• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN TERHADAP PATEN

B. Dalam Kerangka Internasional

Perlindungan terhadap HaKI dan juga paten tidak hanya di tingkat nasional saja. Akan tetapi juga sampai ke tingkat internasional. Di tingkat internasional, upaya untuk melindungi HaKI berdasarkan pendekatan dari sudut perdagangan telah dilakukan sejak tahun 1979 melalui negosiasi perdagangan internasional. Ada dua alasan kuat yang mendasari upaya tersebut.32

1. Perlindungan Paten dan Alih Teknologi

Pertama,

maraknya pembajakan dan pemalsuan barang-barang yang dilindungi oleh HaKI.

Kedua, adanya perkembangan inventoran teknologi tinggi yang dapat digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa dalam skala internasional.

Persoalan yang saat ini menjadi perhatian dunia internasional mengenai paten adalah menyangkut perlindungan hukum yang diberikan oleh masing- masing negara di dunia. Perlindungan yang demikian menjadi lebih penting lagi setelah adanya kebijakan berbagai-bagai negara tersebut, khususnya mengenai alih teknologi. Teknologi yang dimiliki oleh negara-negara maju cenderung menarik perhatian negara-negara berkembang untuk dapat diambil alih. Sudah barang tertentu pengambil alihan itu tidak dapat dilakukan begitu saja, tanpa memperhatikan aspek hukum yang berkenaan dengan proses pengambilalihannya.

Adanya kerangka WTO sebagai kelangsungan era GATT, memperlihatkan dengan jelas bahwa alih teknologi tidak dapat dilakukan dengan begitu saja, tanpa memperhatikan aspek juridisnya.

32

Kata “alih teknologi” berasal dari kata Transfer of technology (dalam Bahasa Inggris). Terhadap arti kata ini belum ada kesepakatan. Ada yang mengartikan “pengalihan teknologi”, “pemindahan teknologi” dan “alih teknologi”.33

Para sarjana memberikan pengertian kata “teknologi” berbeda-beda, antara lain:34

a. Menurut Dr.Alhamra, teknologi adalah ilmu untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang disusun dengan cara-cara sistematika tertentu dari suatu pengamatan, studi pemeriksaan atau percobaan-percobaan.

b. Menurut Ibrahim Idham, teknologi adalah suatu komposisi cara terdiri atas keterampilan merancang dan melaksanakan (mengelas, membentuk dan merakit) terutama memerlukan pancaindera, keterampilan yang berencana (pengetahuan dan informasi) seperti mengerjakan data-data, rancang bangun dan rekayasa, kontruksi, produksi dan pemeliharaanya.

Dari pengertian yang diuraikan para sarjana di atas terlihat jelas bahwa kata “teknologi” mempunyai arti yang luas, mencakup semua kemampuan untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Ini menyebabkan pengertian Transfer of Technology mencakup pengertian yang luas.

Hilman Surawiguna memberikan arti Transfer of Technology adalah proses mentrasfer dari suatu unit produksi kepada unit lainnya dari persyaratan-

33

persyaratan pengetahuan (know how) untuk memungkinkan penggunaan teknologi tersebut.

Ibrahim Idham mengatakan “alih teknologi” adalah perbuatan mengizinkan dua hal secara serentak, yaitu mengizinkan masuknya secara langsung alat produksi yang maju dan penguasaan atas penambahan barang.

Dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2005 Tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan memyatakan pengertian alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya.

Tujuan dari alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan adalah untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan masyarakat dan negara.

2. Beberapa Konvensi Tentang Paten

Paten merupakan sesuatu hak yang sangat memerlukan perlindungan karena hasil penemuan dari inventor bisa meningkatkan kejejahteraan rakyat dikarenakan perindustrian suatu negara yang semakin maju.

Ada beberapa konvensi internasional yang mengatur tentang perlindungan hak paten ini, antara lain:

1. Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property)

Konvensi paris mengatur tentang hak milik perindustrian yang ditandatangani di Paris pada tanggal 20 Maret 1883 dan telah dilakukan beberapa kali revisi dan penyempurnaan penyempurnaan.35

1. Perihal prosedur;

Revisi pertama dilakukan di brusel, 14 Desember 1900, revisi berikutnya di Washington, 2 Juni 1911, di Den Haag, 6 Nopenber 1925. Selanjutnya berturut- turut di Lissabon, 31 oktober 1958, di Stockholm, 14 Juli 1967 dan terakhir juga di Stocholm 2 Oktober 1986.

