BAB II
KERANGKA TEORITIK
Definisi ulos dalam bahasa Batak adalah kain yakni
suatu objek yang dapat dilihat dalam kehidupan ini.
Deskripsi mengenai hal itu didasarkan pada pengertian,
kegunaan dan bentuknya, yang juga sama dengan tanda
dalam pengertian semiotik, serta teori‐teori tentang tanda
dalam konteks kebudayaan dan masyarakat.
II.1. Pengertian Kain.
Kain adalah kosakata Indonesia merupakan kata
umum yang mewakili dua nama yaitu, nama kain dan
penunjuk jenis kain. Sebagai contoh “kain sutera, kain rami,
kain cita, kain kepala, kain panjang, kain sarung, kain gebar,
kain baju, kain basahan, kain dua seragi, kain kembar; kain
lurik dan sebagainya.”1 Selain kain memiliki makna tersebut
di atas, juga digunakan secara lebih khusus. Contoh, “kain
kapal Lp dari Lampung di kalangan terbatas; kelompok
1
W. J. S. Poerwadarminta (penyusun), Kamus Umum Bahasa Indonesia
kerabat klan pemimpin adat, pendiri desa, penguasa wilayah
suku dan marga.”2
Kain balon dengan sistim tenunan rapat yang digunakan sebagai kain penutup kapal terbang dan balon penerbang. Kain bilyart dibuat dari kain wol bermutu paling tinggi, kuat dan halus dengan cara tenunan twill. Kain minyak yang diberi lapisan pernis dari minyak lena, sehingga menyerupai kulit.3
Penjelasan tersebut di atas secara konseptual sama
dengan tekstil. Hanya saja kata tekstil dari bahasa asing yang
kemudian digunakan dalam bahasa Indonesia. Meskipun
demikian pada kedua istilah tersebut ada kesamaan dan
kepadanan konsep, bukan makna harafiah. Menurut the
New Encyclopaedia Britannica Volume 11, “textile, the
word—derived from the Latin textilis and the French texere,
meaning “to weave.”4 Berdasarkan Encyclopedia
International Volume 18.
2
textiles (teks’tils, teks’tils) from Lat. texere; (“to
weave”), woven, knitted, or felt fabrics made from
natural or man‐made fibers. The fiber content of fiber
products, and for other purposes man‐made fiber
categories.5
Jadi kata tekstil berarti “menenun” adalah kain atau barang
tenunan dari lakan (bulu kempa) yang dirajut, atau ditenun
dari serabut (serat) alamiah atau buatan manusia.
Dalam New Standard Encyclopedia Volume 17,
“Textile, the word comes from the Latin, texere, “to weave.”
Textile, téks’til; téks’til, a flexible fabric, or cloth, made from
animal, plant, mineral, or man‐‐made fibers.”6 Ini berarti
tekstil yaitu “menenun” barang tenunan yang mudah lentur
atau kain yang dibuat dari serabut (serat) hewan, tumbuh‐
tumbuhan, bahan galian atau buatan manusia.
Dari keterangan‐keterangan di atas, maka kata kain
sama arti dengan tekstil yakni “menenun.” Jadi arti
menenun itu menunjukkan kegiatan menenun : merajut,
5 Grolier,
Encyclopedia International 18 (New York: Grolier International, 1974), 47‐48.
6
membuat barang‐barang tenunan, atau kain dari bahan‐
bahan alami dan biasanya digunakan suatu metode. Jadi
kosakata kain sama artinya dengan tekstil, yakni “menenun”
dengan menggunakan sebuah metode untuk membentuk
barang yang dikehendaki. Di samping itu “ada pula kain
bukan ditenun karena teksturnya tebal dan berat.”7
Kata kain menjadi populer dengan istilah bahasa
Jawa Kuno, “wastra yang berarti kain tenun yang berasal
dari daerah‐daerah di Indonesia.”8 Contoh, wastra batik tulis
dari Solo, Yogyakarta, wastra batik cap dari Pekalongan,
wastra songket Lampung, wastra songket Palembang atau
Minangkabau, wastra selendang hinggi dari Sumba, wastra
tenun ikat dari Kalimantan, wastra geringsing dari Bali,
wastra tenun ikat dari Lombok – Nusa Tenggara Barat,
7
Ibid. Most textiles are made by weaving yarns that have been spun from fibers. However, a number of textiles are not woven, including lace, net, felt, laminated fabrics.
8
Himpunan Pencinta Kain Adati Indonesia ‐ Indonesian Traditional Textile Society, “Wastra Indonesia” dalam Jurnal Wastra # 1, Maret 2000 (Jakarta: Museum Tekstil Jakarta), 1. Kata wastra dalam kesamaan arti kain menjadi populer sejak tahun 2000 untuk menunjukkan wastra yang berasal dari daerah tertentu di Indonesia.
wastra tenun panjang dari Sawu, atau wastra tenun sarung
dari Amarasi Timor Barat, Nusa Tenggara Timur dan wastra
patola dari Maluku dan sebagainya.
II.2. Fungsi Kain.
Penjelasan‐penjelasan di atas tentang kain
menunjukkan sifat yang deskriptif dan preskriptif. Ini berarti
bahwa, kain secara deskriptif adalah pada nama dan jenis
pembuatan, sedangkan secara preskriptif adalah,
penggunaannya sesuai ketentuan resmi dan keadaan
tertentu. Menurut abstraksi berdasarkan penjelasan
kepustakaan kegunaan kain bermanfaat dalam kehidupan
adalah sebagai berikut.
1. Menjadi pelindung badan dari pengaruh cuaca panas
dan dingin. “Kain dalam berbagai bentuk untuk
kebutuhan manusia. Sejak jaman prasejarah sekitar
jaman batu baru (neolitikum), manusia Indonesia telah
badan.”9 “Wastra Lombok terbuat dari benang kapas
(beberut) oleh masyarakat Sasak dipakai untuk menutup
badan dari pengaruh cuaca.”10
2. Kain berguna sebagai keindahan (estetika). “Kain diberi
ornamen sebagai hiasan untuk menjadikan indah, estetis
dan lebih bernilai.”11 “Kain tenun tradisional kofo
Sangihe dibuat pengikat pinggang (papehe) pengantin
pria, dengan fungsi untuk memperindah pakaian
mempelaii pria Sangihe (laku tepu).”12
3. Kain memberikan andil pada peran dan kedudukan di
suatu masyarakat. “Kain patola adalah pakaian
kebesaran bagi Sri Sultan dan bagi susuhunan di kraton
Yogyakarta dan Surakarta, karena nilai spiritual (religio‐
9
Suwati Kartiwa, Kain Tenun Tradisional Nusa Tenggara (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Museum Pusat, 1973), 1.
10 Benny Gratha, “Wastra Lombok” dalam
Jurnal Wastra # 18, Narch 2012
(Jakarta: Museum Tekstil Jakarta), 14. 11
Aryo Sunaryo, Ornamen Nusantara Kajian Khusus tentang Ornamen Indonesia (Semarang: Dahara Prize, 2009), 3.
