• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rukun dan Syarat Waris 1. Rukun dan Syarat Waris 1.Rukun dan Syarat Waris

a. Hak-hak yang dapat dikeluarkan sebelum harta waris dibagikan kepada ahli

waris

15

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 74-75

16

Muhamad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 99

17

Ibid., hlm 100

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembagian waris yang harus dipenuhi secara tertib, sehingga apabila hak yang pertama atau yang kedua meghabiskan semua harta waris maka tidak ada lagi pindah kepada hak-hak yang lain.18

Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan, terlebih dahulu sebagai yang utama dari harta peninggalan itu harus diambil hak-hak yang segera dikeluarkan

untuk kepentingan-kepentingan berikut.19

1) Tahjiz, atau biaya penyelenggaraan Jenazah

Tahjiz adalah sesuatu yang diperlukan oleh seseorang yang meninggal dunia

mulai dari wafat sampai kepada penguburannya.20

Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa biaya yang diperlukan untuk hal tersebut di atas dikeluarkan dari harta peninggalan menurut ukuran yang

wajar.21

2) Melunasi Utang

Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh orang yang meninggal, apabila si mayit mempunyai hutang atau tanggungan belum di bayar ketika

18

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h. 51

19

Ibid.,hlm. 51 20

Ibid.,hlm. 51 21

Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta, Sinar Grafika, 1995). h.40.

masih hidup di dunianya, baik yang berkaitan dengan sesame manusia maupun kepada Allah yang wajib diambilkan dari harta peninggalannya

setelah diambil keperluan tahjiz.

Para ulama megklarifikasikan utang kepada dua macam yaitu :

a) Utang kepada sesama manusia, disebut dain al-‘ibad

b) Utang Kepada Allah, disebut dain Allah.22

Pada prinsipnya bahwa pelunasan utang pewaris harus bersumber dari kekayaan pewaris. Akan tetapi apabila utangnya melampaui jumlah harta

pusakanya, maka pelunasannya menurut alquran harus melalui zakat.23 Dalam

Kompilasi Hukum Islam pasal 175 ayat 1, kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:

a) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemkaman jenazah selesai

b) Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan,

termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang.

c) Menyelesaikan wasiat pewaris.

d) Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

22

Ahmad Rofiq, Hukum Mawaris, (Jakarta Utara, PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.38

23

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta Utara, PT Raja Grafindo, 1995), h.98

Sedangkan dalam pasal 175 ayat 2, tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

3) Melaksanakan atau Membayar Wasiat

Wasiat ialah pesan seseorang utuk memberikan sesuatu kepada orang lain

setelah ia meninggal dunia.24

The Islamic will is called al-wasiyya. a will is a transaction which comes into

operation after the testator’s death. The will is executed after payment of funeral

expenses and any outstanding debts. The one who makes a will (wasiyya) is called a

testator (al-musi). the one on whose behalf a will is made is generally referred to as a

legatee (al-musa lahu). Technically speaking the term "testatee" is perhaps a more

accurate translation of al-musa lahu.25

b. Rukun Mewarisi

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada

rukun-rukunnya.26

24

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h. 55

25

http://www.islam101.com/sociology/wills.htm, di akses pada tanggal 14 November 2014

26

Komite Fakultas syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, (Jakarta Selatan, Senayan Abadi Publishing 2004), h.27.

Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris-mewarisi, tiap-tiap unsur tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fiqh dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap

rukun.27

Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun waris-mewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut.

1. Harta Peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan oleh si

mayit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat. Harta

peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut tirkah yaitu apa-apa yang

ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia.

2. Pewaris atau orang yang meninggalkan harta waris (muawarrits) adalah orang

yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris. Di dalam kamus Indonesia disebut dengan istilah “pewaris”, sedangkan dalam kitab fiqh

disebut muwarist.28

Bagi muwarist berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya

dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik menurut

fiqh kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarist menurut para

ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni

27

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15 28

Ibid.,hlm.15

a. Mati haqiqy (sejati) ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.

b. Mati hukmy, ialah suatu kematian yang disebabkan oleh adanya vonis

hakim, baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang yang telah divonis mati, padahal ia benar-benar masih hidup. Vonis ini dijatuhkan terhadap orang murtad yang melarikan diri dan bergabung dengan musuh, vonis mengharuskan demikian karena menurut syariat selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh. Demikian juga vonis

kematian terhadap maqdud, yaitu orang yang tidak diketahui kabar

beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui hidup dan matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati terhadap dua jenis orang tersebut maka berlakunya kematian sejak tanggal yangtermuat dalam vonis hakim, walaupun larinya si murtad atau kepergiannya si mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan harta peninggalannya baru dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak tanggal yang termuat dalam vonis itu.29

c. Mati taqdiry ialah kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi

semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian

29

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15

seseorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun kuatnya perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu.

3. Ahli waris (waarist) adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si

muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.

Pengertian ahli waris di sini adalah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun, tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan (termasuk) ahli waris. Demikian pula orang yang berhak menerima (mendapat) harta waris mungkin saja di luar ahli waris. 30

Dalam Alquran Surah An-Nisaa’ ayat 8, Allah berfirman :



























Artinya: dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.(An.Nisaa/4:8)

c. Syarat Mewarisi

Waris – mewarisi berfungsi sebagai pengganti kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih

30

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15

hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena itu, waris-mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni

1. Orang yang mewariskan (muwarrits) sudah meninggal.

2. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup.

