• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KARISMATIK DALAM GEREJA

A. Karismatik Katolik

3. Ciri Khas Karismatik: Buah-buah Roh dan Bahasa Roh

Ensiklik itu menunjukkan bahwa Bapa Paus sungguh menerima dan bahagia menyambut hadirnya Persekutuan Doa Karismatik Katolik yang memprioritaskan doa sebagai tanggapan dari karunia-karunia yang diberikan Roh Kudus. Pada umumnya, dalam PDKK umat mulai membagi-bagikan doa bersama dengan saudara mereka di bawah bimbingan Roh Kudus serta kesadaran akan kedatangan Yesus (Suwartinah,1999: 86).

3. Ciri Khas Karismatik: Buah-buah Roh dan Bahasa Roh a. Buah-buah Roh

Gerakan karismatik berangkat dari mendasarkan diri pada roh kudus dan karisma rahmat roh kudus. Para karismatik percaya bahwa hanya roh-lah pemberi karunia karisma. Allah yang hidup menganugerahkan karisma kepada setiap orang beriman seturut kehendak-Nya, “hendaknya setiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan baginya” (1 Kor 7:17) dan setiap orang telah beroleh pengurapan dari Roh Kudus.

Buah-buah Roh kudus adalah: berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan, karunia iman yang meliputi kuasa untuk mengadakan mukjizat, dan bernubuat, dan karunia pembeda roh yaitu karunia berbahasa roh dan menafsirkan bahasa roh “dan semuanya itu dikerjakan oleh roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendakinya” (1 Kor 12:7-11). Karisma penyembuhan badani serta kerasulan kasih kemanusiaan berasal dari roh kudus. “Sebab roh yang sama memberikan karunia untuk menyembuhkan dan melakukan mukjizat” (1 Kor 12:9-13 ).

 

Karya Roh Kudus semakin nampak bekerja menghasilkan buah-buah yang dapat dirasakan umat. Buah yang secara alami berbuah karena rahmat yang dari Roh Kudus sendiri. Buah-buah Roh menurut Gal 5:19-23adalah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kesetiaan, kelemah-lembutan, kebaikan, dan penguasaan diri.

1) Kasih

Kasih (agape) merupakan buah pertama dan terutama, menjadi sumber mengalirnya semua buah yang lain (Gal 5:14; bdk. 1 Kor 13). Kasih merupakan “ukuran dan tujuan kemerdekaan”, sebab setiap orang beriman yang telah dibebaskan dari cengkraman hukum taurat, umat harus saling melayani dalam kasih dan ini menjadi ukuran bagaimana mereka mengasihi sesamanya. Kasih adalah rahmat yang melebihi semua karunia rohani, melebihi iman dan harapan sesuai dengan pernyataan dalam Kitab Suci pada 1 Kor 13:13, ”Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (Mariella dkk., 2009: 29).

2) Sukacita

Sukacita ini biasanya berhubungan dengan Allah, sukacita religius. St. Paulus melukiskan sebagai sukacita dalam Tuhan pada suratnya kepada jemaat Filipi 2:1-3 yang berbunyi:

Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.

 

Inilah sukacita bagi orang beriman yang memasrahkan dirinya kepada Allah Sang Pencipta (Mariella dkk., 2009: 29). Sikap menjadi hamba itu adalah lambang sukacita sejati karena seperti meneladani yesus sendiri hendaklah kita menjadi pelayan bagi orang lain. dengan pelayanan berarti kita melayani Allah sendiri yang hadir dalam diri orang tersebut.

3) Damai sejahtera

Bahasa Ibrani ‘shalom’ berarti lebih dari sekedar tiadanya perang atau masalah. Secara positif kata ini mengacu pada: segala sesuatu yang utuh, kesejahteraan, ketenangan pikiran karena sadar akan hubungan yang benar dengan Allah dan sesama. Karena itu dalam Gereja setiap orang beriman “harus berusaha memelihara kesatuan roh dalam ikatan damai” (Ef 4:3). Sebab semuanya dipanggil kepada kedamaian Kristus sebagai anggota-anggota dari satu tubuh (1Kor 12). Ciri dari karisma Roh Kudus sejati ialah membuat damai sejahtera,

shalom. Shalom sejati, yang berasal dari karisma Roh Kudus, adalah ciri Kerajaan Allah yang dibangun dari penebusan Kristus dan karunia-karunia Roh. Memang damai sejahtera tidak dapat dipisahkan dari sukacita Injil dalam Roh Kudus. Kerajaan Allah bukanlah soal makan dan minum, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (Mariella dkk., 2009: 29).

4) Kesabaran

Berjiwa besar atau pertama-tama kesabaran adalah kualitas Allah sendiri (Kel 34:6). Arti etimologis dapat dilihat dalam dua segi: yang pertama adalah tawakal menderita, yang berarti tahan penderitaan; dan yang kedua adalah kesabaran dalam menanggung kesalahan tanpa dendam atau marah.

