• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENURUT UNDANG-UNDANG N0.14 TAHUN

A. Sejarah Perkembangan Pengaturan Hak Paten

Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah sutu hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman Pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang hak kekayaan intelektual yang sebenarnya merupakan peraturan pemberlakuan undang-undang pemerintahan Hindia- Belanda yang berlaku di negeri Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordansi.

Pada masa itu, bidang hak kekayaan intelektual mendapat pengakuan baru di 3 (tiga) bidang hak kekayaan intelektual, yaitu bidang Hak Cipta, Merek Dagang dan industri, serta Paten.

Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut:8

a. Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang- Undang Hak Cipta; S.1912-600).

b. Reglement Industriele Eigendom kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912 jo.S.1913-214).

8

c. Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis S.1911- 33, S.1922-54).

Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pada saat itu adalah bersifat pluralistis sesuai dengan golongan penduduknya, sehingga ada peraturan perundang-undangan Eropa yang dinyatakan berlaku bagi orang-orang Bumiputera (Indonesia), ada pula peraturan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan secara khusus dibuat untuk orang-orang Bumiputera (Indonesia). Peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang diatur dalam Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912- 545 jo.S.1913-214), Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang Hak Cipta, S.1912-600) dan Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis s.1911-33, S.1922-54), merupakan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan berlaku tidak hanya untuk golongan Eropa, melainkan juga berlaku untuk golongan bukan Eropa. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual merupakan peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi semua golongan penduduk Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan peralihan Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang baru hasil produksi legislasi

Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam hukum positip pertama kalinya dengan diundangkannya Undang-Undang Merek pada Pahun 1961, disusul dengan Undang-Undang Hak Cipta Tahun 1982, dan Undang-Undang Paten Tahun 1989.

Lahirnya perundangan mengenai paten tidak lepas dari kepentingan perdagangan (ekonomi). Peraturan paten Venesia tahun 1474 memuat aturan yang mewajibkan penemu untuk mendaftarkan penemuannya dan orang lain dilarang meniru atau memproduksinya selama jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tanpa izin.

Hak paten atau hak oktroi telah diadakan sejak abad ke-14 dan ke-15, misalnya di Italia dan Inggris. Akan tetapi, sifat pemberian hak tersebut pada waktu itu tidak/ bukan ditujukan atas suatu pendapatan (uitvinding), namun lebih diutamakan untuk menarik para ahli dari luar negeri. Maksudnya, agar para ahli menetap di negara-negara yang mengundangnya untuk mengembangkan keahliannya masing-masing di negara pengundang dan bertujuan untuk kemajuan warga/penduduk dari negara yang bersangkutan. Jadi oktroi itu bersifat sebagai semacam “izin menetap”. Namun demikian memanglah kehadiran inventor tadi di negeri yang baru didasarkan atas keahliannya dalam bidang tertentu, karena itu ia boleh tinggal menetap. Jadi ada juga kesamaannya dengan penggunaan istilah paten dewasa ini. Royaltinya ketika itu ia boleh tinggal di negara dengan perlakuan khusus, karena ia dapat memberikan kontribusi positip bagi kemajuan rakyat di negeri tersebut.

Baru pada abad ke-16, diadakan peraturan pemberian hak paten/oktroi bagi hasil-hasil pendapatan (uitvinding), yaitu negara-negara Venesia, Inggris,

Belanda, Jerman, Austria, dan lain-lain negara. Hak paten atau hak oktroi itu bersifat semacam “izin menetap”. Jadi, berbeda dengan pemakain pengertian materil istilah itu pada dewasa ini.

Kemudian melalui perkembangan waktu dan kemajuan teknologi, terutama pada abad ke-20, sifat pemberian paten/oktroi bukan lagi sebagai hadiah, melainkan pemberian hak atas suatu temuan yang diperolehnya. Perkembangan semacam itu terjadi di negara-negara Amerika Utara dan Amerika Selatan. Kemudian di negara Amerika Serikat terbentuk undang-undang paten yang tegas mengubah sifat pemberian hak paten/oktroi itu. Lalu diikuti oleh negara-negara seperti Inggris, Perancis, Belanda dan Rusia. Kini pada abad ke-20 peraturan perundangan lembaga paten hampir meliputi semua negara termasuk kawasan asia.

Kalau dilihat dari perkembangan pengaturan peraturan perundang- undangan paten itu, Inggris mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan undang-undang paten di banyak negara di dunia. Sebab, di negara Inggris pertumbuhan hak paten sangat baik sekali. Kemungkinan pengaruh itu sebagai akibat kedudukan Inggris sebagai negara induk penjajah sampai pada abad pertengahan abad ke-20 dan satu dua abad sebelumnya, mempunyai banyak tanah jajahan yang membawa pengaruh hukum pula kepada wilayah kolonial tersebut.

