• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyuluhan

Penyuluhan berdasarkan definisi dari Undang-Undang nomor 16 Tahun 2006 adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Van den Ban dan Hawkins (1999), mengemukakan definisi penyuluhan adalah merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan untuk membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Penyuluhan bisa dikatakan sebagai proses:

1. Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan

perkiraan ke depan.

2. Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah

dari analisis tersebut.

3. Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu

masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani.

4. Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat

mereka sudah optimal.

Menurut Maunder 1973; Claar 1984 diacu dalam Leeuwis (2009), penyuluhan merupakan suatu pelayanan atau sistem yang membantu orang bertani, melalui prosedur yang bersifat mendidik, meningkatkan metode dan tehnik berusaha tani, meningkatkan efisiensi dan pendapatan, meningkatkan tingkat kehidupan mereka, dan menaikkan standar sosial dan pendidikan. Penyuluhan juga merupakan proses yang berlanjut untuk mendapatkan informasi yang berguna kepada rakyat (dimensi komunikatif) dan kemudian membantu orang-orang tersebut mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk menggunakan informasi dan teknologi secara efektif (dimensi pendidikan).

Mardikanto (1996, 2009), mendefinisikan penyuluhan kehutanan sebagai upaya alih-teknologi kehutanan melalui pendidikan di luar sekolah yang ditujukan kepada petani dan kelompok masyarakat lainnya untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, keterampilan, dan kemampuannya dalam memanfaatkan lahan miliknya, pengamanan, serta pelestarian sumberdaya alam.

Penyuluhan juga dapat diartikan sebagai proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama yang partisipatif, agar terjadi perubahan perilaku

pada diri semua stakeholders (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat

dalam proses pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan.

Daniels et al. (2005), menyampaikan bahwa sejalan dengan tujuan

penyelenggaraan penyuluhan maka pengertian penyuluhan adalah pemberdayaan petani dan keluarganya berserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal di bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik, sehingga peningkatan pendapatan dan kesejateraan mereka tercapai.

Menurut Setiana (2005), penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan, dengan demikian penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu pendidikan yang bersifat non formal di luar sistem sekolah yang biasa.

Fungsi penyuluhan adalah untuk menjembatani kesenjangan antara praktik yang biasa dijalankan oleh petani dengan pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang yang menjadi kebutuhan para petani. Fungsi penyuluhan juga dapat dianggap sebagai penyampai dan penyesuai program nasional dan regional agar dapat diikuti dan dilaksanakan oleh petani, sehingga program-program masyarakat yang disusun dengan baik akan berhasil dan masyarakat berpartisipasi di dalam program tersebut.

Penyuluhan adalah proses kapasitasi SDM petani melalui sistem pendidikan nonformal. Petani juga memiliki hak untuk memperoleh pendidikan dan bentuk pendidikan bagi petani adalah penyuluhan, oleh karena itu pemerintah harus dapat menjamin terselenggaranya penyuluhan yang menjadi hak bagi SDM petani. Pemerintah gagal menyelenggarakan penyuluhan itu artinya suatu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi yaitu hak asasi petani untuk mendapatkan pendidikan (Padmowiharjo 2006)

Susanto (2008), menyampaikan bahwa kegiatan dan proses penyuluhan adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengubah perilaku sasaran melalui pendekatan proses belajar tidak formal atau pendidikan luar sekolah dengan memposisikan sasaran sebagai subyek dan dikaitkan dengan pengakuan atas ciri-ciri pribadinya yang unik. Tujuan akhir dari penyuluhan pembangunan adalah tercapainya kondisi baru yang lebih baik pada sasaran (subyek) penyuluhan sesuai harapan, melalui perubahan perilaku sasaran, termasuk di dalamnya perbaikan kesejahteraan dan meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Peranan penyuluhan pembangunan adalah menjembatani kesenjangan perilaku sasaran antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diharapkan. Cara menjembatani kesenjangan dilakukan melalui pendekatan proses belajar/proses pendidikan tidak formal ke arah penyadaran sasaran yang berdampak akhir pada perubahan perilaku yang dicirikan oleh perubahan kualitas SDM sasaran.

