroguno dengan memenggal kepala Adi-pati Pragola, merampas harta benda dan putri-putri Kadipaten Pati.

Roro Mendut, calon selir Adipati Pragola, ikut terampas dan dibawa ke Mataram. Selanjutnya Roro Mendut diboyong ke puri Wirogunan sebagai hadiah dari Sultan Agung atas keberhasilan Tumenggung Wiroguno.

(34)

ber-jualan puntung rokok yang akhirnya mengundang kehebohan: banyak kaum laki-laki yang tergila-gila kepada Roro Mendut. Ke-mampuan Roro Mendut “menguasai” dan mengndalikan banyak laki-laki semakin mengobarkan semangat Tumenggung Wiroguno untuk menakhlukannya.

Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan penelitian ini, novel Roror Mendut menempatkan tokoh wanita (Roro Mendut) opada posisi yang penting yang mengakibatkan Wirohuno meneri-ma akibat dari perbuatan Roro Mendut. Tragedi yang menimpa Wiroguno terjadi karena adanya manifestasi dari pikiran dasar pelaksanaan ‘kebebasan untuk’ memilih dari Roro Mendut yang merupakan kelanjutan dari usaha ‘kebebasan dari’ tradisi. Kondisi ini tercermin dalam penggambaran tokoh Roro Mendut sebagai tokoh garda depan, tokoh pendobrak, tokoh yang penuh keperca-yaan diri dan berani menantang arus demi keyakinannya. Sikap menolak untuk diangkat menjadi selir Tumenggung Wiroguno me-rupakan gambaran tindakan kontroversial yang dilakukan wanita Jawa dari golongan wong cilik. Sebab dalam pola pemikiran masya-rakat Jawa tradisional, menjadi selir merupakan suatu anugerah. Geertz (1983:307) menegaskan bahwa dunia priyayi bagi wong cilik

merupakan bentuk puncak apa yang menjadi angan-angan mereka – berbagai sikap seperti menahan diri, berbudaya, berpengetahuan, merasa diri penting, dianggap merupakan bentuk kegembiraan dalam hidup.

“Tetapi Roro Mendut memang sungguh harus dimarahi. Ke-terlaluan! Mosok, dipinang jadi istri panglima besar negara kuasa kok menolak. Itu ajaran dari siapa! Seandainya dia itu anak kandungnya sendiri, o, sudahlah, dikepruk siwur sung-guh. Dosa, sungguh dosa menolak rahmat Allah dan hati budi-wan seorang besar. Ini ada dari mana! Sungguh, Ni Semongko tidak mudeng.”

(Roro Mendut, hlm. 195)

(35)

kesa-daran tokoh wanita Jawa untuk menolak sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangannya; Ayam alas mau dijadikan merak, bagai-mana mungkin (Roro Mendut, hlm. 147).

Pandangan tokoh komplementer terhadap tokoh utama meng-isyaratkan bahwa Roro Mendut memang bebnar-benar merupakan wanita istimewa untuk ukuran wanita Jawa. Roro Mendut bukan tipe wanita Jawa yang nrima dan pasrah.

“Harus diakui, Roro Mendut memang gemilang. Kemenang-an Roro Mendut pada hakikatnya kemenKemenang-angKemenang-an kaum wKemenang-anita juga. Hal itu sangat terasa oleh Nyai Ajeng, yang selain wanita cantik, bernalar cerdas juga. Ada dalam diri seorang istri, yang mendorongnya membela suami. Akan tetapi banyak segi, setelah kedudukan dan penghargaan selaku istri atau pun ibu tercapai, maka segi wanitalah yang akan lebih berbicara. Bagaimanapun, Roro Mendut dalam mata Nyai Ajeng toh semacam pahlawan juga. Pemberang, ya, tetapi tanpa wanita semacam mendut itu, kaum perempuan tetap tinggal lumpur sawah yang hanya bertugas menumbuhkan padi. Dihargai memang, tetapi tetap diinjak-injak kerbau dan dicangkuli seenak petani. Dipuja dipuji keindahan sawah-sawah dan petak-petak yang penuh air dan yang mencerminkan angkasa pada permukaannya. Kebanggan Jawadwipa, “loma boma-bumi, luber bojo brono, dyah endah biyung mrumbung” (serba melimpah hadiah langit bumi, meluap makan serta harta, sebagai perawan ia cantik, sebagai ibu ia subur), tetapi tetap lumpur yang terinjak dan tercangkuli, tanpa hak apa pun dan yang hanya bertugas: sendiko.”