12
magi) untuk perlindungan dan sejahtera.”13 “Jubah
kebesaran duyin thindaing di Burma bagi keluarga
kerajaan Burma.”14
4. Peran kain menurut ketentuan adat.
Kain ma’a dipakai oleh para pemuka adat, kepala suku di Toraja dalam kegiatan adat Toraja. Kain ma’a sebagai alat pelindung yang bersifat rohani atau spiritual, sebagai penghubung antara manusia dengan para dewa; media penghubung antara
Frances Franklin, Burman court textiles in historical context dalam
Kain tenun laku tepu disebut kaduku dipakai oleh wanita Sangihe keturunan bangsawan (putri raja). Kain tenun laku tepu yang disebut paporong hiteng datu dipakai oleh pria Sangihe dari keturunan bangsawan untuk upacara perkawinan adat, lambang derajat sosial masyarakat Sangihe.16
“Kain‐kain Indian sebagai kekayaan dari kaum
ningrat/bangsawan.”17 “Pemilikan kain tenun bagi
masyarakat Timor berarti status sosial tinggi. Kaum
bangsawan mewariskan kain tenun dari generasi ke
generasi, karena bernilai tinggi khusus pada acara
perkawinan atau upacara adat tertentu.”18
6. Peran dan kedudukan kain menurut sistem keagamaan.
Kain patola sebagai pakaian upacara keagamaan pedanda Brahmana lambang sesuatu yang bersifat suci kepada para dewa. Demi nilai suci itu, kain dijadikan pakaian tingkat Brahmana dan Jaina;
tingkat kepadrian untuk upacara keagamaan. Nilai spiritual pada kain itu sebab dibuat oleh penenun kasta Hindu.19
“Kain patola di Flores sebagai jubah pemimpin bernilai riil
dan spiritual. Nilai spiritual karena kain patola dianggap
suci dan terbungkus kekuatan religio‐magi.”20 “Kain te
whatu taaniko (tenunan taaniko) sebagai jubah
keagamaan di masyarakat Maori.”21 “Kain toga untuk
upacara keagamaan Katholik Roma.”22
7. Kain juga berperan pada kegiatan ibadah
mengikuti sistem agama tertentu. “Pesujudan (sajadah)
merupakan wastra paling suci bagi para kyai masyarakat and features taaniko patterns.
pintu masuk agama Islam ke pulau Lombok.”23 “Kain Piµa
sebagai pakaian baptisan pada Katholik Roma di
Filipina.”24 “Kain bendera Sri Lanka untuk kegiatan
keagamaan dan prosesi‐prosesi kerajaan di Sri Lanka.”25
8. Kain mempunyai andil “penghargaan, pemberian,
pakaian yang digunakan pada upacara mengenai siklus
kehidupan.”26
1)Kegunaan kain pada upacara adat secara berkala, atau
sekali‐sekali. “Kain sarita digunakan untuk upacara‐
23 Benny Gratha, “Wastra Lombok”dalam
Jurnal Wastra # 18, March 2012, 21.
24
upacara adat tertentu di Toraja sebagai media
penghubung antara manusia dengan nenek moyang.”27
“Kain tapis tubo untuk upacara pemberian gelar sutan.
Kain tapis inuh untuk upacara adat masyarakat
Lampung.”28
“Kain patola untuk upacara adat masyarakat
Maluku, yang dililitkan di pinggang atau leher. Kain ini
dianggap keramat sebagai penolak petaka.”29 “Kain
umbaq bagi masyarakat Sasak untuk upacara adat
Peraq Api (upacara putus tali pusat bayi), juga upacara
Bekuris, atau upacara adat Besunat (khitanan).”30
2)Kain berperan dalam perkawinan adat sebagai mas
kawin, atau barang pemberian perkawinan.
Tenun ikat suku Lamaholot, Adonara, Lembata, Krowe Sikka di Pulau Flores untuk mas kawin. Tenun ikat itu memiliki nilai sama dengan gading untuk pertukaran hadiah perkawinan atau belis.
27
Herman Jusuf, Tim FashionPro, Kain‐kain Kita, 54. 28 Ibid., 68‐70.
29
Ibid., 59. 30
Di pulau Adonara atau Lembata kain berupa sarung adat dari tenun ikat pada perundingan adat pemberian mas kawin antara keluarga pria dan wanita.31
3) Kain digunakan untuk upacara adat kematian. “Kain
selendang hinggi kombu sebagai kafan dalam kematian
di masyarakat Sumba.”32 “Kain seko mandi untuk
pembungkus atau penutup jenazah, juga digantung
semacam canopy memayungi jenazah orang Toraja.”33
“Kain osap ialah salah satu wastra (dibuat di desa
Pringgasela) masyarakat Lombok Timur untuk penutup
wajah jenazah pada saat dimandikan.”34
9. Kegunaan kain dalam bidang ekonomi kreatif pada
kerajinan tangan khas masyarakat setempat. “Wastra
Amarasi Timor Barat menjadi bahan komoditas dagang,
31
Jes A. Therik, Tenun Ikat dari Timur (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989), 48‐49.
32
Suwati Kartiwa, Kain Tenun Tradisional Nusa Tenggara, 59. 33
Herman Jusuf, Tim FashionPro, Kain‐kain Kita, 53. 34 Jes A. Therik,
yaitu tais mutin (selimut laki‐laki), tais (sarung
perempuan) dan po’uk (selendang).”35
10. Kain sebagai alat tukar menukar dan untuk maksud lain
dalam arti luas.
1) Kain sebagai sebuah alat tukar pengganti uang untuk
memenuhi kebutuhan lain. “Kain sutera untuk menukari
pembayaran pajak di Cina.”36
2) Kain memberikan andil bagi tukar menukar barang
dalam hubungan antar komunitas.
Orang Kulawi dan Bada di Sulawesi Tengah memperoleh kain tenun Toraja dengan menukar sehelai kain itu dengan satu ekor kerbau. Kain itu untuk pakaian adat, dengan dilipat bersusun dua
35 Robert Koroh, “Tradisi Menenun di Amarasi, Timor Barat” dalam Jurnal Wastra # 16, Juni 2010 (Jakarta: Museum Tekstil Jakarta), 12‐14.
36
atau tiga rok bawah dengan baju dari kulit kayu (pakaian adat Kulawi dan Bada).37
11. Kain sebagai alat tukar menukar barang bernilai
menurut aturan adat. “Kain tenun Timor untuk
keperluan adat, nilai dari hasil kerja (apakah itu tenunan,
atau ternak) ditentukan bukan menurut harga pasar,
tetapi menurut nilai adat (counter value).”38
Kain tenun Sumba dalam upacara di sekitar lingkaran hidup. Pada sistem perkawinan pihak laki‐laki memberikan barang seperti emas, perak, porselin, kuda. Pihak wanita memberikan kain tenun, hinggi, lau, manik‐manik. Dengan pertukaran barang maka hubungan antara kelompok kerabat dari kedua belah pihak sebagai bentuk tukar menukar benda, jasa dan pelayanan dalam upacara perkawinan.39
37 Suwati Kartika,
Ragam Kain Tradisional Indonesia, 10. 38
Jes A. Therik, Tenun Ikat dari Timur, 53. 39
“Kain‐kain tenun adat Timor dalam upacara perkawinan
sebagai pola pertukaran dari pihak keluarga laki‐laki
kepada pihak keluarga perempuan.”40
12) Kain juga berguna bagi kepentingan hukum adat
sebuah komunitas. “Kain tenun masyarakat Timor
mempunyai nilai aturan adat. Jika ada pelanggaran
terhadap aturan adat dikenakan pembayaran denda
yang harus dibayar dengan kain adat.”41
II.3. Bentuk Penggunaan Kain.
