BAB III : KEKERASAN DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE
3.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam perkebunan Versi BDSHKC
3.2.4 Kekerasan Alienatif
Kekerasan alienatif diartikan sebagai pencabutan dan peminggiran individu atau kelompok tertentu dan tidak diberikannya hal-hal sebagaimana individu atau kelompok yang lain. Rasisme adalah contoh yang paling dekat dengan kekerasan alienatif ini. Rasisme (KBBI,2005:933) adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa, perlakuan yang berat sebelah terhadap suku bangsa yang berbeda-beda atau paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.
Rasisme bukan hanya berupa kebencian untuk mengisolasikan beberapa orang pinggiran yang menyimpang. Rasisme esensinya merupakan sebuah fenomena sosial dan perannya sama dengan ideologi dalam masyarakat kapitalis. Masalah rasisme ini sudah lama terjadi di Hindia Belanda. Diskriminasi dalam perbedaan ras dan etnis sangat menonjol. Golongan penjajah dianggap sebagai bangsa yang superior sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah dan hina. Sistem diskriminasi ini merupakan salah satu politik untuk membentuk dan mempertahankan pola hubungan masyarakat yang menempatkan kaum penjajah di atas puncak kekuasaan tata sosial masyarakat. Dengan demikian, dominasi kekuasaan penjajah semakin diperkuat oleh hubungan sosial yang bersifat diskriminasi itu (Fauzi, 1999:21).
Politik kolonial yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan besar tersebut semula dimaksudkan untuk memberlakukan hukum secara efektif bagi penduduk Hindia Belanda. Namun, yang terjadi pada kenyataannya lebih
dari sekedar penerapan hukum bagi masing-masing golongan penduduk yang terdiri dari golongan Eropa, Timur Asing (mayoritas penduduk Cina atau Tionghoa) dan pribumi. Pembagian golongan penduduk ini akhirnya berkembang sedemikian rupa, seiring dengan kebijaksanaan politik dan ekonomi kolonial menjadi struktur kasta kolonial (Nurhadiantomo, 2004:113).
Dalam novel BDSHKC, sistem kasta kolonial juga diberlakukan. Adanya pengggolongan ini menyebabkan ras kulit putih semakin berkuasa dan menganggap ras lainnya, khususnya pribumi adalah ras rendah yang tidak ubahnya hewan dan dapat dengan mudah untuk diperbudak. Faktor rasisme inilah yang menjadi ciri
planctocratie (kekuasaan tuan kebun). Pembagian kuli dan tuan kebun ini menyebabkan maraknya perbudakan di perkebuanan Deli. Kuli-kuli yang terdiri dari kaum pribumi dan Cina itu dengan terang-terangan diperjualbelikan dan diperlakukan seperti hewan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Belilah! Belilah! Lihat, mereka semua sehat dan muda! Cocok bagi pekerjaan di perkebunan dan pertambangan. Ada sertifikat dari dokter hewan. Silahkan pilih, ada pria dan perempuan dari Jawa Timur yang rajin dan sehat. Harganya 60 gulden untuk setiap orang. Bisa pilih sesuai selera. Semua dewasa. Belilah! Belilah! Dan dia akan mengirim mereka ke rumahmu, franco.” (BDSHKC:127)
Selanjutnya dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
“Tidak semua makhluk yang dapat berjalan tegak bisa disebut manusia. Kuli-kuli tidak mungkin dijadikan manusia. Tidak mungkin! Mereka adalah kumpulan hewan dengan peradaban yang rendah. Mereka hanya bisa hormat dengan tongkat. Sebab itu saya percaya, tidak ada jalan lain kecuali menggunakan tongkat sebanyak-banyaknya untuk menghukum mereka.” (BDSHKC:167)
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa kuli-kuli itu dipandang sangat rendah di mata tuan kebun, sehingga menyamakan mereka seperti hewan. Tuan kebun hanya melihat keberadaan kuli-kuli itu seperti barang dagangan yang dapat diperjual-belikan dengan mudah. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa adanya sistem kasta menyebabkan terjadinya perbudakan yang begitu nyata di Deli. Bahkan ada sebuah peraturan yang tidak tertulis di perkebunan Deli bahwa kuli-kuli harus berjongkok dan selalu menundukkan kepala saat melintasi rumah-rumah tuan kebun. Peraturan itu dianggap sebagi bukti pengabdian, penghormatan, dan penundukan sebagai orang kontrak. Semua kuli mengetahuinya. Adalah pelanggaran yang tidak termaafkan bila seorang kuli lupa atau tidak sengaja melanggarnya. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Saat melintas di depan bungalo, serentak mereka menurunkan badanberjongkok dan kepala menekuk. Dengan lutut hampir menyentuh dada, pelan-pelan mereka menyeret langkah.
