• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Kondisi Ekonomi

4.2.2. Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per Kapita

Rendahnya penyerapan anggaran pemerintah Aceh pada tahun 2009 sangat memprihatikan. Terlebih lagi kebiasaan penyerapan anggaran terjadi pada akhir-akhir tahun. Padahal, pembelajaan pemerintah sangat membantu memacu perekonomian di saat sektor swasta belum bekerja secara optimal. Dalam istilah ekonomi, Stagnan ekonomi terjadi ketika pertumbuhan ekonomi kurang dari 2-3 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2008 tanpa minyak dan gas hanya sebesar 1,9 persen saja. Periode 2005-2008 terjadi kenaikan harga barang, perumahan dan upah tenaga kerja di Aceh jauh di atas rata-rata nasional. Di tahun 2008, Upah minimum regional di Aceh merupakan tertingggi di Indonesia Rp 1 juta, bandingkan dengan rata-rata nasional Rp.750.000.- tingginya upah minimum mengakibatkan

harga bahan makanan dan perumahan ikut naik. Kenaikan permintaan pada masa proses rekontruksi dan rehabilitasi telah mengakibatkan tingginya angka inflasi di Aceh pada tahun 2005 yang sempat menyentuh angka 10 persen lebih. Dalam istilah ekonomi Inflasi diartikan sebagai kenaikan barang secara umum secara terus menerus.

Kenaikan harga barang dapat disebabkan oleh kelangkaan, atau karena musibah bencana alam. Namun dalam konteks inflasi yang terjadi di Aceh selama periode 2005-2008, penyebabnya karena bertambahnya peredaran uang. Selama proses rekontruksi dan rehabilitasi di Aceh, menunjukan peredaran uang di Aceh meningkat tajam pada periode tersebut yang mengakibatkan semua barang menjadi mahal. Hal ini terbukti dari peningkatan jumlah simpanan masyarakat di perbankan dari Rp. 7 triliun di tahun 2004 menjadi Rp. 20 triliun di tahun 2008 (Bank Indonesia).

Pasca berakhirnya proses rekontruksi dan rehabilitasi yang menjadi mesin dalam memacu perekonomian di Aceh timbul gejala stagnasi. Ada beberapa gejala stagnasi yang timbul di Aceh setelah berakhirnya mandat BRR bulan April 2009 yang lalu. Pertama, gejala Deflasi. BPS Aceh mempublikasikan bahwa di kota Banda Aceh ibukota Provinsi Aceh terjadi deflasi sebesar 1.30 persen (Serambi Indonesia, 5/01/2010).

Begitulah analogi kegiatan perekonomian di Aceh tahun 2005-2008, dengan sokongan dana yang mencapai puluhan triliun rupiah dari BRR, Lembaga donor dan pemerintah pusat perekonomian dipacu dengan kecepatan tinggi namun tiba-tiba

diperlambat secara drastis di tahun 2009. Perlambatan ini bila tidak diatasi dengan kebijakan ekonomi yang tepat akan berlanjut pada tahun 2010. Perlu diingat bahwa deflasi juga merupakan sebuah peringatan kemungkinan terjadinya resesi.

Di kabupaten Aceh besar jumlah angkatan kerjanya mencapai 216.036 jiwa, sedangkan lapangan kerja yang tersedia hanya 176.154 jiwa, sehingga terjadi kesejangan 40.157 jiwa (Serambi, 15/07/2009).

Data statistik menunjukan bahwa Kabupaten Aceh Besar selama periode 2005 sumbangan produk pertanian, kehutanan dan perikanan terhadap GDP naik dari -3,9 persen menjadi 1,5 persen ditahun 2006 dan menjadi 3,6 persen di tahun 2007, akan tetapi mengalami penurunan di bulan Ma\ei 2008 menjadi hanya 0,8 persen.

4.2.3. Pertanian

Aceh Besar memiliki kesuburan tanah yang tinggi dan cocok untuk pengembangan berbagai jenis komoditas pertanian. Bahkan, untuk wilayah kecamatan tertentu telah memiliki komoditi pertanian unggulan tertentu karena didukung oleh lingkungan alam. Selama ini banyak jenis tanaman buah-buahan yang telah diusahakan oleh rakyat secara turun temurun, seperti mangga, langsat, rambutan, durian dan lain-lainnya. Komoditi-komoditi ini sangat membantu memberikan penghasilan bagi pelaku usahatani di daerah ini, terutama pada saat musim panen.

Pengembangan tanaman pangan di Kabupaten Aceh besar telah menghasilkan beberapa komoditas tanaman pangan penting. Padi, misalnya, pada awal tahun 2002 produksinya hanya 184.740 ton, lalu meningkat menjadi 199.226 ton pada tahun 2004. Namun, pada tahun 2005 produksi padi turun menjadi 154.437. Penurunan ini disebabkan oleh adanya bencana tsunami yang merusak sebagian lahan pertanian di kabupaten ini. Kemudian, pada tahun 2006 produksi padi meningkat kembali menjadi 210.818 ton. Kondisi yang sama juga dialami oleh komoditas tanaman pangan lainnya, seperti kedelai, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang tanah. Produksi beberapa komoditi ini pada tahun 2005 juga menurun karena menciutnya lahan yang ada akibat rusak dilanda bencana tsunami.

