SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh :
RIAN WAHYU UTOMO 1110044200004
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Administrasi Keperdataan Islam, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014, ix + 80 + lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penetapan ahli waris anak murtad (beda agama) ini sesuai dengan Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan ajaran agama Islam.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data melalui riset pustaka dan riset lapangan, metode interview, metode observasi dan metode penulisan yang disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik sebuah kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa anak murtad mendapatkan bagian warisan dan disahkan oleh hakim pengadilan agama Jakarta Utara. Dengan alasan, bahwa ahli waris anak murtad masih mendapatkan waris dikarenakan sampai saat ini masih belum ada peraturan pelaksanaanya sehingga terdapat kekosongan, maka hakim melandaskan putusan berdasarkan nilai-nilai lain yang berkaitan pada putusan tersebut .
Kata Kunci : Waris, Anak Murtad
Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
DaftarPustaka :Tahun 1971 s.d.Tahun 2013 .
ucapkan atas rasa syukur yang mendalam kehadirat Allah SWT yang maha pengasih
lagi maha penyayang sehingga dengan perkenan-Nya jualah diberikan kemampuan
dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menjadi pemimpin dan
penyampai hidayah umat manusia dimuka bumi.
Penulis menyadari bahwa mungkin skripsi ini tidak dapat terwujud
sebagaimana yang diharapakan, tanpa bantuan dan bimbingan semua pihak. Oleh
karena itu penulis ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan rasa
terimakasih dan rasa hormat penulis kepada Bapak :
1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. H. Kamarusdiana, S.Ag, MH. dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag Ketua dan
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga.
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H Pembimbing yang telah banyak membantu
memberikan bimbingan, petunjuk, masukan serta kemudahan kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan.
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Arifin Matraji Utomo dan Ibunda
Nurhaeni, Bapak Kun Hadi Wibowo dan Ibu Sri Mursiyah sujud abdiku
kepada kalian atas doa, pengorbanan dan memberikan motivasi terbesar kalian
selama ini, “allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani
soghiro, saudaraku tercinta Adi Wibowo, Aripianti, Nina widiastuti, Aristoni,
Billy Mardika, Irene Saudita Olivia, dan Rahinosuryo Hadi Pamungkas
Wibowo yang telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan serta do’a
restu untuk keberhasilan selama kuliah.
7. Sahabat-sahabat Jurusan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2010 yang
selalu ada disaat suka dan duka penulis dalam menyelesaikan skripsi.
8. Saudara-saudara Kosan Molek dan Semanggi Batak, Sopri, Pak haji, Kiki
Arief, Sukron, Abim, Ibeng, Natasha Nicola Anjani de Kock, Dinny Aulia,
dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
9. Sesosok hawa yang telah memberikan semangat dan dorongan dalam hidup
selama ini yaitu Meliratih Bimawastri, theres only one thing two say three
word four you “I Love You”
10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.
wawasan, sehingga dikemudian hari penulis dapat mengevaluasi diri.
Jakarta, 14 November 2014
Rian Wahyu Utomo
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I: PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Metode Penelitian... 10
E. Kerangka Teori... 11
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II: HAK WARIS ANAK MURTAD ... 15
A. Pengertian Waris ... 15
B. Rukun dan Syarat ... 22
C. Pengertian Anak Murtad ... 37
D. Sanksi Hukum ... 41
BAB III: PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA ... 46
A. Gambaran Umum ... 46
B. Struktur Organisasi ... 51
C. Letak Geografis ... 53
D. Wilayah Yuridiksi ... 53
BAB IV: ANALISIS PUTUSAN ... 56
A. Duduknya Perkara ... 56
B. Pertimbangan Majelis Hakim ... 60
BAB V: PENUTUP ... 77
A. Kesimpulan ... 77
B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN: ... 83
1. Surat Bimbingan Skripsi ... 83
2. Surat Permohonan Data Ke Pengadilan Agama Jakarta Utara ... 84
3. Surat Keterangan Permohonan Data ... 85
4. Salinan Putusan Nomor: 84/Pdt.P/2012/PA.JU ... 86
5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Utara Tahun 2014 ... 101
6. Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara ... 102
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama rahmat yang dibawa oleh Nabi Muhammad untuk
menyelamatkan manusia menggapai jalan yang lurus. Norma-norma abadi yang
dimiliki Islam tersembul keluar sebagai rangkaian peraturan yang disebut hukum.
Hukum tersebut bersifat baku dan diakui oleh “undang-undang Tuhan” [qanun ilahi] :
permanen dan tidak dapat diubah. Qanun ilahi ini, diundangkan oleh negara atau
tidak, ia harus ditegakkan sebagai suatu yang berwatak “buatan tuhan”. Namun, ada
kalanya peraturan-peraturan itu diinterpretasi dan diformulasikan oleh manusia
menjadi hukum manusia melalui proses legalisasi.1
Produk-produk hukum yang mengatur tentang Islam sudah banyak, tak lepas
dari Al-Qur’an dan Haditsnya sedangkan di Indonesia produk hukum itu sendiri
adalah kompilasi hukum Islam (KHI) yang dasar pemikirannya adalah
kumpulan-kumpulan pendapat ulama fiqh yang mengatur tentang perkawinan, waris, wakaf,
zakat, dll. Salah satu masalah dalam keluarga yang menyangkut hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal adalah hal masalah peninggalan harta atau waris yang
bagaimana pembagian dan takaran seseorang mendapatkan harta peninggalan
leluhurnya masih terjadi konflik di masyarakat khususnya di negara Indonesia.
