• Tidak ada hasil yang ditemukan

Covernote Dalam Persfektif Fiduciary Duty Hukum

BAB IV AKIBAT HUKUM COVERNOTE YANG DIBUAT OLEH

B. Covernote Dalam Persfektif Fiduciary Duty Hukum

Untuk memahami bagaimana suatu janji mengikat para pihak dalam sistem hukum common law, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian consideration dan promissiory estoppel.Consideration dan promissiory estoppel adalah dua prinsip dasar hukum kontrak common law.Suatu janji tanpa consideration tidak mengikat dan tidak dapat dituntut pelaksanaannya.Dalam sistem common law, suatu janji untuk memberikan sesuatu secara cuma-cuma, seperti hibah tidak mengikat karena tidak ada consideration.131

Consideration is something be given in return, consideration canbi viewed as counter promise, price or acetion (Paul Latimer, 1998:271), jadi consideration adalah suatu kontra perestasi, yang berupa janji, harga atau perbuatan. Pada umumnya kontrak bisnis memang bersifat timbal balik.Penerapan doktrin consideration dapat mengakibatkan suatu kontrak tidak dapat dituntut pemenuhannya secara hukum karena alasan yang sifatnya teknis. Seperti dalam kasus pinnel (1602), pengadilan memutuskan bahwa pembayaran sejumlah uang untuk melunasi seluruh hutang tidak membebaskan si debitur untuk melunasi sisa hutangnya, meskipun kreditur telah berjanji bahwa dia tidak akan menuntut pembayaran seluruh utang jika debitur membayar sebagian utangnya. Janji kreditur untuk membebaskan debitur dari sisa utang yang belum dibayar tidak mengikat karena tidak ada consideration dari debitur atas janji tersebut. Keputusan ini diikuti dalam kasus foakes melawan beer, (1884).132

131R. Wirjono Prodjodikoro, Prof. DR., Azas-Azas Hukum Perjanjian,Op.cit, hal 15

132Ibid

Untuk mengatasi kekuatan doktrin consideration, pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat membuat doktrin Promissory estoppel. Promissory estopel salah satu doktrin hukum yang mencegah seseorang (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam pihak yang menerima janji (promise) karena kepercayaan terhadap janji tersebut telah melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga dia (promise) akan menderita kerugian jika (promisor) yaitu pihak yang member janji diperkenankan untuk menarik janjinya (Paul Latimer, 1989:280).133

Ketentuan ini diputuskan dalam kasus London Property Trust Ltd Melawan High Trees House Ltd., (1947) K.B130. Pada tahun 1997 penggugat menyewakan a block of flates di London kepada tergugat untuk jangka waktu 99 tahun dengan harga 2.500 poundsterling per tahun. Ketika terjadi perang sangat sulit bagi tergugat untuk mencari penghuni yang bersedia tinggal di flats tersebut hingga penggugat setuju untuk menurunkan harga mnjadi 1,250 poundsterling selama waktu perang. Setelah selesai perang penggugat menuntut supaya tergugat membayar penuh uang sewa untuk seluruh periode sewa.Pengadilan memutuskan bahwa janji penggugat untuk mengurangi uang sewa mengikat meskipun janji tersebut diberikan tanpa consideration dari penyewa, karena berdasarkan doktrin promissiory estoppel suatu janji mengikat meskipun diberikan tanpa consideration. Putusan ini menguikuti putusan pengadilan sebelumnya dalam kasus Hughes melawan Metropolitan Railway Co.(1877).(A.G.Gust,1975:1133),.

133Ibid

Dalam perkembangan selanjutnya pengadilan di Amerika Serikat mengembangkan doktrin promissiory estoppels untuk mengatasi situasi dimana perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, tetapi salah satu pihak karena percaya dan menaruh pengharapan kepada janji-janji yang diberikan pihak lawannya dalam proses negosiasi, melakukan perbuatan seperti melakukan investasi. Ternyata kemudian pihak yang berjanji menarik kembali janjinya sehingga dia menderita kerugian. Dalam kasus yang terkenal Hofftman melawan Red owl Stores (1965), para pihak merundingkan tentang kemungkinan pemberian franchise dari tergugat suatu perusahaan supermarket yang mengoperasikan toko diberbagai wilayah kepada penggugat. Dalam proses perundingan, tergugat berjanji akan membangun toko di Chilton dan mengisinya dengan barang-barang dagangan untuk dijual oleh Hoffman, jika Hoffman bersedia menginvestasikabn uang sebesar 18.000 US dollar. Karena percaya kepada janji-janji tergugat, maka penggugat (Hoffman) membeli sebuah bangunan Chilton dan menyewa rumah tempat tinggal untuk dirinya beserta keluarganya di Chilton.Akan tetapi, kemudian tergugat menarik janjinya dan meminta jumlah investasi yang lebih besar dan Hoffman tidak sanggup untuk memenuhinya sehingga tidak terjadi kontrak franchiseantara mereka.134

