• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

2.4 Perkebunan Tembakau sebagai Sarana Perbudakan

Ketika tanaman tembakau mulai dibudidayakan pada tahun 1869 di Sumatera Timur, pengusaha swasta mulai mengalami kendala dalam hal perekrutan tenaga kerja. Karena pada saat itu, tenaga kerja masih langka dan tidak sebanding dengan luas tanah yang ada. Maka pada awalnya diupayakan perekrutan kuli dari Cina sebanyak 800-900 orang. Selain orang Cina, beberapa ratus orang keling dari India dan Jawa juga didatangkan ke Sumatera Timur (Breman, 1989:23).

Orang Cina yang didatangkan ke wilayah Sumatera Timur sampai tahun 1913 mengalami peningkatan yang cepat. Banyaknya orang Cina di wilayah sumatera Timur telah membuka peluang terdapatnya kelompok-kelompok diantara mereka.

Kongsi merupakan sebutan bagi kelompok tenaga kerja Cina. Tingginya mobilitas orang Cina telah memberikan kebebasan kepada agen atau kantor emigrasi untuk bertindak sebagai perekrut tenaga kerja atau pun sebagai pedagang perantara. Ketika pecah perang dunia I, akibat blokade laut, timbul kesulitan perekrutan tenaga kerja dari Cina. Akhirnya diupayakan tenaga kerja dari pulau Jawa karena ketabahan dan ketekunan orang Jawa dalam bekerja dianggap lebih daripada orang Cina (Mubyarto, 1992:117-118).

Perolehan tenaga kerja dari Jawa yang lazim disebut kuli memerlukan biaya yang tidak sedikit, baik untuk transportasi maupun untuk membeli para kuli tersebut. Dengan perantaraan makelar atau tukang werek (dalam bahasa Belanda werven yang berarti mengajak orang bekerja di perusahaan) para kuli diperoleh dengan bujuk rayu

dan berbagai tipuan. Dengan mudah para makelar mendapatkan calon kuli, khususnya yang terhimpit secara ekonomi dan ingin mengubah nasib.

Eric Wolf menyatakan bahwa dimanapun perkebunan itu timbul atau diimpor dari luar, maka ia selalu merusak norma-norma budaya yang telah ada sebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri, kadang dengan cara membujuk, kadang-kadang dengan paksaan, tetapi selalu berada dalam konflik-konflik dengan ketentuan budaya yang dilanda olehnya. Beraneka ragam bentuk tindakan bujukan dan paksaan yang telah digunakan ini ternyata efektif untuk menjamin keberhasilan ekspansi perkebunan (Stoler, 2005:13-14).

Kuli adalah istilah khas kolonial. Maknanya sangat merendahkan derajat si kuli. Hal itu sesuai dengan penindasan yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan tersebut terhadap mereka. Istilah kuli berasal dari bahasa Tamil dengan ejaan Inggris, yaitu cooli yang berarti pengambil upah. Istilah itu sendiri sebenarnya bukan berarti rendah, rendahnya nama itu hanya karena selama pekerjaan itu dikerjakan mereka tidak bebas dan tidak boleh mengangkat muka, sehingga istilah itu sendiri turut menurun maknanya (Said, 1977:63-64). Seperti yang dikemukakan oleh Mubyarto (1992:118) bahwa dalam menempuh perjalanan ke “tanah berjanji”, nasib yang dialami oleh para kuli tidak ubahnya seperti ternak yang akan dibawa ke pembantaian dalam gerbong kereta api tertutup. Sebelum memasuki kamp kerja, para kuli diwajibkan menandatangani kontrak kerja tanpa dapat mengetahui dan memahami isinya.

Guna mendukung pembangunan industri perkebunan, maka pada tahun 1880 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan yang bersifat otoriter yang merupakan landasan kontrak kerja yang telah diatur khusus bagi wilayah Sumatera Timur. Kebijakan itu dikenal sebagai koeli ordonantie (peraturan tentang kuli) (Stoler, 2005:44). Peraturan ini sebenarnya ditujukan untuk memberikan kepastian kedudukan buruh dan majikan, tetapi pada kenyataannya majikan sama sekali tidak terikat dalam perjanjian kerja tersebut.

Bahkan menurut Soepomo, pihak majikan mempunyai wewenang atas pribadi tenaga buruh. Ordonansi ini menetapkan bahwa sebagai imbalan biaya pelayaran ke Deli seorang kuli diwajibkan bekerja selama tiga tahun. Untuk mengikat para kuli maka diberlakukanlah sanksi pidana (poenale sanctie) secara keras (Mubyarto, 1992:119).

