Geertz (1926‐1988), menjelaskan bahwa simbol dipakai untuk sesuatu objek, tindakan, peristiwa, keadaan atau relasi yang menjadi sarana arti simbol itu sendiri.
“Symbol is used for any object, act, event, quality, or relation
which serves as a vehicle for conception ‐‐ the conception is
the symbol’s “meaning.”104 Penjelasan ini memberi
gambaran tentang hubungan antar semua hal yang terjadi melalui ekspresi dan interaksi manusia dalam kebudayaan.
Untuk itu upaya memahami simbol pada sejumlah interpretasi dan implikasi yang lebih luas terhadap hal itu menjadi semacam lingkaran berulang. Hal itu berdasarkan "gagasan tentang simbol makna, bentuk, teks dan bahasa 104
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (London: Hutchinson & Co (Publishers) LTD, 1975), 91.
yang merupakan bagian dari kebudayaan untuk membangun masyarakat.”105
Dari “kebudayaan pula muncul norma‐norma, nilai‐ nilai dan tatanan hidup manusia bermasyarakat secara teratur. Untuk itu simbol dalam kebudayaan, adalah struktur arti dalam pengertian manusia untuk menginterpretasi pengalaman mereka dan perilaku sosial, sistem arti dari simbol, motif atau kebutuhan identik dengan elemen nilai sendiri dan peranan dari simbol dalam membentuk perilaku manusia.”106
105
Clifford Geertz, Local Knowledge (United States of America: Basic Books, 1983), 5. What one will find is a number of actual interpretation of something, anthropologizing formulations of what I take to be some of the broader implications of those interpretations, and a recurring cycle of terms— symbol, meaning, conception, form, text; culture—designed to suggest there is system in persistence, that all these so variously aimed inquiries are driven by a settled view of how one should go about constructing an account of the imaginative make‐up of a society.
106
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (London: Hutchinson & Co (Publishers) LTD, 1975), 5, 10‐11, 14, 44, 46, 52, 89, 144, 145. Culture is a context, something within which they can be intelligibly‐‐that is thickly‐‐ described; culture provides the link between what men are intrinsically capable of becoming and what they actually become; culture denotes an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbols; culture is an ordered system of meaning and of symbols, in terms of which social interaction takes place; culture is the framework of beliefs, expressive symbols, and values in
Menurut Geertz pengertian simbol dalam kebudayaan, maka berhubungan dengan sistem makna. Sebab hal itu selalu merupakan sistem makna (system of
meaning). Utuk itu sistem makna dapat bersifat kognitif atau
evaluatif.
Pada sisi kognitif maka sistem makna merujuk kepada sistem kepercayaan atau pengetahuan. Dalam hal ini kebudayaan akan menentukan pandangan dunia, paham kosmologis, atau pedoman metafisika. Pandangan dunia merupakan gambaran mengenai cara melakukan objek dalam kegiatan, tentang diri dan masyarakat. “While the
cognitive, existensial aspects have been designated by the
term “world view.” Their world view is their picture of the
way things in sheer actuality are, their concept of nature, of
self, of society.”107
terms of which individuals define their world, express their feelings and make their judgements; culture is the fabric of meaning in terms of which human being interpret their experience and guide their social action.
Pada sisi evaluatif adalah pengetahuan dan kepercayaan, untuk menyatakan nilai yang bersifat moral dan astetik. Oleh karena itu baik kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dan kepercayaan maupun sistem nilai yang dikomunikasikan melalui sistem simbol. Dalam hal ini kebudayaan menunjukkan etos yang adalah sifat, karakter dan kualitas hidup, kesadaran moral dan gaya estetik serta rasa di dalam lingkungan sosial suatu masyarakat.
the moral (and aesthetic) aspects of a given culture,
the evaluative elements, have commonly been
summed up in the term “ethos.” A people’s ethos is
the tone, character, and quality of their life, its moral
and aesthetic style and mood; it is the underlying
attitude toward themselves and their world that life
reflects.108
Geertz juga menjelaskan konsep‐konsep mengenai simbol dalam kesamaan arti sebagai tanda (sign), simbol
(symbol) dan ikon (icon) dalam deskripsi sebagai berikut.
Pertama, tanda adalah sesuatu menunjuk kepada sesuatu lain. Tanda selalu bersifat indikatif (revealing).
Tanda adalah sesuatu benda, peristiwa atau tindakan menjadi indikator bagi sesuatu lainnya.
It is used for anything which signifies something else
to someone: dark clouds are the symbolic precursors
of an on‐coming in. In others it is used only for
explicity conventional signs of one sort or another: a
red flag is a symbol of danger, a white of
surrender.109
Kedua, simbol adalah bentuk yang dapat dilihat merupakan ungkapan dari perasaan, perwujudan konkret dari ide, pikiran, pendirian, harapan atau kepercayaan.
