• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Waris Anak Murtad (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara Nomor: 84/Pdt.P/2012/PA.JU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hak Waris Anak Murtad (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara Nomor: 84/Pdt.P/2012/PA.JU)"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh :

RIAN WAHYU UTOMO 1110044200004

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

Administrasi Keperdataan Islam, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014, ix + 80 + lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penetapan ahli waris anak murtad (beda agama) ini sesuai dengan Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan ajaran agama Islam.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data melalui riset pustaka dan riset lapangan, metode interview, metode observasi dan metode penulisan yang disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik sebuah kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa anak murtad mendapatkan bagian warisan dan disahkan oleh hakim pengadilan agama Jakarta Utara. Dengan alasan, bahwa ahli waris anak murtad masih mendapatkan waris dikarenakan sampai saat ini masih belum ada peraturan pelaksanaanya sehingga terdapat kekosongan, maka hakim melandaskan putusan berdasarkan nilai-nilai lain yang berkaitan pada putusan tersebut .

Kata Kunci : Waris, Anak Murtad

Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.

DaftarPustaka :Tahun 1971 s.d.Tahun 2013 .

(6)

ucapkan atas rasa syukur yang mendalam kehadirat Allah SWT yang maha pengasih

lagi maha penyayang sehingga dengan perkenan-Nya jualah diberikan kemampuan

dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah

kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menjadi pemimpin dan

penyampai hidayah umat manusia dimuka bumi.

Penulis menyadari bahwa mungkin skripsi ini tidak dapat terwujud

sebagaimana yang diharapakan, tanpa bantuan dan bimbingan semua pihak. Oleh

karena itu penulis ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan rasa

terimakasih dan rasa hormat penulis kepada Bapak :

1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. H. Kamarusdiana, S.Ag, MH. dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag Ketua dan

Sekretaris Prodi Hukum Keluarga.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H Pembimbing yang telah banyak membantu

memberikan bimbingan, petunjuk, masukan serta kemudahan kepada penulis

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Selaku Dosen Pembimbing Akademik dan

seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan.

(7)

6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Arifin Matraji Utomo dan Ibunda

Nurhaeni, Bapak Kun Hadi Wibowo dan Ibu Sri Mursiyah sujud abdiku

kepada kalian atas doa, pengorbanan dan memberikan motivasi terbesar kalian

selama ini, “allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani

soghiro, saudaraku tercinta Adi Wibowo, Aripianti, Nina widiastuti, Aristoni,

Billy Mardika, Irene Saudita Olivia, dan Rahinosuryo Hadi Pamungkas

Wibowo yang telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan serta do’a

restu untuk keberhasilan selama kuliah.

7. Sahabat-sahabat Jurusan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2010 yang

selalu ada disaat suka dan duka penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Saudara-saudara Kosan Molek dan Semanggi Batak, Sopri, Pak haji, Kiki

Arief, Sukron, Abim, Ibeng, Natasha Nicola Anjani de Kock, Dinny Aulia,

dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

9. Sesosok hawa yang telah memberikan semangat dan dorongan dalam hidup

selama ini yaitu Meliratih Bimawastri, theres only one thing two say three

word four you “I Love You”

10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah

memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.

(8)

wawasan, sehingga dikemudian hari penulis dapat mengevaluasi diri.

Jakarta, 14 November 2014

Rian Wahyu Utomo

(9)

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I: PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian... 10

E. Kerangka Teori... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II: HAK WARIS ANAK MURTAD ... 15

A. Pengertian Waris ... 15

B. Rukun dan Syarat ... 22

C. Pengertian Anak Murtad ... 37

D. Sanksi Hukum ... 41

BAB III: PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA ... 46

A. Gambaran Umum ... 46

B. Struktur Organisasi ... 51

C. Letak Geografis ... 53

D. Wilayah Yuridiksi ... 53

BAB IV: ANALISIS PUTUSAN ... 56

A. Duduknya Perkara ... 56

B. Pertimbangan Majelis Hakim ... 60

(10)

BAB V: PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

LAMPIRAN-LAMPIRAN: ... 83

1. Surat Bimbingan Skripsi ... 83

2. Surat Permohonan Data Ke Pengadilan Agama Jakarta Utara ... 84

3. Surat Keterangan Permohonan Data ... 85

4. Salinan Putusan Nomor: 84/Pdt.P/2012/PA.JU ... 86

5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Utara Tahun 2014 ... 101

6. Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara ... 102

(11)

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama rahmat yang dibawa oleh Nabi Muhammad untuk

menyelamatkan manusia menggapai jalan yang lurus. Norma-norma abadi yang

dimiliki Islam tersembul keluar sebagai rangkaian peraturan yang disebut hukum.

Hukum tersebut bersifat baku dan diakui oleh “undang-undang Tuhan” [qanun ilahi] :

permanen dan tidak dapat diubah. Qanun ilahi ini, diundangkan oleh negara atau

tidak, ia harus ditegakkan sebagai suatu yang berwatak “buatan tuhan”. Namun, ada

kalanya peraturan-peraturan itu diinterpretasi dan diformulasikan oleh manusia

menjadi hukum manusia melalui proses legalisasi.1

Produk-produk hukum yang mengatur tentang Islam sudah banyak, tak lepas

dari Al-Qur’an dan Haditsnya sedangkan di Indonesia produk hukum itu sendiri

adalah kompilasi hukum Islam (KHI) yang dasar pemikirannya adalah

kumpulan-kumpulan pendapat ulama fiqh yang mengatur tentang perkawinan, waris, wakaf,

zakat, dll. Salah satu masalah dalam keluarga yang menyangkut hak dan kewajiban

seseorang yang meninggal adalah hal masalah peninggalan harta atau waris yang

bagaimana pembagian dan takaran seseorang mendapatkan harta peninggalan

leluhurnya masih terjadi konflik di masyarakat khususnya di negara Indonesia.

