Al-Quran dan Tarjamah
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Utara, Putusan Nomor. 84/Pdt.P/2012/PA.JU
A. Karim, Muchith. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris Dikalangan Umat Islam
Indonesia. Jakarta: Malaho Jaya Abadi Press
Abu Zuhrah, Muhammad. 2011. Hukum Waris Menurut Imam Jafar Shadiq. Jakarta:
Lentera
Al-Faruq, Assadulloh. 2014. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Bogor:
Ghalia Indonesia
Ali, Zainudin. 2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Al-Ustamin, Asy-syaikh. 2007. Ilmu Waris. Tegal: Ash-Shaf
Arief, Saifuddin. 2007. Hukum Waris Islam. Jakarta: Darunnajah Production House
Hasan, M. Ali. 1996. Hukum Warisan Dalam Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Http://andibooks.wordpress.com/definisi-anak diunduh pada tanggal 30 Maret 2015
Hukor.depkes. 2013. Undang-Undang Tentang Hak Asasi
Manusia, http://hukor.depkes.go.id/up_prod_uu/UU No.39 Th 1999 ttg Hak Asasi Manusia.pdf,(diakses 27 desember 2013)
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Jakarta Selatan:
Senayan Abadi Publishing
Lubis, Suhrawadi K. dan Komisi Simanjuntak. 1995. Hukum Waris Islam (lengkap
dan Praktis). Jakarta: Sinar Grafika
Muhubbin, Moh dan Abdul Wahid. 2011. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar
Grafika
Muhubbin, Moh dan Abdul Wahid. 2011. Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Naisaburi, Muslim bin al-Hajjjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. 2012. Ensiklopedia Hadits 4; Shahih Muslim 2. Jakarta: Almahira
Nasution, Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Parman, Ali. 1995. Kewarisan dalam Al-Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Pitlo. A dan J.E Kasdrop. 1994. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Belanda. Jakarta: Intermasa
Rahman, Fathur. 1971. Ilmu Waris. Bandung: PT. Alma’ arif
Ramulyo, M. Idris. 1992. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya
Rofiq, Ahmad. 1995. Hukum Mawaris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sopyan, Yayan. 2011. Islam Negara. Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah
Suparman, Eman. 2007. Hukum Waris Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Suma, Muhammad Amin. 2013. Keadilan Hukum Waris Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Suma, Muhammad Amin. 2011. Pidana Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus
Tono, Sidik. 2012. Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan.
Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia
Tim Redaksi Fokusmedia. 2007. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Tim Redaksi
Fokusmedia
http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. di unduh pada tanggal 9 Maret 2014
http://www.merriam-webster.com/dictionary/heir di akses 14 November 2014
http://www.islam101.com/sociology/wills.htm, di akses pada tanggal 14 November
2014
http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_inheritance_jurisprudence, di akses pada tanggal
http://wikiislam.net/wiki/Islam_and_Apostasy#Definitions, di unduh pada tanggal 14 November 2014
Hasil wawancara dengan salah satu hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Ibu Sarbiati Pada tanggal 17 Juni 2014 pada jam 14.25-14.33 WIB
Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan kepada beliau serta jawaban dan tanggapan dari beliau, diantara sebagai berikut:
1. Apakah anak murtad berhak mendapatkan warisan?
Pada umumnya anak murtad tidak mendapatkan hak waris, karena yang saling mewarisi itu adalah sesama muslim itu yang menjadi pandangan dasarnya, jadi intinya bahwa anak murtad itu tidak mendapatkan waris dan yang saling mewarisi antara pewaris dan ahli waris harus sesama muslim.
2. Bagaimana menurut ibu hakim pemberian wasiat wajibah terhadap anak
murtad?
Jadi di putusan tadi di sebutkan di cantumkan bahwa anak murtad mendapat hak waris melalui wasiat wajibah dalam pandangan ini ada yang mengatakan boleh bahwa anak murtad mendapatkan waris melalui wasiat wajibah dan ada yang mengatakan tidak tetapi dalam putusan tersebut menjelaskan membolehkan orang non muslim mendapatkan waris melalui wasiat wajibah dengan mengacu yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 368.K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 jo Nomor : 51.K/AG/1995, tanggal 29 September 1999 yang isinya menetapkan anak yang murtad itu sebagai ahli waris di sebutkan juga kadar wasiat wajibah itu tidak boleh melebihi 1/3
sehingga di putusan ini anak murtad ditetapkan sebagai ahli waris dengan adanya pertimbangan tersebut.