1
Yayan sopyan, Islam-Negara, (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 1
Dalam definisinya waris adalah salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia
pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum
yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, di
antaranya ialah masalah bagamana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian
hak-hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.2
Waris dalam KHI sudah di atur dalam pasal 171 Buku II tentang hukum
kewarisan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.3
Dalam pembagiannya siapa saja yang mendapatkan pewaris juga diatur dalam
hukum kewarisan dan Al-qur’an, contoh pada surat An-Nissa ayat 7 :
7. bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-2
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 1
3
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.4
Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam juga di jabarkan pada pasal 174
tentang kewarisan menurut kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah :
- Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda5
Maka seseorang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris terhadap orang yang pada saat meninggal dunia, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.6 Itu adalah syarat seseorang
mendapatkan hak waris dari harta peninggalan si pewaris. Tetapi di Indonesia banyak
sekali gejala-gejala sosial dalam kewarisan. Karena segala apa yang kita kira, kita
ketahui segalanya ini, adalah banyak sedikitnya bersifat hipotesis (berdasarkan
dugaan) dan perbedaan paham antara ahli dalam bidang ini jauh lebih besar daripada
yang biasa ditemui oleh para ahli hukum dalam lingkungannya. Penyelidikan tentang
4
Kementrian Agama, Al-qur’an, (Jakarta: Adhi Aksara Abadi Indonesia,2011)
5
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.57
6
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56
periode tertua dari umat manusia ini, dikeruhkan pula oleh ideology subyektif dan
keyakinan keagamaan.7 contoh dalam hal hak waris anak yang murtad, dapat kita
ketahui bahwa sesorang yang telah murtad akan menjadi penghalang dalam hak
kewarisannya.
Berdasarkan Hadist Rasul Rawahu Abu Badrah, menceritakan bahwa saya
telah diutus oleh Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki yang kawin dengan isteri
bapaknya, Rasulullah SAW menyuruh supaya dibunuh laki-laki tersebut dan
membagi hartanya sebagai harta rampasan karena ia murtad.8
Seperti dalam pengertian ahli waris itu sendiri orang yang berhak
mendapatkan hak waris adalah seorang muslim. Karena berlainan agama adalah
perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan
orang yang mewariskan. Para ahli hukum Islam (Jumhur Ulama) sepakat bahwa
orang nonislam (kafir) tidak dapat mewarisi harta orang Islam lantaran status orang
nonislam (kafir) lebih rendah. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam surah
An-Nisaa’ ayat 141:
141.Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
7
A.Pitlo dan J .E. Kasdrop, Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Intermasa, 1994), cet. Ke-4, h. 9
8
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 115
Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat sesudah
meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan belum
dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk Islam itu tetap terhalang untuk
mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut adalah sejak adanya kematian
orang yang mewariskan, bukan saat kapan dimulainya pembagian harta peninggalan.
Padahal pada saat kematian si pewaris, ia masih dalam keadaan nonislam (kafir).
Jadi, mereka dalam keadaan berlainan agama.9
Imamiyah telah menetapkan bahwa perbedaan agama menghalangi
non-Muslim dan orang murtad untuk mewarisi dari non-Muslim, namun tidak menghalangi
Muslim untuk mewarisi dari Muslim dan murtad. Maka, bila seorang
non-Muslim mempunyai seorang anak non-Muslim, maka anaknya mewarisinya bahkan
anaknya itu menghalangi ahli waris lainnya yang non-Muslim untuk mendapatkan
warisan.10
Dalam pasal 172 KHI dijelaskan ahli waris dipandang beragama Islam apabila
diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan
9
Moh. Muhubbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), cet ke-2, h. 78
10
Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris Menurut Imam Ja’far Shadiq, (Jakarta: Lentera, 2001 ), cet ke-1, h. 83
bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya
atau lingkungannya.11
Dalam kenyataan ahli waris yang murtad dapat bagian waris, melalui wasiat
wajibah anak murtad dapat bagi waris dan pengertian wasiat wajibah itu sendiri
adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak pengaruhi atau tidak bergantung pada
kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia, melainkan didasarkan kepada
Putusan Pengadilan Agama. Hal ini sejalan dengan kepada Putusan Pengadilan
Agama. Hal ini sejalan dengan Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor :
368. K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998, tanggal 29 September 1999. Disini terlihat
bahwa adanya kejanggalan dalam penyelesaian penetapan waris terhadap anak
murtad, karena pada KHI, hadits, dan ulama fiqih sangat menutup kesempatan anak
murtad untuk mendapatkan hak waris karena seseorang muslim yang hanya
menerima hak waris dari orang muslim. Selain itu jika dilihat dari kacamata HAM
seseorang hanya keluar dari agama yang dianut bukan suatu kejahatn yang disamakan
dengan orang yang membunuh atau memfitnah. Karena manusia mempunyai hak
untuk hidup, hak beragama dan hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
dihadapan hukum.12
Di lihat dari latar belakang yang ada, ditakutkan akan ada kasus-kasus
semacam ini di ranah masyarakat dikarenakan kelalaian hakim dalam mengutus suatu 11
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.57
12
http://www.hukor.depkes.go.id “Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang HAM”, (diakses pada 27 Desember 2013)
perkara. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan
mencoba menganalisis putusan majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara dalam karya
ilmiah yang berbentuk skripsi yang berjudul
“PENETAPAN HAK WARIS TERHADAP ANAK MURTAD” (Analisis
putusan hakim Pengadilan Jakarta Utara No. 84/Pdt.P/2012).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan terarah dan lebih spesifik, maka perlu ditentukan
batasan masalah yang akan dibahas. Adapun pembatasan masalah yang akan dibahas
sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas sesuai dengan permasalahan yang
timbul dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut :
a. Pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam
menjatuhkan putusan tersebut.
b. Apa akibat hukum dari putusan tersebut.
2. Perumusan Masalah
Menurut dalil fikih dalam kitab Al-Tirkah wal Mirats fil Islam dimana
dikatakan tidak ada saling mewarisi antara orang muslim dengan non muslim.
mendapatkan warisan dan diganti wasiat wajibah, rumusan masalah pada
proposal ini penulis sajikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa pertimbangan yang digunakan oleh majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Utara pada perkara Nomor 84/Pdt.P/2012/PA JU?