Penjelasan‐penjelasan tersebut tentang fungsi kain
memberikan gambaran mengenai kegunaan kain untuk
berbagai tujuan praktis. Untuk itu pula dapat dilihat
berbagai bentuk penggunaannya sebagai berikut.
1. Kain hinggi sebagai selimut. “Kain hingga dipakai oleh
pria berupa seli,ut dan Lau berupa sarung dipakai oleh
wanita.”42
40 Suwati Kartiwa,
Ragam Kain Tradisional Indonesia Tenun Ikat, 136. 41
Ibid. 42
2. Kain geringsing dari desa Tenganan Pagringsingan Bali
Selatan. “Ada tiga bentuk penggunaan kain geringsing
yaitu kemben dililitkan di dada; sarung dikenakan pada
pinggang, dan selendang dikalungkan pada leher untuk
kaum laki‐laki dewasa.”43
3. “Kain bebali dari Bali berupa penutup pelinggih (tempat
suci), dan busana orang untuk upacara.44
4. Kain songket dari Palembang. “Penggunaan selendang
dan sarung dipakai pada upacara perkawinan yang
disebut lepas dan songket tawur.”45
5. Kain tenun adat Timor. “Kain adat sebagai pemberian
dalam upacara perkawinan dari pihak keluarga laki‐laki
kepada pihak keluarga perempuan.46
43 Suwati Kartiwa,
Tenun Ikat – Indonesian Ikats, 19. 44
Ida Ayu Ngurah Puniari, Mariah Waworuntu, “Makna Sosial dan Penggunaan Wastra Sakral di Bali” dalam Jurnal Wastra # 21, April 2013
(Jakarta: Museum Tekstil Jakarta), 24. 45
Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia – Songket Weaving In Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 1989), 34. 46 Suwati Kartiwa,
6. “Kain dangdong dari Kalimantan berupa selendang
digunakan untuk menaruh saji‐sajian pada upacara
panen di ladang suku Dayak.”47
7. Kain tenun panjang dari Sawu, Nusa Tenggara Timur.
Kain ini untuk pembungkus mayat kaum bangsawan maupun rakyat biasa, ketika meninggal dunia dibungkus kain itu untuk dikuburkan sesuai dengan marga. Untuk pendeta dan pemuka adat
11.“Kain tenun polos warna hitam bag penganut agama
Budha di Burma dan Thailand. Kain ini berupa penutup
kepala bagi perempuan Palaung. Juga bagi perempuan
menikah ketika anak sudah dewasa dalam pelayanan di
kuil.”52
II.4. Kain adalah Tanda dalam Pengertian Semiotik.
Dari penjelasan‐penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa, kain adalah sesuatu objek atau materi (benda) yang
dapat dilihat dengan indra penglihatan (mata) dan
merupakan bagian dari masyarakat di dunia. Secara teoritis
sesuatu yang dapat dilihat dan juga dapat teramati memberi
Untuk menguraikan pengertian tentang tanda, maka perlu
deskripsi munculnya tentang asal mulanya dan
pengertiannya secara teoritis.
1. Asal Mula dan Pengertian Semiotik.
Sejarah semiotik telah ada sejak dahulu kala. “Orang‐
orang Stoik merupakan orang pertama yang
mengembangkan teori tentang tanda dalam abad kedua dan
ketiga sebelum Masehi. Pengertian mereka tentang tanda
kebahasaan sudah demikian maju.”53 “Kata semiotik berasal
dari bahasa Yunani berhubungan dengan istilah semainon
(penanda) dan semainomenon (petanda).”54 Di samping itu
istilah semeiotics, juga merupakan bentuk penelaahan ilmu
medis. Menurut Marcel Danesi, istilah semeiotics (dilafalkan
demikian) yang diperkenalkan oleh Hippocrates (460‐377
SM), penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala‐gejala.
53 M. A. K. Halliday‐‐Ruqaiya Hasan,
Language, Context, and Text: Aspects of Language in a Social‐‐Semiotic Perspective. Asruddin Barori Tou, (trans.) (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), 3‐4.
Gejala menurut Hippocrates merupakan semeion — bahasa Yunani untuk “petunjuk” atau “tanda” (sign) fisik. Untuk membahas mengenai apa yang direpresentasikan oleh gejala serta bagaimana ia mengejawantahkan secara fisik dan mengapa ia mengindikasikan kondisi tertentu merupakan esensi dari diagnosa medis.55
Di masa‐masa sesudah itu ketika filsuf “John Locke
(1632‐1794), memperkenalkan kajian formal tanda pada
filsafat, dan menyebut hal itu sebagai semeiotics. Locke
mengantisipasi agar semiotika mengkaji hubungan antara
konsep dengan kenyataan yang lebih tepat.”56 Tetapi tugas
pada filsafat tidak diperhatikan secara virtual hingga akhir
abad ke‐19, ketika gagasan seorang linguis Swiss, Ferdinand
de Saussure (1857‐1913) dan filsuf Amerika Charles S. Pierce
(1839‐1914) menjadi mimbar tempat bidang penelaahan
otonom dibentuk secara perlahan pada abad ke‐20.
Saussure, menulis Cours de linguistique generale (1916),
55 Marcel Danesi,
Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory. Evi Setyarini, Lusi Lian Piantari, (trans.) (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), 6‐7.
dengan istilah semiologi untuk merujuk pada kajian tanda.
“Saussure menggunakan analogi pada konteks ilmu‐ilmu lain
seperti psikologi, biologi, antropologi, dari bahasa Yunani
logos adalah “kata”, “kajian.”57
Istilah Saussure menempatkan supremasi bahasa
dalam hubungan antara makna dengan tanda‐tanda
berdasarkan pada bahasa.
Bahasa adalah sistem tanda ekspresif mengenai gagasan, karena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, abjad bagi para tuna‐rungu dan tuna‐ wicara, ritus simbolik, formulasi kesopanan, sinyal militer dan lain‐lain. Tetapi bahasa merupakan sistem yang paling penting dari sistem yang lainnya.58
Untuk itu Saussure menganalisa sifat satu objek sebagai
penanda dan ditandai melalui bahasa. Juga merupakan
sistem tanda lebih bersifat pokok. “Bahasa suatu sistem
tanda, untuk mengekspresikan, atau mengkomunikasikan
57
Ibid., 11. 58
pikiran, gagasan yang adalah bagian dari sistem konvensi
dan sistem tanda.”59
Secara perseptif dalam penyatuan satu bentuk
menandakan adanya sesuatu penanda atau signifiant dan
sesuatu ditandai yakni, signifie. Penanda (signifiant) dan
ditandai (signifie) seolah‐olah entitas terpisah, namun
keduanya hanya muncul sebagai komponen satu tanda.