1

Yayan sopyan, Islam-Negara, (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 1

(12)

Dalam definisinya waris adalah salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris

sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia

pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum

yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, di

antaranya ialah masalah bagamana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian

hak-hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.2

Waris dalam KHI sudah di atur dalam pasal 171 Buku II tentang hukum

kewarisan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.3

Dalam pembagiannya siapa saja yang mendapatkan pewaris juga diatur dalam

hukum kewarisan dan Al-qur’an, contoh pada surat An-Nissa ayat 7 :

















































7. bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan

ibu-2

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 1

3

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56

(13)

bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.4

Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam juga di jabarkan pada pasal 174

tentang kewarisan menurut kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah :

- Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara

laki-laki, paman dan kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan,

saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda5

Maka seseorang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

dengan pewaris terhadap orang yang pada saat meninggal dunia, beragama Islam dan

tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.6 Itu adalah syarat seseorang

mendapatkan hak waris dari harta peninggalan si pewaris. Tetapi di Indonesia banyak

sekali gejala-gejala sosial dalam kewarisan. Karena segala apa yang kita kira, kita

ketahui segalanya ini, adalah banyak sedikitnya bersifat hipotesis (berdasarkan

dugaan) dan perbedaan paham antara ahli dalam bidang ini jauh lebih besar daripada

yang biasa ditemui oleh para ahli hukum dalam lingkungannya. Penyelidikan tentang

4

Kementrian Agama, Al-qur’an, (Jakarta: Adhi Aksara Abadi Indonesia,2011)

5

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.57

6

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56

(14)

periode tertua dari umat manusia ini, dikeruhkan pula oleh ideology subyektif dan

keyakinan keagamaan.7 contoh dalam hal hak waris anak yang murtad, dapat kita

ketahui bahwa sesorang yang telah murtad akan menjadi penghalang dalam hak

kewarisannya.

Berdasarkan Hadist Rasul Rawahu Abu Badrah, menceritakan bahwa saya

telah diutus oleh Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki yang kawin dengan isteri

bapaknya, Rasulullah SAW menyuruh supaya dibunuh laki-laki tersebut dan

membagi hartanya sebagai harta rampasan karena ia murtad.8

Seperti dalam pengertian ahli waris itu sendiri orang yang berhak

mendapatkan hak waris adalah seorang muslim. Karena berlainan agama adalah

perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan

orang yang mewariskan. Para ahli hukum Islam (Jumhur Ulama) sepakat bahwa

orang nonislam (kafir) tidak dapat mewarisi harta orang Islam lantaran status orang

nonislam (kafir) lebih rendah. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam surah

An-Nisaa’ ayat 141:









141.Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir

untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

7

A.Pitlo dan J .E. Kasdrop, Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Intermasa, 1994), cet. Ke-4, h. 9

8

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 115

(15)

Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat sesudah

meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan belum

dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk Islam itu tetap terhalang untuk

mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut adalah sejak adanya kematian

orang yang mewariskan, bukan saat kapan dimulainya pembagian harta peninggalan.

Padahal pada saat kematian si pewaris, ia masih dalam keadaan nonislam (kafir).

Jadi, mereka dalam keadaan berlainan agama.9

Imamiyah telah menetapkan bahwa perbedaan agama menghalangi

non-Muslim dan orang murtad untuk mewarisi dari non-Muslim, namun tidak menghalangi

Muslim untuk mewarisi dari Muslim dan murtad. Maka, bila seorang

non-Muslim mempunyai seorang anak non-Muslim, maka anaknya mewarisinya bahkan

anaknya itu menghalangi ahli waris lainnya yang non-Muslim untuk mendapatkan

warisan.10

Dalam pasal 172 KHI dijelaskan ahli waris dipandang beragama Islam apabila

diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan

9

Moh. Muhubbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), cet ke-2, h. 78

10

Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris Menurut Imam Ja’far Shadiq, (Jakarta: Lentera, 2001 ), cet ke-1, h. 83

(16)

bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya

atau lingkungannya.11

Dalam kenyataan ahli waris yang murtad dapat bagian waris, melalui wasiat

wajibah anak murtad dapat bagi waris dan pengertian wasiat wajibah itu sendiri

adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak pengaruhi atau tidak bergantung pada

kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia, melainkan didasarkan kepada

Putusan Pengadilan Agama. Hal ini sejalan dengan kepada Putusan Pengadilan

Agama. Hal ini sejalan dengan Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor :

368. K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998, tanggal 29 September 1999. Disini terlihat

bahwa adanya kejanggalan dalam penyelesaian penetapan waris terhadap anak

murtad, karena pada KHI, hadits, dan ulama fiqih sangat menutup kesempatan anak

murtad untuk mendapatkan hak waris karena seseorang muslim yang hanya

menerima hak waris dari orang muslim. Selain itu jika dilihat dari kacamata HAM

seseorang hanya keluar dari agama yang dianut bukan suatu kejahatn yang disamakan

dengan orang yang membunuh atau memfitnah. Karena manusia mempunyai hak

untuk hidup, hak beragama dan hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan

dihadapan hukum.12

Di lihat dari latar belakang yang ada, ditakutkan akan ada kasus-kasus

semacam ini di ranah masyarakat dikarenakan kelalaian hakim dalam mengutus suatu 11

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.57

12

http://www.hukor.depkes.go.id “Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang HAM”, (diakses pada 27 Desember 2013)

(17)

perkara. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan

mencoba menganalisis putusan majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara dalam karya

ilmiah yang berbentuk skripsi yang berjudul

PENETAPAN HAK WARIS TERHADAP ANAK MURTAD” (Analisis

putusan hakim Pengadilan Jakarta Utara No. 84/Pdt.P/2012).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan terarah dan lebih spesifik, maka perlu ditentukan

batasan masalah yang akan dibahas. Adapun pembatasan masalah yang akan dibahas

sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas sesuai dengan permasalahan yang

timbul dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut :

a. Pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam

menjatuhkan putusan tersebut.

b. Apa akibat hukum dari putusan tersebut.

2. Perumusan Masalah

Menurut dalil fikih dalam kitab Al-Tirkah wal Mirats fil Islam dimana

dikatakan tidak ada saling mewarisi antara orang muslim dengan non muslim.

(18)

mendapatkan warisan dan diganti wasiat wajibah, rumusan masalah pada

proposal ini penulis sajikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa pertimbangan yang digunakan oleh majelis Hakim Pengadilan

Agama Jakarta Utara pada perkara Nomor 84/Pdt.P/2012/PA JU?

