• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1. Hasil analisis varian pola tersarang (NESTED) ...……. 109 2. Contoh pembuatan program analisis non-linier model

Gompertz dan hasil perhitungan ……… 110

3. Contoh pembuatan program analisis non-linier model WOOD

dan hasil perhitungan ………. 112

4. Tabel pola warna bulu mandalung pada saat dewasa ………… 114 5. Tabel pola warna bulu mandalung pada saat dewasa

(Lanjutan) ………. 115

6. Tabel pola warna bulu mandalung pada saat dewasa

(Lanjutan) ……… ………. 116

7. Hasil analisis uji t-test bobot badan pada mandalung EPM

Itik-itik yang ada di Indonesia merupakan itik tipe petelur, oleh karenanya karakteristik bentuk badannya adalah ramping dan kecil sehingga perototannya (daging) rendah. Sebagai itik tipe petelur, produksi telur yang dihasilkan tergolong tinggi. Namun mengingat tuntutan akan daging itik semakin besar dan ada kecenderungan untuk terus meningkat pada beberapa daerah tertentu, peternak pun telah mecoba membuat mandalung dari hasil silang antara pejantan entog lokal (Cairina moschata) dengan itik betina lokal (Anas platyrhynchos) atau kebalikannya.

Mandalung memiliki proporsi daging yang relatif lebih banyak dibanding dengan itik lokal dan citarasanya enak. Ketebalan daging dada pun masih lebih baik jika dibandingkan dengan itik Pekin yang selama ini memang sudah terkenal sebagai tipe pedaging dengan karkas yang seragam dan warna kulit yang putih bersih. Itik Pekin sebagai sumber itik berkualitas tidak dapat dipungkiri, mengingat beberapa negara cenderung mengeksploitasinya untuk kebutuhan konsumsi masyarakatnya maupun ekspor. Hal ini juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, khususnya di Jakarta permintaan akan daging itik Pekin untuk restoran besar dan hotel berbintang merupakan pangsa yang besar.

Pada saat ijin impor daging itik Pekin beku diperketat, kondisi permintaan untuk restoran besar dan hotel yang cukup tinggi menimbulkan kesenjangan. Kesenjangan ini dimanfaatkan importir untuk melakukan pelanggaran dalam menjalankan usahanya. Sebagai bukti aktual surat kabar Harian Kompas (tanggal 14 Desember 2004) melaporkan adanya pemasukan daging itik Pekin beku illegal. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pangsa pasar daging itik Pekin unggul di kota besar seperti Jakarta cukup tinggi dan memiliki unsur bisnis yang cukup kuat.

Masalah di lapangan menunjukkan bahwa pemberhentian ijin impor daging itik Pekin beku ternyata belum diikuti dengan penyediaan daging lokal yang kualitas produknya mendekati sebagaimana yang dimiliki oleh itik Pekin tersebut. Produk mandalung hasil peternak, pada umumnya masih beragam terutama dalam hal keseragaman bobot dan warna kulit karkas yang terkesan kotor. Kondisi warna

kulit tersebut akibat masih banyaknya pangkal bulu berwarna hitam yang masih tertinggal di dalam kulit. Disamping itu sistem perototan yang membentuk daging masih kurang tebal.

Dengan demikian permasalahan yang cukup serius di atas harus segera dipecahkan, mengingat permintaan akan daging pengganti daging itik Pekin cukup mendesak. Oleh karena itu langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membentuk galur induk (female line) maupun galur pejantan (male line) untuk menghasilkan mandalung berkualitas tinggi. Namun dalam penelitian ini hanya akan dilakukan upaya pembentukan galur induk, yang memiliki karakteristik tubuh medium, sifat pertumbuhannya cepat, produksi telur tinggi, warna bulu seragam putih polos.

Kerangka Pemikiran. Itik Pekin sebagai itik broiler, sudah banyak dikembangkan oleh berbagai negara karena sifat pertumbuhan dan kualitas dagingnya yang baik, sehingga diminati oleh masyarakatnya. Di Indonesia daging itik Pekin masih merupakan sumber daging yang hanya mampu dijangkau oleh kalangan tertentu saja. Mengingat dagingnya masih merupakan bahan yang harus di impor, maka hanya golongan ekonomi mengengah ke atas yang menjadi konsumen utama.

