• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : KEKERASAN DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE

3.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam perkebunan Versi BDSHKC

3.2.3 Kekerasan Represif

3.2.3.1 Dalam Perjalanan menuju Tanah Deli

Dalam novel BDSHKC, kehidupan kuli-kuli kontrak pun tidak pernah lepas dari pengekangan hak dan kebebasan. Ketika mereka disebut sebagai orang kontrak

yang terikat dengan ikatan kerja itu, maka mereka pun harus bersiap untuk kehilangan hak dan kebebasannya. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Mereka mendapat penamaan baru: orang-orang kontrak-orang yang terampas kemerdekaannya. Mereka, kerumunan pria dan perempuan yang tergadai jiwa dan raga. Setelah meneken secarik kertas itu, seketika tegaslah garis nasib mereka. Mereka adalah budak di satu sisi dan ada majikan di sisi lainnya. Mereka, orang kontrak! Orang-orang yang terikat dengan peraturan yang mereka sendiri tidak bisa membacanya.” (BDSHKC:19-20)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa sebutan orang kontrak itu menandai hilangnya sebuah kebebasan. Mereka hanya bisa diam dan patuh terhadap perintah tuan kebun. Ikatan kerja yang tidak mereka ketahui itu membuat mereka terjebak ke dalam lingkaran perbudakan. Seperti yang dikemukakan oleh Camara (2005:31) bahwa tidak seorang pun dilahirkan untuk menjadi budak. Tidak seorang pun berusaha untuk mengalami ketidakadilan, penghinaan, dan ketidakberdayaan (restrictions). Karena ketika seseorang dianggap sebagi budak maka kebebasannya sebagai orang yang merdeka akan hilang dengan sendirinya.

Perbudakan ini terjadi akibat berlakunya sistem ordonansi kuli (koeli ordonantie), yakni suatu kebijakan yang berisi tentang peraturan kuli yang khusus berkaitan dengan kontrak perkebunan dan keperluan pemindahan kuli-kuli ke seberang lautan. Kemudian untuk mencegah terjadinya pelanggaran kontrak, maka diberlakukan pula sanksi pidana (poenale sanctie) secara keras. Pekerja yang menolak bekerja atau dengan cara lain melanggar aturan-aturan yang telah tercantum di dalam kontrak dapat dijatuhi hukuman kurungan, denda atau kerja paksa.

Adanya aturan tersebut hanya menguntungkan tuan kebun di satu pihak, namun menyengsarakan kuli di pihak lainnya. Aturan poenale sanctie ini dijadikan tameng oleh pihak tuan kebun untuk berbuat sewenang-wenang kepada kuli.

“Tuan-tuan yang saya hormati,” De Coningh melanjutkan. “Secara moral, sistem kontrak kerja bagi kuli-kuli itu tidak dapat dipertanggungjawabkan apalagi dipertahankan. Poenale sanctie adalah perbudakan yang dibungkus oleh aturan hukum. Demi kepentingan kapitalisme industri perkebunan, perbudakan di Sumatera Timur disahkan oleh hukum. Ini terbukti dari ordonansi kuli dan kontrak kerja yang ditetapkan Gubernur Jenderal itu.” (BDSHKC:61)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa ordonansi kuli itu tidak seharusnya ada. Karena apabila dilihat dari sudut etika dan moral, ordonansi kuli tersebut melegalkan adanya perbudakan. Dengan berlandaskan pada aturan itu, para tuan kebun seolah-olah memiliki hak untuk menguasai sepenuhnya kuli-kuli itu, sehingga mengakibatkan rusaknya hubungan antarsesama manusia. Hal ini juga tergambar pada kutipan berikut ini.

“Sejak poenale sanctie diberlakukan di Deli, kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Sangat tidak masuk akal dan tidak berperikemanusiaan kalau Tuan Menteri Daerah Koloni terus mempertahankan industri yang didasarkan pada perampasan kemerdekaan seperti di perkebunan Deli itu terus berlangsung,” kata P.J. Troelstra. Anggota Majelis rendah dari

sociaal-Democratische Arbeiders Partij” (BDSHKC:223)

Kuli-kuli kontrak itu tidak pernah mengenal kebebasan sejak aturan poenale sanctie dan ordonansi kuli itu diberlakukan. Baik itu kebebasan berpendapat, bergerak, maupun kesamaan di depan hukum. Tentu saja mereka tidak pernah mengenalnya karena mereka selalu dituntut untuk selalu taat dan patuh terhadap semua perintah tuan kebun. Tidak ada kata menolak apalagi melawan.

Seperti yang terjadi ketika saat kuli kontrak berada dalam pelayaran menuju Deli. Mereka tidak diperbolehkan melawan kepada kelasi, orang yang ditugaskan oleh kantor-kantor emigrasi untuk mengawal kuli. Jika mereka berani melawan maka kelasi tidak akan segan untuk menggunakan kekerasan. Kuli-kuli itu kehilangan hak dan kebebasannya untuk mengeluarkan pendapat. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Kelasi menatap tajam pemuda itu.