2. Bagaimana keputusan majelis Hakim ber serta akibat hukum dari

putusan tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan diatas,

maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk memahami keputusan Hakim Pengadilan Agama dalam

menetapkan hak waris terhadap anak murtad setelah murtad.

2. Untuk mengetahui apa yang dijadikan dasar atau pertimbangan

hakim pengadilan agama dalam menentukan putusan tersebut serta

akibat putusan tersebut.

Adapun manfaat yang akan didapatkaan dalam penelitian diantaranya adalah:

1. Bagi Penulis

a. Mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dan dapat

(19)

b. Mengetahui kondisi yang terjadi dilapangan khusunya di dalam

lingkup pengadilan agama.

c. Membandingkan teori yang telah ada dengan permasalahan

yang sebenarnya terjadi di masyarakat.

2. Bagi Masyarakat

a. Memberikan informasi bagi semua kalangan masyarakat

tentang hak waris atas anak murtad dan akibat hukumnya.

b. Memberikan informasi tentang keputusan Hakim Pengadilan

Agama mengenai penetapan hak waris anak murtad.

3. Bagi Institusi

a. Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar

Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan penetapan hak

waris anak murtad.

4. Bagi Universitas

a. Menambah referensi bagi temen-temen dalam mempelajari

hukum waris serta akibat hukumnya.

b. Mengatahui kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmu

(20)

c. Memberikan gambaran tentang kesiapan dan kelayakan

mahasiswa dalam menangani masalah dilapangan.

D. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini kualitatif bersifat pendekatan survey. Yaitu data

yang diperoleh meliputi transkip interview, catatan lapangan, dokumen pribadi dan

lain-lain, kemudian menganalisa isi putusan, untuk melihat sejauh mana proses

penyelesaian para hakim dalam menyelasaikan perkara hak waris anak murtad.

2. Pendekatan

Dalam penulisannya memakai metode pendekatan, bertujuan untuk

menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau

kelompok tertentu atau menentukan frekuensi penyebaran dan suatu gejala

lain dimasyarakat

3. Sumber data dan proses pengumpulan data

a. Data primer

Data primer berbentuk putusan dan berita acara yang

(21)

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku,

internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan

perkara hak waris anak luar perkawinan.

Studi kepustakaan (library reseach), yaitu untuk memperoleh landasan

teoritis yang ada kaitannya dengan judul penulis bahas, dimana

penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, makalah,

artikel maupun website.

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

menggunakan konten analisis yaitu menganalisa dengan cara menguraikan

denagan mendeksripsikan putusan dan menghubungkannya dengan hasil

wawancara, serta analisa yurispudensi hakim pengadilan agama.

5. Teknik penulisan

Teknik penulisan dalam penyusunan proposal ini secara teknik

penulisan berpedoman pada buku penulisan skripsi.

E. Kerangka Teori

Dalam definisinya waris adalah salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris

(22)

pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum

yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, di

antaranya ialah masalah bagamana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian

hak-hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum

waris.13

Tujuan waris dalam Islam untuk membantu keluarga yang akan ditinggal oleh

si pewaris dan digunakan dengan baik, selain itu untuk sebagai titipan atau amalan

dari si pewaris tersebut.

Pada Waris dalam KHI sudah di atur dalam pasal 171 Buku II tentang hukum

kewarisan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.14

Definisi dari ahli waris adalah di pandang beragama Islam apabila diketahui

dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi

13

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 1

14

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56

(23)

yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau

lingkungannya. 15

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan gambaran mengenai hal

apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar gambaran tersebut dapat dilihat

melalui sistematika skripsi berikut ini:

Bab Kesatu berisi pendahuluan yang akan memberikan gambaran umum Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Metode Penelitian, Kerangka Teori, Review Studi Terdahulu dan Sistematika

Penulisan.

Bab Kedua menjelaskan tentang tinjauan umum tentang hak waris anak murtad yang terdiri dari, pengertian waris, pengertian anak murtad, dasar hukum,

serta warisan yang diperolehnya.

[image:23.612.109.531.111.479.2]

Bab Ketiga akan Menjelaskan uraian diskripsi data berkenaan dengan gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Utara yang berkaitan dengan sejarah dan

struktur organisasinya.

Bab Keempat merupakan analisis yuridis terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara perkara No. 84/Pdt.P/2012/PA. JU

15

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56

(24)

Bab Kelima adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang didalamnya akan berisikan kesimpulan dan saran yang bersifat kontribusi membangun dunia

akademis.

(25)

A. Hukum Waris

1. Pengertian Waris

Secara umum pengertiann waris adalah a person who has the legal to receive

the property of someone who dies.1 Menurut pelaksanaan hukum waris dikalangan

umat Islam Indonesia, Hukum Waris adalah hukum yang mengatur peralihan

pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris, menentukan berapa bagiannya, masing-masing ahli waris, dan

mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan.2

Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa Hukum

kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

peningggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli

waris dan beberapa bagian.3

Dalam hukum kewarisan tidak lepas dari harta peninggalan dan ahli waris,

karena dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171b menyatakan bahwa pewaris adalah

1

http://www.merriam-webster.com/dictionary/heir, (di akses 14 November 2014)

2

Muchith A Karim, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Malaho Jaya Abadi Press, 2010), hlm 11.

3

Muchith A Karim, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Malaho Jaya Abadi Press, 2010), hlm 11.

(26)

orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan

putusan peradilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.4

Harta peninggalan dalam bahasa hukum islam disebut tirkah. Dan dalam

pembahasan tesis ini akan dipergunakan istilah harta peniggalan, sebab istilah harta

peninggalan sebagai obyek dari keseluruhan system kewarisan dalam hukum Islam

lebih mudah dikenal dalam bahasa hukum Indonesia.5

Yang antara lain harta peninggalan itu sebagai obyek wasiat, karena itu

sejauhmana cakupan dan ruang lingkup dari harta peninggalan tersebut dalam kontek

system kewarisan Islam.6 Hukum Waris dalam ajaran Islam disebut istilah “Faraid”.

