• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KARISMATIK DALAM GEREJA

A. Karismatik Katolik

1. Sejarah Perkembangan Karismatik Dunia dan Indonesia

Walaupun menggunakan ritus ibadat, PDKK memiliki kekhasan, antara lain kesadaran akan karunia Roh Kudus dan bahasa Roh. Persekutuan Doa Karismatik Katolik memiliki dasar-dasar dari Tradisi Gereja yang mendukung terbentuknya kegiatan ini. Kegiatan ini bukanlah suatu kegiatan yang dibentuk karena kebetulan, namun benar-benar karena karya Roh Kudus yang memiliki sejarah umum dan sejarah khusus di Indonesia.

1. Sejarah Perkembangan Karismatik Dunia dan Indonesia

PDKK bukanlah sebuah komunitas yang muncul secara mendadak, dan langsung menjadi komunitas yang diterima oleh umat Katolik. PDKK memiliki perjalanan panjang untuk sampai pada penerimaan di kalangan umat Katolik sendiri dengan segala perubahan yang disesuaikan dengan tradisi Gereja Katolik. PDKK memiliki sejarah dunia yang lebih luas dan sejarah perjalanan bagaimana PDKK bisa sampai ke Indonesia.

a. Sejarah Perkembangan Karismatik Dunia

Deshi Ramadhani (2008: 35) menyatakan tentang asal-usul pembaruan kharismatik katolik sering ditunjuk sebuah peristiwa khusus yakni “Duquesne Weekend” (akhir pekan di Duquesne). Yang dimaksud di sini adalah sebuah retret akhir pekan yang diadakan oleh mahasiswa-mahasiswi beserta beberapa dosen dari Universitas Duquesne di Pittsburg, Amerika Serikat, pada 16-18 Februari 1967. Tanggal itu kemudian dikenal sebagai tanggal lahirnya pembaruan Karismatik Katolik. Sebenarnya, pembaruan karismatik ini memiliki dua makna yaitu jawaban Tuhan dari doa Paus Yohanes XXIII dan pemenuhan dari salah satu dokumen Konsili Vatikan II sendiri yaitu Lumen Gentium art. 12.

 

1) Jawaban Tuhan dari Doa Paus Yohanes XXII

Teks doa itu berbunyi demikian (Deshi Ramadhani, 2008: 60) :

Perbaruilah kejaiban-kejaiban-Mu pada hari ini, sebagaimana halnya dengan sebuah Pentakosta yang baru. Berikanlah kepada Gereja-Mu, agar dengan bersatu hati dab bertekun dalam doa bersama Maria, Bunda Yesus, dan mengikuti pimpinan Petrus yang terberkati, Gereja mampu mempercepat kerajaan Penyelamat Illahi kami, kerajaan kebenaran dan keadilan, kerajaan kasih dan kedamaian. Amin.

Pembaruan karismatik ini ternyata berawal dari sebuah buku yang dibaca oleh beberapa dosen Katolik di Universitas Daquesne Amerika Serikat dan beberapa imam. Buku ini berisi tentang pengalaman yang diceritakan oleh seorang Pendeta Pentakosta yaitu David Wilkerson. Dalam bukunya, ia yang berkarya di daerah dengan tingkat kriminalitas sangat tinggi berhasil melakukan pembabtisan Roh kepada para kriminal dan pencandu narkoba tersebut. Banyak orang mengalami pertobatan setelah pembabtisan Roh itu (Deshi Ramadhani, 2008: 48).

Para dosen dan beberapa imam yang juga membaca buku itu menjadi sangat tertarik dan mengalami kerinduan akan roh yang sama, yaitu Roh Tuhan sendiri, namun mereka bingung harus berbuat apa. Mereka ingin mengalami Pentakosta tanpa merubah atau menentang tradisi Katolik (Deshi Ramadhani, 2008: 51). Mereka tetap ingin memperjuangkan identitas Katolik, sehingga pada akhirnya, mereka mengadakan pertemuan tersebut yang diisi dengan penumpangan tangan dan berdoa berdasarkan empat bab dalam Kisah Para Rasul. Dalam doa tersebut, diawali dari beberapa mahasiswa yang merasakan gerakan kuat dari kehadiran Yesus, akhirnya semua dari mereka merasakan kehadiran Yesus dan mereka hanya memuji sepanjang malam, berdoa bahkan menangis sebagai ungakapan syukur mereka atas kehadiran Roh Tuhan sendiri.

 

Dalam proses kelahiran dan perkembangan Pembaruan Karismatik Katolik ada satu pengalaman penting yang dialami oleh banyak orang, yaitu pengalaman pertobatan setelah adanya pengalaman babtisan dalam Roh Kudus. Doa Paus yang sebelum Konsili ternyata langsung dijawab Tuhan setelah Konsili berakhir (Deshi Ramadhani, 2008: 61).

2) Pemenuhan dari Lumen Gentium art. 12

Deshi Ramadhani (2008: 62) menyatakan bahwa LG art. 12 berbunyi:

Selain itu, Roh Kudus juga tidak hanya menyucikan dan membimbing Umat Allah melalui sakramen-sakramen serta pelayanan-pelayanan, dan menghiasnya dengan keutamaan-keutamaan saja. Melainkan Ia juga “membagi-bagikan” kurnia-kurnia-Nya “kepada masing-masing menurut kehendak-Nya” (1 Kor 12:11)...”Kepada setiap orang dianugerahkan pernyataan Roh demi kepentingan bersama” (1 Kor 12:7). Agar karunia tersebut dijalankan dan dilaksanakan dengan baik dan untuk kepentingan bersama, maka diberikanlah seeorang yang dapat dan memiliki wewenang untuk mengontrol dan menguji para penerima karunia, seperti yang dinyatakan dalam dokumen ini:

Adapun keputusan tentang tulennya karisma-karisma itu, begitu pula tentang pengalamannya secara teratur, termasuk wewenang mereka yang bertugas memimpin dalam Gereja. Terutama mereka itulah yang berfungsi, bukan untuk memadamkan Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (1 Tes 5:12 dan 19-21).