(Roro Mendut, hlm. 295—296)

(36)

“Tak habis-habisnya Mendut bertanya dalam hati, mengapa begitu banyak gadis dan wanita mendamba dan penuh mimpi untuk hidup di dalam istana. Memang dunia ini aneh. Mereka yang begitu ingin hidup dalam istana tidak terpilih, sedang-kan orang yang benci hidup di dalamnya, dialah yang dipak-sa.”

(Roro Mendut, hlm. 200)

Seperti halnya tokoh Larasati (dalam Burung-Burung Manyar), tokoh Roro Mendut pun dihadirkan dengan mengacu kepada gam-baran wanita Jawa masa kini yang mempunyai sikap kritis, cerdas, berani menyimpang dari kebiasaan yang berlaku, menunjukkan sikap “merdeka”, dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi berbagai rintangan hidup.

3.1.4 Genduk Duku

Sama halnya dengan novel Roro Mendut, dalam novel Genduk Duku pun Mangunwijaya menempatkan tokoh wanita (Genduk Duku) pada posisi yang penting sehingga tokoh Wiroguno, Jibus, Badogbadig, menerima akibat dari sikap-sikap Genduk Duku.

(37)

peristiwa-peris-tiwa dalam setiap cerita (Luxemburg dkk., 1984:144—145) akan bergerak dari ruang dan waktu yang berlainan. Peristiwa-peristiwa disajikan berdasarkan suatu visi dan bermanfaat untuk menimbul-kan pertentangan-pertentangan serta berfungsi untuk melihat siapakah yang menjadi fokus sebuah cerita. Bagan satu menggam-barkan tahap penyelesaian konflik antara Genduk Duku dengan Tumenggung Wiroguno yang sanggup melahirkan konflik-konflik baru yang melibatkan tokoh Radenwedana Yudamenggala, Badog-badig, Jibus, dsb. Bagan tersebut sekaligus memperlihatkan relasi antartokoh yang saling kait-mengait. Menurut Luxemburg (1984:155), jika kita menunjukkan seorang pelaku sebagai pejuang maka pelaku-pelaku lain dapat dikelompokkan menurut relasi mereka terhadap perjuangan pelaku, dari sini akan lahir tokoh antagonis, komplementer, dsb.

Dapat dikatakan bahwa sikap-sikap tokoh (terutama tokoh protagonis) dalam menghadapi suatu peristiwa mempunyai mak-na yang berhubungan dengan gagasan-gagasan atau wawasan pengarang. Kondisi ini dapat dipahami dengan melihat konteks sosial pengarang dan pandangan pengarang terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat. Mangunwijaya dalam menghadapi perubahan-perubahan masyarakat mengambil dua sikap, yaitu: (1) merefleksi semua aspek yang lahir dalam masyarakat yang kemu-dian dikembalikan kepada satu sikap pandangan hidup masyara-kat Jawa: ngono yo ngono ning ojo ngono, (2) menolak kemenangan yang lahir dari gengsi dan ambisi tanpa memperhatikan kesela-rasan masyarakat yang mengelilinginya. Dari semua peristiwa yang dihadapi, tampak bahwa Genduk Duku pada hakikatnya hanya menginginkan agar manusia menyadari keberadaan dan harkatnya tanpa ingin mendapatkan kekuasaan dan pengakuan: ngono yo ngono ning ojo ngono.

(38)

Proses perbaikan terjadi jika sebuah tugas terselesaikan atau seorang lawan dapat disingkirkan; sedangkan proses kemunduran (Luxemburg dkk., 1984:152) terjadi jika pelaku utama tergelincir dalam dosa, terpaksa mengorbankan sesuatu, terkena serangan atau fitnah

Dalam novel ini makna keseimbangan yang diaktualisasikan melalui tokoh-tokoh cerita tidak sekedar terlihat dari oposisi kekua-saan atau kekuatan (power) yang dihadapkan kepada kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri, tetapi melibatkan harapan keseim-bangan hubungan antara sesama manusia, keseimkeseim-bangan kedu-dukan antara perempuan dan laki-laki sebagai proses pambebasan diri untuk tidak dikuasai orang lain.