Kata faraid adalah bentuk jamak dari faridah yang berasal dari kata fardu yang

berarti ketetapan, pemberian (sedekah).7

Harta peninggalan adalah segala sesuatu benda atau yang bernilai kebendaan yang

dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan

oleh syara’ dan dapat diwarisi oleh para ahli waris. Segala sesuatu benda atau yang

bernilai kebendaan harus diartikan dalam cakupan yang lebih luas yaitu:

4

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56

5

Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia), hlm 27.

6

Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia), hlm 27.

7

Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 49.

(27)

1. Kebedaan atau sifat yang bernilai kebendaan, seperti benda tetap, benda

bergerak, piutang orang yang mati yang menjadi tanggunan orang lain, dan

lain sebagainya.

2. Hak-hak kebendaan, seperti hak paten terhadap karya seni, buku, merek, dan

lain sebagainya.

3. Hak-hak diluar kebendaan, seperti hak khiyar, hak syufa’ah, hak

memanfaatkan barang, dan lain sebagainya.

4. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang

sedang digadaikan, benda maskawin yang terhutang, barang yang dibeli dan

telah dibayar tetapi barangnya belum diterima ketika mati, dan lain

sebagainya.8

Untuk mengetahui, siapa-siapa yang memperoleh bagian tertentu itu, maka perlu

diteliti terlebih dahulu ahli-ahli waris yang ditinggalkan. Kemudian baru ditetapkan,

siapa di antara mereka yang mendapat bagian dan yang tidak mendapat bagian. Di

dalam faraid dibahas hal-hal yang berkenan dengan warisan (harta peninggalan), ahli

waris , ketentuan bagian ahli waris dan pelaksanaan pembagiannya. 9

Sumber Hukum Waris Islam

8

Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012), hlm 27.

9

M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: Pt Bulan Bintang, 1996), hlm 10.

(28)

1. Al-qur’an

Al-qur’an adalah wahyu Allah SWT, yang merupakan mu’jizat yang

diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dan

pedoman hidup bagi pemeluk agama Islam.

Pokok-pokok isi Alquran

- Tauhid ialah kepercayaan/rukun iman.

- Tuntutan ibadah

- Janji dan saksi

- Hukum untuk bermasyarakat atau berhubungan denga manusia dan

hubungan dengan Allah SWT.

- Sejarah

2. Hadist

Hadist adalah perkataan nabi Muhammad SAW, perbuatannya dan

keterangannya.

Kedudukannya dan keterangannya.

- Menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an

- Menentukan sebagai hukum yang tidak ada dalam Alquran.

(29)

Ijtihad artinya sepakat, setuju atau sependapat. Ijtihad adalah menggunakan

seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum Syara’ dengan jalan

menyimpulkan dari Alqur’an dan hadits. 10

2. Dasar Hukum Kewarisan

Hukum kewarisan islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat

Al-Qur’an sebagai Firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Besar Muhammad

SAW dan Hadis Rasul yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang

didiamkan Rasul. Yang paling banyak ditemui dasar atau sumber hukum

kewarisan itu dalam surat an-Nisaa’ di samping surah-surah lainnya sebagai

pembantu. 11

An-Nisaa ayat 7 :

                           

7. Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

An-Nisaa ayat 8 :

                    10

Saifuddin Arief, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Darunnajah Production House, 2007), hlm 6-7

11

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 46

(30)

8. dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.

An-Nisaa ayat 10 :

               

10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke

dalam api yang menyala-nyala (neraka). 12

Kitab udang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama pasal

528, tentang hak mewaris di-indentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan

ketentuan dari pasal 584 KUH Perdata menyangkut hak waris sebagai salah satu cara

untuk memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam Buku Ke-II

KUH Perdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena

mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai

hukum benda saja, tetapi tersangkut beberapa aspek hukum lainnya, misalnya hukum

Perorangan dan Kekeluargaan.13

Menurut staatsblad 1925 nomor 415 jo 447 yang telah diubah ditambah dan

sebagainya terakhir dengan S. 1929 No. 221 pasal 131 jo pasal 163, hukum kewarisan

12

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 74-75

13

Ibid., hlm 74

(31)

yang diatur dalam KUH Perdata tersebut diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan

mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut.14

Dengan staatsblad 1917 nomor 129 jo staatsblad 1924 nomor 557 hukum

kewarisan dalam KUH Perdata diberlakukan bagi orang-orang Timur Asing

Tionghoa. Dan berdasarkan staatsblad 1917 nomor 12, tentang penundukan diri

terhadap Hukum Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia dimungkinkan pula

menggunakan hukum kewarisan yang tertuang dalam KUH Perdata. Dengan

demikian maka KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) diberlakukan kepada :

1. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa

misalnya Inggris, Jerman, Francis, Amerika dan termasuk orang-orang

Jepang;

2. Orang-orang Timur Asing Tionghoa dan

3. Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang pribumi menundukkan diri.

Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :

1. Ahli waris menurut ketentuan undang-undang

2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)

Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut undang-undang atau “ab

intestate”, sedangkan cara yang kedua dianamakan mewarisi secara

“testamentair”15

14

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 74-75

(32)

Terhitung semenjak tahun 1991, berdasarkan intruksi Presiden Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, bangsa Indonesia telah memiliki Kompilasi

Hukum Islam (KHI) yang secara de facto maupun de jure menjadi pegangan

utama umumnya para hakim dalam lingkungan pengadilan agama dalam

menyelesaikan sengketa hukum kewarisan yang diajukan oleh para pencari

keadilan. Hukum kewarisan diatur dalam Buku III Kompilasi Hukum Islam yang

lazim disingkat dengan sebutan KHI.16

Buku II Kompilasi Hukum Islam, yang memuat hukum kewarisan, ini terdiri

atas VI Bab dan 44 Pasal, yakni mulai Pasal 171 sampai 214. Buku II KHI pada

dasarnya mengatur ihwal ketentuan umum (Bab I Pasal 171), ahli waris (Bab II

Pasal 172-175), besarnya bagian [masing-masing ahli waris] (Bab III Pasal

176-191), auld dan rad (Bab IV Pasal 192-193), wasiat (Bab V Pasal 194-209), dan

hibah (Bab VI Pasal 210-214).17

B. Rukun dan Syarat Waris 1. Rukun dan Syarat Waris

a. Hak-hak yang dapat dikeluarkan sebelum harta waris dibagikan kepada ahli

waris

15

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 74-75

16

Muhamad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 99

17

Ibid., hlm 100

(33)