“Sakit? Tidak ada yang boleh sakit di sini!” Katanya dengan nada menghentak.

“Tapi perutnya mules, Bang. Dia muntah-muntah, Bang. Dia harus diobati, Bang.”

“Harus?”

“Ya, harus, Bang! Dia sakit. Apa abang tidak pernah sakit perut? Dia harus diobati!”

“Harus?” kelasi mengulang. Matanya membelalak. Dia tidak senang dengan kalimat yang barusan dia dengar. Kalimat yang memerintah. “Siapa suruh kamu bilang harus, heh? Tidak ada yang boleh memerintah-merintah di sini! Mengerti, anjing kontrak?” (BDSHKC:34- 35)

3.2.3.2 Setelah Menjadi Kuli

Dalam novel BDSHKC, di Deli, kuli-kuli itu bahkan bukan dianggap manusia. Menurut tuan-tuan kebun, mereka hanyalah hewan yang menyerupai manusia. Hewan penurut yang patuh dan bodoh. Hal inilah yang membuat para tuan kebun itu bertindak dengan sewenang-wenang. Ketika seorang kuli dianggap bersalah, maka si tuan kebun berhak menghukumnya sesuka hati, bahkan tanpa proses peradilan sekalipun. Bagi kuli, hidup di perkebunan selalu dilengkapi dengan hal-hal yang

penuh penderitaan. Kuli dicaci-maki, dicambuk, dipukul, ditendang, mati, lalu dibuang ke semak-semak begitu saja sudah menjadi hal yang biasa.

Tidak adanya peradilan yang jelas terhadap kuli yang belum tentu bersalah ini tentu saja telah melanggar hak mereka untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan sama di mata hukum. Yang terjadi justru hukuman yang mereka dapatkan kerapkali tidak sesuai dengan kesalahan yang mereka perbuat.

Hal ini terjadi pada seorang kusir yang bekerja pada kepala administratur perusahaan besar. Kuli yang selalu setia dan patuh itu dituduh telah menipu majikannya, sehingga dijebloskan ke dalam penjara. Kuli itu seharusnya tidak bersalah karena telah diberikan izin oleh majikannya untuk cuti selama dua hari demi menguburkan ibunya yang sudah meninggal. Namun, setelah kembali tepat seperti yang telah dijanjikan, kusir itu malah dihadapkan pada hukuman tanpa tahu jelas kesalahannya sendiri. Tanpa memeriksa perkara, hukuman krakal selama tiga bulan akhirnya menimpa kusir itu.

“Aku bertanya kepada administratur yang mengirim kusir itu untuk dihukum oleh kontrolir. Dia menjelaskan, biasanya, orang seperti kusir itu tidak akan dikenakan hukuman karena memang telah diberi izin. “Namun karena aku adalah pengusaha, dengan senang hati, demi prestise, aku mengirim kusir itu kepada kontrolir untuk dihukum. Aku hanya ingin melihat dia dihukum,” jelas administratur itu kepadaku sambil tersenyum penuh kemenangan. Enteng saja dia menjelaskan.” (BDSHKC:188)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa seseorang yang tidak bersalah pun dapat setiap saat dihukum. Hal tersebut benar-benar tidak sesuai dengan proses peradilan yang seharusnya.

Kasim (2001:205-206) menyatakan bahwa dalam pemeriksaan sebuah pengadilan, prosedur harus dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah. Prinsip jaminan ini dilakukan agar para hakim dalam menjalankan kewajiban mereka tidak memperlakukan terhukum hanya berdasarkan atas kecurigaan telah melakukan pelanggaran saja. Jadi, prinsip praduga tak bersalah bagi terhukum dalam sebuah persidangan haruslah ada demi tertegaknya keadilan. Sayangnya, sistem peradilan seperti ini tidak pernah diterapkan di Deli. Tanpa tahu jelas kesalahannya, kuli-kuli kontrak itu selalu mendapatkan hukuman yang tidak setimpal.

“Sebagai penguasa perkebunan, pengusaha punya hak menjatuhkan hukuman kepada kuli-kulinya melalui tangan kontrolir. Vonis yang dijatuhkannnya tidak bisa dibanding atau dikasasikan. Kontrolir bahkan tidak memberikan laporan kepada Ketua Pengadilan Tinggi.” (BDSHKC:188)

Dari kutipan tersebut jelas menunjukkan bahwa peradilan yang benar-benar adil tidak pernah terjadi di Deli. Padahal peraturan yang disusun oleh Hindia Belanda pada waktu itu selalu memungkinkan seorang terhukum untuk naik banding atau kasasi. Namun, kuli-kuli itu justru tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk melakukannya. Bahkan, peraturan lain yang berlaku di Hindia Belanda yang menyebutkan bahwa vonis yang telah dijatuhkan seharusnya berkasnya harus dikirimkan hakim kepada Ketua Pengadilan Tinggi juga tidak pernah dilaksanakan di Deli. Di Deli, kuli-kuli itu hanya bisa pasrah pada nasibnya.