“Tidak ada pihak kalah atau menang dalam lakon omah-omah.

Kalau yang satu kalah, yang lainnyapun kalah. Sebaliknya juga begitu. Kejayaan istri adalah kejayaan suami. Namun sering tidaklah mudah bagi Slamet bila melihat, betapa merdeka dan tangkas si Duku, seolah-olah tanpa Slamet pun ia mampu maju.” (Genduk Duku, hlm. 49)

Kebencian Genduk Duku terhadap Wiroguno, pengingkar-annya terhadap dunia priyayi tidak bisa lain harus dipandang se-bagai perwujudan keinginan Genduk Duku untuk tidak dikuasai orang lain (baik secara langsung maupun secara tidak langsung). Sikap Genduk Duku dan Slamet yang pasrah sumarah, percaya bahwa hidup hanya untuk mampir ngombe, serta banyaknya pan-dangan masyarakat Jawa yang terungkap dalam novel ini mampu memberi aksentuasi latar lokal Jawa. Hubungan sosial yang ber-makna lokal dapat pula diperhatikan dari sikap-sikap Genduk Duku dan Slamet terhadap Putri Arumardi, Nyi Pahit Madu, dsb. yang selalu bersikap sendika dawuh.

3.1.5 Lusi Lindri

(39)

Konsep ini muncul secara implisit dalam kutipan di bawah ini. “Apakah wanita yang pernah dipaksa, tetapi akhirnya setia dan menikmati kelonan pembunuh suami pertamanya itu, ikut bersalah juga selama tujuh belas tahun menghibur si algojo agung dengan bukit-bukit lezat dan lembah-lembah sarinya? Sampai mana manusia bersalah atau tidak bersalah dalam susunan-susunan hidup bersama si kuat makan si le-mah, yang boleh jadi mudah dicari alas-alas pengesahannya, tetapi yang nyatanya menjerumuskan sekian puluh ribu orang-orang besar dan kecil, dibantai, dibakar, digilas, diper-kosa? Hanya Allah Hyang Mubeng Rat memiliki hak wewe-nang mutlak menjatuhkan kepastian salah satu atau tidak bersalah Itu benar. Tetapi apakah alasan lantas bukan sejenis perahu pesiar Segarayasa yang nikmat terbuai angin semilir, untuk melupakan tanggung jawab? Untuk pura-pura tidak tahu, bahwa Segarayasa nyatanya hanya mungkin terben-tangseluas sekian ribu esok, sesudah dibayar dengan biaya ratusan ribu kuli-kuli paksaan sesama warga nagari; kaum terpenggal yang dipegat mendadak dari istri dan anak-anak yang kelaparan, karena tiada yang bekerja di sawah ladang? Kuburan Ratu Malang ini telah dipugar, diperindah oleh se-orang suami yang tergila-gila pada satu wanita, tetapi mem-bunuh tiga ratus lima puluh wanita lain, yang sehari-harinya mengabdi dengan kesetiaan dan ketaatan perempuan. Mana nalar? Mana kunci kemacetan cita rasa yang sehat? Semua cucu, semua anak telah menjadi tumbal bagi sang pengasa di Plered. Tumbal pada hakikatnya dari suatu iklim jiwa Jawa yang melahirkan seorang raden mas Sayidin alias raden mas Jibus alias Mangkurat.”

(“Lusi Lindri”, Nomor 34)

(40)

tokoh Lusi Lindri dengan tokoh Mangkurat mengalami keter-putusan yang disebabkan oleh adanya faktor luar berupa kekuasa-an. Faktor ini merupakan satu kesatuan yang utuh dan memba-yangi tokoh-tokoh cerita sehingga dalam cerita “Lusi Lindri” tam-pak bahwa arus kehidupan bergerak dari kekuatan (power) dan kekuasaan.

