• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Bima, NTB pada tanggal 21 Agustus 1977 dari ayah H. Muhammad Usman, A.md dan ibu Hj. Siti Fatimah. Penulis merupakan putrid pertama dari lima bersaudara.

Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bima dan pada tahun yang sama masuk Institut Pertanian Malang (IPM), penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, lulus tahun 1998.

Tahun 2003, penulis diterima pada Pusat Bina Penyuluhan Kementerian Kehutanan Jakarta, sebelum ditempatkan di tempat tugas, penulis mengikuti magang selama 6 (enam) bulan di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.

Pada tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2013. Beasisiwa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Kehutanan

Republik Indonesia cq. Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Badan Penyuluhan dan

Pengembangan SDM, Kementerian Kehutanan.

Saat ini penulis ditempatkan di Pusat Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kehutanan (BP2SDMK) Kementerian Kehutanan di Jakarta.

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan

keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan dan perairan di Indonesia saat ini yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan seluruhnya adalah ± 134.275.567,98 hektar yang terdiri dari kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi (Kemenhut 2011).

Kenyataannya hutan yang seharusnya dijaga dan dilestarikan tersebut semakin lama semakin rusak, pembangunan kehutanan selama ini telah mengabaikan keberadaan dan fungsi hutan sehingga terjadi deforestasi hutan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun yang mengakibatkan degradasi lahan sehingga membentuk lahan kritis. Lahan kritis adalah lahan yang secara biofisik telah rusak karena terbuka dan mengalami erosi berat.

Laju deforestasi secara nasional pertahun mencapai 2,83 juta ha, luas lahan kritis sebesar 23,24 juta ha. Lahan kritis ini 35 persen berada di dalam kawasan hutan dan 65 persen berada di luar kawasan hutan.

Kerusakan hutan dan lahan berdampak pada tiga aspek penting yaitu aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial. Kerusakan hutan ini terjadi karena adanya kegiatan-kegiatan illegal yang dilakukan oleh masyarakat di dalam hutan dan eksploitasi sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Mengatasi kondisi kerusakan hutan dan degradasi lahan perlu adanya upaya konservasi lahan baik yang dilakukan melalui program-program konservasi yang diprogramkan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh masyarakat secara swadaya. Upaya konservasi lahan ini akan berhasil dengan baik apabila melibatkan masyarakat disekitar kawasan hutan dan pemilik lahan di luar kawasan hutan sebagai pelaku utama dalam melaksanakan konservasi lahan tersebut.

Keterlibatan masyarakat ini, sejalan dengan amanat Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan pemberdayaan masyarakat. Lebih lanjut juga dinyatakan bahwa untuk menjamin perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan juga mengamanatkan agar masyarakat ditempatkan sebagai pelaku utama dalam kegiatan penyuluhan, pelaku utama ini adalah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

Umumnya masyarakat yang ada di sekitar hutan, mempunyai keterbatasan akses, pengetahuan, keterampilan dan kemauan untuk melaksanakan kegiatan konservasi lahan, dan kondisi ini mempengaruhi serta menjadi salah satu kendala yang menghambat masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan konservasi lahan.

Menurut Riyanto (2008), kondisi masyarakat sekitar hutan saat ini rata-rata miskin, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan berjumlah ± 10 juta jiwa, dari jumlah tersebut ± 4 juta jiwa tergolong miskin. Lebih lanjut menurut CIFOR 2000; BPS 2000 yang diacu dalam Kemenhut (2011), dari jumlah penduduk Indonesia yaitu sebanyak 219,9 juta jiwa, penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan tercatat sebanyak 48,8 juta jiwa, dan sekitar 10,2 juta jiwa diantaranya tergolong miskin.

Masyarakat yang berada di sekitar hutan yang masih dalam kondisi terbatas tersebut, perlu diberikan bimbingan dan peningkatan pengetahuan tentang manfaat serta fungsi kegiatan konservasi lahan melalui kegiatan penyuluhan secara intensif. Kegiatan penyuluhan ini dilakukan terus menerus serta melibatkan masyarakat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan sampai dengan evaluasi kegiatan konservasi lahan.

Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan yang intensif dan terus menerus ini selain dapat diberikan oleh Penyuluh Kehutanan PNS, juga dilaksanakan oleh penyuluh yang berasal dari masyarakat (penyuluh swadaya) yang sudah ada dalam lingkungan masyarakat itu sendiri atau dari luar yang sudah terbukti berhasil melaksanakan kegiatan konservasi lahan. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 16/2006, yang menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh penyuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyuluh swasta dan/atau penyuluh swadaya. Penyuluh swadaya bidang kehutanan lebih dikenal dengan sebutan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM).

Keberadaan PKSM ini membantu mengatasi kekurangan tenaga penyuluh PNS dalam suatu wilayah, dia bekerjasama serta menjadi mitra kerja penyuluh PNS dalam mengajak dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi pada kegiatan konservasi lahan. PKSM diharapkan mampu berperan dalam menjembatani penyampaian berbagai informasi, transfer ilmu pengetahuan dan alih teknologi kepada sasaran penyuluhan melalui berbagai metode dan teknik penyuluhan, sehingga terjadi perubahan sikap dan keterampilan serta bertambahnya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat.

Menurut Dephut (2009), PKSM mempunyai peran penting dan strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan, dan juga merupakan investasi penting untuk membantu mengamankan, melestarikan sumberdaya hutan sebagai aset negara sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat

PKSM tersebar di seluruh Indonesia, berdasarkan data tahun 2009, jumlah PKSM yang terdata di Kementerian Kehutanan sebanyak 1900 orang, tahun 2012 jumlah PKSM meningkat menjadi 2504. Pemberdayaan PKSM ini diarahkan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang telah dikukuhkan sebagai PKSM yang secara mandiri mau dan mampu melaksanakan penyuluhan kehutanan. PKSM mau melaksanakan penyuluhan kehutanan secara swadaya karena didorong oleh rasa ingin berbagi pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian terhadap keberadaan dan kelestarian hutan, apabila kondisi hutan dan lahan baik, maka akan meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat.

Provinsi yang berada di wilayah Indonesia Timur yang memiliki PKSM dan terdaftar di Kementerian Kehutanan sampai saat ini terdiri dari provinsi Bali sebanyak 136 orang, provinsi Nusa Tenggara Barat sebanyak 274 orang dan provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 11orang (Kemenhut 2012).

Kabupaten Bima, merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang saat ini sudah memiliki instansi/lembaga penyelenggara penyuluhan pertanian dan perikanan yaitu Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) dan Dinas Kehutanan sebagai penyelenggara penyuluhan kehutanan di bawah koordinasi Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) Provinsi NTB.

Kabupaten Bima memiliki potensi lahan kritis seluas 73.062,71 Ha, terbagi lahan di luar kawasan hutan Negara 42.388,10 Ha dan dalam kawasan 30.674,61 Ha. Luas tanaman yang direboisasi mulai tahun 2007 – 2011 seluas 2.310 Ha (Dishut 2011). Kabupaten Bima juga memiliki potensi sumberdaya manusia penyuluh PNS sebanyak 20 orang yang membina masyarakat di 18 Kecamatan dan 177 desa, PKSM sebanyak 60 orang yang membina paling sedikit 1 (satu) Kelompok Tani (KT) dalam 1 desa dengan jumlah anggota kelompok antara 40-150 orang/KT. Saat sekarang kelompok tani yang masih aktif sebanyak 90 KT dengan total jumlah anggota sebanyak 5.508 orang.

Kemenhut (2011), menyatakan bahwa pengembangan kemandirian masyarakat dilakukan oleh penyuluh kehutanan melalui pendampingan berbagai kegiatan usaha produktif masyarakat yang berbasis kehutanan dan dengan membangun berbagai model atau percontohan kegiatan pembangunan kehutanan. Pendampingan yang dilakukan dalam upaya mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan adalah melalui kegiatan pembangunan Hutan Rakyat (HR), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, One Billion Indonesia Trees, dan lain-lain.

Partisipasi masyarakat dan pendampingan yang dilakukan oleh PKSM pada kegiatan konservasi lahan baik di dalam kawasan maupun pada lahan milik petani yang telah dilakukan di Kabupaten Bima sejalan dengan program konservasi yang telah diprogramkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah melalui Dinas Kehutanan yaitu berupa, program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN), Indonesia Menanam (IM), penanaman Hutan Rakyat (HR) dan penerapan pola tanam sistem agroforestry serta pengelolaan hutan bersama masyarakat melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Berdasarkan keberadaan dan peran PKSM serta partisipasi masyarakat terhadap kegiatan konservasi lahan yang terjadi di Kabupaten Bima, menarik kiranya untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dan faktor peran apa saja yang dilakukan oleh PKSM sehingga mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan, selain faktor peran PKSM, ada faktor-faktor lain yang mampu meningkatkan partisipasi masyarakat yang bisa digali lebih jauh, yaitu faktor karakteristik individu dan faktor keterlibatan masyarakat dalam kelompok sebagai lembaga sosial yang ada di lingkungannya. Informasi-informasi tersebut akan memberikan pengaruh pada pembinaan, pengembangan dan peningkatan peran PKSM dan partisipasi masyarakat lebih lanjut.