Menurut Schoorl (1980) yang diacu dalam Ginting (1999), sasaran penyuluhan adalah warga desa (dalam kelompok) dengan maksud untuk mengubah perilaku mereka atau secara lebih spesifik agar mereka dapat menerima (mengadopsi) suatu pembaharuan ide atau praktek. Pemimpin informal mempunyai peranan penting dalam membantu terjadinya perubahan perilaku warga, pemimpin tertentu khususnya pemimpin berkharisma memiliki pengaruh yang besar atas diterima/ditolaknya gagasan baru di berbagai bidang kehidupan.

Ariani dan Apsari (2011), menyampaikan bahwa agar pelaksanaan penyuluhan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyuluhan hendaknya benar-benar memahami falsafah yang mendasari eksistensi penyuluhan itu sendiri. Penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin tercipta kreativitas dan

kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa,

swadaya, swadana dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapai tujuan, harapan, dan keinginan - keinginan masyarakat sasarannya.

Peran penyuluh

Ahmadi (1999), mengemukakan bahwa peran adalah suatu cara individu bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.

Menurut Soekanto (2000), peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status), apabila seseorang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka berarti dia telah menjalankan suatu peran. Kedudukan dengan peran tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya, keduanya saling tergantung.

Levinson dalam Soekanto, menyampaikan bahwa suatu peran paling sedikit mencakup tiga hal, yaitu: 1) peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, 2) peran adalah suatu konsep yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, dan 3) peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Penyuluh adalah salah satu unsur penting yang diakui peranannya dalam memajukan pertanian di Indonesia. Penyuluh yang siap dan memiliki kemampuan dengan sendirinya berpengaruh pada kinerjanya. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa keberhasilan Indonesia meningkatkan produksi pangan menjadi negara swasembada tidak saja ditentukan oleh adanya mobilisasi Nasional dalam bentuk kesiapan dana, sarana dan prasarana, serta kelembagaan, tetapi juga oleh kemampuan penyuluh (Wardoyo 1992)

Menurut Mardikanto (2009), fungsi dan peran penyuluh adalah sebagai penyampai inovasi dan mempengaruhi penerima manfaat penyuluhan dalam pengambilan keputusan, penjembatan/penghubung antara pemerintah atau lembaga penyuluhan yang diwakilinya dengan masyarakat, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat sasaran, maupun untuk menyampaikan umpan balik atau tanggapan masyarakat kepada pemerintah/lembaga penyuluhan yang bersangkutan.

Susanto (2008), menyatakan bahwa dalam mengemban peran dan fungsinya, seorang penyuluh/change agent perlu memahami dan memiliki kemampuan, yaitu: 1) menempatkan masyarakat sebagai subyek dengan ciri-ciri uniknya, 2) melakukan pendekatan dan kerjasama dengan pihak yang memiliki

kepedulian untuk melakukan perubahan, dan 3) siap menghadapi kemungkinan ada penolakan sosial dari masyarakat terhadap perubahan yang akan dilakukan.

Lionberger dan Gwin (1982), menyampaikan tugas dan peran seorang penyuluh kepada kliennya adalah sebagai penyampai informasi, pendengar yang baik, membantu mengidentifikasi dan memecahkan masalah, memfasilitasi adopsi agar lebih cepat, penghubung, membantu mengembangkan kemampuan, sebagai guru keterampilan, membantu pekerjaan dan administrasi, mendorong terjadinya

perubahan, sebagai penjaga gawang, membantu pendanaan, pemimpin lokal,

membantu menentukan sesuatu serta membantu membentuk organisasi.

Empat peran utama yang penting bagi penyuluh menurut Boyle (1981), yaitu:

1. Analisator (analis), peran ini adalah dasar bagi keberhasilan setiap penyuluh.

Peran ini adalah untuk memahami situasi dan membantu mendiagnosa kebutuhan klien. Hal ini penting untuk mendefinisikan masalah atau kebutuhan di semua jenis kegiatan. Peran ini harus dilakukan melalui berbagai tindakan seperti menentukan pengalaman belajar, sumber daya, mengembangkan rencana untuk evaluasi, atau komunikasi.