Kontrak kerja awalnya dilakukan dengan tujuan memperoleh kerja efisien melalui pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia dengan upah yang cukup murah. Dengan cara inilah para pengusaha perkebunan memperoleh kontrol sepenuhnya atas para pekerja. Mereka menganggap berhak mengawasi sendiri pelaksanaan disiplin kerja yang keras dan menghukum kuli yang tidak memenuhi kewajiban (Breman, 1992:31). Namun, berlakunya ordonansi kuli dan sanksi pidana tersebut justru membuat para pengusaha perkebunan semakin berbuat tindakan yang sewenang- wenang. Pukulan, cambukan, tendangan, dan berbagai penyiksaan lainnya sering menimpa kuli-kuli tersebut. Seorang administratur yang menyiksa secara keji kuli yang berbuat sedikit kesalahan atau seorang asisten yang menyalahgunakan

kekuasaan dengan menjebloskan seorang kuli ke dalam penjara agar dapat menguasai istrinya sudah menjadi hal biasa di perkebunan Deli. Kebijakan itu telah disalahgunakan oleh pengusaha perkebunan untuk melegalkannya perbudakan terhadap para kuli yang bekerja.

Seperti yang dikatakan oleh Rhemrev, bahwa hubungan antara majikan dengan kuli kontrak adalah sedemikian rupa sehingga di satu pihak majikan selalu merasa yakin bahwa dirinya berhak menguasai kuli dan di pihak lainnya, para kuli juga merasa yakin bahwa dirinya tergantung sepenuhnya pada majikan. Jadi, di salah satu pihak penyalahgunaan kekuasaan, di lain pihak penyerahan diri sepenuhnya sebagai budak. Sifat bengis, tidak kenal perasaan, dan kejam di pihak si tuan, sebaliknya sikap merendahkan diri yang berlebihan dan pendendam di pihak kuli (Breman, 1992:234-235). Apalagi dengan adanya paham di kalangan pengusaha perkebunan yang menganggap bahwa seorang tuan kebun tidak akan dianggap berhasil dan sukses jika tidak dapat menundukkan kuli membuat mereka terpacu untuk memperlakukan kuli-kuli itu secara kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Dixon mengatakan bahwa secara teoretis, orang bisa menjadi tuan kebun terbaik di dunia jika tahu benar bagaimana menanam dan merawat tembakau, tapi di Deli ia tidak akan berguna jika tidak mampu membuat orang tunduk padanya. Hidup matinya seorang asisten atau tuan kebun di Deli adalah wibawanya (Breman, 1992:85).

antara asisten terendah yang menerima gaji sebesar ƒ350-ƒ540 setiap bulan pada tahun 1926, yang berarti 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan upah kuli yang hanya menerima ƒ19,50 setiap bulan. Bahkan, demi tercapainya sistem kerja yang efisien, para pengusaha menetapkan kebijakan upah kuli perempuan harus lebih rendah dibandingkan kuli laki-laki. Maka tidak jarang seorang kuli perempuan terpaksa melacurkan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Upah yang kecil ini sangat tidak sesuai jika dibandingkan dengan eksploitasi tenaga mereka yang diperas lebih kurang 10-12 jam sehari dan acapkali harus kerja lembur. Istilah kuli kontrak memang tidak dapat lepas dari kondisi mereka yang selalu dijerat dengan keroyalan yaitu, perjudian, candu, dan pelacuran. Dalam keadaan semacam ini maka persekot upah yang mereka terima ludes, sehingga akhirnya para kuli akan terus-menerus memperpanjang kontrak (Mubyarto, 1992:119).

Politik etis yang menyebutkan bahwa upaya meningkatkan taraf ekonomi dan sosial penduduk pribumi menjadi tugas penting pemerintahan kolonial akhirnya tidak pernah berjalan. Ini adalah tujuan yang terutama hanya diakui di atas kertas. Dalam praktek, apa yang dinamakan politik etis itu berbenturan dengan keyakinan penguasa, yaitu bahwa memajukan orang Asia hanya dapat dilakukan dengan tangan besi. Kuli tidaklah lebih dari “seekor binatang” di mata majikan, yang harus didisplinkan dengan tangan besi (Breman,1992:xxiv).

Bahkan menurut van Kol, kuli-kuli kontrak itu selalu mengalami berbagai hal yang sangat tidak manusiawi di perkebunan Deli. Makanan yang tidak pernah cukup, penganiayaan yang kejam, perampasan kemerdekaan pribadi, kematian-kematian

yang dipaksakan bagi seorang tahanan yang tidak berdosa, merajalelanya pelacuran yang mengakibatkan timbulnya penyakit sipilis yang berjangkit, orang-orang lari yang direjam, pemuatan kuli-kuli secara padat diluar kapasitas kapal dan rumah sakit jelek yang mengakibatkan kematian pasien, mayat-mayat yang tidak tentu ditanam, dan bahkan sebagian dari kuli-kuli itu memilih untuk bunuh diri sebagai jalan agar mereka tersingkir dari ketidakberdayaan (Said,1977:74).

Dokumen terkait