Deshi Ramadhani (2008: 64) menyatakan bahwa atas dasar dokumen Lumen Gentium akan karunia Roh Kudus yang merupakan rahmat dari Tuhan yang dibagikan kepada umat dan adanya para hirarki yang menjaga dan mempertahankan karunia tersebut, maka Paus Yohanes Paulus II memberikan pernyataan yang semakin mendukung untuk berdirinya gerakan karismatik yaitu sebagai berikut:

 

Karena gerakan karismatik, sejumlah besar orang Kristiani, laki-laki dan perempuan, orang-orang muda dan orang-orang dewasa telah menemukan kembali Pentakosta sebagai sebuah kenyataan yang hidup dalam kehidupan mereka setiap hari. Saya berharap bahwa spiritualitas Pentakosta akan menyebar dalam Gereja sebagai sebuah dorongan yang diperbarui untuk doa, kekudusan, kesatuan, dan pewartaan (hal ini diucapkan beliau di lapangan St. Petrus pada tanggal 29 Mei 2004).

Dukungan kuat dari pemimpin tertinggi umat Katolik, yaitu Paus telah mejadi dasar bagi para imam untuk mendampingi Gerakan Karismatik Katolik ini yang mulai berkembang ini. Paus mengharapkan, yang tersebar bukanlah melulu Gerakan Karismatiknya namun lebih pada dorongan yang lebih kuat ke arah hal-hal baik itu sebagai buah nyata yang dihasilkan bagi pembaruan Gereja seperti tujuan diberikannya karisma itu, untuk pembangunan Gereja (Deshi Ramadhani, 2008: 65).

b. Sejarah Perkembangan Karismatik Indonesia

Dalam buku yang berjudul Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik, Deshi Ramadhani (2008: 65) menyatakan bahwa titik awal Karismatik Katolik secara resmi di Indonesia pada tahun 1976. Sebelum itu (tahun 1972) beberapa orang sudah memperkenalkan gerakan ini secara sendiri-sendiri. Persekutuan doa karismatik ini sudah diperkenalkan oleh seorang suster yang bernama Sr. Bernadette, RGS di Susteran Gembala Baik Jakarta namun kegiatan ini dihentikan (tidak jelas kapan waktunya) sesuai dengan permintaan Mgr. Leo Sukoto, SJ yang juga pernah belajar dari persekutuan doa karismatik katolik Immanuel di Bribbane, Australia di bawah koordinasi Brian Smith.

Persekutuan doa karismatik ini juga berkembang di Bandung dan Lembang yang dipimpin oleh Sr. Yohana, OCD namun dalam perjalanan muncul berbagai

 

persoalan. Pemimpin Karmel datang dari Roma, dan kepada Sr. Yohana diberikan dua pilihan: tetap tinggal dalam jalur spiritualitas Karmel atau pergi. Dan Sr. Yohana memilih keluar dari biara dan pergi ke Amerika Serikat padahal Sr. Yohana telah berinisiatif untuk mengundang Rm. Paul O’Brien, SJ (Superior SJ Thailand yang berdomisili di Bangkok) dan Rm. Herbert Schneider, SJ. (dosen Kitab Suci di Loyola School of Theology, Manila). Persekutuan doa ini juga ada Di Malang, Jawa Timur yang diusahakan oleh Rm. Yohanes Indrakusuma, O. Carm. Selain itu sebelum tahun 1976 sudah ada awam yang ikut dalam berbagai persekutuan doa karismatik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Krisriani yang lain. Setelah Sr. Yohana pergi, usulan ini diambil alih oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ dan meminta kepada kedua imam tersebut agar secara resmi memperkenalkan gerakan ini di Indonesia. Maka mulailah gerakan ini disusun dengan rangkaian pertemuan yang dimulai pada awal Mei 1976. Pertemuan ini berakhir pada tanggal 24-28 Mei 1976. Setelah selesainya pertemuan itu, dibentuklah sebuah kelompok inti yang terdiri dari 20 orang yang secara rutin mengadakan persekutuan doa ini, sehingga ada banyak umat yang tertarik dan peserta semakin bertambah banyak. Pada tahun 1983, Konferensi Wali Gereja Indonesia (waktu itu masih disebut sebagai MAWI) mengeluarkan dokumen resmi yang pertama yang berkaitan dengan pembaruan karismatik. Judul dokumen tersebut adalah Pedoman Pastoral Para Uskup Indonesia Mengenai Pembaruan Karismatik.

Sepuluh tahun kemudian (1993) KWI mengeluarkan sebuah surat gembala berjudul Aneka Karunia, Satu Roh: Surat Gembala Mengenai Pembaruan Karismatik Katolik. Surat gembala tersebut ditujukan kepada semua pihak secara umum dalam dokumen ini dikatakan bahwa “Gereja sekarang memahami ‘Babtis

 

dalam Roh’ sebagai doa permohonan iman yang sungguh-sungguh agar berkat rahmat baptis dan krisma, hidup umat digairahkan dan dipenuhi dengan Roh Kudus”. Dua tahun kemudian (1995), KWI mengeluarkan sebuah dokumen yang berjudul Pembaruan Hidup Kristiani Sebagai Karisma Roh: Pedoman Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia. Dokumen ini khusus ditujukan kepada mereka yang sudah terlibat dalam Pembaruan karismatik.