 

Allah itu penuh kebaikan, toleransi dan panjang sabar (Rm 2:4). Kebaikan Allah yang mengandung kesabaran di dalamnya hendaknya membawa orang kepada pertobatan (Mariella dkk., 2009: 29).

5) Kemurahan

Istilah ini hanya muncul dalam tulisan St. Paulus. Istilah ini menunjuk kepada sikap penuh rahmat dan tindakan kepada para pendosa. Dalam diri Yesuslah tindakan kemurahan Allah mencapai puncaknya. Dalam sengsara dan wafat Yesus (2 Kor 1:5), Tuhan menjadi Mahamurah. Setiap orang beriman, yang mengalami kemurahan Allah dalam Kristus, seyogyanya mendandani diri dengan kemurahan hati dan berlaku baik seorang kepada yang lain (Mariella dkk., 2009: 30).

6) Kesetiaan

Kesetiaan adalah kualitas yang sangat diperlukan bagi seorang pelayan danpengajar (1 Kor 4:2;bdk. 2 Tim 2:2; 1 Tim 3:2-11). Yesus sendiri setia kepada Bapa untuk membebaskan manusia dari kutuk hukum taurat dengan wafat di kayu salib (Gal 3:13), dan Yesus datang sebagai pelayan sebagaimana yang dilakukannya kepada para rasul dengan membasuh kaki mereka (Mat 20:28) dan mengajar. Sebagai murid-murid Yesus, kita diperintahkan untuk mewartakan-Nya (Mat 28:19) melalui sikap dan tindakan kita dalam keseharian (Mariella dkk., 2009: 30). Selain itu, dalam Kisah Para Rasul, jemaat perdana memberikan suatu teladan bagi kita untuk sehati sejiwa dalam berdoa (Kis 1:14) dan sehati sejiwa

 

dalam hal material sehingga kekayaan mereka adalah kekayaan bersama (Kis 4:32). Kesetiaan untuk mengikuti Yesus ini menghasilkan buah limpah dengan bertambahnya anggota jemaat di seluruh pelosok negeri.

 

7) Kelemah-lembutan

Kata ini jangan ditafsirkan sebagai kurangnya semangat, kekuatan atau energi, tetapi harus diartikan secara positif sebagai sikap lemah-lembut dan penuh pengertian terhadap orang lain seperti tertulis dalam 2 Tim2:25: ”dan dengan lemah-lembut dapat menuntun orang yang suka melawan, sebab mungkin Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan memimpin mereka sehingga mereka mengenal kebenaran.” Dalam arti religius kelemah-lembutan sekaligus mengandung makna taqwa, yakni keyakinan akan kebaikan dan kemampuan Allah, bersama dengan memasrahkan diri kepada Allah. Dalam kehidupan orang Kristen kelemah-lembutan merupakan kerendahan hati terhadap kehendak Allah, yang tampak dalam kesadaran, rendah hati dan ketekunan dalam menderita, sekali pun mungkin diperlakukan tidak adil seperti ada tertulis dalam 2 Kor 10:1: ”Aku, Paulus, seorang yang tidak berani bila berhadapan muka dengan kamu, tetapi berani terhadap kamu bila berjauhan, aku memperingatkan kamu demi Kristus yang lemah lembut dan ramah” (Mariella dkk.,2009: 30).

8) Kebaikan

Kebaikan adalah kekuatan untuk melakukan apa yang benar secara moral. Ia mempertimbangkan apa yang selama-lamanya merupakan hal yang terbaik bagi

 

orang lain. Jika hal buruk terjadi, itu semua bertujuan untuk mendatangkan kebaikan bagi kita, yaitu agar manusia serupa dengan Kristus. Dalam Rm 8:29 ditegaskan, “Sebab semua orang yang dipilihnya dari semula, mereka juga ditentukannya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anaknya itu, menjadi yang sulung diantara banyak saudara”. Dalam Rm 8:30 juga dinyatakan bahwa kebaikan adalah anugerah dari Kristus, sehingga manusia akan dibenarkan dan dimuliakan dengan kasih-Nya yang telah dinyatakan melalui wafat-Nya di kayu salib (Dodik Haryono, 2013: 1).

 

9) Penguasaan diri

Penguasaan diri adalah kualitas menguasai diri (mengontrol diri) yang muncul dalam 1 Ptr 1:5. Kata penguasaan diri tidak pertama-tama tertuju kepada dorongan sexual belaka, meskipun bisa dikaitkan, namun tidak eksklusif, hal-hal yang harus dikontrol dan dikuasai ialah segala dorongan diri, dorongan nafsu, dorongan kehendak yang meledak-ledak baik di dalam diri sendiri maupun berhubungan dengan orang lain, misalnya: dorongan untuk mabuk-mabukan, dorongan sexual, kecenderungan marah, dll (Mariella dkk., 2009: 30).

