• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Community Development dalam Pembangunan Pedesaan

Community Development yang oleh para praktisi pembangunan sering

diterjemahkan sebagai pembangunan masyarakat, pengembangan masyarakat, maupun pemberdayaan masyarakat, merupakan sebuah wacana pendekatan pembangunan yang telah dimulai sejak periode 1960-an. Periode di mana secara global masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II dan mulai menapak jalan kesejahteraan. Pada periode itu, persoalan kemiskinan dan keterbelakangan mulai mendapatkan perhatian kalangan yang lebih luas dan mendorong berkembangnya wacana dan praktek Community Development.

Dalam perspektif sejarah (Riza, Info URDI Vol. 16, 2002), perkembangan

Community Development pada tataran global dapat dibagi ke dalam setidaknya empat dasawarsa, yaitu dasawarsa 1960, 1970, 1980, dan 1990.

1. Dasawarsa 1960, Community Development banyak diwujudkan dalam bentuk investasi di dalam infrastruktur, riset, dan pengembangan teknologi tepat guna. Tujuan dari investasi ini adalah mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat terutama untuk meningkatkan produktifitas. Motor dari kegiatan

Community Development pada periode ini adalah pemerintah.

2. Dasawarsa 1970, terjadi perpindahan penekanan dari sektor-sektor produktif kearah sektor-sektor sosial. Latar belakang perpindahan ini adalah munculnya kesadaran bahwa peningkatan produktifitas hanya akan terjadi manakala variabel-variabel yang menahan orang miskin tetap miskin, (misalnya pendidikan dan kesehatan) dapat dibantu dari luar.

3. Dasawarsa 1980, ditandai dengan berkembangnya kesadaran adanya aktor lain yang memiliki potensi untuk terlibat di dalam Community Development yaitu sektor swasta. Sektor swasta yang telah berkembang melalui dukungan pemerintah memiliki tanggung jawab sosial untuk turut terlibat di dalam Community Development. Hal ini dilaksanakan misalnya melalui pengembangan kerja sama, akses pasar, hubungan inti-plasma, dan sebagainya.

4. Dasawarsa 1990, adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder, pendekatan system dan proses, maupun pendekatan civil society (masyarakat sipil). Beragam pendekatan

tersebut telah mempengaruhi praktek Community Development dan mengedapankan aktor lain yaitu organisasi masyarakat sipil sebagai pelaku kunci dari Community Development.

Secara skematis, dinamika perkembangan wacana Community Development

dapat digambarkan sebagai berikut:

Pemerintah 1960 1970 Sektor Sektor Produktif 1990 Sosial 1980 Pasar Sumber: Riza, Info URDI Vol. 16, 2002

Gambar 2.1. Dinamika Perkembangan Wacana CD

Dari aspek keterlibatan masyarakat, praktek Community Development dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk (Riza, Info URDI Vol. 16, 2002), yaitu:

1. Development for community

Development for community adalah bentuk Community Development di mana masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor dari luar. Aktor luar ini dapat saja telah melakukan penelitian, melakukan

konsultasi, dan melibatkan tokoh setempat. Namun apabila keputusan dan sumber daya pembangunan berasal dari luar, maka pada dasarnya masyarakat tepat menjadi objek.

2. Development with community

Development with community ditandai secara khusus dengan kuatnya pola

kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak.

3. Development of community

Development of community adalah proses pembangunan yang baik inisiatif,

perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat membangun dirinya sendiri. Peran aktor dari luar dalam kondisi ini lebih sebagai system pendukung bagi proses pembangunan.

Ketiga pendekatan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu memperbaiki kualitas kehidupan dan kelembagaan masyarakat lokal. Perbedaan yang ada lebih berada pada sarana yang dipakai. Efektivitas sarana ini sangat ditentukan oleh konteks dan karakteristik masyarakat yang dihadapi. Pada masyarakat tertentu mungkin pendekatan development for community lebih sesuai sementara pada masyarakat yang lain development with community justru yang dibutuhkan. Faktor utama yang menentukan pemilihan ketiga pendekatan tersebut adalah seberapa jauh kelembagaan masyarakat telah berkembang.

Dewasa ini, program pemberdayaan masyarakat banyak sekali diluncurkan oleh pemerintah sebagai wujud komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sayangnya, terdapat kesan bahwa program ini kurang berhasil mencapai sasaran yang diharapkan, yakni kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosial maupun politis. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan dalam desain program pemberdayaan itu, antara lain bahwa pemberdayaan sering dipersepsikan dan diterjemahkan secara sempit sebagai pemberian akses financial (penyediaan dana bantuan atau kredit) yang lebih besar kepada anggota masyarakat, khususnya kelompok miskin. Persepsi yang demikian, tidaklah mengherankan bahwa program pemberdayaan sering kali dikemas dalam kerangka program pengentasan kemiskinan. Padahal, masyarakat yang tidak berada di bawah garis kemiskinan pun membutuhkan upaya pemberdayaan pula.