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembagian waris yang harus

dipenuhi secara tertib, sehingga apabila hak yang pertama atau yang kedua

meghabiskan semua harta waris maka tidak ada lagi pindah kepada hak-hak yang

lain.18

Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan, terlebih dahulu sebagai yang

utama dari harta peninggalan itu harus diambil hak-hak yang segera dikeluarkan

untuk kepentingan-kepentingan berikut.19

1) Tahjiz, atau biaya penyelenggaraan Jenazah

Tahjiz adalah sesuatu yang diperlukan oleh seseorang yang meninggal dunia

mulai dari wafat sampai kepada penguburannya.20

Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa biaya yang diperlukan untuk hal

tersebut di atas dikeluarkan dari harta peninggalan menurut ukuran yang

wajar.21

2) Melunasi Utang

Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh orang yang meninggal,

apabila si mayit mempunyai hutang atau tanggungan belum di bayar ketika

18

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h. 51

19

Ibid.,hlm. 51

20

Ibid.,hlm. 51

21

Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta, Sinar Grafika, 1995). h.40.

(34)

masih hidup di dunianya, baik yang berkaitan dengan sesame manusia

maupun kepada Allah yang wajib diambilkan dari harta peninggalannya

setelah diambil keperluan tahjiz.

Para ulama megklarifikasikan utang kepada dua macam yaitu :

a) Utang kepada sesama manusia, disebut dain al-‘ibad

b) Utang Kepada Allah, disebut dain Allah.22

Pada prinsipnya bahwa pelunasan utang pewaris harus bersumber dari

kekayaan pewaris. Akan tetapi apabila utangnya melampaui jumlah harta

pusakanya, maka pelunasannya menurut alquran harus melalui zakat.23 Dalam

Kompilasi Hukum Islam pasal 175 ayat 1, kewajiban ahli waris terhadap

pewaris adalah:

a) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemkaman jenazah selesai

b) Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan,

termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang.

c) Menyelesaikan wasiat pewaris.

d) Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

22

Ahmad Rofiq, Hukum Mawaris, (Jakarta Utara, PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.38

23

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta Utara, PT Raja Grafindo, 1995), h.98

(35)

Sedangkan dalam pasal 175 ayat 2, tanggung jawab ahli waris terhadap

hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta

peninggalannya.

3) Melaksanakan atau Membayar Wasiat

Wasiat ialah pesan seseorang utuk memberikan sesuatu kepada orang lain

setelah ia meninggal dunia.24

The Islamic will is called al-wasiyya. a will is a transaction which comes into

operation after the testator’s death. The will is executed after payment of funeral

expenses and any outstanding debts. The one who makes a will (wasiyya) is called a

testator (al-musi). the one on whose behalf a will is made is generally referred to as a

legatee (al-musa lahu). Technically speaking the term "testatee" is perhaps a more

accurate translation of al-musa lahu.25

b. Rukun Mewarisi

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian

harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada

rukun-rukunnya.26

24

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h. 55

25

http://www.islam101.com/sociology/wills.htm, di akses pada tanggal 14 November 2014

26

Komite Fakultas syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, (Jakarta Selatan, Senayan Abadi Publishing 2004), h.27.

(36)

Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris-mewarisi, tiap-tiap

unsur tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab

fiqh dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap

rukun.27

Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun

waris-mewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut.

1. Harta Peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan oleh si

mayit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil

untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat. Harta

peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut tirkah yaitu apa-apa yang

ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia.

2. Pewaris atau orang yang meninggalkan harta waris (muawarrits) adalah orang

yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris. Di dalam kamus

Indonesia disebut dengan istilah “pewaris”, sedangkan dalam kitab fiqh

disebut muwarist.28

Bagi muwarist berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya

dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik menurut

fiqh kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarist menurut para

ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni

27

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15

28

Ibid.,hlm.15

(37)

a. Mati haqiqy (sejati) ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa

itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca

indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.

b. Mati hukmy, ialah suatu kematian yang disebabkan oleh adanya vonis

hakim, baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun

dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang

yang telah divonis mati, padahal ia benar-benar masih hidup. Vonis ini

dijatuhkan terhadap orang murtad yang melarikan diri dan bergabung

dengan musuh, vonis mengharuskan demikian karena menurut syariat

selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh. Demikian juga vonis

kematian terhadap maqdud, yaitu orang yang tidak diketahui kabar

beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui hidup dan

matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati terhadap dua jenis

orang tersebut maka berlakunya kematian sejak tanggal yangtermuat

dalam vonis hakim, walaupun larinya si murtad atau kepergiannya si

mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan harta peninggalannya baru

dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak tanggal yang termuat dalam vonis

itu.29

c. Mati taqdiry ialah kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi

semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian

29

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15

(38)

seseorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap

perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun. Kematian tersebut

hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh

yang lain, namun kuatnya perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu.

3. Ahli waris (waarist) adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si

muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.

Pengertian ahli waris di sini adalah orang yang mendapat harta waris, karena

memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun, tidak semua

keluarga dari pewaris dinamakan (termasuk) ahli waris. Demikian pula orang

yang berhak menerima (mendapat) harta waris mungkin saja di luar ahli

waris. 30

Dalam Alquran Surah An-Nisaa’ ayat 8, Allah berfirman :

































Artinya: dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.(An.Nisaa/4:8)

c. Syarat Mewarisi

Waris – mewarisi berfungsi sebagai pengganti kedudukan dalam memiliki

harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih

30

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15

(39)

hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena itu, waris-mewarisi

memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni

1. Orang yang mewariskan (muwarrits) sudah meninggal.

2. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup.

3. Tidak ada penghalang.31

Para ahli waris yang benar-benar masih hidup di saat kematian muwarrits,

baik matinya itu secara haqiqy, hukmy, ataupun taqdiryi berhak mewarisi harta

peninggalannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 173 dijelaskan, seorang terhalang

menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan

hukum yang tetap dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat

para pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara

atau hukuman yang lebih berat.