“Ngatmin diam. Dia tak berani membayang-bayangkan apa hukuman yang akan diberikan Tuan Kontrolir kepadanya. Mandor Jono benar. Apalah arti hukuman. Terima saja. Dan, tentu dia harus menerima. Dia

memang ditentukan oleh orang kulit putih. Jadi, lihat saja nanti.” (BDSHKC:180)

Ketidakadilan ini memang sudah berlaku terus menerus di Deli. Tidak ada yang perduli dengan hal itu. Tuan kebun jelas tidak perduli karena mereka memang menginginkan hal ini. Sedangkan kuli, mereka hanya bisa pasrah dan patuh. Kuli-kuli itu selalu dilemahkan oleh beratnya beban kerja sepanjang hari, dibiarkan kelaparan hingga tidak memiliki tenaga lagi untuk melangkah menuju tempat kerjanya, serta mengalami berbagai bentuk penyiksaan sebagai hukuman. Di satu sisi, ketika kuli sedikit saja melakukan kesalahan mendapatkan hukuman yang begitu berat. Maka di sisi lain, tuan kebun yang melakukan kesalahan akan mudah mendapatkan kebebasan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“MENYERET tuan kebun ke depan persidangan yang adil, sama sekali tidak pernah terjadi di Deli. Pengalamanku empat tahun di Deli menunjukkan, belum ada satu persen kasus tuntutan pidana yang dilakukan orang Eropa dapat ditindaklanjuti secara adil dan terbuka ke pengadilan. Padahal begitu banyak sebenarnya kasus kekerasan hingga pembunuhan yang bisa membawa mereka ke penjara. Penyebabnya? Selain karena “sistem tutup” itu, juga karena kurangnya kemampuan pejabat di lingkungan dinas penyidik dalam melaksanakan tugasnya secara baik.” (BDSHKC:175)

Selanjutnya dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“Nyatalah, kenapa keadilan begitu sulit tegak di Deli. Penegakan hukum di tanah Sumatera Timur itu benar-benar sudah digerogoti oleh kanker tak tersembuhkan. Saat orang Eropa diadili di Pengadilan Tinggi di Batavia, dia dibebaskan karena kurangnya bukti. Dia bebas karena ada persekongkolan saksi-saksi. Dari sedikit perkara yang sampai ke Batavia, masalah penggelapan saksi dan keterangan palsu telah memunculkan pandangan hukum yang lemah di Pengadilan Tinggi untuk menghukum para pengusaha perkebunan.” (BDSHKC:191)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa di Deli telah terjadi ketidakadilan dalam kebebasan untuk mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum.

Begitu pula pada kebebasan untuk bergerak. Kuli-kuli kontrak itu selalu dibatasi ruang geraknya. Mereka dipersiapkan hanya untuk menjadi pekerja keras yang membanting tulang sejak pagi hingga matahari terbenam. Yang mereka tahu hanya harus bekerja dan terus bekerja tanpa mengenal lelah. Jika belum disuruh berhenti mereka tidak akan berhenti, karena jika melawan hukumanlah yang akan menanti mereka. Kehidupan mereka sepenuhnya diatur oleh suara kentongan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Hanya sebentar waktu untuk makan siang. Kuli-kuli makan dengan cepat. Pekerjaan sudah menunggu. Kentongan sudah berbunyi lagi. Istirahat telah selesai. Kenyang tak kenyang, semua harus kembali ke ladang. Tandil-tandil berteriak-teriak, menyuruh mereka cepat-cepat mengambil cangkul lalu berbaris. Pekerjaan harus selesai sebelum sore.” (BDSHKC:84-85)

Selanjutnya dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“SUDAH hampir pukul sembilan malam sekarang. Sebentar lagi suara kentongan akan terdengar. Itu tanda kuli-kuli harus segera tidur. Tidak ada lagi yang boleh keluyuran.” (BDSHKC:114)

Dari kedua kutipan tersebut jelas terlihat bahwa suara kentongan telah membatasi ruang gerak mereka. Kebebasan kuli-kuli kontrak itu selalu terkungkung oleh suara kentongan.

“Begitulah kehidupan di perkebunan. Semua diatur oleh suara kentongan. Kapan bangun, istirahat siang, kembali ke bangsal hingga kapan tidur-semua diatur oleh kentongan.” (BDSHKC:117)

Dokumen terkait