Yang menjadi objek perlindungan hak milik perindustrian menurut konvensi ini adalah: patent, model dan rancang bangun (utility models), desain industri (industrial design). Merek dagang (trade mark), nama niaga (trade names), indikasi dan sebutan asal (source or appellation of origin).

Isi dari Konvensi Paris dapat dibagi dalam tiga bagian penting:

2. Prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman wajib bagi negara-negara anggota;

3. Ketentuan-ketentuan perihal patennya sendiri.

Prinsip yang dianut dalam konvensi Paris adalah prinsip persamaan hak nasional (National Treatment). Prinsip ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Menurut prinsip ini, suatu negara anggota berkewajiban untuk berkewajiban untuk memperlakukan orang asing warga negara dari negara lain, sama seperti warga negaranya sendiri dalam masalah paten.

Perlakuan sama ini tidak hanya terbatas pada warga negara dari negara- negara anggota konvensi tetapi bukan warga negara pun yang berdomisili di suatu negara anggota tersebut atau mempunyai usaha industri atau komersil di suatu negara anggota yang berhak atasnya.

Perlakuan persamaan hak ini juga berlaku atas semua kemudahan dan keuntungan yang diatur oleh hukum nasional bagi warga negara (Pasal 2 ayat (1) konvensi paris). Ketentuan ini mengatur tentang tidak dipersyaratkan perlindungan secara timbale balik.

Selanjutnya Pasal 2 ayat (3) mengatur tentang perkecualian pada aturan persamaan hak. Aturan nasional yang berkaitan dengan prosedur yang berhubungan dengan pengadilan administrative, jurisdiksi dan mengenai penguasaan diatur secara tersendiri. Hal ini berarti bahwa adanya prosedur tertentu yang harus dipenuhi oleh orang asing, juga dapat diterapkan pada orang asing yang merupakan warga negara anggota konvensi.

Dalam Pasal 4 diatur mengenai hak prioritas. Dengan adanya hak prioritas, maka apabila suatu permintaan perlindungan atas hak milik perindustrian telah didaftarkan oleh seseorang di salah satu negara anggota konvensi paris, atas permintaan yang sama dapat dimintakan perlindungan yang sama di negara- negara dari sesame anggota konvensi tersebut. Permintaan-permintaan susulan tersebut akan dianggap didaftarkan pada tanggal pendaftaran yang pertama.

Jangka waktu yang diberikan untuk mengajukan hak prioritas selama 6 atau 12 bulan.

Ketentuan tentang hak prioritas tersebut telah diterapkan pada Pasal 27 Undang-undang Paten No.14 tahun 2001. Dimana permohonan paten yang menggunakan hak prioritas harus diajukan dalam waktu dua belas (12) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan paten yang pertama kali diterima di negara manapun yang juga ikut serta dalam konvensi tersebut atau anggota

Agreement Esttablishing the world Trade Organization.

Selain hak prioritas, keuntungan yang diberikan dalam onvensi ini adalah apa yang disebut kebebasan paten yang diatur dalam Pasal 4 bis. Menurut ketentuan ini bahwa paten yang telah diberikan disuatu negara anggota harus diperlakukan secara tersendiri dan tidak dapat dikaitkan dengan perlakuan terhadap paten tentang penemuan tersebut di negara lain, termasuk perlakuan yang diberikan oleh negara yang bukan anggota.

Suatu hal yang menjadi perhatian dan penekanan dalam konvensi paris ini adalah Pasal 5 ayat (1) yang memberi gambaran yaitu “bahwa sesuatu negara anggota tidak boleh membatalkan suatu paten yang telah diberikannya hanya karena pemilik paten tersebut telah melakukan impor barang-barang patennya dari suatu negara anggota lain, pada ayat (2) memberikan keringanan yang menggariskan dan menetapkan bahwa bagaimanapun pemilik paten tetap berkewajiban untuk mengeksploitasi petennya sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara di mana ia mengimpor barang-barng patennya”.

