• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV AKIBAT HUKUM COVERNOTE YANG DIBUAT OLEH

A. Covernote Merupakan Suatu Perjanjian

Didalam babini penulis ingin membahas tentang Surat Keterangan (Covernote) yang pada saat Covernote tersebut dikeluarkan ataupun diterbitkan kepada pihak kedua maka pada saat itu juga notaris telah melakukan suatu perbuatan hukum yaitu telah melakukan perjanjian dengan pihak kedua atau pihak penerima Covernote tersebut.

Didalam perjanjian Hukum Perdata berlaku karena ditentukan oleh perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak.Perjanjian yang dibuat pihak-pihak itu menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh pihak-pihak.Perjanjian mengikat pihak-pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian wajib dilaksanakan dengan asas itikad baik (te gouder trouw).107

Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang membuatnya. Hubungan hukum itu menimbulkan kewajiban dan hak yang timbal balik antara pihak-pihak.Hubungan hukum itu terjadi karena peristiwa hukum yang berupa perbuatan perjanjian.108

107 R. Wirjono Prodjodikoro, Prof. DR., Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung : Mandar Maju, 2011.

108Ibid

68

Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya dasar suatu perjanjian dalam hukum kontrak prancis. Kehendak itu dapat dinyatakan dengan berbagai cara baik lisan maupun tertulis dan mengikat pada pihak dengan segala akibat hukumnya (Donnald Harris and Dennis Tallon,1989:39). Sebagaimana diketahui Code Civil prancis mempengaruhi Burgelij Wetboek Belanda, dan selanjutnya berdasarkan asas Konkordasi maka Burgelij WetBoek Belanda diadopsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian yang dibuat secara sah,mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.Akan tetapi Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pedata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.Dalam melaksanakan haknya seorang kreditur harus memperhatikan kepentingan debitur dalam situasi tertentu.Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur mungkin kreditur dapat dianggap melaksanakan kontrak tidak dengan itikad baik. Selanjutnya menurut Prof. R. Subekti, jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru akan menimbulkan ketidakadilan,maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya (R.Subekti,1998:41). Dengan demikian jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam kontrak tersebut.109

109Suharnoko, S.H., MLI,Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, 2004. Jakarta: kencana

Dalam praktik, berdasarkan asas itikad baik hakim memang menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga tampaknya itikad baik bukan saja harus ada pada pelaksanaan perjanjian, melainkan juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya perjanjian.Misalnya dalam kasus NY.Boesono dan R Boesono melawan Sri Setia Ningsih Perkara No.341/K/PDT/1985, 14 Maret 1987 Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan bahwa bunga pinjaman sebesar 10%

perbulan terlalu tinggi dan bahkan bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, mengingat tergugat seorang Purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain. Bahwa ketentuan dalam perjanjian untuk menyerahkan buku pembayaran dana pensiun sebagai “Jaminan” juga bertentangan dengan kepatuhan dan keadilan.Bahwa tergugat selaku peminjam telah membayar Bunga Rp.400.000,- dari jumlah pinjaman Rp.500.000,- Bahwa dalam perkara ini Mahkamah Agung berwenang untuk menentukan Ex Aquo Et Bono dalam arti patut dan adil.Maka, bunga pinjaman ditetapkan 1% per bulan, sehingga yang harus dibayar 10 bulan X Rp.5400,- adalah Rp 54.000,-. Untuk bunga yang telah dibayar kepada penggugat Rp.400.000,-haruslah di anggap sebagai pembayaran pokok pinjaman. Sehingga sisa pinjaman tergugat kepada penggugat adalah Rp.140.000,- di tambah bunga Rp.54.000,-jumlahnya Rp. 194.000,-.110

Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibatnya ajaran ini

Prenadamedia Group

110Keputusan Mahkamah Agung Perkara No. 341/K/Pdt/1985, Tanggal 14 Maret 1987 Dalam Kasus Ny. Boesono dan R.Boesono melawan Sri Seianingsih

tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap prakontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu.111