(41)

Perlu diingat bahwa perubahan dalam watak tokoh cerita dapat terjadi bertepatan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam perkembangan alur. Akibat adanya suatu peristiwa (Luxemburg dkk., 1984:141) dapat mengakibatkan profil psikologis seorang tokoh berubah dan hubungan-hubungan antara berbagai tokoh dapat berubah pula. Sebaliknya, perubahan dalam watak seorang tokoh dapat mempengaruhi perkembangan peristiwa-peristiwa tersebut. Bagan III menunjukkan fase perubahan keberadaan Lusi Lindri dari objek menjadi subjek dalam relasinya dengan Mang-kurat. Kondisi ini membawa dampak pengelompokan tokoh, yakni tokoh protagonis dengan tokoh komplementer yang beroposisi dengan tokoh antagonis.

Dalam Genduk Duku, tokoh protagonis Genduk Duku me-rupakan tokoh yang berusaha menciptakan harmoni (keseimbang-an) hubungan antara kekuasaan dan prestise (harga diri), bergerak dari salah satu sikap pandangan hidup masyarakat Jawa: ngono yo ngono ning ojo ngono. Beban tersebut dikenakan kepada Lusi Lindri yang sejak semula dipersiapkan Mangunwijaya untuk mengganti-kan Genduk Duku dalam menghadapi kekuasaan.

(42)

hal ini dapat diamati lewat makna kekalahan Mangkurat dan per-nyataan dalam kutipan berikut ini.

“Ya, tak ada kesimpulan lain: Mangkurat telah tamat. Raja Agung yang masih dapat disebut Susuhunan Senapati ing Alaga yang terakhir bernama Nyakrakusuma. Sesudah itu tinggal kubangan para cacing pita. Bersama setiawan Luwak-Luweng, Lusi dan Peparing masih ingin berusaha tetap men-jadi manusia wajar saja, yang tak berselera memakan orang lain.”

(“Lusi Lindri”, No. 83)

Pemberontakan Lusi Lindri terhadap dunia kaum Istana Mangkurat di samping dapat ditafsirkan sebagai salah satu wujud perlawanan terhadap kekuasaan yang dipaksakan, juga sekaligus menghadirkan Lusi Lindri sebagi figur wanita Jawa yang kontro-versial, berbeda dengan kebiasaan wanita Jawa yang merasa bang-ga jika dapat hidup di lingkunbang-gan kaum bangsawan.

“Maka jelaslah sekarang mengapa tersiar desas-desus, bahwa Istana sedang mempersiapkan lomba besar-besaran untuk mencari dua ribu calon di dalam negeri sendiri yang paling ayu dan ditaksir paling memenuhi selera putera Mahkota. “Hoahaha, mampus kau Lusi. Terang gadis seperti kamu ini tidak lulus dalam saringan. Hohaha. Apa Tidak menyesal?” “Satu hembusan nafsu pun, pangeran, hambamu tidak pernah dibisiki gagasan apalagi keinginan untuk dipakai oleh orang seperti putera mahkota.”

(“Lusi Lindri”’ No. 49).

Kutipan di atas mengisyaratkan penolakan tokoh protagonis terhadap rasa keunggulan, nafsu kuasa Mangkurat, dan penging-karan terhadap pandangan bahwa wanita di seluruh kerajaan ada-lah milik susuhunan.

(43)

impli-sit dapat dipahami lewat penampilan citra Lusi Lindri sebagai tokoh protagonis, di samping bisa ditelusur dari pandanga-pan-dangan tokoh komplementer terhadap Lusi Lindri sebagai wanita perkasa, wanita luar biasa yang mampu membugilkan siapa sebe-narnya raden Jibus Mangkurat, membugilkan segala bentuk kekua-saan sewenang-wenang (“Lusi Lindri”, no. 76). Ada benarnya jika Ratna (1985:165) menyatakan bahwa roman-roman sesudah perang banyak membicarakan usaha wanita dalam mengenali hak dan ke-wajiban yang sama dengan pria, wanita bukan lagi sebagai anta-gonis semata, tetapi seharusnya dapat berfungsi sebagai protaanta-gonis dalam masyarakat dan rumah tangga, demikian juga dalam cerita rekaan. Dalam analisis ini, kondisi tersebut tergambar lewat ung-kapan kegelisahan Lusi Lindri.