Dalam hal ini, terdapat kritik dari Mishael Lipton dan Robert Chamber, program pengentasan kemiskinan sering bias dan salah sasaran. Program dan proyek pengentasan kemiskinan di berbagai Negara berkembang banyak dilaksanakan di perkotaan, sehingga kemiskinan di pedesaan (rural proverty) tidak dapat berkurang secara signifikan. Situasi seperti ini oleh Lipton disebut sebagai bias perkotaan (urban bias).

Analisis serupa diberikan oleh Chamber (1995) yang mengatakan bahwa pengentasan kemiskinan pada dasarnya bukan hanya persoalan teknis semata tentang bagaimana memenuhi kebutuhan fisik masyarakat secara berkesinambungan, namun lebih pada usaha untuk memberikan “energi” yang lebih besar kepada masyarakat melalui proses pemberdayaan (empowerment).

Oleh karena itu, Chamber (1995) mengajukan pemikiran bahwa upaya untuk mengatasi masalah ketidak berdayaan masyarakat adalah melalui “…enabling and empowering the poor through ‘reversals in management’ of dominant paradigms of development which involves shifting power and initiatives downwards and

outwards”. Dengan demikian, suatu proses pemberdayaan haruslah memberikan

kesempatan/ wewenang dan memberdayakan kaum miskin melalui “terobosan perukaran manajemen” dalam paradigma pembangunan yang selama ini dominan. Artinya, diperlukan pemindahan atau pengoperan kekuatan dan inisiatif berusaha dari kelompok kuat kepada kaum miskin tersebut.

Persepsi bahwa kebijakan pemberdayaan harus dikaitkan dengan program pemberian bantuan lunak secara bergilir (revolving grant) juga mengandung bahaya, sebab hal ini justru menciptakan ketergantungan masyarakat. Dengan kata lain, program micro credit atau micro finance bagi penduduk miskin mencerminkan budaya aparatur pemerintah yang masih berorientasi top down dan patronizing yang terlalu kuat, baik dalam kebijaksanaan maupun perencanaan. Sikap ini sering menimbulkan kondisi ketergantungan (dependency) dan kurang menimbulkan keswadayaan masyarakat lokal.

Upaya untuk mengatasi kelemahan tersebut mendorong Community Development kearah yang lebih maju. Pada saat ini Community Development telah mengalami proses pengayaan sehingga menjadi sebuah pendekatan yang multi aspek dan secara umum terdiri dari beberapa aspek kunci sebagai berikut (Riza, Info URDI Vol. 16, 2002):

1. Adalah sebuah proses “akar rumput”.

Community Development merupakan proses yang terjadi di masyarakat lokal dan dilaksanakan di dalam konteks mereka. Community Development bukanlah proses yang dapat didesain dan diproses dari atas.

2. Menjadi lebih swadaya (self-reliance).

Banyak kegiatan yang dinamakan Community Development dalam kenyataan justru menumbuhkan ketergantungan masyarakat lokal terhadap aktor luar. Apabila hal ini terjadi, maka kegiatan yang dilaksanakan pada dasarnya bukan

Community Development karena Community Development pada dasarnya adalah upaya menolong masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri dengan membuat masyarakat menjadi swadaya.

3. Berkembang menjadi komunitas pembelajar (learning communities).

Menjadi swadaya menuntut masyarakat lokal untuk mampu belajar dari pengalamannya sendiri untuk menjawab tantangan yang akan muncul dikemudian hari.

4. Berkurangnya kerentanan dan kemiskinan.

Keberhasilan Community Development bukan sekedar bahwa kegiatan yang direncanakan telah dilaksanakan (output). Apapun kegiatan dan oleh siapa saja,

Community Development hanya dianggap berhasil bila mampu mengurangi

5. Terciptanya peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan.

Peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan dalam sebagian besar kegiatan Community Development adalah sasaran yang menjadi pondasi bagi pencapaian sasaran lain yang lebih jauh.

6. Menguatnya modal sosial

Dalam komunitas masyarakat miskin yang tidak memiliki modal financial, modal sosial merupakan modal dasar yang memungkinkan masyarakat lokal bertahan hidup dan mengembangkan aktivitas ekonomi. Community Development

dilaksanakan dengan menggunakan modal sosial sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan lainnya.

7. Tercapainya keseimbangan tujuan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat dipercaya akan mengantar masyarakat dalam berproses untuk mampu menganalisa masalah dan peluang yang ada serta mencari jalan keluar sesuai sumber daya yang mereka miliki. Untuk mencapai hasil optimal dalam upaya memberdayakan masyarakat, penggunaan pendekatan tunggal jelas tidak tepat. Perlu dikembangkan pendekatan lain untuk merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif. Untuk memudahkan pemahaman mengenai pendekatan baru dalam perumusan kebijakan peberdayaan tersebut, maka perlu ditentukan dua hal; Pertama tentang dimensi dan tingkatan pemberdayaan, sedang kedua adalah kategorisasi dari program pemberdayaan itu sendiri.