Mengingat performa mandalung yang ada masih kurang memuaskan, maka dengan mengambil pelajaran dari pola perkawinan yang telah diterapkan di Pusat Penelitian Itik (DRC, Duck Research Center) di Taiwan, dilaksanakan penelitian antara itik local dengan itik Pekin untuk membentuk suatu galur induk. Galur induk yang telah terbentuk melalui proses seleksi pemantapan inilah yang akan disilangkan dengan entog untuk menghasilkan mandalung yang berkualitas tinggi. Harapannya dari hasil persilangan antara galur induk dengan entog mampu menghasilkan itik mandalung sebagai itik tipe pedaging yang memiliki penampilan tubuh (performa) dengan postur tubuh yang besar, pertumbuhan cepat, efisien dalam penggunaan pakan, berdada lebar dan dalam, paha yang panjang sebagai sumber utama daging itik, warna bulu penutup tubuh seragam putih polos dan berkurangnya bau amis.

Untuk mendapatkan zuriat dengan warna putih maka pemilihan tetua yang memiliki warna bulu putih merupakan keharusan. Sementara untuk mendapatkan sifat pertumbuhan yang cepat maka sistem persilangan dengan salah satu bangsa yang bertipe besar akan lebih efektif dibandingkan dengan sistem seleksi.

Di lain pihak, kurangnya minat peternak terhadap warna putih pada itik lokal karena disamping karena frekuensinya yang cukup kecil juga adanya dugaan bahwa produktivitas telurnya lebih rendah dari itik yang berwarna coklat. Warna bulu putih pada itik lokal juga dianggap sebagai kelompok yang tidak menunjukkan corak warna ciri suatu bangsa itik.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotipe sebagai calon galur induk (female line) terbaik dengan karakteristik bertipe medium, pertumbuhan masa starter dan grower cepat, memiliki produksi telur yang cukup tinggi dan bulu tubuh berwarna putih polos. Dengan demikian mandalung yang terbentuk diharapkan akan memberikan hasil yang baik yaitu berbadan besar, pertumbuhan cepat, efisien dalam penggunaan pakan, penampilan karkas putih dan bersih.

Manfaat Penelitian

Penggunaan dua galur itik lokal (Alabio dan Mojosari putih) merupakan model yang ingin diuji untuk mendapatkan galur induk yang diinginkan. Pertimbangan penggunaan itik lokal Alabio, karena itik tersebut memiliki produktivitas yang lebih baik. Hal ini terlihat dari bobot badan itik Alabio relatif lebih besar dibandingkan dengan itik Mojosari putih, bobot telur lebih besar dan memiliki pola warna bulu lurik yang cukup uniform. Itik Mojosari putih memiliki keunggulan dalam warna bulu yang seragam putih polos. Persilangan di samping untuk mendapatkan calon galur induk tetua mandalung, juga dapat memenuhi beberapa kebutuhan informasi dasar biologis seperti :

1. Itik pedaging mandalung yang terbentuk diharapkan merupakan itik yang memiliki badan besar disertai dengan nilai efisiensi pakan baik serta laju pertumbuhan bobot badan yang cepat, sehingga dapat digunakan sebagai sumber daging alternatif yang ekonomis dan memenuhi selera konsumen.

2. Hasil persilangan galur induk dengan pejantan entog lokal diharapkan mampu memberikan informasi yang runut atas pola pewarisan sifat kualitatif dan informasi data teknis biologis mengenai sifat keunggulan dan kekurangan/kelemahan dari dua galur induk yang dibandingkan. 3. Informasi dasar yang disajikan diharapkan menjadi langkah awal bagi

penelitian berjangka panjang, terutama strategi untuk mendapatkan keseragaman produk mandalung yang memenuhi kriteria sebagai daging itik pengganti Pekin yang memiliki komponen sumberdaya genetik lokal. Untuk menjawab permasalahan di atas maka disusun beberapa hipotesis berikut:

1. Galur induk PA (Pekin x Alabio) atau PM (Pekin x Mojosari putih) berpotensi tinggi untuk dikembangkan sebagai galur induk itik mandalung. 2. Variasi warna bulu tubuh lebih banyak dimunculkan oleh galur induk PA

dibandingkan dengan PM sehingga evaluasi kearah sifat kualitatif lebih mudah dilakukan bagi galur induk PM.