2. Bagaimana keputusan majelis Hakim ber serta akibat hukum dari
putusan tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan diatas,
maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah:
1. Untuk memahami keputusan Hakim Pengadilan Agama dalam
menetapkan hak waris terhadap anak murtad setelah murtad.
2. Untuk mengetahui apa yang dijadikan dasar atau pertimbangan
hakim pengadilan agama dalam menentukan putusan tersebut serta
akibat putusan tersebut.
Adapun manfaat yang akan didapatkaan dalam penelitian diantaranya adalah:
1. Bagi Penulis
a. Mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dan dapat
b. Mengetahui kondisi yang terjadi dilapangan khusunya di dalam
lingkup pengadilan agama.
c. Membandingkan teori yang telah ada dengan permasalahan
yang sebenarnya terjadi di masyarakat.
2. Bagi Masyarakat
a. Memberikan informasi bagi semua kalangan masyarakat
tentang hak waris atas anak murtad dan akibat hukumnya.
b. Memberikan informasi tentang keputusan Hakim Pengadilan
Agama mengenai penetapan hak waris anak murtad.
3. Bagi Institusi
a. Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar
Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan penetapan hak
waris anak murtad.
4. Bagi Universitas
a. Menambah referensi bagi temen-temen dalam mempelajari
hukum waris serta akibat hukumnya.
b. Mengatahui kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmu
c. Memberikan gambaran tentang kesiapan dan kelayakan
mahasiswa dalam menangani masalah dilapangan.
D. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini kualitatif bersifat pendekatan survey. Yaitu data
yang diperoleh meliputi transkip interview, catatan lapangan, dokumen pribadi dan
lain-lain, kemudian menganalisa isi putusan, untuk melihat sejauh mana proses
penyelesaian para hakim dalam menyelasaikan perkara hak waris anak murtad.
2. Pendekatan
Dalam penulisannya memakai metode pendekatan, bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu atau menentukan frekuensi penyebaran dan suatu gejala
lain dimasyarakat
3. Sumber data dan proses pengumpulan data
a. Data primer
Data primer berbentuk putusan dan berita acara yang
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku,
internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan
perkara hak waris anak luar perkawinan.
Studi kepustakaan (library reseach), yaitu untuk memperoleh landasan
teoritis yang ada kaitannya dengan judul penulis bahas, dimana
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, makalah,
artikel maupun website.
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
menggunakan konten analisis yaitu menganalisa dengan cara menguraikan
denagan mendeksripsikan putusan dan menghubungkannya dengan hasil
wawancara, serta analisa yurispudensi hakim pengadilan agama.
5. Teknik penulisan
Teknik penulisan dalam penyusunan proposal ini secara teknik
penulisan berpedoman pada buku penulisan skripsi.
E. Kerangka Teori
Dalam definisinya waris adalah salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum
yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, di
antaranya ialah masalah bagamana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian
hak-hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum
waris.13
Tujuan waris dalam Islam untuk membantu keluarga yang akan ditinggal oleh
si pewaris dan digunakan dengan baik, selain itu untuk sebagai titipan atau amalan
dari si pewaris tersebut.
Pada Waris dalam KHI sudah di atur dalam pasal 171 Buku II tentang hukum
kewarisan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.14
Definisi dari ahli waris adalah di pandang beragama Islam apabila diketahui
dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi
13
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 1
14
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56
yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya. 15
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan gambaran mengenai hal
apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar gambaran tersebut dapat dilihat
melalui sistematika skripsi berikut ini:
Bab Kesatu berisi pendahuluan yang akan memberikan gambaran umum Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metode Penelitian, Kerangka Teori, Review Studi Terdahulu dan Sistematika
Penulisan.
Bab Kedua menjelaskan tentang tinjauan umum tentang hak waris anak murtad yang terdiri dari, pengertian waris, pengertian anak murtad, dasar hukum,
serta warisan yang diperolehnya.
[image:23.612.109.531.111.479.2]Bab Ketiga akan Menjelaskan uraian diskripsi data berkenaan dengan gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Utara yang berkaitan dengan sejarah dan
struktur organisasinya.
Bab Keempat merupakan analisis yuridis terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara perkara No. 84/Pdt.P/2012/PA. JU
15
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56
Bab Kelima adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang didalamnya akan berisikan kesimpulan dan saran yang bersifat kontribusi membangun dunia
akademis.
A. Hukum Waris
1. Pengertian Waris
Secara umum pengertiann waris adalah a person who has the legal to receive
the property of someone who dies.1 Menurut pelaksanaan hukum waris dikalangan
umat Islam Indonesia, Hukum Waris adalah hukum yang mengatur peralihan
pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris, menentukan berapa bagiannya, masing-masing ahli waris, dan
mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan.2
Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa Hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peningggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan beberapa bagian.3
Dalam hukum kewarisan tidak lepas dari harta peninggalan dan ahli waris,
karena dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171b menyatakan bahwa pewaris adalah
1
http://www.merriam-webster.com/dictionary/heir, (di akses 14 November 2014)
2
Muchith A Karim, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Malaho Jaya Abadi Press, 2010), hlm 11.
3
Muchith A Karim, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Malaho Jaya Abadi Press, 2010), hlm 11.
orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan
putusan peradilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.4
Harta peninggalan dalam bahasa hukum islam disebut tirkah. Dan dalam
pembahasan tesis ini akan dipergunakan istilah harta peniggalan, sebab istilah harta
peninggalan sebagai obyek dari keseluruhan system kewarisan dalam hukum Islam
lebih mudah dikenal dalam bahasa hukum Indonesia.5
Yang antara lain harta peninggalan itu sebagai obyek wasiat, karena itu
sejauhmana cakupan dan ruang lingkup dari harta peninggalan tersebut dalam kontek
system kewarisan Islam.6 Hukum Waris dalam ajaran Islam disebut istilah “Faraid”.