Perumusan Masalah Penelitian

Kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan, tingkat partisipasi pada kegiatan konservasi lahan dan peningkatan produktifitas lahan masih rendah, serta pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dan pengelolaan hutan belum berjalan dengan baik. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran masyarakat sebagai pelaku utama dalam melakukan kegiatan konservasi baik dalam kawasan maupun di luar kawasan masih relatif rendah.

Menurut Suyadi (2009), rendahnya tingkat kesadaran dan kepeduliaan masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal (kurangnya pengetahuan, pendidikan dan kemampuan), dan faktor eksternal (kurangnya penyuluhan, pelatihan, sarana prasarana, media massa sebagai sumber informasi), serta faktor pembelajaran yang belum memadai, oleh karena itu, untuk membantu mengatasi kondisi ini perlu adanya faktor pendorong baik yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri maupun pendorong dari luar.

Faktor yang berasal dari dalam adalah karakteristik individu petani, sedangkan faktor dari luar adalah peran pendampingan PKSM dan peran kelompok sebagai lembaga sosial masyarakat yang mampu mengajak dan menyadarkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan konservasi lahan.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah:

1. Bagaimanakah tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan

konservasi lahan?

2. Faktor-faktor karakteristik individu apa sajakah yang paling mempengaruhi

tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan?

3. Bagaimanakah bentuk peran PKSM yang mampu meningkatkan partisipasi

masyarakat pada kegiatan konservasi lahan?

4. Apakah tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan

dipengaruhi oleh peran dan fungsi kelompok tani?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengukur tingkat partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan

konservasi lahan.

2. Menganalisis faktor karakteristik individu yang paling berpengaruh terhadap

tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan.

3. Menganalisis bentuk peran PKSM yang berpengaruh terhadap tingkat

partisipasi masyarakat pada kegiatan konservasi lahan.

4. Menganalisis peran dan fungsi kelompok tani yang mampu mempengaruhi

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat:

1. Sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam bidang

penyuluhan kehutanan terutama tentang konservasi lahan.

2. Sebagai bahan informasi bagi peneliti yang berminat pada masalah penyuluh

TINJAUAN PUSTAKA

Penyuluhan

Penyuluhan berdasarkan definisi dari Undang-Undang nomor 16 Tahun 2006 adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Van den Ban dan Hawkins (1999), mengemukakan definisi penyuluhan adalah merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan untuk membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Penyuluhan bisa dikatakan sebagai proses:

1. Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan

perkiraan ke depan.

2. Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah

dari analisis tersebut.

3. Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu

masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani.

4. Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat

mereka sudah optimal.

Menurut Maunder 1973; Claar 1984 diacu dalam Leeuwis (2009), penyuluhan merupakan suatu pelayanan atau sistem yang membantu orang bertani, melalui prosedur yang bersifat mendidik, meningkatkan metode dan tehnik berusaha tani, meningkatkan efisiensi dan pendapatan, meningkatkan tingkat kehidupan mereka, dan menaikkan standar sosial dan pendidikan. Penyuluhan juga merupakan proses yang berlanjut untuk mendapatkan informasi yang berguna kepada rakyat (dimensi komunikatif) dan kemudian membantu orang-orang tersebut mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk menggunakan informasi dan teknologi secara efektif (dimensi pendidikan).

Mardikanto (1996, 2009), mendefinisikan penyuluhan kehutanan sebagai upaya alih-teknologi kehutanan melalui pendidikan di luar sekolah yang ditujukan kepada petani dan kelompok masyarakat lainnya untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, keterampilan, dan kemampuannya dalam memanfaatkan lahan miliknya, pengamanan, serta pelestarian sumberdaya alam.

Penyuluhan juga dapat diartikan sebagai proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama yang partisipatif, agar terjadi perubahan perilaku

pada diri semua stakeholders (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat

dalam proses pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan.