3. Mandalung yang dihasilkan dari dua calon galur induk tidak berbeda dalam laju pertumbuhan, efisiensi pakan maupun bobot potong serta persentase karkasnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Ternak itik (Anas platyrhynchos) dan entog (Cairina moschata) walau bukan merupakan ternak asli Indonesia, namun keberadaanya sudah cukup lama sehingga masyarakat menganggap sebagai ternak lokal. Hal ini tergambar dari adanya nama galur ternak yang sesuai dengan nama daerah ternak itik tersebut berkembang. Nama yang cukup populer diantaranya itik Alabio, Tegal, Magelang, Turi, Mojosari, Bali dan masih banyak nama-nama itik lainnya yang kurang populer seperti itik Begagan dari Sumatera Selatan, Cihateup dari Tasikmalaya, Damiaking dari Tangerang, itik Medan (Iskandar et al., 1993; Prasetyo dan Susanti, 1997; Setioko et al., 1997;Tri-Yuwanta et al., 1999 dan Brahmantiyo et al., 2002).

Domestikasi ternak itik sudah dimulai sejak 400 tahun yang lalu di Amerika Tengah dan Selatan, namun secara intensif baru dilakukan pada 40 tahun terakhir di beberapa negara Eropa Tengah (Niclemann dan Bilsing, 1995) Sementara negara-negara di kawasan Asia, jumlah bangsa itik adalah relatif kecil akan tetapi terdapat kecenderungan adanya laju produktivitas yang terus meningkat karena hasil utamanya yang berupa daging dan telur sangat berperan dalam penyediaan sumber protein hewani (Chen, 1999).

Secara biologis, itik dan entog yang sama-sama berasal dari kelas unggas air (waterfowl), sebagian besar waktu aktivitasnya di alam banyak dihabiskan di dalam air (aquatic) baik untuk berenang maupun berburu makanan. Namun demikian Matull dan Reiter (1995) melaporkan bahwa ternak entog lebih banyak menghabiskan waktunya di darat dengan penggunaan sumber air yang lebih sedikit. Kondisi ini juga telah dilaporkan sebelumnya oleh Reiter et al. (1997) bahwa baik ternak itik Pekin, entog maupun mandalung hanya mengalokasikan waktu mandi sebesar 2,1% sementara untuk merawat tubuh (preening) memiliki persentase tertinggi yaitu 11%.

Sejarah awal keberadaan itik lokal di Indonesia masih merupakan hal belum terungkap. Namun Robinson (1977) menduga bahwa masuknya itik pertama kali melalui pulau Lombok baru menyebar ke pulau-pulau lainnya. Meskipun demikian dengan memperhatikan beberapa sifat fenotipe, itik lokal kita masih

keturunan dari itik Indian Runner (Samosir, 1983). Hasil domestikasi yang relatif panjang tersebut telah menghasilkan tipe itik sebagai penghasil telur.

Catatan sejarah tentang keberadaan dan keunggulan itik lokal Indonesia, sebagaimana yang disampikan oleh Samosir (1983) cukup membesarkan hati karena pada tahun 1930 pemerintah Indonesia yang pada waktu itu masih merupakan pemerintahan jajahan Hindia Belanda mengirim beberapa ekor itik ke London untuk mengikuti pameran unggas yang diadakan di kota tersebut. Hasil pameran yang diperoleh cukup membanggakan karena itik lokal kita digunakan untuk pembaharuan standarisasi bagi itik Indian Runner.

Itik Lokal

Deskripsi akan galur atau bangsa itik lokal di Indonesia sulit dilakukan karena banyaknya variasi warna dan ukuran tubuh yang ada. Pengakuan akan nama galur dari masing-masing daerah dan membuat kemiripan performa itik antara daerah satu dengan derah lainnya. Fakta tersebut telah menghantar akan banyaknya nama itik yang disesuaikan dengan nama daerah, dimana ternak tersebut beradaptasi dan berkembang biak dengan baik. Konsekuensi dari pengakuan tersebut merupakan indikasi bahwa ternak itik sudah lama dipelihara dan cukup berkelanjutan (sustainable).

Itik Alabio dan itik Mojosari merupakan dua dari banyak nama lokal itik yang cukup populer di Indonesia. Secara genetik memiliki jarak pertalian kekerabatan yang digambarkan melalui pohon dendrogram yang relatif jauh (Hetzel, 1985). Itik Alabio lebih seragam dibanding dengan itik Mojosari maupun galur lainnya (Prasetyo dan Susanti, 1996).