Dalam dimensi dan tingkatan pemberdayaan, merujuk pada kajian UNDP (UNDP, 1998, Capacity Assesment and Development in A System and Strategic

Management Context, Technical Advisory Paper No.3) paling tidak ada tiga level yang harus dicapai oleh program pemberdayaan, yakni: 1) pemberdayaan pada level individu, berupa pengembangan potensi dan keterampilan; 2) pemberdayaan pada level kelompok/ organisasi, yakni yang berhubungan dengan peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan; serta 3) pemberdayaan pada level kesisteman, yakni berwujud meningkatnya kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosiologis maupun politis.

Adapun indikator dari masing-masing dimensi dan tingkatan pemberdayaan (UNDP, 1998) dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1. Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat

Dimensi Indikator

Level Individu:

Pengembangan potensi dan keterampilan

Level Kelompok/Organisasi: Partisipasi dalam pembangunan Level Sistem: Kemandirian masyarakat Kepemilikan asset/modal Kekuatan fisik Tidak terisolasi Penguasaan keterampilan Keberfungsian lembaga usaha

Perencanaan dan pengambilan keputusan Pelaksanaan dan pengawasan keputusan Bersama

Pemanfaatan hasil-hasil pembangunan Pengurangan ketergantungan kepada bantuan luar

Sumber: Utomo, 2006

Sementara pada aspek kategorisasi program pemberdayaan, paling tidak ada lima kelompok besar pemberdayaan (Widodo, 2006), yakni:

1. Penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber daya seperti modal, informasi, kesempatan berusaha dan memperoleh kemudahan/fasilitas, dan sebagainya.

Pemberian pinjaman lunak, penerbitan dan penyebaran buletin, subsidi bagi pengusaha lemah, dan sebagainya dapat diklasifikasikan sebagai aktivitas dalam kategori ini.

2. Peningkatan keseimbangan antara sebuah kondisi yang memiliki keunggulan dengan kondisi lain yang tidak memiliki keunggulan.

Sebagai contoh, kawasan perkotaan yang memiliki kelengkapan infrastruktur transportasi dan komunikasi, lembaga keuangan bank dan non-bank, jaringan pemasaran, dan lain-lain adalah contoh kondisi yang memiliki faktor-faktor keunggulan. Di sisi lain, kawasan pedesaan sering dicirikan oleh karakteristik yang sebaliknya. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang bisa mendekatkan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan pedesaan dapat digolongkan sebagai pemberdayaan masyarakat.

Contoh lain, ada lahan pertanian yang sudah dilengkapi dengan prasarana irigasi sementara lahan lain tidak memiliki prasarana yang sama. Kebijakan pertanian yang ditempuh selama ini lebih banyak difokuskan kepada lahan yang sudah memiliki faktor keunggulan (misalnya jaringan irigasi) dengan alasan untuk mendongkrak produksi panen. Seandainya pemerintah mempromosikan program intensifikasi pertanian untuk lahan yang tidak memiliki jaringan irigasi, maka hal

ini berarti telah terjadi pemberdayaan pertanian rakyat, sekaligus pemberdayaan petani.

3. Pengembangan potensi masyarakat baik dalam pengertian SDM maupun kelembagaan masyarakat.

Setiap upaya untuk merubah kondisi dari bodoh menjadi pintar, dari tidak mampu menjadi mampu, dari tidak tahu menjadi tahu dan sebagainya, jelas sekali merupakan program pemberdayaan. Aktivitas semacam pelatihan, penyuluhan dan kursus-kursus yang diselenggarakan secara sistematis dengan tujuan memperkuat potensi masyarakat, adalah contoh nyata dari aksi pemberdayaan. Demikian pula, setiap upaya yang ditujukan untuk memperkuat keberfungsian atau meningkatkan efektivitas lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti Koperasi Unit Desa (KUD), Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A), dan sebagainya dapat dikelompokkan sebagai kebijakan pemberdayaan.

4. Penyediaan stimulus untuk membangkitkan swadaya dan swakelola dalam bidang pelayanan umum.

Dalam banyak kasus ditemukan adanya fenomena bahwa masyarakat (khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan), telah memiliki kemapuan ekonomis dan manajerial yang memadai untuk mengelola suatu kegiatan tertentu seperti perbaikan jalan dan gorong-gorong, penyediaan air bersih melalui pembangunan sumur artesis atau sistem bak penampungan, dan sebagainya. Hanya saja, hal ini sering terbentur pada kendala koordinasi dan inisiatif untuk memulainya. Dalm situasi seperti itulah, kebijakan pemerintah untuk mengucurkan stimulant atau

pernagsang, sangat berarti. Stimulant di sini bisa berwujud pemberian perijinan, bantuan teknis, atau pemberian dana suplemen bagi suatu kegiatan tertentu.