Kata faraid adalah bentuk jamak dari faridah yang berasal dari kata fardu yang
berarti ketetapan, pemberian (sedekah).7
Harta peninggalan adalah segala sesuatu benda atau yang bernilai kebendaan yang
dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan
oleh syara’ dan dapat diwarisi oleh para ahli waris. Segala sesuatu benda atau yang
bernilai kebendaan harus diartikan dalam cakupan yang lebih luas yaitu:
4
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56
5
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia), hlm 27.
6
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia), hlm 27.
7
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 49.
1. Kebedaan atau sifat yang bernilai kebendaan, seperti benda tetap, benda
bergerak, piutang orang yang mati yang menjadi tanggunan orang lain, dan
lain sebagainya.
2. Hak-hak kebendaan, seperti hak paten terhadap karya seni, buku, merek, dan
lain sebagainya.
3. Hak-hak diluar kebendaan, seperti hak khiyar, hak syufa’ah, hak
memanfaatkan barang, dan lain sebagainya.
4. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang
sedang digadaikan, benda maskawin yang terhutang, barang yang dibeli dan
telah dibayar tetapi barangnya belum diterima ketika mati, dan lain
sebagainya.8
Untuk mengetahui, siapa-siapa yang memperoleh bagian tertentu itu, maka perlu
diteliti terlebih dahulu ahli-ahli waris yang ditinggalkan. Kemudian baru ditetapkan,
siapa di antara mereka yang mendapat bagian dan yang tidak mendapat bagian. Di
dalam faraid dibahas hal-hal yang berkenan dengan warisan (harta peninggalan), ahli
waris , ketentuan bagian ahli waris dan pelaksanaan pembagiannya. 9
Sumber Hukum Waris Islam
8
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012), hlm 27.
9
M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: Pt Bulan Bintang, 1996), hlm 10.
1. Al-qur’an
Al-qur’an adalah wahyu Allah SWT, yang merupakan mu’jizat yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dan
pedoman hidup bagi pemeluk agama Islam.
Pokok-pokok isi Alquran
- Tauhid ialah kepercayaan/rukun iman.
- Tuntutan ibadah
- Janji dan saksi
- Hukum untuk bermasyarakat atau berhubungan denga manusia dan
hubungan dengan Allah SWT.
- Sejarah
2. Hadist
Hadist adalah perkataan nabi Muhammad SAW, perbuatannya dan
keterangannya.
Kedudukannya dan keterangannya.
- Menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an
- Menentukan sebagai hukum yang tidak ada dalam Alquran.
Ijtihad artinya sepakat, setuju atau sependapat. Ijtihad adalah menggunakan
seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum Syara’ dengan jalan
menyimpulkan dari Alqur’an dan hadits. 10
2. Dasar Hukum Kewarisan
Hukum kewarisan islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat
Al-Qur’an sebagai Firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Besar Muhammad
SAW dan Hadis Rasul yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang
didiamkan Rasul. Yang paling banyak ditemui dasar atau sumber hukum
kewarisan itu dalam surat an-Nisaa’ di samping surah-surah lainnya sebagai
pembantu. 11
An-Nisaa ayat 7 :
7. Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
An-Nisaa ayat 8 :
10
Saifuddin Arief, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Darunnajah Production House, 2007), hlm 6-7
11
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 46
8. dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.
An-Nisaa ayat 10 :
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). 12
Kitab udang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama pasal
528, tentang hak mewaris di-indentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan
ketentuan dari pasal 584 KUH Perdata menyangkut hak waris sebagai salah satu cara
untuk memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam Buku Ke-II
KUH Perdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena
mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai
hukum benda saja, tetapi tersangkut beberapa aspek hukum lainnya, misalnya hukum
Perorangan dan Kekeluargaan.13
Menurut staatsblad 1925 nomor 415 jo 447 yang telah diubah ditambah dan
sebagainya terakhir dengan S. 1929 No. 221 pasal 131 jo pasal 163, hukum kewarisan
12
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 74-75
13
Ibid., hlm 74
yang diatur dalam KUH Perdata tersebut diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan
mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut.14
Dengan staatsblad 1917 nomor 129 jo staatsblad 1924 nomor 557 hukum
kewarisan dalam KUH Perdata diberlakukan bagi orang-orang Timur Asing
Tionghoa. Dan berdasarkan staatsblad 1917 nomor 12, tentang penundukan diri
terhadap Hukum Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia dimungkinkan pula
menggunakan hukum kewarisan yang tertuang dalam KUH Perdata. Dengan
demikian maka KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) diberlakukan kepada :
1. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa
misalnya Inggris, Jerman, Francis, Amerika dan termasuk orang-orang
Jepang;
2. Orang-orang Timur Asing Tionghoa dan
3. Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang pribumi menundukkan diri.
Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :
1. Ahli waris menurut ketentuan undang-undang
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut undang-undang atau “ab
intestate”, sedangkan cara yang kedua dianamakan mewarisi secara
“testamentair”15
14
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 74-75
Terhitung semenjak tahun 1991, berdasarkan intruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, bangsa Indonesia telah memiliki Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang secara de facto maupun de jure menjadi pegangan
utama umumnya para hakim dalam lingkungan pengadilan agama dalam
menyelesaikan sengketa hukum kewarisan yang diajukan oleh para pencari
keadilan. Hukum kewarisan diatur dalam Buku III Kompilasi Hukum Islam yang
lazim disingkat dengan sebutan KHI.16
Buku II Kompilasi Hukum Islam, yang memuat hukum kewarisan, ini terdiri
atas VI Bab dan 44 Pasal, yakni mulai Pasal 171 sampai 214. Buku II KHI pada
dasarnya mengatur ihwal ketentuan umum (Bab I Pasal 171), ahli waris (Bab II
Pasal 172-175), besarnya bagian [masing-masing ahli waris] (Bab III Pasal
176-191), auld dan rad (Bab IV Pasal 192-193), wasiat (Bab V Pasal 194-209), dan
hibah (Bab VI Pasal 210-214).17
B. Rukun dan Syarat Waris 1. Rukun dan Syarat Waris
a. Hak-hak yang dapat dikeluarkan sebelum harta waris dibagikan kepada ahli
waris
15
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 74-75
16
Muhamad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 99
17
Ibid., hlm 100
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembagian waris yang harus
dipenuhi secara tertib, sehingga apabila hak yang pertama atau yang kedua
meghabiskan semua harta waris maka tidak ada lagi pindah kepada hak-hak yang
lain.18
Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan, terlebih dahulu sebagai yang
utama dari harta peninggalan itu harus diambil hak-hak yang segera dikeluarkan
untuk kepentingan-kepentingan berikut.19
1) Tahjiz, atau biaya penyelenggaraan Jenazah
Tahjiz adalah sesuatu yang diperlukan oleh seseorang yang meninggal dunia
mulai dari wafat sampai kepada penguburannya.20
Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa biaya yang diperlukan untuk hal
tersebut di atas dikeluarkan dari harta peninggalan menurut ukuran yang
wajar.21
2) Melunasi Utang
Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh orang yang meninggal,
apabila si mayit mempunyai hutang atau tanggungan belum di bayar ketika
18
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h. 51
19
Ibid.,hlm. 51
20
Ibid.,hlm. 51
21
Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta, Sinar Grafika, 1995). h.40.
masih hidup di dunianya, baik yang berkaitan dengan sesame manusia
maupun kepada Allah yang wajib diambilkan dari harta peninggalannya
setelah diambil keperluan tahjiz.
Para ulama megklarifikasikan utang kepada dua macam yaitu :
a) Utang kepada sesama manusia, disebut dain al-‘ibad
b) Utang Kepada Allah, disebut dain Allah.22
Pada prinsipnya bahwa pelunasan utang pewaris harus bersumber dari
kekayaan pewaris. Akan tetapi apabila utangnya melampaui jumlah harta
pusakanya, maka pelunasannya menurut alquran harus melalui zakat.23 Dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 175 ayat 1, kewajiban ahli waris terhadap
pewaris adalah:
a) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemkaman jenazah selesai
b) Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan,
termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang.
c) Menyelesaikan wasiat pewaris.
d) Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
22
Ahmad Rofiq, Hukum Mawaris, (Jakarta Utara, PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.38
23
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta Utara, PT Raja Grafindo, 1995), h.98
Sedangkan dalam pasal 175 ayat 2, tanggung jawab ahli waris terhadap
hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta
peninggalannya.
3) Melaksanakan atau Membayar Wasiat
Wasiat ialah pesan seseorang utuk memberikan sesuatu kepada orang lain
setelah ia meninggal dunia.24
The Islamic will is called al-wasiyya. a will is a transaction which comes into
operation after the testator’s death. The will is executed after payment of funeral
expenses and any outstanding debts. The one who makes a will (wasiyya) is called a
testator (al-musi). the one on whose behalf a will is made is generally referred to as a
legatee (al-musa lahu). Technically speaking the term "testatee" is perhaps a more
accurate translation of al-musa lahu.25
b. Rukun Mewarisi
Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian
harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada
rukun-rukunnya.26
24
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h. 55
25
http://www.islam101.com/sociology/wills.htm, di akses pada tanggal 14 November 2014
26
Komite Fakultas syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, (Jakarta Selatan, Senayan Abadi Publishing 2004), h.27.
Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris-mewarisi, tiap-tiap
unsur tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab
fiqh dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap
rukun.27
Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun
waris-mewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut.
1. Harta Peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan oleh si
mayit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil
untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat. Harta
peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut tirkah yaitu apa-apa yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia.
2. Pewaris atau orang yang meninggalkan harta waris (muawarrits) adalah orang
yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris. Di dalam kamus
Indonesia disebut dengan istilah “pewaris”, sedangkan dalam kitab fiqh
disebut muwarist.28
Bagi muwarist berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya
dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik menurut
fiqh kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarist menurut para
ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni
27
M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15
28
Ibid.,hlm.15
a. Mati haqiqy (sejati) ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa
itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca
indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy, ialah suatu kematian yang disebabkan oleh adanya vonis
hakim, baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun
dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang
yang telah divonis mati, padahal ia benar-benar masih hidup. Vonis ini
dijatuhkan terhadap orang murtad yang melarikan diri dan bergabung
dengan musuh, vonis mengharuskan demikian karena menurut syariat
selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh. Demikian juga vonis
kematian terhadap maqdud, yaitu orang yang tidak diketahui kabar
beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui hidup dan
matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati terhadap dua jenis
orang tersebut maka berlakunya kematian sejak tanggal yangtermuat
dalam vonis hakim, walaupun larinya si murtad atau kepergiannya si
mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan harta peninggalannya baru
dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak tanggal yang termuat dalam vonis
itu.29
c. Mati taqdiry ialah kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi
semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian
29
M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15
seseorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap
perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun. Kematian tersebut
hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh
yang lain, namun kuatnya perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu.
3. Ahli waris (waarist) adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si
muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.