Sebagaimana diketahui, undang-undang yang ada yaitu Octrooiwet 1910 S Nomor 33 yis S 11-136, S 22-54 mulai berlaku 1912 telah dinyatakan tidak berlaku oleh pihak yang berwajib, karena ketentuan-ketentuan dan pengaturan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dirasakan tidak serasi dengan

suasana Negara merdeka. Ketentuan menurut peraturan tersebut bahwa permintaan octrooi di wilayah Indonesia diajukan melalui Kantor Pembantu di Jakarta yang selanjutnya diteruskan ke Octrooiraad di negera Belanda. Terang keadaan ini tidak dapat diterima/dipertahankan karena akan bertentangan dengan kedaulatan Negara Republik Indonesia yang merdeka. Sementara itu, Menteri Kehakiman Republik Indonesia melalui pengumumannya tanggal 12 Agustus 1953 Nomor J.S.5/41/4 B.N.55 memberikan upaya yang bersifat sementara, yaitu berupa permohonan sementara pendaftaran octrooi mulai tanggal 1 November 1953.

Akan tetapi, keadaan yang bersifat sementara itu tetap berlaku sampai sekarang dan belum ada peraturan yang bersifat defenitif positip. Karena tetap dalam keadaan berlarut-larut, lebih dari 23 tahun sifat “kesementaraannya” maka sudah tiba waktunya untuk tidak menunda-nunda lagi dikeluarkannya peraturan perundang-undangan octrooi atau Paten Nasional yang bersifat modern. Artinya, disesuaikan dengan keadaan perkembangan pembangunan yang nyata.

Pengaruh perkembangan teknologi sangat besar terhadap kehidupan sehari-hari dan dalam beberapa dasawarsa akhir-akhir ini, perkembangan tersebut sangat pesat. Perkembangan itu tidak hanya di bidang teknologi tinggi seperti komputer, elektronika, dan bioteknologi, tetapi juga di bidang mekanik, kimia atau lainnya. Bahkan, sejalan dengan itu, makin tinggi pula kesadaran masyarakat untuk meningkatkan pendayagunaan teknologi yang sederhana.

Bagi Indonesia, sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, pentingnya peranan teknologi merupakan hal yang tidak terbantah.

Namun, perkembangan teknologi tersebut belum mencapai sasaran yang diinginkan. Hal ini diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (sekarang program pembangunan jangka panjang), dimana pengembangan teknologi belum dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya sehingga belum memperkuat kemampuan Indonesia dalam rangka menghadapi persaingan global. Untuk meningkatkan perkembangan teknologi, diperlukan adanya suatu sistem yang dapat merangsang perkembangan teknologi dalam wujud perlindungan terhadap karya intelektual, termasuk paten yang sepadan.

Dalam kaitan itu, Indonesia telah memiliki undang-undang paten, yaitu Undang-Undang No.6 tahun 1989 Tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 39) jo Undang-Undang No.13 Tahun 1997 (selanjutnya disebut Undang- Undang Paten- lama), dan pelaksanaan paten telah berjalan, dipandang perlu melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Paten- lama. Disamping itu, masih ada beberapa aspek dalam Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut persetujuan TRIPs) yang belum ditampung dalam Undang-Undang Paten tersebut. Seperti diketahui, Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the world trade Organization

(Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) selanjutnya disebut World Trade Organization (lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57) dan persetujuan TRIPs merupakan salah satu lampiran dari perjanjian ini. Oleh sebab itu maka Undang- Undang Paten-Lama diubah ke Undang-Undang N0.14 Tahun 2001 Tentang Paten.

Mengingat lingkup perubahan serta untuk memudahkan penggunaannya oleh masyarakat, Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001 disusun secara menyeluruh dalam suatu naskah (single teks) pengganti Undang-undang Paten- Lama. Dalam hal ini, ketentuan dalam Undang-undang Paten lama yang substansinya tidak diubah dituangkan kembali dalam undang-undang ini.9

1. Penyempurnaan

Secara umum perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Paten- Lama meliputi penyempurnaan, penambahan, dan penghapusan. Perubahan- perubahan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Terminologi