Itik Alabio. Itik lokal ini berasal dari daerah di Kalimantan Selatan, dan secara fenotipe berbeda dengan galur lokal lainnya karena tingkat keseragam pola warna tubuhnya. Bahkan Naware dan Ardi (1979) mengidentikkan fenotipe yang ada pada diri itik Alabio dengan itik lokal Philipina. Adanya beberapa kesamaan sifat fenotipe dari dua galur yang secara geografis jaraknya cukup jauh diduga bahwa masuknya itik ke Kalimantan Selatan berasal dari Cina melalui Philipina. Hal ini berbeda dengan dugaan yang disampikan Robinson et al. (1977), beda

pendapat tersebut bukan suatu hal yang prinsip bahkan merupakan wacana yang akan memperkaya eksistensi itik lokal.

Warna bulu pada itik Alabio menurut Robinson et al. (1977) adalah bercak putih di atas warna dasar coklat tua sampai kelabu. Paruh dan kakinya memiliki warna jingga. Sikap badan tampak kurang tegap, tidak sebagaimana yang ada pada itik Tegal.

Rataan produksi telur itik Alabio (duck day) pada hasil pencatatan hingga minggu ke 68 menunjukkan jumlah sebesar 180 butir yang secara statistik nyata lebih tinggi dibanding dengan produksi telur itik bangsa Bali maupun Tegal (Hetzel, 1985). Menurut Setioko dan Rohaeni (2001) produksi telur mencapai kisaran antara 48-66% menurut jenis dan susunan pakan yang diberikan dengan rataan produksi tertinggi antara 67-81%.

Itik Mojosari. Galur itik ini berasal dari desa Mojosari kabupaten Mojokerto, mempunyai variasi warna bulu dasar yang umum diketahui coklat tua sampai sedang dengan sedikit kombinasi putih. Warna putih polos sering muncul pada kelompoknya, namun frekuensinya kecil. Warna paruh dan kaki pada umumnya hitam, dan akan tampak lebih hitam lagi bagi itik jantan. Bentuk badan adalah langsing dengan posisi badan tegak (Prasetyo dan Susanti, 1996).

Laju pertambahan bobot badan (PBB) hingga umur 8 minggu sebesar 1220.44 g untuk itik jantan. Sedangkan bagi anak betina PBB pada umur yang sama relatif lebih rendah yaitu 929.41 g. Umur pertama bertelur 176.72±25.08 hari dengan rataan bobot telur pertama sebesar 56.52±6.49 g (Prasetyo dan Susanti, 1997). Lebih jauh dilaporkan bahwa bobot badan pertama bertelur itik Mojosari adalah 1607.2±147.2 g. Peningkatan produksi telur hingga mencapai puncak produksi dicapai antara minggu ke-14 dan ke-17 yaitu 87.14% (Prasetyo dan Susanti, 1996).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa produksi telur itik Mojosari cukup baik, dan potensi sebagai itik petelur tidak kalah dengan jenis itik yang lainnya. Oleh karena itu layak dipakai dalam program persilangan dalam membentuk galur induk yang unggul seperti galur MA. Laporan Prasetyo dan Susanti (1997) telah membuktikan bahwa persilangan itik Mojosari dengan itik Tegal tidak

menunjukkan heterosis pada sifat-sifat pertumbuhan pada tahap awal (sampai dengan 8 minggu). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa jenis-jenis itik tersebut baik Mojosari maupun Tegal adalah jenis petelur sehingga tidak dapat diharapkan adanya keunggulan dalam produksi daging dengan menggunakan persilangan (Prasetyo dan Susanti, 1997). Oleh karena itu persilangan dengan galur lain yang tipe pedaging diharapkan akan lebih baik.

Itik Pekin. Itik Pekin meskipun berasal dari Cina, namun Tai (1985) melaporkan bahwa Pekin yang ada di Taiwan diimpor dari Amerika pada tahun 1942, kemudian untuk tahun-tahun berikutnya dilanjutkan impor dari negara Eropa (Inggris dan Denmark) maupun Australia. Bobot badan pada umur 10 minggu mencapai 2252 g dan akan meningkat menjadi 2918 g pada umur 20 minggu. Umur pertama bertelur itik Pekin adalah 191 hari dengan produksi telur 105 butir per tahun.

Hasil seleksi bobot badan itik Pekin dapat meningkatkan efisiensi pakan, yaitu adanya perubahan respon sebesar -40 g pakan setiap generasi. Artinya bahwa setiap satu kilogram bobot badan akan menghabiskan pakan lebih rendah atau berkurang 40 g dibanding dengan generasi sebelumnya (Wilson et al., 1997).