Pengertian ahli waris di sini adalah orang yang mendapat harta waris, karena
memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun, tidak semua
keluarga dari pewaris dinamakan (termasuk) ahli waris. Demikian pula orang
yang berhak menerima (mendapat) harta waris mungkin saja di luar ahli
waris. 30
Dalam Alquran Surah An-Nisaa’ ayat 8, Allah berfirman :
Artinya: dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.(An.Nisaa/4:8)
c. Syarat Mewarisi
Waris – mewarisi berfungsi sebagai pengganti kedudukan dalam memiliki
harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih
30
M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15
hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena itu, waris-mewarisi
memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni
1. Orang yang mewariskan (muwarrits) sudah meninggal.
2. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup.
3. Tidak ada penghalang.31
Para ahli waris yang benar-benar masih hidup di saat kematian muwarrits,
baik matinya itu secara haqiqy, hukmy, ataupun taqdiryi berhak mewarisi harta
peninggalannya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 173 dijelaskan, seorang terhalang
menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
para pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.
31
M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15
b. Sebab-sebab Mewariskan
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab
seseorang itu mendapat warisan dari si mayit (ahli waris) dapat diklarifikasikan
sebagai berikut:32
1. Perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris)
disebabkan adanya hubungan perkawinan antar si mayit dengan seseorang
tersebut, yang termasuk dalam klarifikasi ini adalah suami atau istri dari si
mayit.33
Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya hubungan kewarisan antara
suami dengan istri didasarkan pada dua syarat:
a. Perkawinan sah menurut Syariat Islam
Artinya, syariat dan rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara
keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah
dilaksanakan dan telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta terlepas
dari semua halangan pernikahan walaupun belum kumpul (hubungan
kelamin).
32
Suhawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta, Sinar Grafika, 1995), h.53
33
Ibid, h.53
Ketentuan ini berlandaskan pada keumuman ayat tentang mewarisi
dan tindakan Rasulullah SAW. Yang telah memberikan keputusan hukum
tentang kewarisan terhadap seorang suami yang sudah melakukan akad nikah,
tetapi belum melaksanakan persetubuhan dan belum menetapkan
maskawinnya.34
b. Perkawinan Masih Utuh
Sesuatu perkawinan dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan itu
telah diputuskan dengan talak raj’i bagi seseorang istri belum selesai.
Perkawinan tersebut di anggap masih utuh, karena di saat iddah masih
berjalan, suami masih mempunyai hak penuh untuk menuju’ kembali bekas
istrinya yang masih menjalankan iddah baik dengan perkataan maupun
dengan perbuatan, tanpa memerlukan kerelaan istri, membayar maskawin
baru, meghadirkan 2 orang saksi serta seorang wali.35
2. Kekerabatan
Salah satu sebab beralihnya harta, seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang masih hidup adalah adanya yang disebabkan oleh kelahiran.Heirs
referred to as primary heirs are always entitled to a share of the inheritance, they are
never totally excluded. These primary heirs consist of the spouse relict, both parents,
34
Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT Alma’arif, 1971), h.17
35
Ibid, h.17
the son and the daughter. All remaining heirs can be totally excluded by the presence
of other heirs. But under certain circumstances, other heirs can also inherit as
residuaries, namely the father, paternal grandfather, daughter, agnatic granddaughter,
full sister, consanguine sister and mother. 36
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang
mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan
yaitu sebagai berikut.
a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mayit.
b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asli) yang menyebabkan adanya si mayit.
c. Hawasyi’, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia
melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak
turunannya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan.37
3. Hubungan sebab Wala’
Wala’ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan yaitu
ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya dan ahli warisnya
yang mewarisi dengan bagian ‘ashobah dengan sebab dirinya (ashobah bin
nafsi) seperti ikatan antara orang tua dengan anaknya, baik dimerdekakan
36
http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_inheritance_jurisprudence, di akses pada tanggal 14 November 2014
37
Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT Alma’arif, 1971), h.17
secara sukarela atau karena wajib seperti karena nadzar atau zakat atau
kafarah berdasarkan keumuman sabda nabi.38
4. Hubungan sesama Islam
Hubungan Islam yang dimaksud di sini terjadi apabila seseorang yang
meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu
diserahkan kepada perbendaharaan umum atau yang disebut Baitul Maal yang
akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang
tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam.39
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 174 yakni,
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah
- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman, dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda dan janda
38
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris, (tegal, Ash-Shaf, 2007), h.27
39
http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan
hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.40
5. Wasiat Wajibah
Tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem
hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung
unsur-unsur yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau
sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.
2. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan
tetapi dilakukan oleh negara.
3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh
melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.
Wasiat wajibah dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk
menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya
anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. 41
Di negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah,
lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan
antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang
40
http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014
41
http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014
meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah
tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau
pergantian tempat.42
Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari
anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Dalam
sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah menjadi
kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan Undang-undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama.43
Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil, para hakim
pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana
dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Hukum
Islam. Secara yuridis formil ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya
pasal 209 memahami bahwa wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat
dan orang tua angkat. Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus
42
http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014
43
http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014
keluar dari yuridis formil yang ada yaitu dengn menggunakan fungsi rechtsvinding
yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. 44
Kewenangan tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu Kompilasi Hukum Islam
dalam pasal 229 juga memberikan kewenangan hakim untuk menyelesaikan perkara
dengan memperhatikan dengan sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat sehingga memberikan putusan yang sesuai dengan rasa keadian.45
Pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya
sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternatif.
