Menurut Eliade (1907‐1986), setiap simbol dapat menunjukkan salah satu dari empat konsep mengenai hirofani, kraptofani, mana, atau teofani mempunyai pokok isi paling mendasar tentang hal sakral, dalam hal ini paradigma agama. Wacana tentang simbol itu yang kontekstual dengan peradaban masyarakat arkhais. Beberapa buku ditulis oleh Eliade dengan judul Patterns in
Comparative Religion (1949); The Myth of Eternal Return
(1949); The Sacred and The Profane (1957); The History of
Religions).”83 Khusus buku Patterns in Comparative Religion
83
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion. Inyiak Ridwan Muszir, M. Syukri, (trans.) (Jogjakarta: IRCiSoD, 2011), 229, 233.
tentang simbol religius dalam konsep hirofani, kratofani, mana dan teofani, yang dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, “simbol mempunyai arti hirofani pada “struktur ritus, mite, objek yang sakral, manusia tertentu dipandang sebagai ikon suci, simbol kosmologis, binatang, tumbuhan, tempat dan lain‐lain dalam morfologi sendiri dari satu filial.”84 Istilah hirofani tersebut berasal dari bahasa Yunani yakni, “hierophany: hieros dan phaineien berarti
penampakan sakral.”85 Untuk itu apa saja sebagai objek
dapat merupakan hirofani. Hirofani pada objek itu kemudian dibentuk dengan struktur bersifat ilah dan definitif. “Sebuah objek yang bersifat ilah dianggap mampu menggugah perasaan kepada yang sakral, juga peristiwa sejarah dari
84
Mircea Eliade, Patterns In Comparative Religion. Rosemary Sheed, (trans.) (New York: Sheed and Ward Inc., 1958), 2. We are faced with rites, myths, divine forms, sacred and venerated objects, symbols, cosmologies, theologoumena, consecrated men, animals and plants, sacred places, and more. And each category has its own morphology — of a branching and luxuriant richness. For instance, with a Melanesian cosmogony myth or Brahman sacrife having as much right to our consideration as the mystical writings of a St. Teresa or a Nichiren, an Australian totem, a primitive initiation rite, the symbolism of the Borobudur temple, the myths and rites of the Great Goddesses, etc.
objek itu sendiri. Sebab objek itu berisi gagasan tentang yang sakral.”86
Kedua, “simbol mempunyai arti kratofani
(kratophany) pada objek apa saja yang dijadikan sasaran
perhatian sehingga ditentukan sebagai simbol yang bersifat kuat, mujarab, manjur dan tidak biasa.”87
Ketiga, “simbol mempunyai arti mana sebagai kekuatan tidak hanya mengenai orang tertentu, namun juga mengenai wujud lainnya. Mana menunjuk kepada beberapa macam penjelmaan atau perwujudan yang dapat diperoleh melalui pengalaman beragama.”88
86
Ibid. Each must be considered as a hierophany in as much as it expresses in some way some modality of the sacred and some moment in its history; that is to say, some one of the many kinds of experience of the sacred man has had. Each is valuable for two things it tell us: because it is a hierophany, it reveals some modality of the sacred; because it is as a historical incident, it reveals some attitude man has had towards the sacred.
87
Ibid., 23‐24. All these hierophanies and kratophanies indicate some sort of choice: what has been chosen is taken for granted as being strong, efficacious, dread or fertile, even if the “choice” is only a thing’s being singled out by being unusual, new, or freakish; what is chosen and shown to be so by means of a hierophany or a kratophany, often becomes dangerous, forbidden or defiled.
88
Ibid., 24. However, I have shown how unwise it is to make generalizations; how wrong it is, for instance to speak of mana as an
Keempat, “simbol mempunyai arti teofani
(theophany) dan magico‐religious atau peristiwa dari
kratofani dan teofani. Semuanya menjadi bagian dari sistem simbolik.”89 Oleh karena itu sesuatu yang tidak kelihatan namun yang berarti atau penting, sebab itu menyatakan sikap beriman kepada sesuatu yang sakral.
Empat pengertian di atas yaitu : hirofani, kratofani, mana dan teofani mengenai simbol sebagai objek yang sakral, yang perwujudannya melalui pengalaman beragama. Itu berarti bahwa, penglihatan, intuisi dan pengalaman pada sesuatu objek, sehingga terjadi proses unifikasi untuk menghasilkan dan menjadikan sifat sesuatu sakral. Untuk itu impersonal force, since it is only by some sort of personification or embodiment that it becomes accesible to religious experience, or to the eyes of profane man; how it is wiser to set out the problem in ontological terms, saying that all that exists fully has mana.