Daniels et al. (2005), menyampaikan bahwa sejalan dengan tujuan

penyelenggaraan penyuluhan maka pengertian penyuluhan adalah pemberdayaan petani dan keluarganya berserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal di bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik, sehingga peningkatan pendapatan dan kesejateraan mereka tercapai.

Menurut Setiana (2005), penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan, dengan demikian penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu pendidikan yang bersifat non formal di luar sistem sekolah yang biasa.

Fungsi penyuluhan adalah untuk menjembatani kesenjangan antara praktik yang biasa dijalankan oleh petani dengan pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang yang menjadi kebutuhan para petani. Fungsi penyuluhan juga dapat dianggap sebagai penyampai dan penyesuai program nasional dan regional agar dapat diikuti dan dilaksanakan oleh petani, sehingga program-program masyarakat yang disusun dengan baik akan berhasil dan masyarakat berpartisipasi di dalam program tersebut.

Penyuluhan adalah proses kapasitasi SDM petani melalui sistem pendidikan nonformal. Petani juga memiliki hak untuk memperoleh pendidikan dan bentuk pendidikan bagi petani adalah penyuluhan, oleh karena itu pemerintah harus dapat menjamin terselenggaranya penyuluhan yang menjadi hak bagi SDM petani. Pemerintah gagal menyelenggarakan penyuluhan itu artinya suatu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi yaitu hak asasi petani untuk mendapatkan pendidikan (Padmowiharjo 2006)

Susanto (2008), menyampaikan bahwa kegiatan dan proses penyuluhan adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengubah perilaku sasaran melalui pendekatan proses belajar tidak formal atau pendidikan luar sekolah dengan memposisikan sasaran sebagai subyek dan dikaitkan dengan pengakuan atas ciri-ciri pribadinya yang unik. Tujuan akhir dari penyuluhan pembangunan adalah tercapainya kondisi baru yang lebih baik pada sasaran (subyek) penyuluhan sesuai harapan, melalui perubahan perilaku sasaran, termasuk di dalamnya perbaikan kesejahteraan dan meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Peranan penyuluhan pembangunan adalah menjembatani kesenjangan perilaku sasaran antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diharapkan. Cara menjembatani kesenjangan dilakukan melalui pendekatan proses belajar/proses pendidikan tidak formal ke arah penyadaran sasaran yang berdampak akhir pada perubahan perilaku yang dicirikan oleh perubahan kualitas SDM sasaran.

Menurut Schoorl (1980) yang diacu dalam Ginting (1999), sasaran penyuluhan adalah warga desa (dalam kelompok) dengan maksud untuk mengubah perilaku mereka atau secara lebih spesifik agar mereka dapat menerima (mengadopsi) suatu pembaharuan ide atau praktek. Pemimpin informal mempunyai peranan penting dalam membantu terjadinya perubahan perilaku warga, pemimpin tertentu khususnya pemimpin berkharisma memiliki pengaruh yang besar atas diterima/ditolaknya gagasan baru di berbagai bidang kehidupan.

Ariani dan Apsari (2011), menyampaikan bahwa agar pelaksanaan penyuluhan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyuluhan hendaknya benar-benar memahami falsafah yang mendasari eksistensi penyuluhan itu sendiri. Penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin tercipta kreativitas dan

kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa,

swadaya, swadana dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapai tujuan, harapan, dan keinginan - keinginan masyarakat sasarannya.

Peran penyuluh

Ahmadi (1999), mengemukakan bahwa peran adalah suatu cara individu bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.

Menurut Soekanto (2000), peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status), apabila seseorang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka berarti dia telah menjalankan suatu peran. Kedudukan dengan peran tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya, keduanya saling tergantung.