 

b. Bahasa roh

Ciri khas Karismatik yang lain adalah bahasa Roh, yang diyakini sebagai bahasa dari Roh Kudus. Njiolah (2003: 5) menyatakan bahwa “Dalam kegiatan Karismatik selalu ada yang menerima bahasa Roh dan tidak seorangpun mengerti apa yang diucapkan atau arti dari bahasa Roh tersebut”.

 

1) Pengertian bahasa Roh

Njiolah (2003:1) menyatakan bahwa dalam bahasa Yunani, “bahasa roh” disebut ‘glossolalia’,yang berasal dari kata ‘glosa’ yang berarti ‘lidah’ dan kata ‘lalei’ yang berarti ‘berbicara’. Jadi ‘glossolalia’ secara harafiah berarti ‘berbicara dengan lidah’ atau ‘berkata-kata dengan bahasa’. Menurut konteks pemakaiannya, kata benda ‘glossa’ sendiri sesungguhnya dapat diartikan dalam arti pneumatologis yaitu ‘bahasa roh’, yang berfungsi sebagai wahana doa manusia kepada Allah.

St. Paulus mengartikan bahasa Roh itu sebagai bahasa malaikat (Njiolah, 2003: 6).‘Glossa’ dalam artian ‘bahasa roh’ atau ‘bahasa malaikat’ ini merupakan bahasa gaib yang sulit untuk dipahami, sehingga membutuhkan penafsiran atau penjelasan khusus. Keistimewaan bahasa gaib ini lazim diungkapkan dengan pengertian “berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru”. Fenomena bahasa gaib ini terdiri dari artikulasi lidah atau pengucapan kata-kata yang tidak jelas, sehingga sulit dipahami oleh pendengar. Bahasa gaib ini memang sering diucapkan oleh seorang Kristen saat mengalami kegembiraan yang luar biasa akibat kepenuhan Roh Kudus. Njiolah (2003: 12) menyatakan bahwa dalam Kitab Suci terdapat ayat yang menyatakan: “berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya (Kis 2:4)” dan “berkata-kata dalam bahasa Roh dan memuliakan Allah (Kis 10:46)” serta “berkata-kata dalam bahasa Roh dan bernubuat (Kis 19:6)” (Njiolah, 2003: 8).

Ketiga ayat di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa gaib ini kemungkinan berasal dari kuasa Roh Kudus. Menurut St. Paulus, bahasa gaib ini adalah suatu “karunia Roh”, karisma yang dianugerahkan kepada orang tertentu.

 

Menurut St. Lukas, St. Petrus maupun St. Yohanes, bahasa Roh tidak lain adalah karunia istimewa dari Roh Kudus untuk kepentingan pemberitaan Injil tentang Yesus Kristus. Seperti yang ditegaskan dalam Kis 1:8 yaitu “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.”

2) Asal-usul bahasa roh

Bahasa roh memang lebih populer di kalangan saudara kita Protestan, namun sebenarnya terdapat juga pada agama yang lain. Secara umum gejalanya adalah roh dari allah atau dewa memasuki tubuh orang tertentu dan berbicara melalui orang itu. Selama hal itu terjadi, orang itu tidak sadarkan diri. Pada umumnya, fenomena bahasa roh ini berupa “karunia Roh kenabian” yang memungkinkan orang untuk “bernubuat” seperti yang dinyatakan dalam 2 Ptr 1:21 yaitu: “sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” Fenomena kepenuhan roh ini sebenarnya sudah terjadi sejak zaman dahulu di antara para nabi dan orang-orang pilihan Allah (Njiolah, 2003: 6). Pemberian karunia Roh kenabian yang bersifat bebas dan gratis ini sama sekali tidak dapat dan tidak boleh dicegah oleh manusia.

3) Pemakaian bahasa roh dalam jemaat

Bahasa Roh pertama kali muncul dan dipakai oleh jemaat perdana di Yerusalem, pada saat perayaan hari Pentakosta (Kis 2:4). Sesuai dengan janji Yesus kepada para rasul, Yesus mengirimkan penghibur di tengah mereka dengan

 

lambang lidah-lidah api, sehingga kemudian para rasul tidak takut lagi dan mulai memberikan kesaksian ke seluruh bangsa. Bagaimana wujud bahasa Roh itu tidak ada orang yang tahu tetapi efek dari bahasa Roh tersebut dirasakan banyak orang.

Setelah mendengar perkataan para rasul, banyak orang yang terharu, tercengang dan memberikan diri dibabtis (Kis 2:7). Ini merupakan mukjizat yang sungguh nyata bagi para rasul. Para rasul juga seringkali menggunakan bahasa Roh dalam ibadat bersama dengan syarat ada yang menafsirkan sehingga semua pihak itu dapat mempersembahkan sesuatu demi pembangunan jemaat bukan pembangunan diri sendiri (Njiolah, 2003: 14).