Dalam hal wasiat wajibah yang sempit pada anak angkat dan orang tua angkat maka
hakim wajib menggunakan kewenangan fungsi rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan
menjadi sulit untuk menjalankan yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam
terhadap orang-orang dekat pewaris di luar anak angkat dan orang tua angkat. Justru
apabila hakim tidak melakukan rehtvinding karena tidak ada hukum yang mengatur
(ius coria novit) maka hakim dapat diberikan sanksi (pasal 22 Algemen Bepallingen
van Wetgeving Voor ).46
44
http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014
http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 201445
46
http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014
C. Pengertian Anak Murtad
1. Pengertian Anak Murtad
Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan
antara seorang perempuan dan seorang laki-laki merupakan cikal bakal lahirnya suatu
generasi baru.47
Murtad adalah keluar dari agama Islam dan pindah ke agama lain, atau ia
pindah ke sesuatu yang bukan agama. Murtad yang dapat kena had adalah murtad
yang dilakukan oleh orang yang balig, berakal, bisa membedakan, dan sukarela atau
tanpa paksaan.48
Secara istilah anak murtad adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan
antara seorang perempuan dan seorang laki-laki yang merupakan cikal bakal lahirnya
suatu generasi baru yang pindah dari agama yang dianut dan yang diajarkan oleh
kedua orang tuanya.
In Islam, the rejection in part (of any of the pillars, or individual principles of
Islam), or discarding the faith as a whole, amounts to apostasy.[ The punishment for
apostasy in the Islamic faith is death. Though it may be argued that this is not clear
through the Qur'an alone, scholars have found justification for the penalty
from within its pages, and there are also
47
http://andibooks.wordpress.com/definisi-anak diunduh pada tanggal 30 Maret 2015
48
Asadulloh Al FAruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm 39
numerous Sahih (authentic) hadiths confirming this punishment as attested by
Prophet Muhammad. In Sahih Bukhari, we see it as “Allah's Apostle said, 'Whoever
changed his Islamic religion, then kill him'”, and it was also one of only three reasons
given by him where killing a Muslim is permitted.49
Dari pengertian tersebut anak-anak yang menyatakan memilih berbeda agama
dengan agama orangtuanya tidak termasuk murtad, begitu pula orang gila. Orang
yang karena terpaksa harus meninggalkan keyakinan lantaran yang diancam dan
membahayakan diri dan keluarganya dengan ancaman berat sehingga ia harus
menyelamatkan diri memeluk agama lain, juga tidak termasuk golongan riddah.50
Dengan alasan, walaupun dia hidup dan berada pada sistem yang berlaku di
lingkungan pemeluk agama lain dan secara formal menjadi anggota yang sah dari
masyarakatnya namun besar kemungkinan keyakinannya itu tetap tidak tergoyahkan.
Jika pada suatu saat ada peluang untuk mewujudkan keyakinan yang diyakininya,
yaitu keyakinan yang sesuai dengan ketentuan dalam ajaran Islam ia akan berupaya
mewujudkannya.51
49
http://wikiislam.net/wiki/Islam_and_Apostasy#Definitions, di unduh pada tanggal 14 November 2014
50
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet ke 2, hlm 73
51
Ibid., hlm 73
2. Dasar Hukum
Dasar hukum yang menjadi acuan sanksi hukum riddah dalam Alquran di
antaranya Surah Al-Baqarah ayat 217, An-Nahl ayat 106 dan Surah An-Taubah ayat
12 sebagai berikut.
217. mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah52
106. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang
52
Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm 65
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
12. jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka
mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu,
karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)
janjinya, agar supaya mereka berhenti.53
3. Hal-hal yang menyebabkan Murtad
seorang muslim tidak dianggap keluar dari agama Islam (murtad) kecuali apabila
yang bersangkutan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan dia kufur
serta diyakininya dalam hati adapun pernyataan atau perbuatan yang menyebabkan
kufurnya seorang muslim antara lain:
1. Mengingkari keesaan Allah SWT., mengingkari adanya malaikat atau
kenabian Nabi Muhammad SAW., mengingkari adanya kebangkitan di hari
kiamat, dan mengingkari wajibnya shalat lima waktu, zakat, puasa, dan haji.
53
Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm 66
2. Menghalalkan yang haram, sepertinya menghalalkan minum khamr (minuman
keras), zina, riba, dan makan daging babi.54
3. Mengharamkan yang halal, seperti mengharamkan makanan yang dihalalkan.
4. Mencaci dan menghina Nabi Muhammad SAW., atau pun para Nabi yang
lainnya.
5. Mencaci dan menghina Kitab Suci al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
6. Mengaku bahwa dirinya telah menerima wahyu dari Allag SWT.
7. Melemparkan Kitab Suci al-Qur’an atau Kitab Hadis ke dalam kotoran,
dengan sikap atau tujuan menghinakan dan meremehkan ajaran-ajaran yang
terkandung di dalamnya.