“Benarkah manusia hanya selembar wayang kulit kerbau yang ditatah berlobang, yang kaku menunggu tertancap di

gedebog pisang, dan tinggal dimbil digerak-gerakkan dan di-tempeli bincang bicara dari luar karena dia endiri bisu tuli? Berulang-ulang ibunya telah mewaeiskan riwayat Roro Men-dut yang cerdas berani; yang tak gentar melawan kehendak seorang panglima besar berbalatentara ratusan ribu perwira dan prajurit gagah berserta ratusan moncong meriam; seorang gadis teladan yang sadar resiko memilah sendiri siapa yang boleh mengairi sawah raganya, keris berpamor apa yang diizin-kan beristirahat dalam warangka jiwanya,”

(“Lusi Lindri”, No. 50).

Kekuatan Lusi Lindri mempertahankan kehadirannya meng-akibatkan eksitensi Mangkurat dalam relasi oposisi dengan Lusi Lindri tidak lebih sekedar keris beracun warangan (“Lusi Lindri”, No.22), seorang berjiwa cebol yang selalu merasa takut di luar ista-na (“Lusi Lindri”, No. 36), bunglan muda yang sudah tidak dapat berpikir waras (“Lusi Lindri”, No. 53).

(44)

Nyai Rara Kidul sebagai kekasih dan pemberi kesaktian kepada Panembehan Senapati ing Alaga beserta seluruh keluarga raja keturunannya., kepercayaan kepada Mbah Petruk si Merapi ke-kasih ratu Samudere Selatan, penggunaan ungkapan perumpama-an mengenai tokoh cerita yperumpama-ang selalu dikaitkperumpama-an dengperumpama-an tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan. Latar lokal yang bermakna sosial tercermin dari hubungan abdi dan raja, hubungan wong cilik de-ngan pryayi, suatu hubungan yang menghendaki sikap sendika da-wuh dan sikap hormat yang mendalam.

3.1.6 Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari

Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari

merupakan dua dari trilogi novel Ahmad Tohari. Novel lainnya dalah Jentera Bianglala diterbitkan Gramedia pada tahun 1986. Trilogi novel Ahmad Tohari tersebut mampu memberikan corak yang spesifik dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, baik jika ditinjau dari segi permasalahan maupun segi latar.

Lewat Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari, Amad Tohari berusaha menyingkap kehidupan ronggeng di kalangan masyarakat Jawa yang nrimo ing pandum; kehidupan ronggeng yang harus dimulai dengan upacara bukak klambu hingga bersedia menjadi pelaku dalam upacara gowokan. Linggar Sumukti (1985) mengemukakan bahwa upacara bukak klambu merupakan upacara yang harus dijalani oleh calon ronggeng di Banyumas. Infor-masi lain menyebutkan bahwa konon gowokan berasal dari kata

gowok yang berarti ‘bilik’ atau ‘kamar’ yang sengaja dibuat sempit. Gowok ini dipergunakan latihan seks oleh seorang pemuda yang siap memasuki jenjang perkawinan. Pelatihnya adalah wanita de-wasa yang dianggap mempunyai pengalaman luas di bidang seks yang sengaja ditugaskan melakukan “pendidikan”. Kegiatan dalam

(45)

di sekitar daerah Banyumas. Dugaan ini diperkuat dengan laporan Sutrisno (1983:10) yang menyatakan bahwa cerita tentang Srintil adalah kisah kehidupan ronggeng di Dukuh Paruk, sebuah desa kacil di Purwokerto, karisidenan Banyumas. Dengan pernyataan ini bukan berarti bahwa ronggeng hanya ada dan hidup di sekitar Banyumas. Di Cirebon pada tahun 1939 muncul istilah ronggeng kontrak, di samping itu muncul istilah ronggeng kaler (Ciamis), long-ser (Priangan Timur) dan kliningan (Cielungsi, Bogor). Hal ini setidak-nya membuktikan bahwa kesenian ronggeng hidup subur di dae-rah-daerah di Pulau Jawa. Jelas kiranya bahwa pemasalahan yang ditampilkan Ahmad Tohari adalah permasalahan kehidupan rong-geng dengan latar budaya Jawa.

(46)

Sebagai tokoh dengan muatan nilai-nilai tradisi, Srintil ber-usaha bersikap konform terhadap keadaan, percaya kepada Karta-reja bahwa ia dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Seca-menggala dengan tugas menjadi ronggeng (Ronggeng Dukuh Paruk, hlm. 23), bersedia menjalankan upacara sakral beruapa pemandian di depan makam Ki Secamenggala dan melakukan upacara bukak klambu agar benar-benar dapat diakui sebagai ronggeng di Dukuh Paruk. Srintil menjadi unsur paling penting bagi Dukuh Paruk, ia hidup di atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru yang sudah ditentukan, cetak biru seorang ronggeng.