2. Stimulor (pemicu), peran stimulator disebut sebagai "penggerak" atau

"motivator." Hal ini penting untuk membangkitkan antusiasme klien dalam melaksanakan suatu program. Antusiasme klien mungkin saja kurang karena disebabkan oleh berbagai alasan, termasuk kekurangmampuan untuk memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan, kurangnya pengetahuan tentang proses dan sumber daya, dan konflik antara individu dan kelompok. Penyuluh akan bertindak sebagai stimulus untuk menjaga proses menggerakan dan melihat klien yang terlibat, dan membuat kontak dengan individu yang diperlukan dengan pengaruh dan sumber daya.

3. Fasilitator, penyuluh berfungsi untuk menghubungkan kebutuhan klien dengan

pengetahuan yang sesuai atau sumber daya secara efisien dan efektif. Peran ini dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan khusus dan membangun lingkungan belajar yang kondusif bagi klien sehingga proses penyuluhan antara klien dan penyuluh dapat terjalin dengan baik.

4. Pendorong, kebanyakan klien/masyarakat merasa ragu dan khawatir dalam

melakukan sebuah kegiatan, terutama jika kegiatan tersebut adalah kegiatan yang baru bagi mereka. Mereka tidak yakin dengan kemampuan pribadi dan potensi kelompok. Kondisi ini dapat atasi melalui penggunaan media tertentu dan membutuhkan dorongan dari seorang penyuluh dan kelompok yang mampu membantu orang menyadari potensi mereka.

Menurut Lippit (1954), peran penyuluh dalam mendorong terjadinya perubahan pada masyarakat, dimulai dari:

1. Pengenalan pada masalah. Merupakan langkah pertama dari proses pemberian

bantuan dan menggunakan hasil pengenalan masalah tersebut sebagai suatu panduan agar klien mampu melakukan proses perubahan.

2. Penilaian terhadap motivasi dan kemampuan klien untuk berubah. Usaha

untuk berubah harus muncul dari klien, tingkat dan mutu perubahan yang dicapai tergantung usaha dan kemampuannya, penyuluh hanya membantu menumbuhkan/memotivasi keinginan untuk berubah. Penyuluh harus berusaha memunculkan optimisme realistis bagi perubahan diri klien, dan menghilangkan keraguan yang ada.

3. Penilaian terhadap motivasi dan sumber daya penyuluh. Sasaran hasil kerja penyuluh harus bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Penyuluh harus menjaga supaya tidak emosional dalam membantu perubahan, perlu ada optimisme diantara mereka (penyuluh dan klien-nya), agar mampu berkomunikasi untuk menghindari keraguan.

4. Pemilihan sasaran tujuan penyuluhan. Penyuluh harus menyediakan beberapa

ide, keputusan dan apa tujuan penyuluhan. Bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, apa yang harus dilakukan terlebih dahulu.

5. Memilih peran bantuan yang cocok. Penyuluh harus membina hubungan

dengan klien, pengenalan pengetahuan, menyediakan kekuatan dari dalam, menciptakan lingkungan khusus dan memberi dukungan selama proses perubahan.

6. Penetapan dan pemeliharaan hubungan dengan klien. Berperan dalam

memberikan kebutuhan akan sanksi yang cocok, menjelaskan prospek perubahan dan mengatur intensitas dan mutu bantuan.

7. Mengenali dan membantu tahap perubahan. Tahap perencanaan penyuluhan;

klien menemukan kebutuhan akan bantuan, penyuluh merangsang perubahan, memperkenalkan, menjelaskan masalah yang akan terjadi, menguji alternatif perubahan, membantu penguatan niat, dan membantu melepas keterikatan serta menjelaskan kelanjutan hubungan dengan masalah yang berbeda.