Ketentuan Pasal 5A konvensi Paris mengatur tentang lisensi wajib. Pasal ini menyatakan “bahwa tiap negara boleh mengambil tindakan hukum/legislatif yang mengatur cara pemberian lisensi wajib. Lisensi wajib ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan yang mungkin disebabkan oleh adanya hak eksklusif

yang diberikan oleh paten, misalnya tidak dilaksanakannya paten atau pelaksanaanya yang tidak cukup baik.

Tentang lisensi wajib ini dalam Undang-undang paten No.14 tahun 2001 mengaturnya dalam Pasal 74-87. Menurut Pasal 74 lisensi wajib adalah lisensi untuk melaksanakan paten yang diberikan berdasrkan keputusan Direktorat Jenderal atas dasar permohonan. Lisesnsi wajib ini baru berlaku setelah lewat waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian paten. Alasan dilaksanakannya lisensi wajib menurut Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Paten No.14 Tahun 2001 adalah bahwa paten yang bersngkutan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh pemegang paten.

2. Perjanjian Kerja Sama Paten (Patent Coorperation Treaty)

Patent Coorperation Treaty (PCT), didirikan pada tanggal 19 Juni 1970 di Washington dalam suatu konperasi para diplomat dari 78 negara dan 22 organisasi internasional.

PCT telah diubah dua kali yaitu pada tahun 1979 dan tahun 1984. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 1988 sebanyak 40 negara telah menyatakan tunduk kepada PCT.

Tujuan permohonan internasional paten adalah agar paten tersebut mendapat perlindungan di beberapa negara. Untuk itu si pemohon harus mengajukannya di setiap negara di mana perlindungan itu dikehendaki. Dengan demikian setiap kantor nasional masing-masing negara harus melaksanakan penelitian terhadap permohonan paten tersebut. Sistem ini tentu banyak

memerlukan pekerjaan, waktu dan biaya. Pemecahan permasalahan inilah yang menjadi tujuan dari PCT.

Untuk itu PCT mengadakan sistem permohonan internasional dan publikasi internasional, pemeriksaan permulaan internasional atas setiap permohonan paten yang lebih berdaya guna, hemat dan sederhana, jika perlindungan itu dikehendaki secara internasional.

Adapun sistem permohonan internasional menurut PCT adalah: dengan kemungkinan untuk meminta hak prioritas berdasarkan Konvensi Paris, setiap warga negara dari negara-negara yang mengadakan perjanjian berhak untuk mengajukan permohonan kepada PCT.

PCT akan membuat suatu badan penelitian internasional, akan tetapi karena badan tersebut belum ada, maka untuk sementara PCT menunjuk kantor urusan paten yang telah memenuhi syarat untuk melakukan penelitian. Kantor- kantor yang telah memenuhi syarat adalah, kantor paten di Rusia, Jepang, Swedia dan Amerika Serikat.

Hasil penelitian dari kantor paten tersebut dikirimkan kepada pemohon dan Biro Internasional yang akan mengirim pengiriman laporan kepada kantor paten dari negara yang ditunjuk.

PCT akan memberikan tahap kedua, yaitu pemeriksaan permulaan internasional. Pada tahap ini suatu penemuan akan diperiksa, apakah bersifat inventif dan dapat diterapkan dalam kegiatan industri.

Selain mengatur tentang permohonan internasional atas permohonan paten, PCT juga memberikan bantuan teknik yang merupakan perhatian khusus bagi negara-negara berkembang. PCT sepakat bahwa bahwa biro internasional dengan biaya rendah harus memberikan pengetahuan teknik dan teknologi untuk negara-negara tersebut, termasuk pengetahuan yang ada yang dipublikasikan berdasarkan dokumen yang diterbitkan. Selanjutnya sebuah komisi bantuan teknik telah dibentuk yang bertugas untuk menyelenggarakan dan mengawasi bantuan teknik dalam mengembangkan sistem paten secara wilayah dan secara terpisah.36 3. Konvensi Strasbourgh

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian sesuatu yang baru, sejumlah negara merasa perlu untuk mendapatkan suatu sistem klasifikasi yang diterima secara internasional untuk paten, utility models dan sertfikat penemuan.