Perkembangan watak Srintil secara penuh terlihat dalam

Lintang Kemukus Dini Hari. Relasi oposisi yang terjadi antara Srintil dengan Rasus, Srintil dengan lingkungannya, mampu memper-lihatkan eksistensi ronggeng dengan segenap persoalan yang harus dihadapi dan menghadirkan konflik yang berkepanjangan. Untuk memberi kesan dinamis, Srintil melakukan pengingkaran terhadap tradisi. Pengingkaran ini lebih terasa disebabkan oleh desakan emosi, bukan atas dasar adanya kesadaran untuk melaksanakan proses ‘kebebasan dari’ ke proses ‘kebebasan untuk’. Jadi, pembe-rontakan yang dilakukan Srintil berbeda dengan pembepembe-rontakan yang dilakukan oleh Roro Mendut (Roro Mendut) maupun Genduk Damirin (Generasi Yang Hilang).

(47)

lainnya. Pengungkapan latar semacam ini merupakan hal yang menarik karena sebelumnya hampir tidak ada karya sastra Indo-nesia yang mamanfaatkan dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai unsur latar cerita. Dalam Lintang Kemukus Dini Hari, pelu-kisan latar alam sangat terasa kaitannya dengan penggambaran emosi tokoh cerita.

“Srintil meneruskan perjalanan ke rumah Tampi hendak meng-ambil Goder. Masih di dekat rumah Sakum dia melihat sepa-sang bunglon berkejaran di ranting pohon dadap. Yang betina lari tunggang-langgang lalu melompat ke dahan lain. Yang jantan mengejar, ragu-ragu lalu menyusul melompat. Kali ini dia luput dan terbanting ke tanah. Diam dan seakan-akan mati. Warna kulitnya yang semula hijau terang perlahan-lahan ber-ubah warna tanah. Binatang itu baru bergerak setelah langkah Srintil begitu dekat. “Bila Kang Sakum tidak picek tentu dia akan berkata kepadaku; jangan membabi buta mengejar orang yang lari. Nanti terbanting seperti bunglon itu.”

(Lintang Kemukus Dini Hari, hlm. 92)

Sebagai sosok wanita Jawa, Srintil menunjukkan sifat yang khas; pasrah dan nrima. Sikap-sikap ini sekaligus mewakili pandang-an masyarakat Dukuh Paruk ypandang-ang percaya bahwa semua kegetirpandang-an merupakan bagian garis hidup yang harus dilalui. Dalam hidup ini orang harus nrima ing pandum; ikhlas menerima jatah (Lintang kemukus Dini Hari, hlm. 53). Penyelesaian konflik (baik konflik da-lam maupun konflik luar) yang diada-lami Srintil tidak lepas dari sikap nrima dan tradisi Dukuh Paruk yang mengajarkan bahwa hidup mesti demikian adanya, hak hanya kelihatan samar di ba-wah sikap yang nrima ing pandum (hl. 188). Usaha Srintil untuk me-milih, menentukan sikap menolak kemauam “priyayi” akhirnya ter-halang oleh sikap pasrah dan pandangan Srintil serta masyarakat Dukuh Paruk pada umumnya bahwa sesuatu itu terjadi karena kehendak sang Mahasutradara.

Latar lokal di samping tergambar melalui sikap Srintil yang

(48)

juga tercermin melalui kepercayaan masyarakat Dukuh Paruk terhadap keramat makam Ki Secamengggala. Di samping itu, seloroh cabul, sumpah serapah, dan kehidupan ronggeng lengkap dengan calungnya adalah unsur-unsur penting dari sistem nilai di wilayah Dukuh Paruk, semacam etos kebudayaan masyarakat padukuhan terseebut. Latar lokal dalam novel ini diperkuat oleh tradisi gowokan yang pernah membudaya di Banyumas.