1) Istilah invensi digunakan untuk penemuan dan istilah inventor

digunakan untuk penemu. Istilah penemuan diubah menjadi invensi, dengan alasan istilah invensi berasal dari invention yang secara khusus digunakan dalam kaitannya dengan paten. Dengan ungkapan lain, istilah invensi jauh lebih tepat bila dibandingkan penemuan, sebab kata penemuan memiliki aneka pengertian. Termasuk dalam pengertian penemuan, misalnya menemukan benda yang tercecer. Sedangkan istilah invensi dalam kaitannya dengan paten adalah hasil serangkaian kegiatan sehingga tercipta sesuatu yang baru atau tadinya belum ada (tentu dalam kaitan hubungan antar manusia, dengan kesadaran bahwa semuanya tercipta karena Tuhan). Dalam bahasa Inggris juga dikenal

9

Rachmad Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2003, hal. 197

antara lain kata-kata to discover, ti find, dan to get. Kata-kata ini secara tajam berbeda artinya dengan to invent dalam kaitannya dengan paten. Istilah invensi sudah terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Secara praktis pun istilah Indonesia yang merupakan konversi dari bahasa asing yang sudah ada padanannya dalam Bahasa Indonesia seperti invensi ini banyak kita temukan, antara lain kata eksklusif (dari eksklusive). Kata investasi (investment), kata reformasi (reform atau

reformation), atau kata riset (research) yang sudah digunakan secara umum atau resmi. Bahkan, beberapa kata tersebut merupakan bagian nama instansi Pemerintah, seperti Kantor Menteri Negara Investasi, atau Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Sejalan dengan itu kata penemu menjadi inventor.

2) Invensi tidak mencakup: (a) Kreasi estetika; (b) Skema;

(c) Aturan dan metode untuk melakukan kegiatan: (1) Yang melibatkan kegiatan mental;

(2) Permainan; (3) Bisnis;

(d) Aturan dan metode mengenai komputer; (e) Presentasi mengenai suatu informasi

3) Nama Kantor Paten yang dinyatakan dalam Undang-Undang Paten- Lama diubah menjadi Direktorat Jenderal. Perubahan istilah ini

dimaksudkan untuk menegaskan dan memperjelas instusi Hak atas Kekayaan Intelektual sebagai suatu kesatuan sistem.

b) Paten Sederhana

Dalam Undang-Undang ini, objek Paten Sederhana tidak mencakup proses, penggunaan, komposisi, dan produk yang merupakan product by process. Objek paten sederhana hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat kasat mata (tangible), bukan yang tidak kasat mata (intangible). Di beberapa negara, seperti Jepang, Amerika Serikat, Filipina, dan Thailand, pengertian Paten Sederhana disebut utility model, petty patent, atau simple patent, yang khusus ditujukan untuk benda (article) atau alat (device). Beberapa dari Undang-Undang Paten-Lama, dalam undang-undang ini perlindungan Paten Sederhana yang semula tidak diumumkan sebelum pemeriksaan substantive diubah menjadi diumumkan. Permohonan Paten Sederhana diumumkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal penerimaan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat luas guna mengetahui adanya permohonan atas suatu invensi serta menyampaikan pendapatnya mengenai hal tersebut. Selain itu dengan pengumuman tersebut, dokumen permohonan yang telah diumumkan tersebut segara digunakan sebagai dokumen pembanding, jika diperlukan dalam pemeriksaan substantive tanpa harus melanggar kerahasian invensi.

Di samping itu, konsep perlindungan bagi Paten Sederhana yang diubah menjadi sejak tanggal penerimaan, bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada Pemegang Paten Sederhana mengajukan gugatan ganti

rugi akibat pelanggaran terhitung sejak tanggal penerimaan. Gugatan ganti rugi baru dapat diajukan setelah Paten Sederhana diberikan.

Sifat baru dari Paten Sederhana dalam Undang-Undang Paten-Lama tidak begitu jelas. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kebaruan bersifat universal. Disamping tidak jelas, ketentuan dalam Undang-Undang Paten- Lama memberikan kemungkinan banyaknya terjadi peniruan invensi dari luar negeri untuk dimintakan paten Sederhana.