Tanda itu adalah fakta sentral dalam bahasa. Jika kita
mencoba memisahkan hal perlu dengan hal sekunder atau
hal kebetulan, maka kita harus memulai dari sifat tanda itu
sendiri. Oleh karena itu teori bahasa menurut Saussure
mengenai kualitas dasar tanda.
Tanda adalah kesatuan dari penanda (signifier) dan ditandai (signified). Setiap tanda dalam suatu bahasa merupakan sebuah konsep (concept) termasuk bunyi (sound images), bukan sebuah nama. Sebuah konsep, bunyi dengan kata terucap merupakan penanda (signifier), sedang konsep merupakan ditandai (signified). Dua unsur ini tidak terpisahkan. Penanda
dan ditandai maka bersifat relasional (bundle of relations).60
Dalam hal ini maka Ilmu bahasa merupakan satu jenis
semiotik. Ilmu bahasa adalah satu segi kajian tentang
makna. Sebab bahasa merupakan hubungan paling penting
pada sebuah makna.
Pemikiran Saussure mengenai tanda dan sistem
tanda telah merintis jalan bagi kajian bahasa dan merupakan
suatu pendekatan yang memberi tekanan pada bahasa
sehubungan dengan sistem makna. Untuk melihat bahasa
sebagai tempat tanda, maka tanda bukan entitas otonom,
tetapi bagian dari satu sistem. Bahasa membagi spektrum
dan kategori tanda (penanda), untuk menghasilkan satu
sistem ditandai (konsep), namun nilai tergantung pada
hubungan antara satu dengan lainnya.
Sebetulnya pada sistem bukanlah gagasan yang diberikan lebih dahulu, melainkan nilai‐nilai dari sistem. Jika kita mengatakan bahwa nilai sesuai
60
Ferdinand de Saussure dikutip oleh Heddy Shri Ahimsa‐‐Putra,
dengan konsep, maka hal itu bersifat diferensial, bukan menurut isi namun dalam sistem. Karakteristik nilai‐nilai itu adalah sesuatu yang khas. (Course 117; Course: 162).61
Walaupun tujuan semiotik sekarang dilihat untuk
menelusuri arti sesuatu tanda, ia tetap mempertahankan
konsep dan prinsip dasar yakni, untuk memberi makna
dalam bahasa terhadap segala sesuatu yang dapat terlihat.
Kajian bahasa tubuh, bentuk‐bentuk seni, wacana retoris, komunikasi visual, media, mitos, naratif, bahasa, artefak, isyarat, kontak mata, pakaian, iklan, makanan, upacara dan peristiwa — inti dari hal itu, semua digunakan, diciptakan atau dihadapi oleh manusia untuk menghasilkan makna.62
Itu berarti semiotik pada sebuah bentuk tanda baik verbal
maupun non‐verbal tetap memperhatikan makna dalam
bahasa.
61
Jonathan Culler, Saussure. Rochayah, Siti Suhayati, (trans.) (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), 13‐14.
62
Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture An Introduction to Semiotics. M. Dwi Marianto, (trans.) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), 35‐39.
Dari penjelasan‐penjelasan di atas tentang semiotik,
maka dapat dilihat bahwa hubungan antara tanda dengan
makna untuk hubungan dengan fungsi sosial, pengetahuan,
tindakan, sikap, pendirian dan lain‐lain. Itu berarti bahwa,
semiotik menyatakan sesuatu yang dapat dilihat dan
teramati di dalam kehidupan ini, yang menyatakan sesuatu
makna dalam bahasa manusia.
2. Teori‐teori tentang Tanda.
1) Emile Durkheim : Totem sebagai Nama diri, Emblem
dan Kepercayaan Totemik.
Menurut Emile Durkheim (1858‐1917), totem untuk
petunjuk tiga aspek pokok yaitu;
a. Nama diri dari suatu klan.
b. Emblem (lambang) resmi dari suatu klan.
c. Prinsip totemik dari suatu klan.
Hal itu terdapat dalam penelitian tentang totem, secara
khusus pada suku Arunta, suku Loritja, suku Kaitish, suku
Deskripsi tentang tiga aspek tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut.
Pertama, totem sebagai nama diri klan. Dalam hal ini
totem menyatukan individu‐individu dari satu klan
berdasarkan hubungan keluarga atau pertalian keluarga.
We find a group which holds a preponderating place
dari nenek moyang merupakan pengetahuan mitologi.”64
Pengertian tersebut menyatakan bahwa, totem memiliki
konsekuensi pada kemurnian hubungan keluarga atau
pertalian keluarga dan ikatan kelompok sosial. Untuk hal itu
mereka mempunyai suatu objek totem untuk menyebut klan
mereka.
Kedua, totem sebagai emblem resmi dari suatu klan.
Dengan emblem itu klan memperlihatkan kekuasaan sebagai
bangsa beradab di wilayah tempat tinggal. Dan anggota klan
diberi hak dan tanggung‐jawab untuk mengemban identitas
dari totem.
But the totem is not merely a name; it is an emblem,
a veritable coat—of‐‐arms whose analogies with the
arms of heraldry have often been remarked.It is in
fact a design which corresponds to the heraldic
emblems of civilized nations, and each person is
authorized to bear it as a proof of the identity of the
family to which it belongs.65
Itu berarti bahwa, totem membawa konsekuensi pada
komitmen untuk hak dan kewajiban anggota klan.
clan takes its name, not from a thing or a species of real things, but from a purely mythical being.
Ketiga, totem sebagai prinsip totemik dari suatu klan. Dalam hal ini totem merupakan hubungan antara
imajinasi totemik dengan ritus keagamaan. Dengan
demikian totem selain merupakan nama diri juga bersifat
agama. Sedangkan klan sendiri adalah bagian dari liturgi.
Untuk hal itu totem disusun menurut golongan yang lebih
bersifat sakral atau profan.
These totemic decorations enable us to see that the
totem is not merely a name and an emblem. It is in
the course of the religious ceremonies that they are
employed; they are a part of the liturgy; so while the
totem is a collective label, it also has a religious
character. In fact, it is in connection with it, that
things are classified as sacred or profane.66
Imajinasi totemik itu tidak hanya menentukan totem bersifat
sakral, namun juga objek dari ritus.
But totemic images are not the only sacred things.
There are real things which are also the object of
rites, because of the relations which they have with
the totem : before all others, are the beings of the
totemic species and the members of the clan.67
66
Pengertian itu menunjukkan totem pada anutan
kepercayaan totemik (totemic beliefs). Barangkali ada
hubungan erat antara sakramen dengan imajinasi totemik
sakral. Untuk itu totem disusun pada objek sakral atau
profan, bukan hanya pada objek totem, tetapi juga objek
ritus. Dengan demikian totem merupakan satu kesatuan
sistem kepercayaan dan cara serta tujuan penggunaan objek
sakral, yakni dikhususkan dari objek lainnya. Kepercayaan
dan pelaksanaan itu berhubungan dengan objek sakral
bersatu dalam satu kelompok moral klan. Hal bersifat sakral
pada sesuatu objek menurut Durkheim adalah, hubungan
sosial dengan individu. Sifat tersendiri pada hal itu
merupakan bagian permukaan dari sesuatu yang jauh lebih
mendalam lagi bagi klan. Hal itu yang menandai titik awal
Durkheim menempatkan kepercayaan totemik sebagai ciri
beragama kontekstual dalam kehidupan klan.