31

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15

(40)

b. Sebab-sebab Mewariskan

Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab

seseorang itu mendapat warisan dari si mayit (ahli waris) dapat diklarifikasikan

sebagai berikut:32

1. Perkawinan

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris)

disebabkan adanya hubungan perkawinan antar si mayit dengan seseorang

tersebut, yang termasuk dalam klarifikasi ini adalah suami atau istri dari si

mayit.33

Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya hubungan kewarisan antara

suami dengan istri didasarkan pada dua syarat:

a. Perkawinan sah menurut Syariat Islam

Artinya, syariat dan rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara

keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah

dilaksanakan dan telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta terlepas

dari semua halangan pernikahan walaupun belum kumpul (hubungan

kelamin).

32

Suhawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta, Sinar Grafika, 1995), h.53

33

Ibid, h.53

(41)

Ketentuan ini berlandaskan pada keumuman ayat tentang mewarisi

dan tindakan Rasulullah SAW. Yang telah memberikan keputusan hukum

tentang kewarisan terhadap seorang suami yang sudah melakukan akad nikah,

tetapi belum melaksanakan persetubuhan dan belum menetapkan

maskawinnya.34

b. Perkawinan Masih Utuh

Sesuatu perkawinan dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan itu

telah diputuskan dengan talak raj’i bagi seseorang istri belum selesai.

Perkawinan tersebut di anggap masih utuh, karena di saat iddah masih

berjalan, suami masih mempunyai hak penuh untuk menuju’ kembali bekas

istrinya yang masih menjalankan iddah baik dengan perkataan maupun

dengan perbuatan, tanpa memerlukan kerelaan istri, membayar maskawin

baru, meghadirkan 2 orang saksi serta seorang wali.35

2. Kekerabatan

Salah satu sebab beralihnya harta, seseorang yang telah meninggal dunia

kepada yang masih hidup adalah adanya yang disebabkan oleh kelahiran.Heirs

referred to as primary heirs are always entitled to a share of the inheritance, they are

never totally excluded. These primary heirs consist of the spouse relict, both parents,

34

Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT Alma’arif, 1971), h.17

35

Ibid, h.17

(42)

the son and the daughter. All remaining heirs can be totally excluded by the presence

of other heirs. But under certain circumstances, other heirs can also inherit as

residuaries, namely the father, paternal grandfather, daughter, agnatic granddaughter,

full sister, consanguine sister and mother. 36

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang

mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan

yaitu sebagai berikut.

a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mayit.

b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asli) yang menyebabkan adanya si mayit.

c. Hawasyi’, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia

melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak

turunannya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan.37

3. Hubungan sebab Wala’

Wala’ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan yaitu

ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya dan ahli warisnya

yang mewarisi dengan bagian ‘ashobah dengan sebab dirinya (ashobah bin

nafsi) seperti ikatan antara orang tua dengan anaknya, baik dimerdekakan

36

http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_inheritance_jurisprudence, di akses pada tanggal 14 November 2014

37

Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT Alma’arif, 1971), h.17

(43)

secara sukarela atau karena wajib seperti karena nadzar atau zakat atau

kafarah berdasarkan keumuman sabda nabi.38

4. Hubungan sesama Islam

Hubungan Islam yang dimaksud di sini terjadi apabila seseorang yang

meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu

diserahkan kepada perbendaharaan umum atau yang disebut Baitul Maal yang

akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang

tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam.39

Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 174 yakni,

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah

- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara

laki-laki, paman, dan kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan,

saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda dan janda

38

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris, (tegal, Ash-Shaf, 2007), h.27

39

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

(44)

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.40

5. Wasiat Wajibah

Tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem

hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung

unsur-unsur yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau

sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.

2. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan

tetapi dilakukan oleh negara.

3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh

melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.

Wasiat wajibah dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk

menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya

anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. 41

Di negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah,

lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan

antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang

40

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

41

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

(45)

meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah

tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau

pergantian tempat.42

Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari

anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Dalam

sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah menjadi

kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan Undang-undang Nomor

3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Pengadilan Agama.43

Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil, para hakim

pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana

dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Hukum

Islam. Secara yuridis formil ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya

pasal 209 memahami bahwa wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat

dan orang tua angkat. Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus

42

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

43

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

(46)

keluar dari yuridis formil yang ada yaitu dengn menggunakan fungsi rechtsvinding

yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. 44

Kewenangan tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu Kompilasi Hukum Islam

dalam pasal 229 juga memberikan kewenangan hakim untuk menyelesaikan perkara

dengan memperhatikan dengan sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat sehingga memberikan putusan yang sesuai dengan rasa keadian.45

Pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya

sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternatif.

Dalam hal wasiat wajibah yang sempit pada anak angkat dan orang tua angkat maka

hakim wajib menggunakan kewenangan fungsi rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan

menjadi sulit untuk menjalankan yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam

terhadap orang-orang dekat pewaris di luar anak angkat dan orang tua angkat. Justru

apabila hakim tidak melakukan rehtvinding karena tidak ada hukum yang mengatur

(ius coria novit) maka hakim dapat diberikan sanksi (pasal 22 Algemen Bepallingen

van Wetgeving Voor ).46

44

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 201445

46

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

(47)

C. Pengertian Anak Murtad

1. Pengertian Anak Murtad

Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan

antara seorang perempuan dan seorang laki-laki merupakan cikal bakal lahirnya suatu

generasi baru.47

Murtad adalah keluar dari agama Islam dan pindah ke agama lain, atau ia

pindah ke sesuatu yang bukan agama. Murtad yang dapat kena had adalah murtad

yang dilakukan oleh orang yang balig, berakal, bisa membedakan, dan sukarela atau

tanpa paksaan.48

Secara istilah anak murtad adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan

antara seorang perempuan dan seorang laki-laki yang merupakan cikal bakal lahirnya

suatu generasi baru yang pindah dari agama yang dianut dan yang diajarkan oleh

kedua orang tuanya.