5. Penyertaan masyarakat atau kelompok masyarakat daam proses perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan.

Seiring dengan paradigma pembangunan yang bertumpu dan berorientasi pada rakyat (people-based and people-oriented development). Rakyat harus diakui dan ditempatkan sebagai elemen kunci dalam perumusan dan implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan. Beberapa contoh program pemberdayaan yang masuk dalam kategori ini misalnya pembentukan forum konsultasi pembangunan, deregulasi perijinan pendirian LSM atau NGO, eliminasi perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas (keturuan, wanita, penduduk asli/pendatang, dll), dan sebagainya.

Langkah selanjutnya dalam menganalisis kebijakan pemberdayaan adalah menetapkan bidang dan strategi pencapaiannya. Dalam hal ini, paling tidak ada empat bidang pencapaian untuk mengakselerasi kebijakan pemberdayaan, yakni ekonomis, sosial budaya, politis/administratif, serta prasarana. Sebagai contoh, untuk kategori pemberdayaan yang pertama yakni “penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber daya”, secara ekonomis hal ini dicapai dengan pemberian pinjaman lunak dan subsidi bagi pengusaha lemah, penyebaran informasi peluang pasar domestik dan internasional, atau melalui pemberian dana suplemen. Sementara dari aspek sosial budaya dapat ditempuh melalui penerbitan dan penyebaran buletin, penyediaan sarana promosi/pengadaan pekan promosi, promosi

program intensifikasi sektoral seperti pertanian, serta penyelenggaraan kursus dan berbagai macam pelatihan.

Dalam aspek politis/administratif dapat dilakukan langkah-langkah strategis seperti membangun kemitraan dengan sektor swasta, memperkuat fungsi atau efektivitas lembaga kemasyarakatan, memberikan kemudahan dalam proses perijinan (deregulasi), menghilangkan perlakuan yang diskriminatif terhadap masyarakat dan dunia usaha, membangun forum konsultasi pembangunan, dan sebagainya. Adapun dari aspek infrastruktur dapat dipertimbangkan unutk beberapa langkah seperti pembukaan daerah terisolir melalui pembangunan jalan tembus, bantuan material fisik sebagai bentuk rangsangan dan sebagainya.

Keterlibatan tersebut, juga didukung oleh Blakely (1991) yang mengatakan bahwa: “Local government, community development process”. Pandangan Blakely sejalan pula dengan paradigma baru pembangunan bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah pembangunan di suatu daerah, harus dilaukan melalui institusional radicalization, yaitu kembali ke akar kelembagaan yang tumbuh (berada) di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.

Sering terjadi, Community Development justru mengubah keseimbangan elemen-elemen dalam masyarakat yang ada. Apabila hal ini terjadi maka dalam jangka panjang akan merugikan masyarakat. Community Development sebaiknya dilaksanakan dengan mempertahankan perspektif keseimbangan yang ada di masyarakat lokal.

Menurut Riza dalam info URDI Vol. 16, 2002, Community Development agar dapat dilaksanakan secara efektif perlu didasarkan pada beberapa pemahaman dasar seperti di bawah ini:

1. Upaya jangka panjang. Community Development merupakan sebuah proses terus menerus (on-goig process) yang menuntut lebih kepada pengembangan kelembagaan dan bukan serangkaian aktivitas dalam kerangka proyek.

2. Terbuka dan setara. Community Development adalah proses yang terbuka terhadap berbagai masukan dan pengaruh sesuai kondisi lokal. Untuk itu sikap yang melibatkan berbagai stakeholder Community Development secara setara menjadi keharusan. Sikap ini merupakan prasyarat untuk mengembangkan partisipasi. 3. Milik masyarakat. Community Development merupakan aktivitas yag dimiliki oleh

masyarakat. Karenanya desain, proses, dan pengembangannya dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat lokal.

4. Berdasar pada pengalaman kasus-kasus yang baik (best practices). Community Development merupakan bagian dari proses sejarah masyarakat lokal. Community

Development terutama dengan perspektif Appreciative Inquiry melihat bahwa di masyarakat banyak hal-hal positif yang dapat menjadi batu pijakan

melaksanakan berbagai aktivitas lainnya.

Dengan demikian Community Development yang dikembangkan sebagai respon sesaat pada isu atau kecenderungan tertentu, membuat masyarakat tidak dapat berpartisipasi, dan dilaksanakan terisolasi dari sektor-sektor lain pada dasarnya bukanlah Community Development.

Dokumen terkait