Lebih lanjut Durkheim mengembangkan dan
mendefinitifkan pandangannya yang lebih luas lagi dari ide
cara menyusun paham totemisme sebagai sebuah agama
dasar (totemism as an elementary religion). Ia melihat asal
mula agama dari totemisme, atau paling tidak bentuk yang
paling dini. Menurut dia, totem dalam totemisme adalah
pengertian abstrak dari totem sebagai petunjuk nama diri
dan emblem dari suatu klan. Sehubungan dengan itu maka
totemisme berasal usul pada pikiran‐pikiran dasar untuk
membuat nama diri dan emblem, merupakan prinsip
esensial dari klan dan totem itu sendiri. Bahkan dasar
totemisme tersebut dalam penggambaran dewa dalam
bahasa agama sebagai dewa, dapat dianggap benar‐benar
ada terlebih dahulu daripada totem. Seperti yang dikatakan
Durkheim bahwa, hubungan klan dengan totem sebelum
segala sesuatu lainnya, maka mengenai makhluk totemik
dan anggota dari klan merupakan tanda kehidupan dari klan.
Termasuk hubungan dengan alam semesta dan
nenek moyang/leluhur serta aktivitas dari klan. Sistem
struktur hubungan antar manusia dengan unsur‐unsur
sendiri. Hubungan klan dengan totem sebelum adanya yang
lain, adalah hubungan makhluk totemik dan anggota dari
klan. Dengan hubungan asal usul klan di satu wilayah/daerah
(tempat) tinggal klan maka berbuat totem. Dengan imajinasi
mereka kepada sesuatu dipercayai secara bersama, yang
melambangkan klan itu dan bersifat sakral secara totemik,
sehingga dipuja bahkan menjadi perekat ulung dari
kehadiran klan.
Oleh karena itu pada klanlah totem menemukan
pemaknaan prinsip totemik. Totem bukan hanya nama diri
klan dan emblem klan, akan tetapi prinsip totemik atau
dewa. Menurut Durkheim, prinsip totemik dewa itu berada
di luar dari bentuk kelihatan, atau yang dapat dilihat.
Demikian juga dewa dari klan adalah prinsip totemik, tidak
lain daripada klan itu sendiri, yang melambangkan dan
memainkan peran sehubungan dengan imajinasi bentuk
lahiriah/kelihatan pada totem.
So it is not the intrinsic nature of the thing whose
name the clan bears that marked it out to become
sacred thing; the animals, or plants employed as
totem would play an eminent part in the religious
life. But we know that the centre of the cult is
actually elsewhere. It is the figurative representations
of this plant or animal and the totemic emblems and
Durkheim memberi penjelasan juga tentang totem
yang mengikat secara moral dan mental anggota klan.
Ekspresi perasaan pada totem dianggap sebagai sesuatu
yang suci sebab ritus dan kepercayaan totemik. Oleh karena
itu gambaran totem menjadi bagian ulung dalam kehidupan
beragama. Representasi hal itu dalam hubungan antara
karakteristik simbol sosial dengan ketuhanan, sebagai
refleksi klan dalam bersosial dan beragama. Pada hal itu
dapat dilihat klan dan dewa menjadi prinsip totemisme. Cara
pemujaan pada dewa, sama hal dengan pemujaan kepada
klan sendiri. Pandangan Edward Tylor tentang kepercayaan
kepada roh mendiami benda sama dengan “anima
merupakan prinsip totem menjelma dalam individu sebagai
anggota dari klan.”70 Kepercayaan totemik atau totemisme
itu mendasari cara pemujaan klan kepada objek totemik
melalui praktek beragama dan aturan pada benda yang
bersifat sakral juga objek ritus bagi pemujaan pada totemik
yang bersifat suci. Secara hakiki, ide dari totem itulah
memberi pengertian totemisme yang tidak dapat dipisahkan
dari klan.
70
Melalui penelitian tentang totem Durkheim
menemukan asal usul beragama di antara klan/suku, khusus
di Central Australia. Pada kepercayaan totemik terutama
konsep dewa, khusus di sekitar individu atau kelompok yang
mempengaruhi sikap dan interaksi antara mereka, sehingga
totem sebagai objek penyembahan. Juga ungkapan
perasaan yang melampaui realitas kehidupan klan sendiri.
Untuk itulah totem terlihat sebagai nama diri ‐ emblem –
kepercayaan totemik dalam lingkungan sosial dan kehidupan
beragama dari klan. Simbolisasi ini mengekspresikan
gagasan klan untuk hal‐hal tersebut. Menurut Durkheim,
“The idea of society is the soul of religion,”71 meskipun
totem pertama‐tama terlihat bukan sebagai fenomena
religius, melainkan fenomena sosial dari klan. Namun
demikian proses pemaknaan dari klan terhadap totem
terdapat unsur ketuhanan. Karena totemisme berdasarkan
gagasan, lebih bersifat dekat dengan kategori khusus pada
manusia; orang dan pikiran tentang bentuk lahiriah totem,
71
sehingga penjelasan tentang kepercayaan dasar. “Manusia
sudah dituntun untuk membangun ide dan dari materi itu
pula telah dibangun totemisme.”72
Untuk merangkumkan teori Durkheim tentang totem yang mencakupi nama diri, emblem dan kepercayaan
totemik dari suatu klan, yang menghasilkan sistem makna
nilai pada hubungan antara satu entitas tersebut dengan
lainnya. Sedangkan ciri budaya klan menggambarkan secara
sistematis sifat pada totem, juga untuk ritual, upacara,
sistem religius dan mitologis dalam kepercayaan totemik
menurut suatu klan.
72
Ibid., 167. Since totemism is everywhere dominated by the idea of a quasi‐divine principle, imminent in certain categoriesof men and things and thought of under the form of an animal or vegetable, the explanation of this religion is essentially the explanation of this belief; to arrive at this, we must seek to learn how men have been led to construct this idea and out of what materials they have constructed it.
2) Edwyn Bevan : Simbol Objek Kepercayaan.
Bevan (1870‐1943), menjelaskan dua kategori pada
simbol, yang masing‐masingnya mempunyai sifat hubungan
yang sama. Hal itu dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, “simbol berfungsi untuk mengingatkan,
atau mengatakan sesuatu tentang tindakan pada peristiwa
tertentu, atau tindakan dengan cara tertentu pada peristiwa
tertentu.”73 Dalam hal itu menyatakan arti untuk
mengingatkan sesuatu yang dilambangkan oleh simbol.
Kedua, “simbol dimaksudkan untuk memberikan arti
dan sifatnya.”74 Dalam hal itu simbol bermakna sesuai
dengan kegunaannya yang ditentukan oleh manusia.