Persilangan Antar Genotipe

Sebagai itik tipe petelur, itik local berpenampilan bobot badan ringan sehingga produksi daging relatif rendah. Ini berbeda dengan tipe dwiguna, disamping memiliki kemampuan produksi telur cukup baik juga memiliki tubuh yang relatif lebih besar dibanding tipe petelur. Di Indonesia belum ada itik yang dianggap sebagai tipe dwi guna, mengingat itik Alabio yang memiliki badan relatif lebih besar dibanding dengan itik-itik lainnya juga belum mencerminkan sebagaimana yang dimaksud tersebut. Bahkan secara jelas Hetzel (1985) menjelaskan bahwa itik-itik yang ada di Indonesia memiliki performa yang kecil sehingga sulit untuk diperbaiki meskipun melalui seleksi yang terarah sebagai itik yang menghasilkan produksi daging yang baik. Oleh karena itu disarankan untuk menyilangkan dengan itik yang memiliki sifat pertumbuhan tinggi.

Lebih jauh Hetzel (1985) mengevaluasi hasil persilangan antara itik Alabio betina dengan Entog jantan mampu meningkatkan bobot badan sebesar 30% dan 40% untuk masing-masing umur 8 dan 12 minggu. Sedangkan bila disilangkan dengan itik Pekin maka pada dua umur yang sama dengan di atas hasil bobot badannya meningkat 50% dan 48%. Dengan demikian silang antar genotipe antara Pekin dengan Alabio menghasilkan performa yang lebih baik, meskipun hasil tersebut tidak mengevaluasi produksi telur.

Pemaparan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa itik lokal yang bila hanya disilangkan dengan entog hanya akan mendapatkan kenaikan bobot badan sebesar 30%-40% saja. Kondisi ini dirasakan juga menjadi masalah di Taiwan, yang menunjukkan bahwa silang antara itik lokal Tsaiya coklat dengan entog yang dilakukan peternak ternyata menghasilkan mule duck tipe kecil. Sementara sedikit lebih baik penampilan bobot badannya bila itik lokal Indonesia disilang dengan Pekin dengan kenaikan berkisar antara 48% hingga 50%-nya. Tetapi untuk menjadikan sebagai galur induk bagi mandalung belum menjadi skala prioritas pada saat itu.

Sadar akan masalah di atas maka Lee (1998) melaporkan bahwa hasil penelitiannya di ILAN RESEARCH STATION (DUCK RESEARCH CENTER) (TLRI) pihak pemerintah Taiwan mengimpor Pekin untuk memperbaiki performa dari Tsaiya putih sehingga terbentuk itik Kaiya. Namun demikian dari kelompok Tsaiya putih sendiri masih menunjukkan keragaman tinggi, maka dengan seleksi yang ketat atas hasil perkawinan antar Tsaiya putih tersebut ternyata mampu membentuk bangsa baru diberi nama Ilan Tsaiya di tahun 1985. Itik Ilan Tsaiya ini yang kemudian disilang dengan pejantan Pekin untuk membentuk Kaiya sebagai galur induk (Lee, 1998).

Mojosari putih merupakan model yang diharapkan dapat dijadikan pola yang mirip dengan cara membentuk Kaiya. Genotipe Peking Mojosari (PM) inilah yang diharapkan dapat dikembangkan sebagai galur induk mandalung yang relatif unggul, sehingga pemberdayaan sumber genetik itik lokal akan lebih terarah.

Itik mandalung (mule duck). Itik mandalung merupakan hasil perkawinan antara entog jantan dengan itik betina. Avanzi dan Crawford (1993) menjelaskan

bahwa produk silang ini bersifat steril (infertil). Tetapi bila pejantannya itik dan betina entog maka hasil keturunannya memiliki pertumbuhan yang tidak sama. Anak jantan tumbuh lebih cepat dibanding anak betina, dan memiliki libido yang kuat serta kadang-kadang bersifat fertil. Untuk anak betina produksi telur cukup baik tetapi ukuran telurnya kecil sehingga tidak baik untuk dibuahi.

Dari segi behavior atau pola tingkah laku menunjukkan bahwa itik mandalung cenderung tenang, lebih jinak dan tidak terlalu ribut atau gaduh sehingga mudah dipelihara. Kondisi ini sangat berbeda dengan itik Pekin yang cenderung nervous dan berisik (Hoffman dan Canning, 1993).