Semua berlangsung dengan kepasrahan yang utuh. Setelah benar-benar yakin kalau kaki-kakinya yang telanjang dan kotor berlumpur itu telah melewati bungalo, kuli-kuli itu baru berdiri dan kembali menegakkan punggung mereka lagi.” (BDSHKC:2007)
Dari kutipan tersebut jelas terlihat begitu rendahnya kedudukan kuli di mata tuan kebun.
Adanya stratifikasi sosial yang diterapkan oleh pihak kolonial tersebut pun diterapkan pada masyarakat perkebunan. Secara umum pembagian kerja perkebunan dibedakan dalam empat golongan; pertama, administratur; kedua, pegawai staf;
perkebunan pun terdapat pembagian tugas yang jelas dengan penempatan tenaga kerja menurut golongan.
Menurut Beckford, penggolongan tenaga kerja perkebunan dipisahkan secara kaku, berdasarkan pada status dan sistem upah. Pengelompokan yang berdasarkan pada perbedaan bangsa, warna kulit, dan ras ternyata juga sangat mewarnai stratifikasi pekerja perkebunan. Kelompok pertama selalu terdiri dari orang-orang Eropa, terutama Belanda dan beberapa orang Cina. Sedangkan bangsa pribumi, khususnya orang Jawa senantiasa hanya menempati posisi paling bawah. (Mubyarto, 1992:115)
Politik kolonial tersebut tentunya sangat menguntungkan pihak tuan kebun karena mempermudah mereka untuk mengeruk kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat pribumi, sebab masyarakat pribumi dijadikan sebagai golongan mayoritas penduduk yang berada pada lapisan paling bawah dalam struktur kasta kolonial tersebut. Hal ini membuat masyarakat semakin terpinggirkan dan teralienasi dari tanahnya sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Nordholt (2002:12) bahwa di Hindia Belanda, pihak Belanda menarik batas-batas yang kaku antara berbagai penduduk, berdasarkan agama, suku bangsa, dan jurisdikasi. Akibatnya, pemisahan antara orang Barat dan golongan pribumi tumbuh ke arah apartheid. Hak-hak istimewa ekonomi diberikan kepada golongan Cina dan sengaja mereka dijauhkan dari golongan-golongan lain sehingga menjadikannya sebagai sumber konflik rasial. Seperti yang dikemukakan oleh Krahe (2005:239) bahwa kekerasan ras adalah
atau ras tertentu. Sikap prasangkalah yang memotivasi terjadinya kekerasan ini. Dengan merendahkan kelompok lain dan mempertanyakan keabsahan hak dan partisipasi sosial mereka maka terbentuklah dasar untuk membenarkan terjadinya kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Dalam novel BDSHKC, adanya sistem kasta kolonial ini pun menyebabkan timbulnya konflik rasial antara kuli Jawa dan kuli Cina. Baik dalam segi pembagian kerja dan upah, kuli Cina dan kuli Jawa selalu dibedakan. Mereka sengaja tidak disatukan oleh tuan kebun agar tidak terjalin rasa solidaritas antara mereka sesama kuli. Hal ini tentunya bertujuan untuk menghindarkan pemberontakan kuli terhadap tuan kebun.
“PERKEBUNAN adalah hamparan hutan yang dirubuhkan di satu sisi dan ladang-ladang di sisi lainnya. Sementara kuli-kuli Jawa merubuhkan pepohonan dalam perut hutan, kuli-kuli Cina duduk berjongkok di petak-petak ladang tembakau yang membentang di pinggiran hutan. Begitulah pembagian kerja yang dijatahkan Tuan Kepala Asisten.” (BDSHKC:82)
Dari kutipan di atas jelas terlihat bahwa tuan kebun sengaja tidak mencampurkan kuli Cina dengan kuli Jawa pada satu pekerjaan. Hal ini tentunya membuat kesenjangan antara kuli-kuli tersebut semakin jauh, serta menyebabkan seringnya timbul kesalahpahaman diantara mereka. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Barkat mencabut pisau dari tubuh lelaki Cina itu dengan tatapan bengis menghujam ke dalam mata sipit lelaki itu. Bibirnya mengukir senyum puas. Kepuasan yang purba dari dendam laki-laki yang terlampiaskan. Saat Barkat mencabut benda tajam itu keluar dari tubuhnya, lelaki Cina itu terhenyak, merasakan kesakitan yang berbeda namun dengan perih yang sama. Alis matanya mengernyit tanda ngilu.