8. Memilih gaya dan teknik perilaku spesifik yang sesuai, dalam melaksanakan

kegiatan penyuluhan penyuluh akan berhadapan dengan suatu permintaan terus menerus untuk keputusan yang nyata. Apa yang ia akan lakukan dan apa yang ia akan katakan pada saat itu? Gunakan apapun sumberdaya yang dimiliki dan mempersiapkan diri menuju tahap berikutnya. Beberapa penyuluh sangat tergantung pada perilaku klien dan mereka memiliki kontribusi untuk membantu proses klien yang ingin maju.

9. Dukungan pengembanan profesional melalui penelitian dan pemahaman.

Penyuluh yang profesional harus meningkatkan potensi dan kompetensi yang dimiliki agar bisa berkembang sehingga dia bisa berperan sebagai penolong bagi masyarakat.

Keberhasilan pembangunan pertanian tidak terlepas dari peran penting penyuluh karena penyuluh merupakan pihak yang langsung berhubungan dengan pemberdayaan petani. Penyuluh harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan kondisi dan tantangan penyuluh saat ini agar dapat melaksanakan perannya dengan baik. Penyuluh yang memiliki kompetensi tinggi akan mampu menunjukkan kinerja yang baik karena kompetensi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh (Huda 2010)

Menurut Marliati (2008), strategi peningkatan kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani adalah:

1. Meningkatkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh

dalam memberdayakan petani, yaitu dengan meningkatkan kompetensi penyuluh; dukungan positif sistem sosial dan akses petani terhadap pendidikan non formal. Kompetensi penyuluh yang ditingkatkan yaitu: komunikasi (efektifitas berkomunikasi, kemampuan menjalin relasi, menggunakan media komunikasi, dll.); mengorganisasikan kegiatan belajar petani (kemampuan memotivasi, mengelola kegiatan belajar, kemampuan menggunakan berbagai metode belajar, dan lain-lain) dan interaksi sosial (kemampuan untuk diterima

masyarakat, kemampuan mengatasi konflik, dll.). Karakteristik sistem sosial yang strategis untuk ditingkatkan adalah adalah: nilai-nilai sosial budaya; fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait agribisnis, akses terhadap kelembagaan agribisnis.

2. Meningkatkan kinerja penyuluh pertanian dengan meningkatkan kualitas kerja

yang berkaitan dengan tugas utama penyuluh pertanian dalam

memberdayakan petani yaitu: a) pengembangan perilaku inovatif, b) penguatan partisipasi petani, c) penguatan kelembagaan petani, d) penguatan akses terhadap berbagai sumberdaya, e) penguatan kemampuan petani berjaringan dan f) kaderisasi.

Menurut Oladele (1991) diacu dalam Agbogidi (2009), peran penyuluh

sangat penting bagi petani karena penyuluh berfungsi sebagai penghubung antara penelitian dan membawa informasi baru teknologi dari para peneliti. Penelitian dan penyuluhan merupakan upaya yang kompleks, beragam dan memperlihatkan bukti dari suatu daerah dan diperlukan untuk informasi teknis.

Tantangan utama tenaga penyuluh kehutanan adalah adanya manajemen yang buruk pada pengelolaan sumber daya hutan, kurangnya tenaga professional dan kapasitas manajerial yang terbatas, jumlah penyuluh kehutanan tidak memadai dibandingkan dengan jumlah kebutuhan pendampingan oleh masyarakat dan wilayah kerja yang luas, selain itu penyuluh kehutanan juga tidak mendapatkan insentif yang cukup, kurang mendapatkan pelatihan yang memadai untuk peningkatan kapasitas dan minim sarana parasarana penyuluhan.

Suprayitno (2008), menyampaikan bahwa penyuluh diharapkan mampu mengajak dan meningkatkan kemampuan masyarakat sekitar hutan agar mau dan mampu menganalisis kondisi dan potensi serta masalah-masalah kehutanan yang perlu diatasi menuju terciptanya hutan lestari. Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai tahap penilaian kegiatan yang dikembangkan oleh dan untuk mereka.

Partisipasi atau pelibatan masyarakat lokal ini merupakan inti proses pemberdayaan masyarakat, di mana pengalaman dan pengetahuan masyarakat dalam berinteraksi dengan hutan serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik merupakan dasar proses pemberdayaan. Proses pemberdayaan masyarakat ini bertujuan untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, mengoptimalkan sumber daya setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Melalui proses pelibatan masyarakat lokal diharapkan akan dapat dikembangkan lebih jauh pola pikir masyarakat yang kritis dan sistematis.