89
Ibid., 437. This, of course, is not to deny the fact that every magico‐ religious object or event is either a kratophany, a hierophany or a theophany. But we are often faced with mediated kratophanies, hierophanies or theophanies effected by sharing in or becoming part of a magico‐religious system which is always a symbolic system or symbolism Because of a symbolism which endows them with magic or religious significance
objek tersebut yang bersifat sakral, namun demikian dengan kehidupan beragama tidak sama dengan profan dan kehidupan sekular. “All the definitions given up till now of
the religious phenomenon have one thing in common: each
has its own way of showing that the sacred and the religious
life are the opposite of the profane and the secular life.”90
Sesuatu objek berarti hirofani dapat saja dalam arti yang tidak sama yang terdapat di tempat lainnya. Sebab objek hirofani di satu tempat pastinya sehubungan dengan peristiwa sejarah. “Objek yang bersifat hirofani dibatasi oleh segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah, sehingga pada objek itu ada hubungan antara maksud subjek dengan objek yang ditentukan mempunyai hakikat yang sakral.”91
Hakikat dari sesuatu yang bersifat sakral, juga terkait dengan hirofani‐hirofani bersifat elementer seperti
90 Ibid., 2. 91 Ibid., 3.
The fact that a hierophany is always a historical event (that is to say, always occurs in some definite situation) does not lessen its universal quality. Some hierophanies have a purely local purpose; others have or attain, world‐wide significance. The Indians, for instance, venerate a certain tree called asvatha; the manifestation of the sacred, in that particular plant species has meaning only for them. Consequently, that hierophany is not only of a certain time (as every hierophany must be), but also of a certain place.
mana, yang diperoleh melalui pengalaman‐ pengalaman beragama yang luar biasa, kuat, mustahil, yang dianggap aneh atau tidak biasa dan sifat lainnya.92
Itu berarti sesuatu objek yang menunjuk kepada hal yang sakral adalah dari aspek agama, sehingga agama itu memainkan peran begitu penting bagi kehidupan manusia terkait dengan yang sakral dan ritus melalui simbol.
Bagi Eliade, simbol dapat diperoleh dari alam semesta dan pengalaman beragama dengan pengembaraan akal budi. Tetapi juga intuisi manusia pada benda‐benda apa saja menjadi tanda yang menunjukkan kategori yang sakral atau profan. Meskipun demikian ia memberi tekanan pada apa saja (objek) yang lebih bersifat profan di saat tertentu, namun dapat ditransformasikan menjadi sakral. “Simbol
92 Ibid., xii.
“I mean the sort of treatise that starts with the elementary hierophanies (mana, the unusual, etc), going on to totemism, fetishism, the worship of nature and spirits, thence the gods and demons, and coming finally to the monotheistic idea of God.
yang bersifat profan itu memperoleh hirofani, sebab pada saat itu juga menerima dimensi baru dari kesakralan.”93
Penjelasan itu merupakan sesuatu objek yang sakral sebagai reaksi ganda, sehingga berpengaruh kepada objek yang profan. Sebab segala sesuatu pada suatu lokasi atau tempat, maka seketika itu juga dapat diilhami dengan kekuatan magico‐religious, sebab objek yang sakral itu dipakai untuk pemujaan, atau untuk dihormati.
Everything unusual, unique, new, perfect or
monstrous at once becomes imbued with magico‐
religious powers and an object of veneration or fear
according to the circumstances (for the sacred
ususally produces this double reaction).94
Dalam hal itu dapat dilihat titik perbedaan pengertian tentang sakral dan profan menurut pandangan
93
Ibid., 12‐13. I have given each piece of evidence the title hierophany, because each expresses some one modality of the sacred. For the moment we shall consider each separate thing—rite, myth, cosmogony or god—as a hierophany; in other words, we shall see each as a manifestation of the sacred in the mental world of those who believed in it. The thing that becomes sacred is still separates in regard to itself, for it only becomes a hierophany at the moment of stopping to be a mere profane something, at the moment of acquiring a new ‘dimension of sacredness.’
Durkheim. Pandangan Durkheim adalah bahwa totem yang bersifat sakral atau profan berkenaan dengan ritus. Klan sendiri membuat klasifikasi totem yang bersifat sakral atau profan dari sudut pandang tertentu, sehingga memiliki sikap tertentu dalam penyembahan. Sedangkan pandangan Eliade tentang simbol objek yang sakral sehubungan dengan sejarah, atau harus bersifat historis karena faktor lokasi dan peristiwa yang saling pengaruh juga pengalaman beragama, sehingga simbol objek yang sakral dapat berpengaruh pada objek profan karena mengalami perubahan dari faktor intern dan ekstern melalui kehidupan beragama. Dengan demikian juga dapat mengubah inti objek profan sebagai hakikat dari hal yang sakral.
Teori Eliade tentang simbol objek yang sakral dapat dirangkumkan dalam tiga butir sebagai berikut.
a. Simbol dalam bentuk apa saja dari alam semesta dipandang dari sudut tertentu sebagai objek yang sakral merupakan kategori gramatikal dengan morfem hirofani,
kratofani, mana dan teofani dalam peradaban masyarakat arkhais.
b. Simbol objek yang sakral adalah reifikasi (manifestasi) geografis sekaligus peristiwa sosio‐historis dalam waktu, tempat, masa atau zaman peradaban dan sebagainya, yang ikut membentuk pemujaan atau tindakan keagamaan suatu masyarakat.
c. Simbol yang bersifat kratofani, hirofani, mana dan teofani adalah bagian dari sistem simbolik. Untuk itu hal tersebut mengekspresikan gagasan, maksud, perasaan dan sikap pada pernyataan secara formal tentang suatu kenyataan dalam kehidupan beragama. Intinya simbol dalam sifatnya itu mampu menyatakan kepercayaan kepada sesuatu yang sakral.