3.1.7 Jantera Bianglala

Permasalahan dan latar geografis novel ini tidak jauh berbeda dengan dua novel di atas. Dalam novel ini, proses perubahan dari wanita menjadi perempuan terlihat dengan jelas. Untuk memfo-kuskan pembicaraan perlu kiranya dikemukakan terlebih dahulu perbedaan pengertian antara betina – perempuan – wanita (lihat Junus, 1983:21—36). Pengertian betina lebih dihubungkan dengan binatang, mempunyai naluri kebinatangan. Hubungan seks lebih merupakan pemuasan hasrat seks yang tidak diformalkan melalui perkawinan. Pengertian perempuan dapat berarti “pengrumahan”, yaitu merupakan bagian dari suatu kehidupan rumah, terpisah dari dunia luar rumah: bekerja dan bermain. Dalam tataran ini perempuan bertugas untuk melayani suami yang didapat dari per-kawinan. Perempuan bertugas untuk melahirkan keturunan (seba-gai tugas utama). Pengertian wanita ada kaitannya dengan rumah tangga, tetapi tidak sekedar berarti “pengrumahan”, sebab dalam perkawinan baik pria maupun wanita mempunyai tanggung jawab dan hak yang sama tanpa ada yang lebih berkuasa. Hubungan yang terjadi lebih ditekankan kepada aspek cinta, saling menghargai, dan bukan kepada keinginan untuk mendapatkan keturunan. Defi-nisi ini memberi pengertian bahwa wanita bukan milik pria seba-gaimana perempuan.

(49)

Proses peralihan Srintil dari kondisi /+alam/ atau betina ke kondisi /-alam/ atau perempuan merupakan lompatan yang penuh perjuangan dan berdasrkan cita-cita untuk mewujudkan dirinya sebagai perempuan somahan, bukan menjadi pemangku naluri primitif, tetapi menjadi inti kelembagaan perempuan. Hal ini dapat dimengerti karena pada hakikatnya proses memperempuankan sekaligus bersrti membendung kekuatan alami (Junus, 1983:29). Kehadiran Goder dan kepahitan sejarah hidup Srintil dapat diang-gap sebagai faktor yang mempertegas penghilangan suasana / +alam/. Ada kondisi spesifik yang menyebabkan Srintil tidak akan pernah menjadi perempuan dalam pengetian memiliki suami dan mempunyai keturunan. Kondisi yang secara langsung mempenga-ruhi keberadaan Srintil adalah kepergian Rasus dari Dukuh Paruk. Rasus sebagai tokoh pengubah (agent of change) tetap membiarkan Srintil menjadi ronggeng; sekaligus mengelak dari pepesten Dukuh Paruk yang memberi pertanda bahwa dirinya yang mampu meng-ubah kondisi Srintil dari suasana /+alam/ ke suasana /-alam/. Srintil menerima akibat dari penolakan Rasus, dan perkawinan ting-gal merupakan tragedi. Kesadaran Srintil akan pengertian menjadi istri (seorang) laki-laki tertentu adalah inti keberimbangan antara keperempuanan dan kelelakian (Jantera Bianglala, hlm. 129), meru-pakan harapan yang tidak pernah terwujud sekalipun di Dukuh Paruk terjadi perubahan sosial yang sanggup menggoncang nilai-nilai tradisi.

Proses peralihan Srintil dari betina ke perempuan dapat dicer-mati lewat kehadiran tokoh Goder sejak dalam Lintang Kemukus Dini Hari dan munculnya tokoh Bajus dalam Jantera Bianglala. Tokoh Goder memunculkan suasana “pengrumahan” sehingga Srintil merasa mencapai fitrah keibuannya, masuk ke dalam suasana /-alam/. Tokoh Bajus hadir dalam kenyataan Srintil, dimanfaatkan pe-ngarang untuk membuktikan keperempuan Srintil dan mencipta-kan suasana trgis. Bajus hadir sebagai laki-laki tanpa keperkasaan untuk berhadapan dengan lawan jenisnya.