Hamzah (2011), menyampaikan bahwa penyelenggaraan penyuluhan pertanian dipengaruhi secara berturut-turut dari yang paling penting atau dominan dari faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh yaitu; 1) kompetensi penyuluh pada aspek pelaksanaan program penyuluhan, 2) intensitas pemanfaatan media-media penyuluhan, 3) persepsi posistif penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, 4) intensitas pelatihan penyuluhan, dan 5) partisipasi aktif masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan penyuluhan.

Robbins (1996), Schemerchon, et al. (1997), Werther dan Davis ( 1989),

McEvoy dan Cascio (1989) dalam Suhanda et al. (2008), menjelaskan beberapa

karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, masa kerja, pendidikan dan pelatihan memberikan kontribusi terhadap kinerja seseorang. Lebih lanjut

disampaikan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kinerja penyuluh PNS, diketahui bahwa karakteristik penyuluh yang paling erat hubungannya dengan kinerja adalah usia, masa kerja, institusi sekolah, pelatihan, motivasi berprestasi, kesempatan pengembangan karir, tingkat kewenangan dan tanggungjawab, makna pekerjaan, insentif, pembinaan dan supervisi serta kondisi kerja.

Pendampingan

Menurut Ariani dan Apsari (2011), terminologi pendampingan digunakan oleh banyak masyarakat di berbagai bidang, tidak terkecuali bidang pertanian, Berdasarkan penelitian tentang model pendampingan yaitu model pendampingan berbasis among, diketahui bahwa makna sesungguhnya pendampingan adalah panggulo wenthah (guru) bagi petani dengan ciri dasar pendampingan adalah momong, among dan ngemong.

Pelaksanaan kegiatan penyuluhan tidak dibenarkan adanya unsur paksaan, selalu menjaga batin peserta didik (petani). Penyuluhan tidak saja membangun intelektualitas dan ketrampilan petani namun membangun manusia dan sosial budaya (rural community). Pendampingan berbasis among merupakan wujud konkrit dari salah satu falsafah pendidikan Tut Wuri Handayani dari Ki Hajar Dewantoro, dengan pemahaman bahwa setiap manusia membawa kodrat alamnya masing-masing yang berarti setiap petani memiliki karakter masing-masing.

Model pendampingan berbasis among merupakan pendekatan pembelajaran dengan konsep pemecahan masalah oleh individu petani. Skenario pendampingan berbasis among sebagai berikut: penyuluh menyiapkan dan menyediakan obyek pembelajaran, petani berinteraksi dengan obyek tersebut. Penyuluh melakukan monitoring ketika para petani sedang berinteraksi dengan obyek pembelajaran. Petani menemukan permasalahan dengan obyek pembelajaran/penyuluhan, melakukan fasilitasi untuk mengatasinya.

Menurut Dephut (2004), upaya pemberdayaan masyarakat secara umum dapat diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan yaitu:

1. Belajar dari masyarakat; yang paling mendasar adalah pemberdayaan

masyarakat merupakan proses yang berasal dari, oleh dan untuk masyarakat, pemberdayaan dibangun atas pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuannya untuk memecahkan masalahnya sendiri.

2. Pendamping sebagai fasilitator; masyarakat sebagai pelaku utama, peran

penyuluh sebagai pendamping, penyuluh dan fasilitator bersikap rendah hati dan belajar dari masyarakat.

3. Belajar bersama dengan tukar pengalaman; memberikan pengakuan akan

pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat, dan diperlukan adanya keterpaduan antara pengetahuan lokal dengan inovasi dari luar.

4. Mendahulukan kepentingan masyarakat setempat; fasilitator membantu

memahami kebutuhan dan membesarkan harapan masyarakat dan menentukan kegiatan yang paling mendasar dan prioritas bagi masyarakat.