Kalau seorang berjanji melaksanakan suatu hal, janji ini dalam hukum hakekatnya ditujukan kepda orang lain. Berhubungan dengan ini, dapat dikatakan, bahwa sifat pokol dalam hukum perjanjian ialah, bahwa hukum ini semula mengatur perhubungan hukum antara orang-orang, jadi semula antar orang dan selanjutnya benda.112

Dalam hal suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, Hukum B.W memperbedakan hak terhadap benda (zakelijk recht) daripada hak terhadap orang (persoonlijk recht), sedemikian rupa bahwa, meskipun suatu perjanjian (verbintensi) adalah mengenai suatu benda, perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dan orang, lebih tegas lagi antara seorang tertentu dan orang lain tertentu. Artinya : Hukum B.W tetap memandang suatu perjanjian sebagai perhubungan hukum dimana seorang tertentu, berdasar atas suatu janji, wajib untuk melakukan suatu hal, dan orang lain tertentu berhak menuntuk pelaksanaan kewajiban itu.113

Misalnya : seorang A dan seorang B membuat perjanjian jual beli, yaitu A adalah penjual dan B adalah pembeli dan barang yang dibeli adalah suatu lemari tertentu yang berada di dalam rumah penjual A. harga pembelian sudah dibayar, tapi

111Suharmoko, Op.cit, hal 25

112Ibid

113Ibid

sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari jatuh ditangan seorang ketiga C. kini B tetap hanya berhak menegur A supaya lemari diserahkan kepadanya, dan B tidak dapat langsung menegur C untuk menyerahkan lemari itu kepadanya.Kalau tidak tenang, dimana lemarinya berada, maka pembeli B dapat menegur pencurinya, maka pembeli B dapat menegur pencurinya untuk mengganti kerugian, akan tetapi peneguran ini tidak boleh berdasarkan perjanjian jual beli saja, melainkan harus juga sekaligus pada pasal 1365 B.W tentang perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang dilakkan oleh si pencuri itu.Kalau lemarinya masih berada di tangan pencuri, maka masih dapat diragu-ragukan, apa pembeli B dapat langsung menegur si pencuri untuk mengembalikan lemari itu kepada B, oleh karena pasal 1365 B.W hanya menyebutkan suatu ganti kerugian dan mungkin menjadi soal, apakah pengembalian lemarinya sendiri ini dapat dinamakan “ganti” kerugian.Untuk menghindarkan salah paham, perlu dikemukakan dahulu bahwa “peneguran” kini suatu peneguran yang dapat diikuti dengan suatu penuntutan dimuka Hakim yang dapat berhasil.114

Umpama lagi : seorang A menyewa suatu rumah dari seorang B. Kemudian A dalam memakai rumah itu diganggu oleh seorang C. dalam hal ini A hanya dapat menegur C, kalau C dalam mengganggu ini melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, dan A tidak boleh mendasarkan peneguran ini pada perjanjian sewa-menyewa.Pada hakekatnya peraturan khusus, yang termuat dalam pasal 1556 B.W anak kalimat penghabisan, yang memberi hak kepada si penyewa untuk, selaku

114Ibid

simpangan dari hakekat itu langsung menegur seorang ketiga yang mengganggu si penyewa dalam memakai barang yang disewa.115

Dari dua contoh tersebut diatas sudah jelas, bahwa hakim perjanjian menurut Burgelijk Book adalah bersifat perseorangan (persoonlijk karakter), tidak bersifat perbedaan (geen zakelijk karakter). Sifat perbedaan ini diketemukan pada hak-hak, yang diatur dalam buku II dari Burgelijk Wetboek, yang berkepala van Zaken, sedang hukum perjanjian termuat sebagian besar dalam buku II dari B.W itu yang berkepala