Levinson dalam Soekanto, menyampaikan bahwa suatu peran paling sedikit mencakup tiga hal, yaitu: 1) peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, 2) peran adalah suatu konsep yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, dan 3) peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Penyuluh adalah salah satu unsur penting yang diakui peranannya dalam memajukan pertanian di Indonesia. Penyuluh yang siap dan memiliki kemampuan dengan sendirinya berpengaruh pada kinerjanya. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa keberhasilan Indonesia meningkatkan produksi pangan menjadi negara swasembada tidak saja ditentukan oleh adanya mobilisasi Nasional dalam bentuk kesiapan dana, sarana dan prasarana, serta kelembagaan, tetapi juga oleh kemampuan penyuluh (Wardoyo 1992)

Menurut Mardikanto (2009), fungsi dan peran penyuluh adalah sebagai penyampai inovasi dan mempengaruhi penerima manfaat penyuluhan dalam pengambilan keputusan, penjembatan/penghubung antara pemerintah atau lembaga penyuluhan yang diwakilinya dengan masyarakat, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat sasaran, maupun untuk menyampaikan umpan balik atau tanggapan masyarakat kepada pemerintah/lembaga penyuluhan yang bersangkutan.

Susanto (2008), menyatakan bahwa dalam mengemban peran dan fungsinya, seorang penyuluh/change agent perlu memahami dan memiliki kemampuan, yaitu: 1) menempatkan masyarakat sebagai subyek dengan ciri-ciri uniknya, 2) melakukan pendekatan dan kerjasama dengan pihak yang memiliki

kepedulian untuk melakukan perubahan, dan 3) siap menghadapi kemungkinan ada penolakan sosial dari masyarakat terhadap perubahan yang akan dilakukan.

Lionberger dan Gwin (1982), menyampaikan tugas dan peran seorang penyuluh kepada kliennya adalah sebagai penyampai informasi, pendengar yang baik, membantu mengidentifikasi dan memecahkan masalah, memfasilitasi adopsi agar lebih cepat, penghubung, membantu mengembangkan kemampuan, sebagai guru keterampilan, membantu pekerjaan dan administrasi, mendorong terjadinya

perubahan, sebagai penjaga gawang, membantu pendanaan, pemimpin lokal,

membantu menentukan sesuatu serta membantu membentuk organisasi.

Empat peran utama yang penting bagi penyuluh menurut Boyle (1981), yaitu:

1. Analisator (analis), peran ini adalah dasar bagi keberhasilan setiap penyuluh.

Peran ini adalah untuk memahami situasi dan membantu mendiagnosa kebutuhan klien. Hal ini penting untuk mendefinisikan masalah atau kebutuhan di semua jenis kegiatan. Peran ini harus dilakukan melalui berbagai tindakan seperti menentukan pengalaman belajar, sumber daya, mengembangkan rencana untuk evaluasi, atau komunikasi.

2. Stimulor (pemicu), peran stimulator disebut sebagai "penggerak" atau

"motivator." Hal ini penting untuk membangkitkan antusiasme klien dalam melaksanakan suatu program. Antusiasme klien mungkin saja kurang karena disebabkan oleh berbagai alasan, termasuk kekurangmampuan untuk memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan, kurangnya pengetahuan tentang proses dan sumber daya, dan konflik antara individu dan kelompok. Penyuluh akan bertindak sebagai stimulus untuk menjaga proses menggerakan dan melihat klien yang terlibat, dan membuat kontak dengan individu yang diperlukan dengan pengaruh dan sumber daya.

3. Fasilitator, penyuluh berfungsi untuk menghubungkan kebutuhan klien dengan

pengetahuan yang sesuai atau sumber daya secara efisien dan efektif. Peran ini dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan khusus dan membangun lingkungan belajar yang kondusif bagi klien sehingga proses penyuluhan antara klien dan penyuluh dapat terjalin dengan baik.

4. Pendorong, kebanyakan klien/masyarakat merasa ragu dan khawatir dalam

melakukan sebuah kegiatan, terutama jika kegiatan tersebut adalah kegiatan yang baru bagi mereka. Mereka tidak yakin dengan kemampuan pribadi dan potensi kelompok. Kondisi ini dapat atasi melalui penggunaan media tertentu dan membutuhkan dorongan dari seorang penyuluh dan kelompok yang mampu membantu orang menyadari potensi mereka.

Menurut Lippit (1954), peran penyuluh dalam mendorong terjadinya perubahan pada masyarakat, dimulai dari:

1. Pengenalan pada masalah. Merupakan langkah pertama dari proses pemberian

bantuan dan menggunakan hasil pengenalan masalah tersebut sebagai suatu panduan agar klien mampu melakukan proses perubahan.

2. Penilaian terhadap motivasi dan kemampuan klien untuk berubah. Usaha

untuk berubah harus muncul dari klien, tingkat dan mutu perubahan yang dicapai tergantung usaha dan kemampuannya, penyuluh hanya membantu

Dokumen terkait