b) Perkebunan

Isu yang sangat menonjol sektor perkebunan adalah masih luasnya areal yang terlantar yang dapat dimanfaatkan seluas 89.908 Ha dan tingkat penggunaan masyarakat yang masih tinggi sebanyak 27.666 orang, maka untuk mengatasi hal tersebut diupayakan melalui pengembangan kawasan perkebunan yang terdiri dari pengembangan kawasan kelapa sawit dan kakao. Perkebunan merupakan salah satu sektor andalan di kabupaten Aceh Besar. Jumlah dan jenis tanaman yang dikembangkan pekebun di daerah ini beraneka ragam. Jenis tanaman perkebunan berumur panjang yang menonjol di daerah ini adalah kelapa dalam, kelapa sawit dan kakao, pinang, cengkeh, lada, dan kemiri, di samping tanaman perkebunan lainnya. Perkembangan luas tanam komoditas perkebunan dalam setahun terakhir terlihat mengalami peningkatan.

Hal ini telah berimplikasi pada terjadinya kenaikan produksi, kecuali untuk pinang dan cengkeh. Produksi kelapa dalam, misalnya telah meningkat menjadi 6.189 ton pada tahun 2009 dari 3.845 ton pada tahun 2004 (naik 17,19%). Kemiri bertambah produksinya menjadi 1.488 ton (tahun 2009) dari hanya 999 ton pada tahun 2005 (atau naik 14,20 %). Untuk lebih jelas tentang pembudidayaan komoditas perkebunan di kabupaten Aceh Besar.

Namun demikian, pengembangan produktivitas tanaman perkebunan di daerah ini masih dihadapkan pada beberapa permasalahan, antara lain:

a. Kurang intensifnya perawatan dan penanganan pasca panen, serta terbatasnya modal dan kecilnya skala usaha tani.

b. Rendahnya kualitas benih/bibit dan bahan masukan (input), sehingga berpengaruh negatif terhadap produksi.

c. Belum optimalnya penggunaan lahan yang berpotensi dikembangkan, terutama masih banyak lahan-lahan kosong yang ditinggalkan/terlantar, bahkan ada yang telah berubah menjadi hutan rimba.

d. Belum terbinanya kerjasama/kemitraan antara petani produsen, KUD, pedagang dan pengusaha yang saling menguntungkan; dan

e. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik petani maupun petugas yang menangani budidaya komoditi perkebunan.

c) Peternakan

Kebijakan pembangunan peternakan di Kabupaten Aceh Besar diarahkan untuk peningkatan usaha diversifikasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi ternak.

Perhatian khusus diberikan pada pengembangan peternakan rakyat dengan meningkatkan peranan secara kelembagaan dengan melibatkan pihak swasta. Dengan demikian, kontribusi sub sektor ini dalam penciptaan nilai tambah dapat semakin meningkat.

d) Perikanan

Perkembangan perikanan yang telah memberikan andil besar dalam PDRB Kabupaten Aceh Besar relatif mengalami penurunan. Kontribusi sub-sektor ini terhadap PDRB pada tahun 2009 hanya 3,79 persen, turun dibanding tahun 2008 yang sebesar 3,81 persen. Penurunan ini disebabkan oleh banyaknya prasarana perikanan yang hancur dihantam bencana tsunami. Potensi perikanan baik darat maupun perikanan laut, terdapat di 9 kecamatan, yaitu Kecamatan Lhong, Leupung, Lhoknga, Seulimum, Masjid Raya, Baitussalam, Krueng Barona Jaya, Peukan Bada, dan Kecamatan Pulo Aceh. Selain itu, terdapat 4 sentra perikanan yang dilengkapi dengan fasilitas PPI (Pusat Pendaratan Ikan) dan TPI (tempat Pelelangan Ikan), yaitu di Krueng Raya, Lambada, Peukan Bada, dan Lhoknga.

e) Kehutanan

Sejalan dengan perkembangan penduduk yang memicu laju perkembangan pembangunan, maka ancaman dan tantangan terhadap keberadaan hutan semakin tinggi. Namun disisi lain keberadaan hutan semakin memiliki nilai penting dan strategis untuk mendukung pembangunan. Kabupaten Aceh Besar yang memiliki luas kawasan hutan ± 66% dari luas Kabupaten Aceh Besar harus memiliki arah yang jelasdan terukur dalam melakukan pengelolaan hutan agar fungsi-fungsi utama dari

hutan seperti fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dapat dilakukan secara seimbang dan berkesinambungan.

4.2.4. Perdagangan

Aktivitas perdagangan yang berkembang di Kabupaten Aceh Besar selama ini masih ditunjang oleh ketersediaan sarana yang relatif terbatas. Sejauh ini belum terdapat sarana pasar yang modern seperti Mal, supermarket, atau yang sejenisnya. Yang tersedia selama ini hanya berupa pasar tradisional dan pertokoan yang bersatu dalam suatu deretan.

Jumlah pasar tradisional yang tersedia hingga akhir tahun 2009 adalah 19 unit, lebih sedikit dibanding periode sebelum bencana tsunami (24 unit). Bencana tsunami telah mengakibatkan hilangnya/hancurnya beberapa unit pasar tradisional. Sementara jumlah deretan pertokoan yang ada masih tetap 3 unit.

Dokumen terkait