3. Tidak ada penghalang.31

Para ahli waris yang benar-benar masih hidup di saat kematian muwarrits,

baik matinya itu secara haqiqy, hukmy, ataupun taqdiryi berhak mewarisi harta

peninggalannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 173 dijelaskan, seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat

para pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

31

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15

b. Sebab-sebab Mewariskan

Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab seseorang itu mendapat warisan dari si mayit (ahli waris) dapat diklarifikasikan

sebagai berikut:32

1. Perkawinan

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antar si mayit dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klarifikasi ini adalah suami atau istri dari si

mayit.33

Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua syarat:

a. Perkawinan sah menurut Syariat Islam

Artinya, syariat dan rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta terlepas dari semua halangan pernikahan walaupun belum kumpul (hubungan kelamin).

32

Suhawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta, Sinar Grafika, 1995), h.53

33

Ibid, h.53

Ketentuan ini berlandaskan pada keumuman ayat tentang mewarisi dan tindakan Rasulullah SAW. Yang telah memberikan keputusan hukum tentang kewarisan terhadap seorang suami yang sudah melakukan akad nikah, tetapi belum melaksanakan persetubuhan dan belum menetapkan

maskawinnya.34

b. Perkawinan Masih Utuh

Sesuatu perkawinan dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan itu

telah diputuskan dengan talak raj’i bagi seseorang istri belum selesai.

Perkawinan tersebut di anggap masih utuh, karena di saat iddah masih berjalan, suami masih mempunyai hak penuh untuk menuju’ kembali bekas

istrinya yang masih menjalankan iddah baik dengan perkataan maupun

dengan perbuatan, tanpa memerlukan kerelaan istri, membayar maskawin

baru, meghadirkan 2 orang saksi serta seorang wali.35

2. Kekerabatan

Salah satu sebab beralihnya harta, seseorang yang telah meninggal dunia

kepada yang masih hidup adalah adanya yang disebabkan oleh kelahiran.Heirs

referred to as primary heirs are always entitled to a share of the inheritance, they are never totally excluded. These primary heirs consist of the spouse relict, both parents,

34

Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT Alma’arif, 1971), h.17 35

Ibid, h.17

the son and the daughter. All remaining heirs can be totally excluded by the presence of other heirs. But under certain circumstances, other heirs can also inherit as

residuaries, namely the father, paternal grandfather, daughter, agnatic granddaughter, full sister, consanguine sister and mother. 36

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan yaitu sebagai berikut.

a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mayit.

b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asli) yang menyebabkan adanya si mayit. c. Hawasyi’, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia

melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak

turunannya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan.37

3. Hubungan sebab Wala’

Wala’ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan yaitu ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya dan ahli warisnya

yang mewarisi dengan bagian ‘ashobah dengan sebab dirinya (ashobah bin

nafsi) seperti ikatan antara orang tua dengan anaknya, baik dimerdekakan

36

http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_inheritance_jurisprudence, di akses pada tanggal 14 November 2014

37

Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT Alma’arif, 1971), h.17

secara sukarela atau karena wajib seperti karena nadzar atau zakat atau kafarah berdasarkan keumuman sabda nabi.38

4. Hubungan sesama Islam

Hubungan Islam yang dimaksud di sini terjadi apabila seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu diserahkan kepada perbendaharaan umum atau yang disebut Baitul Maal yang akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang

tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam.39

Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 174 yakni,

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah

- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara

laki-laki, paman, dan kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan,

saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda dan janda

38

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris, (tegal, Ash-Shaf, 2007), h.27

39

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.40

5. Wasiat Wajibah

Tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem

hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung

unsur-unsur yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau

sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.

2. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan

tetapi dilakukan oleh negara.

3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh

melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.

Wasiat wajibah dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk

menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya

anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. 41

Di negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah,

lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan

antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang

40

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

41

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau

pergantian tempat.42

Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari

anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Dalam

sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah menjadi

kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Pengadilan Agama.43

Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil, para hakim

pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Hukum Islam. Secara yuridis formil ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya

pasal 209 memahami bahwa wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat

dan orang tua angkat. Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus

42

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

43

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

keluar dari yuridis formil yang ada yaitu dengn menggunakan fungsi rechtsvinding

yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. 44

Kewenangan tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 229 juga memberikan kewenangan hakim untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan dengan sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat sehingga memberikan putusan yang sesuai dengan rasa keadian.45

Pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya

sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternatif.

Dalam hal wasiat wajibah yang sempit pada anak angkat dan orang tua angkat maka

hakim wajib menggunakan kewenangan fungsi rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan

menjadi sulit untuk menjalankan yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam terhadap orang-orang dekat pewaris di luar anak angkat dan orang tua angkat. Justru apabila hakim tidak melakukan rehtvinding karena tidak ada hukum yang mengatur (ius coria novit) maka hakim dapat diberikan sanksi (pasal 22 Algemen Bepallingen van Wetgeving Voor ).46

44

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 201445

46

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

C. Pengertian Anak Murtad

Dokumen terkait