Pada tahun 1954 Dewan Eropa membuat sutu konvensi yang berhubungan dengan klasifikasi tersebut. Klasifikasi tersebut sudah diterima dengan baik, akan tetapi Dewan Eropa tidak mempunyai sarana yang cukup untuk menjaga klasifikasi tersebut agar tetap mutakhir. Oleh karena itu dianggap baik, agar klasifikasi tersebut diatur oleh WIPO.

Konvensi Strasbourgh dibuat pada tahun 1971 dan kemudian diubah pada tahun 1979. Perjanjian ini diikuti oleh 27 negara pada tanggal 1 Januari 1988. Menurut konvensi ini, semua anggota konvensi paris dapat tunduk kepada konvensi ini.

36

4. Konvensi Budapest

Konvensi ini dibuat pada tahun 1977 dan kemudian diubah pada tahun 1980. Konvensi ini berkaitan dengan paten-paten yang mencakup penggunaan jasad renik baru.

Persoalan bagi seorang penemu adalah jika penemu tersebut ingin mendapatkan perlindungan internasional, penemu harus memasukkan contoh dari jasad renik yang bersangkutan di negara yang dimintakan perlindungan.

Masalah inilah yang dipecahkan oleh konvensi Budapest yang memberikan kemungkinan untuk melaksanakan pemasukan (deposit) tunggal jasad renik tersebut kepada badan penyimpanan (depositry) internasional.

Negara-negara yang mengadakan perjanjian dari kantor-kantor wilayah seperti kantor urusan paten Eropa diwajibkan melakukan hal itu untuk kepentingan Undang-Undang Paten nasional mereka. Pada saat itu terdapat delapan belas badan penerima dimaksud, misalnya Central Bureau Schimmelculttures Belanda.

5. Konvensi Paten Eropa

Konvensi ini dibuat pada tahun 1973 dan berlaku di tiga belas negara. Tujuannya adalah menciptakan paten Eropa yang dapat diperoleh berdasarkan sebuah permohonan dan berlaku dengan menerapkan persyaratan yang sama seperti paten nasional di negara di mana perlindungan itu dimintakan. Hal ini berarti paten Eropa merupakan himpunan paten nasional.

Permohonanya harus diajukan kepada kantor paten Eropa di Munich atau cabangnya di Den Haag.

Menurut konvensi ini, jangka waktu paten selam 20 (dua puluh) tahun. Paten ini dapat dicabut tetapi hanya dasar alasan yang tercantum dalam konvensi tanpa menghiraukan undang-undang nasional.

Konvensi ini juga menentukan penemuan-penemuan yang tidak dapat diberi paten yaitu: teori-teori ilmiah, tenuan-temuan dan metode matematika, ciptaan estetis, pola, peraturan dan metode untuk melaksanakan tindakan kejiwaan murni, melakukan permainan atau melaksanakan usaha dan program untuk computer, dan penyajian informasi.

Syarat-syarat untuk diberikan paten atas penemuan menurut konvensi ini adalah, bahwa suatu penemuan menurut konvensi ini adalah, bahwa suatu penemuan baru yakni tidak merupakan bagian dari bentuk seni. Kemudian sutu penemuan harus mengandung langkah inventif, dan suatu penemuan haruslah rentan terhadap penerapan dalam industri yang berarti bahwa penemuan tersebut dapat dibuat dan digunakan dalam jenis industri apapun termasuk pertanian.

3. Paten, Penanaman Modal Asing dan Alih Teknologi

Tidak dapat disangkal bahwa paten mempunyai peranan vital dalam bidang kemajuan teknologi dalam setiap negara. Oleh karena itu, perlindungan hukum bagi penemuan di bidang teknologi adalah mutlak demi penggunaannya yang bermanfaat.

Masalah perlindungan hukum dan pengalihan teknologi melalui sistem paten telah menjadi perhatian dunia internasional, terutama bagi negara-negara berkembang yang kemajuan teknologinya jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara maju.