“They are tangible formulations of emotions, abstractions
from experience fixed in perceptible forms, concrete
embodiments of ideas, attitudes, judgements, longings, or
beliefs.”110
Ketiga, ikon adalah istilah khusus yang digunakan untuk simbol suci.
Ikon menunjuk kepada sesuatu yang bersifat suci.
Juga menyatakan dan sekaligus menyembunyikan
sesuatu yang bersifat suci itu. Tetapi ikon lebih dari
109
Ibid., 127. 110 Ibid., 91.
sekedar tanda, sebab selain itu juga ia menyatakan
atau menyembunyikan sesuatu yang suci. Meskipun
demikian ia bukanlah substitusi atau pengganti dari
sesuatu yang bersifat suci.111
Geertz menunjuk kepada objek ikon yaitu, salib, rosario atau patung. Objek tersebut merupakan tanda yang lebih khusus menunjuk pada imaji tokoh, atau peristiwa religius. “Ikon juga dipakai untuk menunjuk kepada yang sakral, pada ritual menyatakan perasaan dan yang berhubungan dengan mite,”112
Di satu sisi Geertz menegaskan kebudayaan adalah sistem makna dan sistem nilai. Di sisi lain, sebab kebudayaan adalah sistem simbol. Pada keempat komponen itu terjalin hubungan antar satu dengan yang lain dalam bahasa
111 Ibid., 129.
It is a cluster of sacred symbols, woven into some sort of ordered whole, which makes up a religious system. For those who are committed to it, such a religious system seems to mediate genuine knowledge, knowledge of the essential conditions in terms of which life must, of necessity, be lived.
112
Ibid. But meanings can only be “stored” in symbols: a cross, a crescent, or a feathered serpent. Such religious symbols, dramatized in rituals or related in myths, are felt somehow to sum up, for those for whom they are resonant, what is known about the way the world is, the quality of the emotional life it supports, and the way one ought to behave while in it.
manusia. Kemampuan manusia untuk menggunakan bahasa, yang memungkinkan ia memberi makna sehubungan dengan semua komponen berkait dengan kebudayaan. Dengan sendirinya manusia dalam masyarakat akan menggunakan sistem makna di dalam lingkup kebudayaan megenai kehidupan, tentang dirinya, sesama dan kelompoknya.
Dengan demikian sistem makna itu adalah semiotik kebudayaan, sehingga merupakan bagian dari sistem budaya, sistem sosial dan sistem simbol itu sendiri. Oleh karena itu dapat terlihat dalam interaksi sosial, pola interaksi sosial dan struktur sosial sebagai hubungan antara perilaku dengan relasi sosial dan sistem nilai yang akan menentukan sikap sesuai dengan sistem makna pada simbol. Intinya, apa saja bentuk dari simbol adalah bagian dari sistem budaya, sistem sosial dan sistem simbol yang mengandung makna dan nilai dari unsur bahasa manusia dalam sesuai dengan kebudayaan dan masyarakat sendiri.
Kebudayaan menjadi jaringan‐jaringan di mana manusia dengan sendirinya menempatkan pengertian dalam putaran jaringan itu berkaitan
dengan sistem budaya dan sistem sosial serta sistem simbol. Dalam hal ini masing‐masing sistem itu tidak bersifat unilinear, di mana satu menentukan sesuatu lainnya secara satu arah pada makna dan nilai dari simbol itu, tetapi merupakan kesatuan pengertian dalam kebudayaan.113
Dengan kata lain bahwa, simbol menunjukkan kebudayaan sebagai penghubung antar sistem budaya dan sistem sosial serta sistem simbol, atau antara dunia gagasan dan perilaku tentang penggunaan simbol. Kebudayaan menentukan mengapa individu atau kelompok orang berpikir dengan cara tertentu dan bukan dengan cara lain.
Tentu saja terdapat banyak definisi kebudayaan menurut Geertz, tetapi yang terpenting adalah definisinya tentang kebudayaan yang dipandang membagi penggunaan simbol sesuai dengan pengertian tersebut sehubungan dengan aktivitas masyarakat. Kebudayaan sebagai tindakan
113
Ibid., 5. Geeertz himself argues for a ‘semiotic of culture.’ ‘Believing with Max Weber that man is an animal suspenden in webs of significance for himself has spain.’ He states ‘I take culture to the webs, and the analysis of it to be therefore not an experimental science in search of law but an interpretative one in search of meaning.
simbolik tidak lain dari rumusan simbol tentang aktivitas dan pengertian yang sangat sistematis. Dalam hal ini setiap kebudayaan akan berfungsi sebagai suatu konsep yang umum, menyeluruh tentang dunia dan susunan alam semesta dan dapat dipandang sebagai suatu “model tentang”/model of dan “model untuk”/model for dalam kenyataannya/model of reality. Untuk itu Geertz menjelaskan suatu “model tentang”/model of itu sebagai struktur simbol agar sesuai dengan struktur lain yang sudah ada. Dengan demikian pandangan harus disusun agar supaya “sesuai” dan dapat menerangkan dunia di mana manusia hidup. Seperti halnya teori hidraulik menjelaskan sebuah bendungan untuk mendirikannya atau membuatnya sesuai dengan kenyataan.