73
Edwyn Bevan, Symbolism and Belief (London: George Allen & Unwin Ltd Museum Street, 1938), 11‐12. There are visible objects or sounds which stand for something of which we already have direct knowledge. Such symbols are not intended to give us any information about the nature of the thing or things symbolized, but to remind us to them, or tell us something about their action at the particular moment, or prompt us to act in a certain way at the particular moment because of them.
74
Bevan melihat pemakaian simbol yang untuk
mengekspresikan ide‐ide agama pada definisi simbolisme
menurut Whitehead. “The human mind is functioning
symboliclly when some components of its experience explicit
consciousness, beliefs, emotions and usages, respecting
other components of its experience.”75
Menurut Bevan definisi itu harus diubah untuk
melihat hubungan simbol dengan agama. Sebab tiap simbol
tentu saja berarti sesuatu sebagai petunjuk objek lain.
Dalam hal ini sementara orang melihat objek atau
mendengar suara, atau apa saja yang terdeteksi oleh indra
manusia, maka akan menghasilkan pikiran yang bersifat
lebih kompleks pada objek itu. Oleh karena itu “pemakaian
simbol untuk mengingatkan sesuatu yang dilambangkan dan
75
untuk memberikan keterangan tentang objek itu,
merupakan satu faktor utama dari agama.”76
Sebab simbol objek kepercayaan, atau simbol suara
dalam kata, suara musik atau bunyi pada momen tertentu.
sehubungan dengan cara pemujaan dalam kegiatan religius
dapat sebagai faktor utama dari kehidupan beragama.
Simbol dalam bentuk tersebut berkenaan dengan keadaan
yang melampaui kebiasaan, yang dipandang dari sudut
tertentu. Juga memberikan gambaran, maksud, gagasan dan
perasaan yang timbul dari pengalaman di luar yang diterima
tidak saja oleh pancaindra, melainkan juga oleh jiwa orang
secara pribadi.
Visible objects in great variety, sounds in words and
music and bells, smells in incense, are used to remind
men effectively of great complexes of things they
know or believe otherwise, or signal some special
moment in the cultus, or prompt to some immediate
religious act. 77
76
Di sisi lain, objek pada agama adalah pengertian, atau
ide yang berasal dari pikiran. Itu berarti bahwa, agama
bukan untuk membayangkan objek pada pikiran, melainkan
melalui pengalaman dari pemuja. Juga pengetahuan tentang
objek yang melampaui pengalaman manusia. Untuk itu
maka “interaksi antara simbol dengan agama dipandang
mempunyai arti mengenai dunia tidak terlihat atau
kelihatan.”78
Dalam hal itu terletak perbedaan arti simbol menurut
pandangan Whitehead. Pada titik tidak sama ini Bevan terus
mengembangkan dan mendefinitifkan teorinya tentang
simbol sehubungan dengan ide kepercayaan. Meskipun
masalah kepercayaan di waktu sekarang dalam pandangan
Bevan tidak selalu dipegang oleh manusia, namun demikian
konsep tentang Tuhan atau dunia spiritual menunjukkan
78
Ibid., 15. But also in religion things are presented to the senses, or ideas presented to the mind, which purport, not to call to mind other things within the experience of the worshiper, but to convey to him knowledge of things beyond the range of any human experience. Those which purport to give information about the unseen world, those in which resemblance of some sort between the symbol and the thing symbolized is essential.
simbol sebagai bagian dari kehidupan beragama, juga isu
esensial di masyarakat di mana‐mana. Bevan menyebutkan
begitu banyak simbol agama terdapat di masyarakat di
mana‐mana. Namun demikian bagian ini tidak perlu
menyebutkan contoh simbol agama yang dimaksudkan,
melainkan mengenai konsep simbol tentang Tuhan dan sifat
ketuhanan saja, yang akan diuraikan sebagai berikut.
Pertama, simbol kepercayaan mengekspresikan
gagasan, maksud, perasaan dan sebagainya tentang Tuhan
(Divine).
Our survey of symbols in religion showed that the symbols
by which man has tries to express his idea of the Divine are
taken partly from the material world accessible to his
senses, that is to say from human emotions, acts of will,
values. For height literally is nothing but distance from the
earth’s surface or extension of something on the earth’s
surface in a direction at right angles outwards.79
Hal itu merupakan pengertian sesuatu yang bersifat
tinggi, yang menunjukkan jarak dari permukaan bumi
dengan sesuatu yang berada di luar. Dalam hal ini
79
pandangan Bevan tentang ruang atau tempat, “untuk
menyatakan kepercayaan kepada realitas Tuhan. Bukan
durasi sebagaimana yang dialami oleh manusia, atau
dianalogkan pada kehidupan, dimana waktu Tuhan
merupakan tak berujung pangkal.”80
Kedua, simbol mengekspresikan ide tentang terang
(light). Menurut Bevan, suatu simbol telah dipakai dalam
dunia religius adalah tentang terang. “A symbol, which has
been used in the religious of the world, perhaps as widely as
that of height, is that of light. In all great religions of
antiquity the chief of gods are characterized by their
connection with light.”81
Ketiga, simbol mengekspresikan ide tentang roh
(spirit). Roh dalam kesamaan arti nafas sehubungan dengan
ide manusia primitif, yang menunjukkan contoh bagaimana
jiwa identik adalah nafas.
80
Ibid., 121. The use of a spatial figure, that of height, to express belief about the Divine Reality. We must now consider the application of the idea of endless duration in time to God. I pointed out in my last lecture that a universe in which there was no change at all would be one in which there could hardly be, in any sense, Time, and therefore not duration.
A symbol has had a use even more constant than the
light symbol which we considered is that of spirit.
“The spirit,” in a phase of the poet’s, “does but mean
the breath”; and that, of course, is true of its original
meaning. It would be idle here to try to do over again
what has been done abundantly in books dealing
with the ideas of primitive men, show by examples
how the soul was identified with the breath.82
Pandangan menyeluruh dan terintegrasi mengenai
simbol dari Bevan dapat dirangkum sebagai pengetahuan
manusia tentang objek untuk mengingatkan dan memberi
keterangan tentang objek itu dan sifatnya, sehingga
kesadaran manusia dengan pengetahuan manusia itu bukan
hanya memperhatikan pola atau bentuk objek yang lebih
bersifat umum, tetapi juga tanda ikonis pada simbol
kepercayaan.
Simbol kepercayaan tersebut dalam wacana agama
yakni, tentang simbol ketuhanan memperlihatkan makna
tidak sama, juga hubungan dengan objek lainnya. Akan
tetapi, pengetahuan tentang Tuhan, sesuatu yang bersifat
tinggi (height), terang (light) dan roh (spirit), adalah lazim
dan umum di masyarakat di segala tempat, juga dilihat
sebagai lambang sehubungan dengan dunia yang tidak
kelihatan. Dengan demikian simbol kepercayaan memaknai
sebuah ungkapan, kata (bahasa) khusus yang berisi nama
(isim) mengacu pada tempat dan sifat relatif dari sebuah
objek.
3) Mircea Eliade : Simbol Objek yang Sakral.