Berdasarkan doktrin Common law yang tradisional, pengadilan tidak dapat menghukum tergugat membayar ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan oleh Homman karena Common lawtidak mengenal penerapan asas iktikad baik dalam proses negosiasi. Dalam kasus ini belum ada kontrak, karena para pihak belum

134Ibid

sepakat mengenai feest, royalties, dan jangka waktu kontrak franchise. Teori perjanjian yang klasik memberikan batas yang tegas antara tahap prakontrak tanpa suatu tanggung jawab hukum dan tahap kontrak dengan suatu tanggung jawab hukum (Jack Beatson and Daniel Friedman, 1995:15).135

Akan tetapi, the Wisconsin Supreme Court mengadopsi pandangan hukum kontrak yang modern dengan mengabaikan syarat kepastian hukum demi mencapai keadilan yang substansial dan memutuskan bahwa penggugat berhak menerima ganti rugi atas kerugian yang dideritanya karena percaya dan menaruh pengharapan pada janji-janji penggugat untuk memberikan frinchise kontrak (realiance loss).Tampaknya tergugat tidak mempunyai iktikad baik dalam bernegosiasi sehingga pengadilan menghukumnya untuk membayar ganti rugi. Bagian yang paling menarik khusus ini adalah pengadilan memberikan penggugat realiance damagesberupa ganti rugi atas kerugian yang nyata dan bukan ekspectation damages yaitu kehilangan keuntungan yang diharapkan. Penggugat tidak menerima ekspectation damageskarena memang belum ada kontrak antara penggugat dan tergugat.Reliance loss dilindungi oleh doktrin promissory estoppel (Donald Harris and Denis Tallon, 1989:27).Dengan demikian, doktrin promissory estoppelsyang semula merupakan tanggapan atas kekuatan penerapan doktrin consideration dan di terapkan hanya dalam hubungan kontraktual, kini diterapkan juga bagi janji-janji para kontrak untuk melindungi reliance loss.136

135Ibid

136Ibid

1. Output contract dan Requirement Contract

Karena pentingnya syarat hal tertentu bagi sahnya suatu perjanjian, maka perlu juga dicermati masalah jumlah atau quantity barang yang diperjanjikan.Apakah suatu kontrak yang tidak menyebutkan dengan pasti jumlah barang yang diperdagangkan sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian ataukah dianggap sebagai janji pra kontrak?Dalam hukum kontrak internasional berlaku doktrin No Quantity No Contract.Akan tetapi dalam system Common law, terhadap doktrin ini diakui ada pengecualin yaitu dalam model kontrak yang disebut out put contract dan requitment contract.137

Dalam Output contract pembeli menyanggupi untuk membeli berapapun jumlah barang yang akan dihasilkan oleh penjual atau pemasok barang. Jadi, pada saat ditandatanggani nya kontrak belum ada jumlah yang pasti menggenai barang yang dijual. Output contract lebih menguntungkan penjual karena dia yang menentukan jumlah barang yang dijual karena dia yang menentukan jumlah barang yang dijual kepada pembeli sesuai dengan kapasitas produksi sipenjual. Model kontrak seperti ini dipakai dalam kontrak penggadaan tenaga listrik yang diproduksi dari panas bumi antara Pemerintah Indonesia sebagai pembeli dan pihak swasta sebagai pemasok tenaga listrik.Adapun dalam requirement contract, penjual menyanggupi untuk memenuhi beberapapun kebutuhan dan permintaan pembeli.Pada saat ditandatangani kontrak belum disebutkan jumlah yang pasti berapa yang dibutuhkan oleh pihak pembeli.Requirement contract lebih mengguntungkan pembeli

137Ibid

karena dialah yang menentukan jumlah barang yang harus dipasok oleh penjual untuk memenuhi kebutuhan pembeli.138

Dari perspektif Kitab Undang –Undang Hukum Perdata apakah model contract seperti out putcontract dan requirement contract memang dimungkinkan ?Ketentuan Pasal1333 Kitab Undang- undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa barang yang menjadi objek perjanjian, paling tidak harus dapat ditentukan jenisnya.Menggenai jumlah nya tidak perlu sudah pasti pada saat kontrak di buat, tetapi yang penting dapat di hitung kemudian. Karena jumlah barang dalam output contract dan requirement contract dapat dihitung kemudian pada saat pelaksanaan perjanjian, maka legalitas output contract dan requirement contract dapat diterima berdasarkan ketentuan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun demikian asas itikad baik selalu harus diperhatikan juga dalam pelaksanaan perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 Ayat 3 Kitan Undang-undang Hukum Perdata. Sebagai perbandingan di Amerika Serikat, dalam output contract jumlah barang yang dihasilkan oleh penjual harus memenuhi minimum reasonable amount dan dalam requirement contract, pembeli tidak boleh menggunakan kontrak tersebut untuk spekulasi tersebut (Steven Emanuel and Steven Knowles,1993: 97-98).139