Jangka waktu pemeriksaan substantive atas Paten Sederhana yang semula sama dengan Paten, yakni dari 36 (tiga puluh enam) bulan diubah menjadi 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan. Hal itu dimaksudkan untuk mempersingkat jangka waktu pemeriksaan substantive agar sejalan dengan konsep Paten dalam rangka meningkatkan layanan kepada masyarakat.

c) Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden

Terdapat beberapa pengaturan yang dalam Undang-Undang Paten-Lama ditetapkan dengan Keputusan Menteri, di dalam undang-undang ini ditetapakan dengan Keputusan Presiden dan yang di dalam Undang- Undang Paten-Lama ditetapkan dengan Keputusan Presiden, di dalam undang-undang ini diubah dengan Peraturan Pemerintah, atau sebaliknya. d) Pemberdayaan Pengadilan Niaga

Mengingat bidang Paten sangat terkait erat dengan perekonomian dan perdagangan, penyelesaian perkara perdata yang berkaitan dengan Paten

harus dilakukan secara tepat dan segera. Hal itu berbeda dari Undang- Undang Paten-Lama yang penyelesaian perdata di bidang Paten dilakukan Pengadilan Negeri.

e) Lisensi-Wajib

Dengan Undang-Undang ini, instansi yang ditugasi untuk memberikan lisensi-wajib adalah Direktorat Jenderal. Berbeda dengan undang-undang Paten-Lama yang menugaskan pemberian lisensi wajib kepada Pengadilan Negeri. Hal itu dimaksudkan untuk penyederhanaan prosedur dan meningkatkan layanan kepada masyarakat, serta sejalan dengan yang dilakukan di berbagai negara, seperti Thailand, Filipina, Brazil, dan Cina. 2. Penambahan

a) Penegasan mengenai istilah hari

Mengingat bahwa istilah hari dapat mengandung beberapa pengertian, dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah hari adalah hari kerja.

b)Invensi yang tidak dapat diberi paten

Penambahan Pasal 7 huruf d dimaksudkan untuk mengakomodasi usulan masyarakat agar bagi invensi tentang makhluk hidup (yang mencakup manusia, hewan, dan tanaman) tidak dapat diberi paten. Sikap tidak dapat dipatenkan invensi tentang manusia karena hal itu bertentangan dengan moralitas agama, etika, atau kesusilaan. Di samping itu, makhluk hidup mempunyai sifat dapat merefleksi dirinya sendiri. Pengaturan di berbagai negara sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan teknologi masing-masing.

Persetujuan TRIPs hanya meletakkan persyaratan minimum pengaturan mengenai kegiatan-kegiatan yang boleh atau tidak boleh dipatenkan. Paten diberikan terhadap invensi mengenai jasad renik atau proses nonbiologis serta proses mikrobiologis untuk memproduksi tanaman atau hewan dengan pertimbangan bahwa perkembangan bioteknologi yang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah nyata menghasilkan berbagai invensi yang cukup besar manfaatnya bagi masyarakat. Dengan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam bidang paten diperlukan sebagai penghargaan (rewards) terhadap berbagai invensi tersebut.

c) Penetapan Sementara Pengadilan

Penambahan Bab XIII tentang Penetapan Sementara Pengadilan dimaksudkan sebagai upaya awal untuk mencegah kerugian yang lebih besar akibat pelaksanaan paten oleh pihak yang tidak berhak.

d)Penggunaaan Penerimaan Negara Bukan Pajak

Berbeda dari Undang-Undang Paten–Lama, dalam undang-undang ini diatur ketentuan mengenai kemungkinan menggunakan sebagian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh Direktorat Jenderal yang berasal dari semua biaya yang berhubungan dengan Paten.

Yang dimaksud dengan menggunakan adalah menggunakan PNBP berdasarkan sistem dan mekanisme yang berlaku. Dalam hal ini, seluruh PNBP disetorkan langsung ke kas negara sebagai PNBP. Kemudian Direktorat Jenderal mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan untuk diizinkan menggunakan sebagian PNBP sesuai dengan keperluan yang dibenarkan oleh undang-undang, yang saat ini hal itu diatur dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 43 yang mengatur penggunaan PNBP)

e) Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan pada umumnya akan memakan waktu yang lama dan biaya besar. Mengingat sengketa Paten akan berkaitan erat dengan masalah perekonomian dan perdagangan yang harus tetap berjalan, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti Arbritase atau Alaternatif Penyelesaian Sengketa yang dimungkinkan dalam undang-undang ini, selain relatif lebih cepat, biayanya pun lebih ringan.

f) Pengecualian dari Ketentuan Pidana

Undang-undang ini mengatur hal-hal yang dikategorikan tindak pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan masyarakat. Pengaturan semacam ini terdapat dalam legislasi di berbagai negara. g) Penghapusan

Di samping penyempurnaan dan penambahan seperti tersebut di atas, dengan undang-undang ini, dilakukan penghapusan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-undang Paten-Lama yang dinilai tidak sejalan dengan persetujuan TRIPs, misalnya ketentuan yang berkaitan dengan penundaan pemberian Paten dan lingkup hak eksklusif pemegang Paten.