Namun demikian, sebagai suatu tindakan simbol kebudayaan juga dapat dipandang sebagai “model untuk”/model for agar “sesuai” dengan sistem simbol, seperti halnya sebuah bendungan dibangun menurut ketentuan yang terdapat dalam teori hidraulik. Dalam hal ini
“kebudayaan memberikan suatu model atau pola, yang menurut pola tersebut, masyarakat memaknai hubungan dengan sesamanya, interaksi dan relasi sosial serta perilaku dan aktivitas sosial.”114 Seperti halnya teori hidraulik tersebut menjelaskan sebuah bendungan untuk mendirikannya atau membuatnya berguna bagi kehidupan sesuai dengan kenyataan.
114
Ibid., 90. This point is sometimes, put in the form of an argument that cultural patterns are “models,” that they are sets of symbols whose relations to one another “model” relations among entities, processes of what—have‐‐you in physical, organic, social or psychological systems by “paralleling,” “imitating,” or “simulating” them. “The term “model” has, however, two senses—an “of” sense and a “for” sense—and though these are but aspects of the same basic concept they are very much worth distinguishing for analytic purposes.
In the first, what is stressed is the manipulation of symbols structure so as to bring them, more or less closely, into parallel with the pre‐established nonsymbolic system, an when we grasp how dams work by developing a theory of hydraulics or constructing a flow chart. The theory of chart models physical relationships in such a way‐‐that is, by expressing that structure in synoptic form‐‐as to render them apprehensible, it is a model of “reality.”
In the seond, what is stressed is the manipulation of the nonsymbolic systems in terms of the relationships expressed in the symbolic, as when we construct a dam according to the specifications implied in an hydraulic theory or the conclusions drawn from a flow chart. Here, the theory is a model for “reality.”
Teori Geertz yang menekankan format interpretasi terhadap kebudayaan mengenai simbol dapat dirangkumkan dalam tiga butir sebagai berikut.
a. Simbol sehubungan dengan objek, peristiwa, tindakan, keadaan atau relasi, yang merupakan bagian dari sistem budaya dan sistem sosial dari masyarakat.
b. Simbol menunjukkan sistem makna, yang dapat dilihat dari dua sisi yaitu pada sisi kognitif mengenai pengetahuan. Pada sisi evaluatif mengenai nilai. Keduanya dalam kenyataan kebudayaan dan masyarakat. c. Simbol sebagai tindakan simbolik kebudayaan berperanan
sebagai suatu “model tentang”/model of pengetahuan tentang simbol menunjuk kepada objek, tindakan (perbuatan), peristiwa, keadaan, relasi. “Model untuk”/model for, di mana pengetahuan menyatakan nilai pada interaksi dan relasi dalam masyarakat.
Teori‐teori tentang tanda dalam kesamaan dan kepadanan konsep simbol, bukan kemiripan bentuk luar atau makna harafiah dalam pandangan Emile Durkheim,
Edwyn Bevan, Mircea Eliade, Mary Douglas dan Clifford Geertz memperlihatkan sebuah kesimpulan yang logis bahwa, terdapat lebih dari satu paradigma yang memberi gambaran pemahaman tentang hal itu. Hal ini didasarkan pada tanda dalam pengertian semiotik kebudayaan, yang dijadikan sasaran untuk diteliti, diperhatikan dan sebagainya. Sebagaimana pengertian tanda sebagai nama diri, emblem, sesuatu yang berfungsi sebagai objek kepercayaan, objek yang sakral, ikon, objek (benda) apa saja pada tindakan, peristiwa, keadaan atau relasi. Ini berarti bahwa tanda sebagai sarana arti tanda itu sendiri. Selain sumber penelitian yang berbeda, juga hal yang mendasar dalam ketidak‐samaan konsep tanda sehubungan dengan realitas. Meskipun demikian masing‐masing teori tersebut tidak saling tertutup satu sama lain. Semua itu memiliki nilai kegunaan sebagai kerangka teoritik tentang tanda dalam pengertian semiotik. Masing‐masing teori akan dianalisa khususnya yang relevan dengan masalah penelitian disertasi.