2. Penafsiran Perjanjian

Jika terjadi suatu sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut tidak ada pengaturan yang jelas dalam perjanjian yang disepakati para pihak, bukan berarti

138Ibid

139Ibid

perjanjian belum mengikat para pihak atau dengan sendirinya batal demi hukum.Karena pengadilan dapat mengisi kekosonganhukum tersebut melalui penafsiran untuk menemukan hukum yang berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian.140

Suatu perjanjian terbentuk karena adanya pernyataan kehendak dari para pihak dan tercapai kata sepakat di antara mereka yang kemudian dituangkan dalam bentuk kata-kata lisan atau tulisan, sikap maupun tindakan.141

Belum tentu pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian memiliki pola piker yang sama. Penafsiran perjanjian sangat diperlukan apabila para pihak memiliki pola piker yang saling bertentangan. Karena apabila mereka bersikukuh terhadap pola pikirnya masing-masing, perjanjian tersebut akan menjadi sulit untuk dilaksanakan.142

Menurut Asser dan Hartkamp, penafsiran perjanjian adalah :

“Menentukan pengertian dari pernyataan yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih, pemaknaan tersebut mempunyai hubungan dengan keadaan dari suatu peristiwa nyata yang berkaitan dengan dan karenanya menentukan apa akibat hokum yang muncul dari pernyataan-pernyataan tersebut”143

Sebenarnya tidak ada kata-kata yang terdapat dalam suatu perjanjian yang dengan sendirinya jelas.Arti suatu kata barulah jelas setelah ditafsirkan.Namun

140R. Subekti, R Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Op.cit, hal 40

141 Herlien Budiono, Ajaran Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung : Citra Aditya, 2010, hal 123

142Ibid

143Ibid

sebagian besar perjanjian yang terdapat di dalam masyarakat adalah perjanjian yang bersifat sederhana. Sehingga proses penafsiran berjalan dengan sendirinya, tanpa diperlukan perhatian khusus. Penafsiran perjanjian menjadi penting apabila isi dari perjanjian menimbulkan keraguan bagi salah satu atau seluruh pihak yang terlibat dalam perjanjian.144

Siapakah yang memilik kewajiban untuk melakukan penafsiran terhadap suatu perjanjian?Yang pertama kali harus melakukan penafsiran terhadap suatu perjanjian adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian.Apabila terdapat perbedaan pendapat di antara mereka, maka hakimlah yang bertugas untuk membantu para pihak dalam menafsirkan perjanjian yang telah mereka buat.145

Dalam sistem common law seperti yang berlaku di Amerika Serikat, dikenal juga cara penafsiran perjanjian oleh pengadilan untuk mengisi kekosongan hukum dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Uniform Commercial Code yang menyebutkan tiga cara untuk melakukan interpretasi hukum, yaitu course of performance, Course of dealing, dan Usage of trade.

a. Course of performance adalah bagaimana para pihak bertindak melaksanakan perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian dijelaskan bahwa kualitas produk yang disalurkan secara berkesinambungan adalah the highest grade oil. Jika kemudian terjadi sengketa mengenai kualitas minyak, maka yang menjadi dasar untuk menentukan kualitas minyak yang diperjanjikan dalah minyak yang diterima

144Ibid

145Ibid

pada pengiriman pertama. Dengan demikian, tindakan para pihak dalam melaksanakan kontrak berlaku sebagai bukti tentang maksud para pihak.

b. Course of dealing adalah bagaimana para pihak melaksanakan kontrak yang sebelumnya. Hal ini akan menjadi acuan untuk menyelesaikan sangketa atas kontrak yang sekarang sedang berlaku di antara mereka. Misalnya, dalam kontrak yang sekarang tidak jelas hak dan kewajiban para pihak. Bukti yang ada hanya selembar kwitansi tanda terima. Akan tetapi, kontrak sebelumnya jelas mencantumkan bahwa uang tersebut adalah sebagai setoran modal dal suatu kontrak agrobisnis.

c. Usage of trade adalah praktik bisnis yang sudah terjadi berulang-ulang menurut pola yang sama. Misalnya, dalam pelaksanaan kontrak sudah menjadi kebiasaan bahwa suatu perusahaan termasuk barang atau distributor utama mewajibkan distributor menjual barang secara kredit kepada pelanggan (Steven Emanuel and Steven Knowles,1993:152-153).