“Van verbintenissen”.116

Hal terpenting yang diatur dalam buku II B.W ialah hak milik (recht van eigendom) yaitu dalam title III terdiri dari pasal-pasal 570-624.Hak eigendom ini merupakan suatu perhubungan hukum antara seorang dan suatu benda. Dalam hal seorang lain bercampur pada perhubungan hukum itu sehingga de facto ada hubungan antara dua orang yaitu seorang pemilik dan seorang lain itu, toh harus dipegang teguh, bahwa tetap ada hubungan langsunga antara pemilik dan benda itu, sehingga eigendom ini dapat dilaksanakan pemilik terhadap siapapun juga yang mencampuri pada perhubungan hukum antara pemilik dan benda. Artinya : kalau ada seorang lain mengganggu pemilik dalam melaksanakan hak eigendom itu, pemilik dapat menegur pengganggu itu berdasarkan atas hak eigendomnya.117

Mengenai hak erfpacht yang teratur dalam title VIII dari buku II B.W dan terdiri dari pasal-pasal 720-736, dan yang ada wujudnya mirip sekali dengan hak

115Ibid

116Ibid

117Ibid

seorang penyewa. Kalau dengan melalui jalan yang ditentuka dalam pasal-pasal ersebut, seorang mendapat hak erpacht terhadap sebidang tanah, maka hak erpacht ini mempunyai juga sifat perbedaan, artinya tetap melekat pada benda itu, selama hak itu tidak hapus menurut peratutan B.W dan lagi pemilik hak erfpacht dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga yang mengganngunya, dan orang pengganggu ini dapat ditegur olehpemilik hak erfpacht berdasarkan atas hak erfpacht itu. Lain hanya dengan penyewa, seperti diatas telah dikatakan.118

Untuk menegaskan lagi sifat perbedaan (zakelijk karakter) ini berarti, bahwa tetap ada hubungan langsung antara seorang dengan benda, bagaimanapun juga tetap ada campur tangan dari orang lain; sedang sifat perseorangan (persoonlijk karakter) dari hukum perjanjian ialah berarti, bahwa tetap ada hubungan antara orang dan orang, meskipun ada terlihat suatu benda didalam perhubungan hukum itu.119

Bahwa dalam gangguan oleh seorang ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga, adalah sifat lain dari hak benda yaitu adlah sifat mutlak (absolut), sedang dalam hukum perjanjian seorang berhak, dapat dibilang mempunyai hak tak-mutlak (relatif); yaitu hanya dapat melaksanakan hak seorang tertentu yakni orang pihak lain yang turut membuat perjanjian itu.120

Dari uraian diatas sudah dapat dilihat, bahwa perbedaan antara hak yang bersifat perbedaan dan hak yang bersifat perseorangan perhubungan erat dengan hal penggugatan dimuka hakim.Dalam pemeriksaan perkara perdata dimuka hakimlah

118R. Wirjono Prodjodikoro, Prof. DR., Azas-Azas Hukum Perjanjian, Op.cit, hal 40

119Ibid

120Ibid

terbeber secara terang perbedaan itu. Artinya, kalau seorang penggugat dimuka hakim mendasarkan gugatan pada suatu perjanjian, sedang menurut hakim ia harus mendasarkan gugatan (yang sama tujuannya) pada hal lain. Misalnya pada suatu perbuatan melanggar hukum, maka hakim harus tidak menerima gugatannya dan penggugat harus memajukan perkara baru yang berdasar secara benar. Kalau seorang penyewa menggugat seorang pengganggu dimuka hakim dan ia dapat mengemukakan suatu perbuatan melanggar hukum dari lawannya, maka gugatan pun dapat diterima, dan gugatan harus dimajukan oleh pemilik benda oleh karena terhadap seseorang pengganggu suatu gugatan hanya dapat berhasil, apabila didasarkan atas suatu hak perbedaan (zakelijk recht) terhadap barang yang disewa itu.121

Dalam tiap-tiap perjanjian ada dua macam subjek, yaitu ke-1 seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu dan yang ke-2 seorang manusia atau suatubadan hukum yang mendapat hak tas pelaksanaan kewajiban itu. Bahasa Belanda memakai kata-kata schuldenaar atau debiteur dan schuldeiser atau perkataan pihak berwajib dan pihak berhak.122

Subjek yang berupa seorang manusia, harus memenuh syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau diperbatasi dalam melakukan perbuatan hukum yang sah.Seperti peraturan pailit, peraturan tentang orang perempuan berkawin menurut B.W pasal (108 dan pasal 109) dan sebagainya.