8. Meremehkan salah satu dari nama-nama Allah, atau meremehkan
perintah-perintah maupun larangan-larangan-Nya.55
D. Sanksi Hukum
1. Sanksi Hukum
Dari ayat alqur’an yang dijadikan dasar hukum di atas, dapat diketahui bahwa
sanksi terhadap orang yang murtad adalah dibunuh. Sanksi hukum dimaksud,
disepakati oleh pakar hukum Islam Klasik bagi kaum pria sedangkan sanksi terhadap
perempuan yang murtad ada perbedaan pendapat. Menurut Abu Hanifah sanksinya
adalah dipenjara bukan dibunuh, sedangkan jumhur fuqaha (mayoritas ahli fiqh),
54
Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm 65-66
55
Ibid, hlm 65-66
menolak pendapat Abu Hanifah dan sepakat bahwa hukuman mati terhadap orang
murtad berlaku bagi pria dan wanita.56
Konskuensi hukum secara moral terhadap orang murtad sama dengan orang
kafir harbi, yaitu putus hubungan kemasyarakatan secara totalitas, termasuk
hubungan suami-istri, pertalian darah, dan pembagian harta warisan. Yang disebutkan
terakhir itu, adalah tidak boleh saling mewarisi antara anak dengan ayah, ibu, suami
dengan istri karena ada perbedaan agama.57
2. Warisan Anak Murtad
Ulama ahli tafsir, hadits, dam fikih bersepakat bahwa perbedaan pendapat
agama pewaris dan ahli waris menjadi penghalang untuk mendapatkan harta
warisan. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
َﻢﯿِھا َﺮْﺑِإ ُﻦْﺑ ُقﺎَﺤْﺳِإَو َﺔَﺒْﯿَﺷ ﻲِﺑَأ ُﻦْﺑ ِﺮْﻜَﺑ ﻮُﺑَأَو ﻰَﯿْﺤَﯾ ُﻦْﺑ ﻰَﯿْﺤَﯾ ﺎَﻨَﺛ ﱠﺪَﺣ
–
ﻰَﯿْﺤَﯿِﻟ ُﻆْﻔﱠﻠﻟاَو
–
ﺎَﻨَﺛ ﱠﺪَﺣ : ِناَﺮَﺧﻵا َلﺎَﻗو ،ﺎَﻧَﺮَﺒْﺧَأ : ﻰَﯿْﺤَﯾ َلﺎَﻗ
–
ِﻦْﺑ ﱢﻲِﻠَﻋ ْﻦَﻋ ،ﱢيِﺮْھﱡﺰﻟا ِﻦَﻋ َﺔَﻨْﯿﯿُﻋ ُﻦْﺑا
َﻋ ،ٍﻦْﯿَﺴُﺣ
ُثِﺮَﯾ َﻻ)) : َلﺎَﻗ َﻢَﻌْﻠَﺻ ﱠﻲِﺒﱠﻨﻟا ﱠنَأ ،ٍﺪْﯾَز ِﻦْﺑ َﺔَﻣ ﺎَﺳُأ ْﻦَﻋ ،َنﺎَﻤْﺸُﻋ ِﻦْﺑ وِﺮْﻤَﻋ ْﻦ
.((َﻢِﻠْﺴُﻤْﻟا ُﺮِﻓﺎَﻜْﻟا ُثِﺮَﯾ َﻻَو ،َﺮِﻓﺎَﻜْﻟا ُﻢِﻠْﺴُﻤْﻟا
58Yahya bin yahya, Abu Bakar bin Abu Syaibah, dan Ishaq bin Ibrahim menyampaikan kepada kami dengan lafaz milik Yahya – Yahya menggunakan
lafaz akhbarana, sedangkan dua perawi lain menggunakan lafaz haddatsana –
dari Ibnu Uyainah, dari az-Zuhri, dari Ali bin Husain, dari Amr bin Utsman, dari
56
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet ke 2, hlm 77
57
Ibid, hlm 77
58
Muslim bin al-Hajjjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 4; Shahih Muslim 2, (Jakarta: Almahira, 2012), cet ke 1, hlm 57.
Usamah bin zaid bahwa Nabi bersabda, “Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir juga tidak mewarisi orang muslim.”
Dalam konteks hukum Islam di Indonesia, keberadaan hadits tersebut telah
dimentahkan oleh KHI, yakni jika dalam kitab-kitab fikih diberi judul mawani
al-irts, sedangkan dalam KHI tidak diatur jika seseorang terhalang hak waris karena
berbeda agama atau murtad dapat ditentukan menurut putusan hakim yang
memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht).59
Hal ini terdapat dalam pasal 173 KHI yang menyatakan bahwa : seseorang
terhalang menjadi ahli waris, apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena. 60
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris;
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima)
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti berpendapat bahwa jika perbedaan ama
tidak termasuk kelompok penghalang, maka logika hukumannya sama dengan yang
diatur dalam hukum Adat dan Perdata B.W. Jika perbedaan agama bukan merupakan
59
Habiburrahman, Rekonstruksi HUKUM KEWARISAN ISLAM di Indonesia, Cet.I, (Jakarta: KEMENTRIAN AGAMA RI, 2011), h.75-78
60
Habiburrahman, Rekonstruksi HUKUM KEWARISAN ISLAM di Indonesia, Cet.I, (Jakarta: KEMENTRIAN AGAMA RI, 2011), h.75-78
suatu penghalang mendapatkan warisan, maka logikanya sama agama dicocokkan
kepda adat dan berarti juga menerima teori receptive Snouck Hurgronje dan Van
Vollenhoven. Karena hukum kewarisan menurut hukum adat dan hukum Perdata
Barat B.W. tidak mengenal perbedaan agama. Padahal pandangan yang demikian
merupakan kebalikan dari teori receptive a contrario Sajuti Thalib yang sangat
menolak hukum Islam ditundukan kepada hukum Adat.61
Pembagian waris sudah diatur dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor : 368.K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 jo Nomor : 51.K/AG/1995,
tanggal 29 September 1999, bahwa seorang beda agama atau murtad masih bisa
mendapatkan warisan melalui wasiat wajibah dan apabila semasa hidupnya pewaris
tidak memberikan wasiat. Karena pelaksanaanya tidak dipengaruhi atau tidak
bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.62
Wasit Aulawi menjelaskan bahwa salah satu wujud pelaksanaan tersebut
ialah berupa cucu yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Dalam hal ini
wasiat adalah pemberian sejumlah harta sebesar yang diterima oleh ayah atau ibunya
jika mereka masih hidup dengan jumlah maksimal 1/3 harta warisan, sedangkan
pelaksanaan tersebut harus di penuhi beberapa persyaratan yaitu, cucu tersebut belum
pernah menerima wasiat atau hibah dan wasiat wajibah ini dilaksanakan sebelum
61
Ibid., hlm.84-85
62
Arsip Pengadilan Agama Jakrta Utara, Putusan Nomor : 84/Pdt.P/2012/PA.JU
pelaksanaan wasiat ikhtiyariah, mendahului pembagian harta warisan kepada ahli
waris lain.63
63
Muchit A. Karim, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, cet I, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012), h.268.
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama
Pengadilan Agama Jakarta Utara didirikan dengan Surat Keputusan Menteri
Agama Nomor 63 tahun 196