5. Membangkitkan kepercayaan diri; fasilitator harus mampu untuk membangkitkan percaya diri masyarakat, mengidentifikasi kebutuhan, mengidentifikasi nilai-nilai positif yang ada di masyarakat, dan melakukan pendampingan yang terus menerus.

6. Berorientasi pada proses; fasilitator memberdayakan masyarakat berorientasi

pada proses walaupun membutuhkan waktu lama.

Karsidi (2007), menyampaikan bahwa salah satu prinsip pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat. Hal ini bukanlah berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah.

Kenyataan obyektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat tidak mampu mengejar perubahan dan dapat memecahkan masalah dan sebaliknya pengetahuan dan inovasi yang diperkenalkan dari luar juga belum tentu mampu menyelesaikan masalah mereka, oleh karena itu antara pengetahuan lokal dan inovasi dari luar harus dipilih secara arif sehingga mampu saling melengkapi satu sama lainnya.

Menurut Mardikanto (1993), pendampingan dalam pemberdayaan” tidak

sekedar memberitahu atau ”menerangkan,” akan tetapi tujuan yang sebenarnya

adalah proses aktif yang memerlukan interaksi antara pendamping dan yang disuluh (klien) agar terbangun proses perubahan “perilaku” (behaviour) yang merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang yang dapat diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa: ucapan, tindakan, bahasa-tubuh, dll) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil kerjanya).

Penyuluhan pertanian dilakukan dengan pendampingan partisipatif, melalui penyuluhan pertanian partisipatif petani tidak dibiarkan sendirian dalam mengakses informasi, menganalisis situasi yang sedang mereka hadapi dan menemukan masalah-masalah, melakukan perkiraan ke depan, melihat peluang dan tantangan.

Penyuluhan partisipatif juga mampu meningkatkan pengetahuan dan meningkatkan wawasan, menyusun kerangka pemikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah, memutuskan tindakan pemecahan masalah yang mereka hadapi, menggalang dana secara swadaya, melakukan monitoring dan evaluasi, dan melakukan proses pertukaran informasi.

Pelaksanaan penyuluhan pendampingan partisipatif memerlukan sosok penyuluh yang: 1) bisa menjadi mitra yang akrab bagi petani, 2) mampu memfasilitasi dan menggugah proses berfikir petani, 3) selalu bersama petani, 4)

menghargai petani dengan meng”orang”kan-nya, 5) tidak menonjolkan diri, 6)

selalu menjalin kerjasama dengan petani, 7) selalu mengembangkan dialog horizontal dengan petani (komunikasi dialogis) bukan komunikasi yang searah sebagai bawahan-atasan atau guru-murid (komunikasi monologis), dan 8) tidak menggurui petani (Padmowiharjo 2006).

Menurut Asngari (2007), pendamping “sebagai agen pembaharuan dapat

berperan sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat, pembimbing, konsultan dan pengarah dalam kaitan dengan bisnis klien baik bisnis on farm maupun bisnis off farm serta wawasan pembaharuan dan modernisasi. Lebih lanjut tentang falsafah pentingnya individu, Asngari menjelaskan bahwa

sebagai “agen pembaharuan, seorang pendamping harus menempatkan SDM-klien sebagai pemain atau aktor/aktris yang aktif bagi pengembangan dan perkembangan dirinya sendiri. Demikian juga dalam falsafah kerjasama. Antara agen pembaharuan/pendampingan dan sumberdaya klien harus terjalin kerjasama dalam kegiatan pendampingan.”

Menurut Setiawan (2008), pendamping dituntut untuk memiliki kualitas pribadi yang baik yang dapat diperoleh dari pelatihan, pengalaman dan praktek terhadap kegiatan. Ciri-ciri kualitas pendamping yang baik antara lain: kematangan pribadi, kreatifitas, pengamatan diri, keinginan untuk menolong, keberanian dan kepekaan. Kunci untuk mencapai efektifitas pendampingan terletak pada kemampuan pendamping dalam menganalisis dan menetapkan prioritas kebutuhan. Kegiatan pokok yang dilakukan pendamping untuk mencapai

Dokumen terkait