121Ibid

122R Soegondo Notodisoererjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan,Op.cit, hal 55

Sebagai ukuran, bahwa seorang adalah sudah dewasa, Hukum Adat tidak mengenal suatu umur tertentu, melainkan pada umumnya memakai pengertian “dapat hidup sendiri” atau “akil balig”, dan baiasanya orang-orang yang dianggap “akil balig” ini, berumur 16 dan 18 tahun atau sudah kawin dan berdiam sendiri, tidak bersama-sama dengan orang tua.123

Bagi orang eropa dan Tionghoa pasal 30 B.W ayat 1 dan 2 menentukan, bahwa orang dianggap dewasa, apabila sudah berumur 21 tahun tau kawin lebih dulu.

Bagi orang-orang Timur Asing yang lain, ada peraturan yang sama isinya, termuat dalam temuat Staatblad 1924-556 pasal 1A sub c ke-1.124

Bagi orang Indonesia asal ada suatu ordinasi, termuat dalam staatblad 1931-54, yang menentukan:

1. Kalau dalam peraturan undang-undang (wettelijke voorcriften) terpakai perkataan “minderjarig” (belum dewasa), maka ini bagi orang-orang Indonesia berarti berumur kurang dari 21 tahun dan belum kawin.

2. Apabila perkawinan terjadi sebelum usia 21 tahun dan kemudian dipecahkan sebelum usia itu juga, yang bersangkutan tetap dianggap sudah dewasa.

3. Perkawinan antara kanak-kanak (kinderhuwelijk) tidak masuk istilah perkawinan.

Perlu dikemukakan disini, bahwa staatblad 1931-54 hanya berlaku, apabila dalam peraturan undang-undang betul-betul terpakai perkataan “minderjarig”, an misalnya tidak berlaku, apabila dalam suatu undang-undang terpakai perkataan

“involwassene” seperti halnya dalam pasa 25 dari staatblad 1931 – 53. Dalam pasal ini diatur hal pengangkatan seorang wali (voogd) oleh pengadilan negeri, apabila ada

123Ibid

124Ibid

seorang Indonesia asli yang “(onvolwassen)”dan untuk siapa peraturan Hukum Adat tidak menunjuk seorang wali gna memelihara badan dan harta benda seorang yang belum dewasa itu.Kini kata onvolwassen berarti belum dewasa menurut Hukum Adat.

Maka sesuai dengan ini adalah pasal 30 ayat 2 yang menentukan, bahwa orang-orang yang berkepentingan dapat minta kepada Pengadilan Negeri supaya memutuskan, apa seorang yang mendapat seorang wali angkatan Pengadilan Negeri menurut pasal 25 tersebut, pada sewaktu-waktu adalah sudah dewasa, agar perwakilan dapat dihentikan.125

Perihal orang-orang yang kurang sehat pikirannya Bugerlijk Wetboek (pasal 1330 ke-2) bagi orang-orang yang tunduk padanya mengadakan suatu perbatasan dakam hal kesanggupan melakukan perbuatan hukum, yaitu hanya orang yang

“ondecuratele gesteld” (diadakan dibawah suatu pengawasan tertentu) dianggap tidak dapat melakukan perbuatan gukum yang sah sedang menurut pasal 38 ayat 2

“Regelement Krankzinnigenwezen” seorang Eropa yang dimaksudkan dalam rumah sakit untuk orang gila tentang kesanggupan membikin perjanjian disamakan dengan seorang yang berada dibawah “curatele”.Maka, kalau seorang gila yang tidak berada di bawah suatu pengawasan, “curatele”.Dan juga tidak dimasukkan dalam rumah sakit untuk orang gila, melakukan perbuataan hukum, perbuatan ini tidak dapat dianggap tidak sah, kalau hanya didasarkan pada pasal 1330 B.W tentang ketidaksanggupan (onbekwaamheid) untuk membentuk suatu persetujuan.Mungkin salahnya perbuatan seorang gila itu dapat dibantah dengan beralasan atas keadaan