Masalah bagi negara berkembang adalah keperluan akan teknologi untuk pembangunan ekonominya, sedangkan bagi negara-negara maju merupakan kepentingan dalam perluasan pasar dan teknologi dan hasil-hasil industrinya.

Masalah perlindungan hukum bagi pengalihan teknologi dalam sistem paten pertama kali dikemukakan di forum internasional oleh Brazilia di sidang PBB pada bulan Nopember 1961, yang mengajukan usul resolusi dengan judul,

The Role of Patents in the Transfer of Technologi to bunde development Countrries (peranan paten dalam alih teknologi ke negara-negara berkembang). Dalam amar resolusi tersebut PBB diminta untuk menyusun laporan tentang:

1. Suatu survei atas perundang-undangan nasional tentang paten, dengan menitikberatkan pada perlakuan yang diberikan pada pemilik paten asing.

2. Suatu penyelidikan mengenai akibat-akibat dari pembayaran royalti kepada orang asing, atas neraca pembayaran dan negara-negara berkembang.

3. Suatu analisis pendahuluan dari perundang-undangan nasional perihal paten di negara-negara berkembang, dalam rangka pembangunan ekonomi.

4. Suatu petunjuk akan kemungkinan perubahan perundang-undangan untuk menunjang rencana pembangunan ekonomi, dan

5. Suatu rekomendasi mengenai kemungkinan untuk penyelenggaraan suatu konfrensi internasional guna menyesuaikan konvensi paten-paten yang sekarang yang berlaku dengan kebutuhan-kebutuhan negara berkembang.

Kemudian negara-negara maju mengubah amar ke-5 tersebut dengan mengubah tujuan konvensi internasional menjadi, mempelajari masalah-masalah berkenaan dengan pemberian perlindungan dan penggunaan paten, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dari konvensi-konvensi internasional yang sekarang berlaku dari negara-negara berkembang, dan menggunakan peralatan yang ada di UNI internasional untuk perlindungan milik internasional.

Usaha alih teknologi juga dilakukan di WIPO yang dibentuk berdasarkan

Convention Establishing the World Intelectual Property Organization, yang ditandatangani di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini berdasrkan Keputusan Presiden No.24 tahun 1979 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Desember 1979.

Alasan yang paling kuat yang mendukung memberikan paten itu membantu proses alih teknologi dan membantu perkembangan ekonomi adalah kebanyakan teknologi yang diperlukan bagi perkembangan industri dipatenkan, dan paten tersebut dimiliki oleh perusahaan-perusahaan di negara-negara industri. Pengungkapan tekhnologi yang terdapat dalam pemberian paten dan yang merupakan pengetahuan umum jarang dapat dimungkinkan penerapannya tanpa

bantuan teknis dari pemegang paten tersebut. Perusahaan-perusahaan tidak akan memberikan cara pelaksanaan serta bantuan teknis ini dengan syarat-syarat yang mungkin akan merampas perlindungan yang diberikan paten,37

37

T. Mulya Lubis dan M.Richard Bukbaum, Peranan Hukum Perekonomian di Negara-

sehingga setiap orang akan menggunakan teknologi yang tersedia, dan hanya dapat diperoleh dari perusahaan-perusahaan yang memiliki paten tersebut, yang mungkin menolak untuk menjual patennya. Jadi paten merupakan syarat yang perlu untuk memberikan suatu perlindungan.

Disamping alih teknologi melalui lisensi paten kepada perusahaan lokal dan ketentuan mengenai Know hownya yang diperlukan, pemberian paten asing juga mendorong penanaman modal asing. Perusahaan asing akan berat hati mendirikan pabrik yang menggunakan teknologi yang dipatenkan, di negara di mana perlindungan paten tidak diterima. Perusahaan tersebut tidak akan berminat untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan lokal.