In Islam, the rejection in part (of any of the pillars, or individual principles of

Islam), or discarding the faith as a whole, amounts to apostasy.[ The punishment for

apostasy in the Islamic faith is death. Though it may be argued that this is not clear

through the Qur'an alone, scholars have found justification for the penalty

from within its pages, and there are also

47

http://andibooks.wordpress.com/definisi-anak diunduh pada tanggal 30 Maret 2015

48

Asadulloh Al FAruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm 39

(48)

numerous Sahih (authentic) hadiths confirming this punishment as attested by

Prophet Muhammad. In Sahih Bukhari, we see it as “Allah's Apostle said, 'Whoever

changed his Islamic religion, then kill him'”, and it was also one of only three reasons

given by him where killing a Muslim is permitted.49

Dari pengertian tersebut anak-anak yang menyatakan memilih berbeda agama

dengan agama orangtuanya tidak termasuk murtad, begitu pula orang gila. Orang

yang karena terpaksa harus meninggalkan keyakinan lantaran yang diancam dan

membahayakan diri dan keluarganya dengan ancaman berat sehingga ia harus

menyelamatkan diri memeluk agama lain, juga tidak termasuk golongan riddah.50

Dengan alasan, walaupun dia hidup dan berada pada sistem yang berlaku di

lingkungan pemeluk agama lain dan secara formal menjadi anggota yang sah dari

masyarakatnya namun besar kemungkinan keyakinannya itu tetap tidak tergoyahkan.

Jika pada suatu saat ada peluang untuk mewujudkan keyakinan yang diyakininya,

yaitu keyakinan yang sesuai dengan ketentuan dalam ajaran Islam ia akan berupaya

mewujudkannya.51

49

http://wikiislam.net/wiki/Islam_and_Apostasy#Definitions, di unduh pada tanggal 14 November 2014

50

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet ke 2, hlm 73

51

Ibid., hlm 73

(49)

2. Dasar Hukum

Dasar hukum yang menjadi acuan sanksi hukum riddah dalam Alquran di

antaranya Surah Al-Baqarah ayat 217, An-Nahl ayat 106 dan Surah An-Taubah ayat

12 sebagai berikut.

                                                                                         

217. mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:

"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari

jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir

penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah52

                                  

106. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat

kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang

52

Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm 65

(50)

dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya

untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.

                          

12. jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka

mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu,

karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)

janjinya, agar supaya mereka berhenti.53

3. Hal-hal yang menyebabkan Murtad

seorang muslim tidak dianggap keluar dari agama Islam (murtad) kecuali apabila

yang bersangkutan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan dia kufur

serta diyakininya dalam hati adapun pernyataan atau perbuatan yang menyebabkan

kufurnya seorang muslim antara lain:

1. Mengingkari keesaan Allah SWT., mengingkari adanya malaikat atau

kenabian Nabi Muhammad SAW., mengingkari adanya kebangkitan di hari

kiamat, dan mengingkari wajibnya shalat lima waktu, zakat, puasa, dan haji.

53

Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm 66

(51)

2. Menghalalkan yang haram, sepertinya menghalalkan minum khamr (minuman

keras), zina, riba, dan makan daging babi.54

3. Mengharamkan yang halal, seperti mengharamkan makanan yang dihalalkan.

4. Mencaci dan menghina Nabi Muhammad SAW., atau pun para Nabi yang

lainnya.

5. Mencaci dan menghina Kitab Suci al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

6. Mengaku bahwa dirinya telah menerima wahyu dari Allag SWT.

7. Melemparkan Kitab Suci al-Qur’an atau Kitab Hadis ke dalam kotoran,

dengan sikap atau tujuan menghinakan dan meremehkan ajaran-ajaran yang

terkandung di dalamnya.

8. Meremehkan salah satu dari nama-nama Allah, atau meremehkan

perintah-perintah maupun larangan-larangan-Nya.55

D. Sanksi Hukum

1. Sanksi Hukum

Dari ayat alqur’an yang dijadikan dasar hukum di atas, dapat diketahui bahwa

sanksi terhadap orang yang murtad adalah dibunuh. Sanksi hukum dimaksud,

disepakati oleh pakar hukum Islam Klasik bagi kaum pria sedangkan sanksi terhadap

perempuan yang murtad ada perbedaan pendapat. Menurut Abu Hanifah sanksinya

adalah dipenjara bukan dibunuh, sedangkan jumhur fuqaha (mayoritas ahli fiqh),

54

Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm 65-66

55

Ibid, hlm 65-66

(52)

menolak pendapat Abu Hanifah dan sepakat bahwa hukuman mati terhadap orang

murtad berlaku bagi pria dan wanita.56

Konskuensi hukum secara moral terhadap orang murtad sama dengan orang

kafir harbi, yaitu putus hubungan kemasyarakatan secara totalitas, termasuk

hubungan suami-istri, pertalian darah, dan pembagian harta warisan. Yang disebutkan

terakhir itu, adalah tidak boleh saling mewarisi antara anak dengan ayah, ibu, suami

dengan istri karena ada perbedaan agama.57

2. Warisan Anak Murtad

Ulama ahli tafsir, hadits, dam fikih bersepakat bahwa perbedaan pendapat

agama pewaris dan ahli waris menjadi penghalang untuk mendapatkan harta

warisan. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :

َﻢﯿِھا َﺮْﺑِإ ُﻦْﺑ ُقﺎَﺤْﺳِإَو َﺔَﺒْﯿَﺷ ﻲِﺑَأ ُﻦْﺑ ِﺮْﻜَﺑ ﻮُﺑَأَو ﻰَﯿْﺤَﯾ ُﻦْﺑ ﻰَﯿْﺤَﯾ ﺎَﻨَﺛ ﱠﺪَﺣ

ﻰَﯿْﺤَﯿِﻟ ُﻆْﻔﱠﻠﻟاَو

ﺎَﻨَﺛ ﱠﺪَﺣ : ِناَﺮَﺧﻵا َلﺎَﻗو ،ﺎَﻧَﺮَﺒْﺧَأ : ﻰَﯿْﺤَﯾ َلﺎَﻗ

ِﻦْﺑ ﱢﻲِﻠَﻋ ْﻦَﻋ ،ﱢيِﺮْھﱡﺰﻟا ِﻦَﻋ َﺔَﻨْﯿﯿُﻋ ُﻦْﺑا

َﻋ ،ٍﻦْﯿَﺴُﺣ

ُثِﺮَﯾ َﻻ)) : َلﺎَﻗ َﻢَﻌْﻠَﺻ ﱠﻲِﺒﱠﻨﻟا ﱠنَأ ،ٍﺪْﯾَز ِﻦْﺑ َﺔَﻣ ﺎَﺳُأ ْﻦَﻋ ،َنﺎَﻤْﺸُﻋ ِﻦْﺑ وِﺮْﻤَﻋ ْﻦ