Menurut Eliade (1907‐1986), setiap simbol dapat
menunjukkan salah satu dari empat konsep mengenai
hirofani, kraptofani, mana, atau teofani mempunyai pokok
isi paling mendasar tentang hal sakral, dalam hal ini
paradigma agama. Wacana tentang simbol itu yang
kontekstual dengan peradaban masyarakat arkhais.
Beberapa buku ditulis oleh Eliade dengan judul Patterns in
Comparative Religion (1949); The Myth of Eternal Return
(1949); The Sacred and The Profane (1957); The History of
Religions).”83 Khusus buku Patterns in Comparative Religion
83
tentang simbol religius dalam konsep hirofani, kratofani,
mana dan teofani, yang dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, “simbol mempunyai arti hirofani pada
“struktur ritus, mite, objek yang sakral, manusia tertentu
dipandang sebagai ikon suci, simbol kosmologis, binatang,
tumbuhan, tempat dan lain‐lain dalam morfologi sendiri dari
satu filial.”84 Istilah hirofani tersebut berasal dari bahasa
Yunani yakni, “hierophany: hieros dan phaineien berarti
penampakan sakral.”85 Untuk itu apa saja sebagai objek
dapat merupakan hirofani. Hirofani pada objek itu kemudian
dibentuk dengan struktur bersifat ilah dan definitif. “Sebuah
objek yang bersifat ilah dianggap mampu menggugah
perasaan kepada yang sakral, juga peristiwa sejarah dari
84
Mircea Eliade, Patterns In Comparative Religion. Rosemary Sheed, (trans.) (New York: Sheed and Ward Inc., 1958), 2. We are faced with rites, myths, divine forms, sacred and venerated objects, symbols, cosmologies, theologoumena, consecrated men, animals and plants, sacred places, and more. And each category has its own morphology — of a branching and luxuriant richness. For instance, with a Melanesian cosmogony myth or Brahman sacrife having as much right to our consideration as the mystical writings of a St. Teresa or a Nichiren, an Australian totem, a primitive initiation rite, the symbolism of the Borobudur temple, the myths and rites of the Great Goddesses, etc.
objek itu sendiri. Sebab objek itu berisi gagasan tentang
yang sakral.”86
Kedua, “simbol mempunyai arti kratofani
(kratophany) pada objek apa saja yang dijadikan sasaran
perhatian sehingga ditentukan sebagai simbol yang bersifat
kuat, mujarab, manjur dan tidak biasa.”87
Ketiga, “simbol mempunyai arti mana sebagai
kekuatan tidak hanya mengenai orang tertentu, namun juga
mengenai wujud lainnya. Mana menunjuk kepada beberapa
macam penjelmaan atau perwujudan yang dapat diperoleh
melalui pengalaman beragama.”88
Keempat, “simbol mempunyai arti teofani
(theophany) dan magico‐religious atau peristiwa dari
kratofani dan teofani. Semuanya menjadi bagian dari sistem
simbolik.”89 Oleh karena itu sesuatu yang tidak kelihatan
namun yang berarti atau penting, sebab itu menyatakan
sikap beriman kepada sesuatu yang sakral.
Empat pengertian di atas yaitu : hirofani, kratofani,
mana dan teofani mengenai simbol sebagai objek yang
sakral, yang perwujudannya melalui pengalaman beragama.
Itu berarti bahwa, penglihatan, intuisi dan pengalaman pada
sesuatu objek, sehingga terjadi proses unifikasi untuk
menghasilkan dan menjadikan sifat sesuatu sakral. Untuk itu
impersonal force, since it is only by some sort of personification or embodiment that it becomes accesible to religious experience, or to the eyes of profane man; how it is wiser to set out the problem in ontological terms, saying that all that exists fully has mana.
89
Ibid., 437. This, of course, is not to deny the fact that every magico‐ religious object or event is either a kratophany, a hierophany or a theophany. But we are often faced with mediated kratophanies, hierophanies or theophanies effected by sharing in or becoming part of a magico‐religious system which is always a symbolic system or symbolism Because of a symbolism which endows them with magic or religious significance
objek tersebut yang bersifat sakral, namun demikian dengan
kehidupan beragama tidak sama dengan profan dan
kehidupan sekular. “All the definitions given up till now of
the religious phenomenon have one thing in common: each
has its own way of showing that the sacred and the religious
life are the opposite of the profane and the secular life.”90
Sesuatu objek berarti hirofani dapat saja dalam arti
yang tidak sama yang terdapat di tempat lainnya. Sebab
objek hirofani di satu tempat pastinya sehubungan dengan
peristiwa sejarah. “Objek yang bersifat hirofani dibatasi oleh
segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah, sehingga
pada objek itu ada hubungan antara maksud subjek dengan
objek yang ditentukan mempunyai hakikat yang sakral.”91
Hakikat dari sesuatu yang bersifat sakral, juga terkait dengan hirofani‐hirofani bersifat elementer seperti
90 Ibid., 2. 91 Ibid., 3.
mana, yang diperoleh melalui pengalaman‐ pengalaman beragama yang luar biasa, kuat, mustahil, yang dianggap aneh atau tidak biasa dan sifat lainnya.92
Itu berarti sesuatu objek yang menunjuk kepada hal yang
sakral adalah dari aspek agama, sehingga agama itu
memainkan peran begitu penting bagi kehidupan manusia
terkait dengan yang sakral dan ritus melalui simbol.
Bagi Eliade, simbol dapat diperoleh dari alam
semesta dan pengalaman beragama dengan pengembaraan
akal budi. Tetapi juga intuisi manusia pada benda‐benda apa
saja menjadi tanda yang menunjukkan kategori yang sakral
atau profan. Meskipun demikian ia memberi tekanan pada
apa saja (objek) yang lebih bersifat profan di saat tertentu,
namun dapat ditransformasikan menjadi sakral. “Simbol
92 Ibid., xii.
yang bersifat profan itu memperoleh hirofani, sebab pada
saat itu juga menerima dimensi baru dari kesakralan.”93
Penjelasan itu merupakan sesuatu objek yang sakral
sebagai reaksi ganda, sehingga berpengaruh kepada objek
yang profan. Sebab segala sesuatu pada suatu lokasi atau
tempat, maka seketika itu juga dapat diilhami dengan
kekuatan magico‐religious, sebab objek yang sakral itu
dipakai untuk pemujaan, atau untuk dihormati.
Everything unusual, unique, new, perfect or
monstrous at once becomes imbued with magico‐
religious powers and an object of veneration or fear
according to the circumstances (for the sacred
ususally produces this double reaction).94
Dalam hal itu dapat dilihat titik perbedaan
pengertian tentang sakral dan profan menurut pandangan
Durkheim. Pandangan Durkheim adalah bahwa totem yang
bersifat sakral atau profan berkenaan dengan ritus. Klan
sendiri membuat klasifikasi totem yang bersifat sakral atau
profan dari sudut pandang tertentu, sehingga memiliki sikap
tertentu dalam penyembahan. Sedangkan pandangan Eliade
tentang simbol objek yang sakral sehubungan dengan
sejarah, atau harus bersifat historis karena faktor lokasi dan
peristiwa yang saling pengaruh juga pengalaman beragama,
sehingga simbol objek yang sakral dapat berpengaruh pada
objek profan karena mengalami perubahan dari faktor
intern dan ekstern melalui kehidupan beragama. Dengan
demikian juga dapat mengubah inti objek profan sebagai
hakikat dari hal yang sakral.