Alasan-alasan ini telah diserang dari berbagai sudut dengan mengemukakan bahwa, ditunjukkan bahwa sedikit sekali paten-paten yang didaftarkan oleh orang asing di negara-negara berkembang benar-benar berjalan di negara tersebut. Kontrak teknologi cukup terpisah dan berbeda dengan kontrak- kontrak untuk memberikan lisensi paten dan bahwa yang tersebut terdahulu tidak akan terjadi tanpa belakangan. Paten ataupun yang tidak diserahkan lisensinya kepada pengusaha domestik tidak dapat dialihkan teknologinya.

Kelemahan dan ketidakpastian tentang bukti-bukti jelas dari sifat inkonklusif pandangan menyeluruh studi PBB, memberikan pandangan tentang nilai paten internasional bagi kebanyakan negara berkembang.

Dalam kaitannya dengan proses alih teknologi, suatu hasil yang perlu dipertanyakan apakah benar telah terjadi alih teknologi di Indonesia. Bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA), banyak teknologi asing masuk ke Indonesia melalui perusahaan-perusahaan penanaman modal asing dalam bentuk PT.PMA

Dalam Pasal 1 angka (8) Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Asing ( UUPMA) disimpulkan bahwa pengertian modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.

Dari ketentuan pasal tersebut dapatlah dimengerti bahwa pengertian modal asing termasuk di dalamnya pengerian teknologi yang masuk ke Indonesia, melalui perusahaan PT.PMA.

Menurut UUPMA, penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan: 1. Oleh pihak asing (perseorangan atau badan hukum) ke dalam suatu

perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing,atau 2. Dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional38

38

Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Internasional Dalam Penananaman Modal Asing di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1972, hal.29.

Dalam butir satu di atas, tidak menimbulkan masalah yang terlalu rumit, karena modal, kekuasaan dan pengambilan keputusan (decision making)

sepenuhnya di tangan pihak asing, sepanjang hal itu disetujui oleh pemerintah Indonesia atau tidak melanggar hukum dan ketertiban umum yang diakui di Indonesia. Yang rumit adalah bentuk-bentuk kerjasama modal asing dan modal nasional karena akan ditemukan berbagai variasi antara perimbangan modal dan kekuasaan, sehingga kita harus melihat keadaan perusahaan yang sebenarnya dari kerjasama tersebut.

Dalam upaya terselenggaranya penanaman modal asing di Indonesia, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya, dengan memberikan kemudahan-kemudahan yang dibutuhkan oleh investor asing baik kemudahan di bidang pertanahan, dan fasilitas yang lain, seperti keringanan pajak.

Undang-Undang Paten No.14 tahun 2001 sebenarnya merupakan sarana alih teknologi. Pada saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang Paten. Oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan masalah alih teknologi melalui sistem paten telah diatur dalam Undang-Undang Paten ini.

Undang-Undang Paten No.14 Tahun 2001 tidak hanya memberikan perlindungan hukum terhadap paten-paten yang dimiliki oleh orang Indonesia (paten nasional) tetapi juga memberikan kesempatan kepada warga negara asing untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap patennya di Indonesia. Ini merupakan konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia di dalam konvensi Paris, dimana konvensi ini mempunyai prinsip persamaan hak nasional (National Treatment Principle).

Terbukanya kesempatan kepada warga negara asing untuk mendapatkan perlindungan patennya di Indonesia diatur dalam Pasal 26, 27 dan 29 Undang- Undang No.14 tahun 2001. Pasal-pasal ini mengatur tentang permintaan paten yang diajukan oleh warga negara asing.

Menurut Idham Ibrahim “adanya perlindungan terhadap paten asing tidaklah cukup untuk mengalihkan teknologi dari negara maju, apabila paten tersebut tidak dilaksanakan di negara berkembang. Hal ini disebabkann negara industri maju lebih senang mengerjakan patennya di negaranya sendiri atau negara industry maju lainnya, kemudian hasilnya dipasarkan di negara berkemban. Dengan demikian, biaya produksi lebih rendah, investasi lebih menguntungkan, pemasaran akan lebih luas, efisiensi lebih tinggi, keuntungan lebih besar, jika pate tersebut dilaksanakan di negara berkembang”.

Sebaliknya negara berkembang akan lebih senang, agar paten asing tersebut dilaksanakan di negaranya, karena hal ini menjadi nilai tambah di