3. Apakah memberikan wasiat wajibah kepada anak murtad bukan merupakan
diskriminasi terhadap anak itu?
Faktor dan pertimbangan hakim dalam memutus masalah waris khususnya anak murtad terjadi diskriminasi merupakan konsekuensi bahwa anak tersebut murtad kemudian oleh Mahkamah Agung dengan yurisprudensinya Nomor 368.K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 disebutkan jadi sebagai kompensasi yang sebenarnya Islam itu tidak membeda-bedakan tetapi, kemudian dari agamanya tidak membatasi dia untuk mendapatkan hak waris murni sehingga oleh Mahkamah Agung di beri porsi berupa wasiat wajibah dan pembagianya itu disamakan dengan ahli waris yang lain dalam arti sama dengan porsi wasiat wajibah yang lainnnya dan tidak membedakan porsi dalam kelamin contoh perempuan dan laki-laki.
Hakim bukan sebagai corong undang-undang bahwa apa yang tertuang dalam undang-undang itu dikuti karena secara yuridis bahwa itu tidak dicantumkan dalam pasal dan anak murtad itu mendapat wasiat wajibah. Hanya hakim melihat dari beberapa segi nilai dalam memutus, nilai sosiologis, nilai keadilannya, nilai manfaatnya, nilai keselerasannya. Sehingga oleh hakim di kaji nilai-nilai itu dalam rangka mempersamakan hak anak itu sehingga kita mempertimbangkan nilai filosofisnya kemudian bahwa anak itu merupakan darah dagingnya dari orang tua yang sama, apabila tidak diberikan atau
ditetapkan itu bagaimana secara undang-undang menyatakan secara jelas anak murtad tidak dapat hak waris akhirnya dengan kajian-kajian dan nilai-nilai filosofis akhirya keluarlah yurisprudensi dengan berbagai pertimbangan sehingga muncullah putusan yang mengadopsi dan bisa memungkinkan bahwa anak murtad mendapatkan hak waris sama dengan saudaranya yang muslim sehingga dimungkinkan untuk memberikan hak waris anak murtad melalui wasiat wajibah.
4. Bagaimana menurut ibu hakim tentang putusan khususnya yang berkenan
dengan waris?
Karena seperti tadi hakim dalam memutus suatu perkara tidak secara normatif tapi dilihat dari berbagai aspek dan nilai-nilai terkandung didalamnya dengan alasannya mengapa ia murtad bagi mana kehidupan sosial di keluarga tersebut, maka hakim tidak sembarangan memutus suatu perkara. Tetapi di lihat pada putusan No. 84/Pdt.P/2012/PA.JU bahwa hakim dalam memutus perkara tidak melihat nilai sosial dan aspek-aspek dalam kehidupan anak murtad ini dan memang yurisprudensi adalah undang-undang urutan tertinggi.
5. Bagaimana potensi hakim dalam menggunakan yurispudensi?
Bahwa dalam peradilan agama acuanya uu no 1 tentang peradilan agama, uu no 4 tahun 194 tentang perkawinan dan lain-lain. Kalau dari semua undang-undang hakim tidak menemukan hak waris dari anak murtad dan tidak dicantumkan dalam undang-undang tersebut, maka hakim harus berikhtiar yang terpenting kita bisa mengolahnya. Contoh dalam Alquran perempuan
mendapatkan separuh dari hak waris laki-laki tetapi dalam kasus lain tidak terpakai undang-undang tersebut tetapi kita lihat terlebih dahulu nilai-nilai dari berbagai aspek. Sering kali mendapatkan kasus yang sama tetapi outputnya beda maka para hakim harus mengkaji dan setiap kajian dari hakim satu dengan yang lain berbeda tetapi yang penting ada acuannya walaupun hukum adat yang sebagai acuannya. Terkadang hukum adat bisa mengalahkan hukum formil, sehingga hakim harus melihat keadilan dari berbagai sisi.