Teori Eliade tentang simbol objek yang sakral dapat
dirangkumkan dalam tiga butir sebagai berikut.
a. Simbol dalam bentuk apa saja dari alam semesta
dipandang dari sudut tertentu sebagai objek yang sakral
kratofani, mana dan teofani dalam peradaban
masyarakat arkhais.
b. Simbol objek yang sakral adalah reifikasi (manifestasi)
geografis sekaligus peristiwa sosio‐historis dalam waktu,
tempat, masa atau zaman peradaban dan sebagainya,
yang ikut membentuk pemujaan atau tindakan
keagamaan suatu masyarakat.
c. Simbol yang bersifat kratofani, hirofani, mana dan teofani
adalah bagian dari sistem simbolik. Untuk itu hal tersebut
mengekspresikan gagasan, maksud, perasaan dan sikap
pada pernyataan secara formal tentang suatu kenyataan
dalam kehidupan beragama. Intinya simbol dalam
sifatnya itu mampu menyatakan kepercayaan kepada
sesuatu yang sakral.
4) Mary Douglas : Simbol Struktur Kosmos (Lele).
Mary Douglas (1921‐2007), menjelaskan tentang
gagasan kosmos lele, yang adalah morfologi dan
pengetahuan dalam konteks kehidupan orang Afrika Tengah.
simbol peraturan tentang kesehatan, yang menjadi dasar
hubungan sosial dan kehidupan beragama. Peraturan
tersebut menunjuk kepada penolakan keadaan fisik (tubuh)
yang kotor, juga terhadap binatang yang lebih bersifat
dilarang untuk dimakan, sebab unsur itu merupakan satu
bagian dari kehidupan alam semesta. Oleh karena itu hal
tersebut merupakan pusat kebudayaan lele, di mana bagian
terbesar dinyatakan oleh satu nilai yang lebih bersifat
dominan yakni, kebaikan/kebajikan buhonyi. Buhonyi, untuk
petunjuk kepada rasa malu, hidup serdehana dan sikap
rendah hati. Buhonyi mempunyai arti kesopanan. “Buhonyi
is the sense of propriety.”95 Itu adalah reaksi orang baik
mempunyai kepekaan untuk sesuatu kelakukan yang tidak
patut. Buhonyi memberikan standar untuk semua hubungan
sosial, juga sandi atau kode moral bagi kosmos lele. Bukan
pada binatang yang pada dasarnya makhluk tanpa buhonyi.
Dengan demikian buhonyi adalah produk kebudayaan bukan
kebaikan alam. Penjelasan itu mengenai gagasan‐gagasan
95 Mary Douglas,
antara interaksi kosmos lele dengan buhonyi untuk perilaku
kehidupan sehari‐hari dan hubungan sosial. Oleh karena itu
buhonyi didasarkan pada gagasan kosmos lele.
Selain itu buhonyi mempunyai sifat penting bagi bagi
masyarakat Afrika Tengah. Mereka melakukan hal itu dalam
kehidupan setiap hari dan keagamaan, maka akan muncul
keserba‐ragaman larangan di waktu‐waktu tertentu.
Walaupun sesuatu dapat terlihat secara langsung, tetapi
bukan dari ritual dan mite atau doktrin.
Like many other primitive peoples the Lele have no
systematic theology, nor even anyhalf‐‐systematised
body of doctrines through which their religion can be
studied. As practised by them, it appears to be no
more than a bewildering variety of prohibitions,
falling on certain people all the time, or on everybody
at certain times. But what is intelligible in them is not
extracted from the rituals and presented in the form
of myths or doctrines.96
Penjelasan ini memberi gambaran sosial munculnya
kosmos lele merupakan gagasan yang diwujudkan dalam
larangan bagi kehidupan sosial, kebudayaan dan agama
dengan penggunaan simbol‐simbol dari objek‐objek alam
semesta. Larangan itu adalah sebuah paham abstrak. Bertitik
tolak dari hal ini barangkali ada hubungan erat dengan
pengertian paham atau agama alam, berdasarkan pada
objek alam semesta yang membangun pengetahuan
kepercayaan atau agama alam. Agama alam adalah
kontekstual dari dan di alam semesta, sehingga bersifat
natural. Untuk itu alam semesta dianggap merupakan
bagian dari Tuhan. Dengan demikian alam semesta adalah
Tuhan, sehingga wujud rasa Tuhan ada dimana‐mana.
Manifestasi dalam alam semesta sebagai tempat hidup dan
kerja manusia. Untuk itu dengan cara pemujaan dan
aktivitas ritual, sehingga dirasakan keseimbangan hidup,
keselamatan dan ketentraman hidup. Dengan demikian
maka bukan teologi secara sistematis atau sebagian dari
doktrin agama, yang berpengaruh pada kehidupan sehari‐
hari dan kehidupan beragama. Simbol pada struktur kosmos
Pertama, “simbol struktur kosmos lele dalam konteks
dunia sekular dapat ditemukan suatu pendekatan semacam
agama lele. Itu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hal dan kewajiban moral, serta tata cara dalam
perilaku kolektif.”97
Kedua, “simbol struktur kosmos lele pada aktivitas
sosial menjadi dasar sistem norma baik bagi individu
maupun kelompok.”98 Ini artinya, simbolisme pada kosmos
lele sebagai tanda peringatan untuk melakukan perbuatan
baik pada lingkungan terhadap objek alam, manusia dan
binatang dalam kehidupan.
Ketiga, “simbol struktur kosmos lele merupakan
bagian dari sistem budaya dan sistem sosial.”99 Namun
97
Ibid., 9. By learning the symbols in their secular context we can find a kind of back‐door approach to Lele religion. We need to appreciate their idea of propriety, their ideals ofwomanhood and menhood, and of personal cleanliness, in order to interpret their rites.
98
Ibid., 9‐10. For instance, the Lele inhabit the southern margin of the tropical forest of the Kasai District. They grow maize, hunt, weave raffia, and so on. Of all their activities, hunting is the highest in their own esteem.
99
demikian, di samping itu dalam keadaan tertentu, lele juga
merupakan sistem simbolik pada agam, khususnya cara
memuja.
a. Simbol struktur kosmos lele berarti cara memuja. Ini
adalah simbolisme lele sebagai petunjuk cara memuja
dengan simbol‐simbol di dalam dan melalui ritus.
Like all ritual, they are symbolic, but their meaning
must remain obscure to the rites themselves. It is
like a religion whose liturgical language, because it
draws on a vocabulary which is well‐‐understood
in nonliturgical writings.100
Penjelasan itu memberi gambaran tentang sistem
keagamaan lele terdiri dari aktivitas ritual dilakukan
secara bersama menurut pola tertentu, sehingga untuk
melakukan ritus didasarkan pada liturgi/peribadatan.
b. Simbol struktur kosmos lele berarti hubungan timbal
balik di antara tiga unsur yaitu manusia, binatang dan roh
intercourse of the basic distinction, the opposition between mankind and animal kind.