Latar lokal tercermin melalui sikap hidup Srintil yang nrima

(50)

dijalani-nya adalah peran dalam sisi aib kehidupan (Jantera Bianglala, hlm 66). Peran sebagai ronggeng dan penghuni tahanan merupakan dua sisi aib kehiduapan yang ternyata tidak pernah membebaskan Srintil dari tragedi walaupun ia sudah berusaha untuk mengangkat harkat dirinya, berusaha lepas dari kerangkeng yang hanya mungkin ter-kuak apabila Srintil bisa membuktikan dirinya bukan lagi duta keperempuanan bagi kelakian yang umum dan telanjang, melain-kan duta keperempuanan bagi seorang laki-laki tertentu (Jantera Bianglala, hlm. 75). Kegagalan Srintil dalam membuktikan dirinya sebagai perempuan menyebabkan ia harus menjalani pakem dalam sisi aib kehidupan yang lebih dalam lagi, hidup dalam keadaan martabat kemanusiaan.

Pergeseran nilai sosial tampak dengan menyusutnya keper-cayaan masyarakat Dukuh Paruk terhadap jimat, mantra-mantra, makam Ki Secamenggala, dan perubahan jalan hidup Srintil dari suasana /+ alam/ ke suasana /- alam/. Hal ini terjadi karena masuk-nya modernisasi ke Dukuh Paruk yang secara langsung mengaki-batkan perubahan pandangan hidup masyarakat yang semula bang-ga terhadap nilai-nilai tradisi akhirnya dipaksa berkenalan denbang-gan nuilai-nilai baru yang dirasa lebih maju. Menurut Hassan (1977:33), bagaimanapun juga proses perubahan sosial dalam masyarakat akan tetap terjadi karena diakibatkan oleh sentuhan-sentuhan de-ngan dunia luar yang tidak mungkin dapat dihindari sepenuhnya. Dari uraian di atas dapat ditarik kejelasan bahwa dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari berhasil mengangkat permasalahan ronggeng lengkap dengan tradisinya.

3.1.8 Generasi yang Hilang

(51)

meng-agungkan derajat kebangsawanan. Relasi hubungan kedua tokoh ini menimbulkan berbagai konflik yang mampu menciptakan ber-bagai tragedi.

Genduk Darmirin merupakan tokoh kontroversial dengan pengingkarannya terhadap pandangan orang Jawa yang mengang-gap bahwa dunia priyayi merupakan bentuk puncak dari apa yang menjadi angan-angan mereka. Seorang perempuan dikatakan ber-untung atau berhasil hidupnya jika bergaul dekat dengan bangsa-wan dan melahirkan bayi keturunannya. Derajat kebangsabangsa-wanan merupakan jaminan hidup, kekayaan, dan kekuasaan (Generasi Yang Hilang, hlm. 32). Orang kebanyakan hanya budak, hanya saksi, tidak berhak dan tidak dimintai pertimbangan (Generasi Yang Hilang, hlm. 112). Penolakan terhadap derajat kebangsawanan tersebut mengisyaratkan bahwa Genduk Darmirin merupakan sosok wanita Jawa masa kini yang memiliki ciri-ciri cerdas, bersi-kap kritis terhadap kepincangan-kepincangan dalam lingkungan sosialnya, berani memilih suatu sikap dengan tidak begitu saja tun-duk sebagai seorang gadis Jawa yang dengan kuat diikat oleh keten-tuan-ketentuan tradisi Jawa.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan paparan latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah “Aspek Moral dalam Novel Hafalan Shalat Delisa

Novel Centhini dipilih sebagai objek penelitian dengan alasan bahwa novel tersebut merupakan novel lokal Jawa yang tidak hanya mengenai sastra atau seni, tetapi

Penelitian ini bertujuan untuk 1) memaparkan latar sosio-historis pengarang novel Surat Dahlan, 2) memaparkan struktur novel Surat Dahlan, 3) memaparkan nilai

penulis merasa perlu menganalisis warna lokal yang terdapat dalam novel Isinga. Ketiga , ceritanya yang mengandung wawasan kebudayaan membuat novel ini dapat dijadikan bahan baca

Religiusitas yang muncul dalam novel Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo umum berpuncak pada kehilangan pegangan hidup, baik yang dilakukan oleh tokoh

Ruang lingkup permasalahan dalam skripsi ini adalah menganalisis latar belakang penyakit hiperseksual yang diderita oleh tokoh Yuriko Hirata dalam novel Grotesque

Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah Aspek Moral dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan

Secara khusus, adalah (1) untuk mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar yang membangun struktur novel Bunga-Bunga Kertas, (2) untuk menemukan hubungan