.((َﻢِﻠْﺴُﻤْﻟا ُﺮِﻓﺎَﻜْﻟا ُثِﺮَﯾ َﻻَو ،َﺮِﻓﺎَﻜْﻟا ُﻢِﻠْﺴُﻤْﻟا

58

Yahya bin yahya, Abu Bakar bin Abu Syaibah, dan Ishaq bin Ibrahim menyampaikan kepada kami dengan lafaz milik Yahya – Yahya menggunakan

lafaz akhbarana, sedangkan dua perawi lain menggunakan lafaz haddatsana

dari Ibnu Uyainah, dari az-Zuhri, dari Ali bin Husain, dari Amr bin Utsman, dari

56

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet ke 2, hlm 77

57

Ibid, hlm 77

58

Muslim bin al-Hajjjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 4; Shahih Muslim 2, (Jakarta: Almahira, 2012), cet ke 1, hlm 57.

(53)

Usamah bin zaid bahwa Nabi bersabda, “Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir juga tidak mewarisi orang muslim.”

Dalam konteks hukum Islam di Indonesia, keberadaan hadits tersebut telah

dimentahkan oleh KHI, yakni jika dalam kitab-kitab fikih diberi judul mawani

al-irts, sedangkan dalam KHI tidak diatur jika seseorang terhalang hak waris karena

berbeda agama atau murtad dapat ditentukan menurut putusan hakim yang

memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht).59

Hal ini terdapat dalam pasal 173 KHI yang menyatakan bahwa : seseorang

terhalang menjadi ahli waris, apabila dengan putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena. 60

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya

berat pada pewaris;

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima)

tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti berpendapat bahwa jika perbedaan ama

tidak termasuk kelompok penghalang, maka logika hukumannya sama dengan yang

diatur dalam hukum Adat dan Perdata B.W. Jika perbedaan agama bukan merupakan

59

Habiburrahman, Rekonstruksi HUKUM KEWARISAN ISLAM di Indonesia, Cet.I, (Jakarta: KEMENTRIAN AGAMA RI, 2011), h.75-78

60

Habiburrahman, Rekonstruksi HUKUM KEWARISAN ISLAM di Indonesia, Cet.I, (Jakarta: KEMENTRIAN AGAMA RI, 2011), h.75-78

(54)

suatu penghalang mendapatkan warisan, maka logikanya sama agama dicocokkan

kepda adat dan berarti juga menerima teori receptive Snouck Hurgronje dan Van

Vollenhoven. Karena hukum kewarisan menurut hukum adat dan hukum Perdata

Barat B.W. tidak mengenal perbedaan agama. Padahal pandangan yang demikian

merupakan kebalikan dari teori receptive a contrario Sajuti Thalib yang sangat

menolak hukum Islam ditundukan kepada hukum Adat.61

Pembagian waris sudah diatur dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah

Agung RI Nomor : 368.K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 jo Nomor : 51.K/AG/1995,

tanggal 29 September 1999, bahwa seorang beda agama atau murtad masih bisa

mendapatkan warisan melalui wasiat wajibah dan apabila semasa hidupnya pewaris

tidak memberikan wasiat. Karena pelaksanaanya tidak dipengaruhi atau tidak

bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.62

Wasit Aulawi menjelaskan bahwa salah satu wujud pelaksanaan tersebut

ialah berupa cucu yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Dalam hal ini

wasiat adalah pemberian sejumlah harta sebesar yang diterima oleh ayah atau ibunya

jika mereka masih hidup dengan jumlah maksimal 1/3 harta warisan, sedangkan

pelaksanaan tersebut harus di penuhi beberapa persyaratan yaitu, cucu tersebut belum

pernah menerima wasiat atau hibah dan wasiat wajibah ini dilaksanakan sebelum

61

Ibid., hlm.84-85

62

Arsip Pengadilan Agama Jakrta Utara, Putusan Nomor : 84/Pdt.P/2012/PA.JU

(55)

pelaksanaan wasiat ikhtiyariah, mendahului pembagian harta warisan kepada ahli

waris lain.63

63

Muchit A. Karim, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, cet I, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012), h.268.

(56)

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama

Pengadilan Agama Jakarta Utara didirikan dengan Surat Keputusan Menteri

Agama Nomor 63 tahun 196

Gambar

gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Utara yang berkaitan dengan sejarah dan
Grafika

Referensi

Dokumen terkait

Hukum waris Islam menetapkan adanya halangan untuk mendapatkan bagian waris terhadap seseorang yang sebenarnya berhak atas hal tersebut, yaitu faktor perbedaan

Putusan Hakim tersebut, jika dirujuk berdasarkan Pasal 185 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam bahwa: (1) ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka

pertimbangan dan dasar Hakim Pengadilan Agama Medan dalam putusan tersebut yang memutuskan bahwa bagian ahli waris laki- laki dan perempuan 1:1.

KUHPerdata Kaminah adalah ahli waris golongan I yang mana anak atau keturunan dari pasangan suami istri Wakidjan dan Sukini. Pertimbangan hakim juga terkait dengan

Pokok masalah dari skripsi ini yaitu siapa saja yang berhak menjadi Ahli Waris Pengganti dalam pasal 185 ayat 1 KHI menurut Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta, Bagaimana

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan Pemohon mengajukan pemohonan izin poligami karena calon istri kedua telah hamil, bahwa alasan itu tidak sesuai dengan Undang-undang

tentang talak raj`i kepada isteri yang murtad telah sesuai menurut analisis hukum Islam, karena putusan tersebut sejalan dengan KHI Pasal 116 huruf f dan h dan

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa antara Pemohon dan Termohon telah terjadi keretakan dalam rumah tangga, ikatan batin sebagai