Retailleau (1999) melaporkan bahwa itik mandalung memiliki sifat pertumbuhan diantara kedua tetuanya yaitu entog dan Pekin hingga umur 28 hari. Namun untuk umur 56-84 hari pertumbuhan itik mandalung jantan cenderung lebih rendah dari entog. Sementara mandalung betina menunjukkan performa yang terbaiknya pada umur 56-70 hari.

Itik mandalung akan mencapai masak kelamin relatif lebih dini dan memberikan otot dada yang lebih besar bila dibanding dengan entog. Sementara untuk Pekin pencapaian masak kelamin juga lebih dini, tetapi pertumbuhan otot dada cenderung lebih kecil bila dibanding dengan entog (Rouvier, 1999). Tai (1985) melaporkan bahwa rataan bobot badan itik mandalung pada umur 10 minggu adalah 2.20 kg untuk hasil persilangan dua bangsa yaitu Entog dan Tsaiya, sedangkan untuk 3 bangsa yaitu Entog x Kaiya didapat rataan bobot badan itik mandalung sebesar 2.57 kg.

Pada sisi lain Harahap (1993) yang mencoba menyilangkan jantan entog dengan betina itik dari ternak lokal mendapat anak keturunan F1 yang memiliki

kualitas daging yang cukup disukai oleh panelis, dengan bobot badan umur 10 minggu ± 1.7 kg (baik jantan maupun betina). Sedangkan bila pejantannya itik dan induknya entog maka bobot badan mandalung pada umur yang sama (10 minggu) untuk jantan 2 kg sedang untuk betina 1.2 kg. Proporsi jenis kelamin anak dari 224 butir telur yang ditetaskan menunjukkan bahwa 61% telur itik mandalung menetas berkelamin jantan dan 39% berkelamin betina (Dharma et al., 2001).

Menurut laporan Siswohardjono (1986), efisiensi pakan itik mandalung dari dua genotipe hasil silang resiprokal antara : itik jantan Alabio dengan betina entog yaitu 4.3 dan jantan Entog dengan betina Alabio sebesar 4.97, ternyata lebih baik dibanding itik lokalnya (5.45). Akan tetapi nilai efisiensi kedua mandalung tersebut nyata lebih tinggi dari nilai efisiensi pakan yang ada pada entog (3.42). Dari hasil tersebut tampak jelas bahwa tingkat efisiensi pakan itik mandalung berada diantara kedua tetuanya.

Beberapa hasil penelitian yang disampaikan di atas tampak jelas bahwa silang itik lokal dengan entog tanpa memperbaiki galur induk hanya akan menghasilkan mandalung relatif kecil dengan tingkat efisiensi pakan yang rendah. Oleh karena itu hadinya galur induk sangat strategis dalam pengembangan itik mandalung yang relatif lebih efisien.

Sifat Kualitatif

Seleksi yang dilakukan oleh peternak itik di pedesaan biasanya tidak dilakukan dengan menggunakan produktivitas, karena sistem pencatatan produksi tidak pernah dilakukan. Peternak yang memiliki pengalaman cukup baik, melakukan seleksi didasarkan pada bentuk dan rupa secara kasat mata. Bentuk hanya dilakukan pada kondisi besar tubuh yang tentunya terkait dengan bobot badan. Sedangkan rupa ternyata lebih banyak memerlukan pertimbangan seperti proporsi setiap anggota tubuh, warna bulu tertentu yang menurut pengalaman akan memprediksikan munculnya fisat produksi yang baik pada keturunannya, bentuk kaki dan sebagainya. Semua penilaian ini diramu secara baik, dan diharapkan mampu menjadi kriteria yang menjadi keyakinan peternak untuk memilih bibit yang baik.

Warna dasar bulu itik. Pewarisan warna bulu merupakan suatu kompleksitas genetik, bagian terpenting dalam interaksi inter maupun intra alel. Hal ini tidak saja terjadi pada mutasi yang terdahulu, tetapi juga melibatkan aksi gen-gen yang cenderung lebih komplek dan belum teridentifikasi. Oleh karena itu ekspresi warna bulu adalah sifat multi genik dan dipengaruhi oleh aksi gen dominan (banyak gen-gen yang berperan), epistatis dan interaksi gen (Smyth,

1993). Sebagai gambaran Jaap dan Milby (1944) menjelaskan bahwa warna dasar yang penting dari Mallard hanya ada 2 yaitu warna abu-abu atau grey (G) yang