125Ibid

tidak sempurna dari perijinan (toestemming) yang juga diperlukan untuk sah nya suatu persetujuan (pasal 1320 ke-1 B.W.).126

Kini ternyata bahwa Hukum Adat, yang tidak membedakan keadaan orang gila yang berada dari yang tidak berada dibawah pengawasan “curatelle”, adalah lebih memuaskan. Perlu ditegaskan disini, bahwa pasal 229-223 dari Reglemen yang dibaharui atau H.I.R. atau pasal-pasal 263-268 dari wetrechts-reglement buitengewesten (R.Bg.) juga bagi orang-orang Indonesia asli membuka kemungkinan untuk mengadakan pengawasan “curatelle”, akan tetap bagi orang-orang Indonesia asli tak ada peraturan seperti pasal 1330 B.W.127

Sebabnya orang sebelum dewasa dan orang yang tidak sehatpikirannya dianggap tidak dapat melakukan erbuatan hukum secara sah, ialah bahwa pada umumnya dapat dikhawatirkan, kalau-kalau orang itu terjerumus dalam perangkap yang telah disediakan oleh pihak lain dalam pergaulan hidup. Maka untuk kepentingan orang-orang itu sendirilah adanya anggapan ketidaksanggupan untuk melakukan perbuatan hukum yang besar. Dan juga mereka toh membikin suatu perjanjian dengan orang lain, hanya mereka sendiri dan bukannya pihak lawan untuk minta pembatalan dari perjanjian itu.128

Dengan demikian, persetujuan semacam ini pelaksanaannya selalu tergantung dari apa maunya pihak yang belum dewasa atau pihak yang berada dalam pengawasa curatelli yaitu mau melaksanakan atau mau minta pembatalan dari persetujuan yang

126Suharnoko, S.H., MLI, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus,Op.cit,hal 52

127Ibid

128Ibid

bersangkutan.Kontrak semacam ini sering dinamakan kontrak pincang (hinkend contract). Saya rasa, Hukum Adat memperbolehkan Hakim memakai prinsip dari pasal 1331 B.W. ini pedoman dalam hal-hal yang pada umumnya B.W. tidak berlaku.Pasal 1331 ayat 1 B.W. bagian penghabisan membuka kemungkinan bahwa oleh undang-undang dalam suatu soal tertentu dicabutkan hak untuk pembatalan dari persetujuan ini.129

Menurut Dr. L. C. Hofmann dalam buku karangannya “het Nederlandsch ferbintenissenrecht” jilid ke-1 cetakan ke-6 halaman 242, hanya satu kali undang-undang melakukan pencabutan ini, yaitu dalam pasal 432 ayat 2 B.W. yang menentukan, apabila seorang yang berusia 20 tahun, dengan Penetapan Pemerintah disamakan dengan orang dewasa, tetapi sebelum mencapai usia 21 tahun. Penetatan ini dicabut tanpa pengumuman dalam Berita Negara, maka pencabutan ini tidak berlaku bagi seorang ketiga, artinya: persetujuan yang diadakan antara orang dewasa ini dan orang ketiga itu, tidak dapat diminta pembatalannya.ergaulan hidup dimasyarakat, dalam mana juga termasuk orang-orang dewasa dan/atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya membutuhkan perikatan orang-orang itu, agar ada tata tertib dalam masyarakat, maka sudah seharusnya ada perwakilan mereka dalam pergaulan hidup itu. Perwakilan ini bagi orang-orang belum dewasa, dilakukan oleh orang tua atau walinya, bagi orang-orang yang tidak sehat pikirannya, oleh seorang yang berwajib menjadi pengawas, dalam hal “curatelle” oleh “curator”.130

129Ibid

130Ibid