Mereka menyaksikan erangan lelaki Cina itu dengan tatapan itu dengan tersenyum. Senyum yang bengis. Mereka senang menyaksikan kematian yang nyeri, kematian yang begitu perlahan dari korbannnya yang sekarat, seorang musuh dari ras yang bebeda. Ras yang dianggap sombong, yang mampu membayar perempuan Jawa lebih besar kalau berkencan.” (BDSHKC:151)
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa adanya stratifikasi yang sengaja diberlakukan oleh tuan kebun menyebabkan kesenjangan antara kuli Cina dengan kulli Jawa. Hal ini menyebabkan sifat iri dan dendam timbul di hati kuli-kuli Jawa, sehingga membuat mereka saling memusuhi satu sama lain.
Adanya kasta kolonial ini pada akhirnya mampu membuat perbedaan yang mencolok antara tuan kebun dan kuli kontrak tersebut. Kekuasaan dijalankan dengan keras untuk menunjukkan keunggulan para tuan kebun bangsa Eropa, dan serentak dengan itu mematrikan kesadaran pada kuli bangsa Asia bahwa mereka adalah orang yang tidak berharga sama sekali. Tuan kebun tergantung pada kuli, tetapi serentak dengan itu mereka tidak senang dengan keberadaan kuli, suatu paradoks yang menyebabkan tuan kebun mencari jalan keluar dalam bentuk kekerasan.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Dalam bab ini ada beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan oleh, yakni: 1. Novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W.
Aulia adalah novel yang sangat identik dengan fakta dan faktual, bahkan hampir tidak ada bedanya, dan secara jelas mengangkat realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat. Novel ini merupakan novel yang mencampur- adukkan fakta dan fiksi. Oleh karena itu, karya sastra memang merupakan pot ret sosial dan cermin dari kehidupan masyarakat.
2. Berdasarkan tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur diperoleh gambaran bahwa berlakunya sistem koeli ordonantie dan poenale sanctie menyebabkan legalnya perbudakan. Hal ini berakibat timbulnya diskriminasi dan penyiksaan terhadap kuli kontrak.
3. Berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan tuan kebun terhadap kuli kontrak yang terdapat dalam novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia merupakan salah satu bentuk rasisme, antara bangsa Eropa dengan bangsa Asia.
4. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh kuli kontrak versi novel Berjuta- juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia adalah
kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan alienatif, dan kekerasan represif.
4.2 Saran
Novel ini masih dapat diteliti dengan pendekatan ilmu lain. Hal ini sehubungan dengan dimensi yang terdapat di dalam novel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga. Breman, Jan. 1997. Menjinakkan Sang Kuli. Jakarta: Anem Kosong Anem. Camara, Dom Helder (Ed). Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Langit Angkasa.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Dardiri, Taufiq Ahmad. 2006. “Menyaksikan Kekerasan Politik dalam Novel ‘Azra Jakarta”. Kajian Linguistik dan Sastra, vol 18. no. 35.
Erwin dan Tengku Sabrina. 1999. Sejarah Tembakau Deli. Medan: PTP Nusantara II. Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta; Muhammadiyah University
Press.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://id.Wikipedia.org/wiki/Kota Medan. “Dibukanya Perkebunan Tembakau”.
Kuli Kontrak, Mardi Lestari, dan Asisten
Gubernur”.
Kasim, Ifdal. 2001. Hak Sipil dan Politik. Jakarta: ELSAM.
Kosasih MA, Ahmad. 2003. HAM dan Perspektif Islam. Jakarta: Salemba Diniyah. Krahe, Barbara. 2005. Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Martin, Roderick. 1993. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Mubyarto, dkk. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Nordholt, Henk schulte (Ed). 2002. Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas: Dalam Sejarah IndonesiaI. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurhadiantomo. 2004. Hukum Reintegrasi Sosial Konflik-konflik Sosial Pri NonPri dan Hukum Keadilan Sosial. Surakarta: Muhammadiyah Press.
Pitaloka, Rieke Diah. 2004. Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat. Yogyakarta: Galang Press.
Pelzer, J. Karl. 1985. Toean Keboen dan Petani: politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1974. Jakarta: Sinar Harapan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Said, Muhammad. 1977. Suatu Zaman Gelap di Deli, Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya. Medan: Perkasa Abdi Press.
Salmi, Jamil. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sihombing, Justin M. 2005. Kekerasan terhadap Masyarakat Margin. Yogyakarta: Pustaka Utama.
Stoler, Ann Laura. 2005. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra 1870-1979. Yogyakarta: Karsa.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Waridah Q, Siti dkk. 2003. Sejarah Nasional dan Umum Untuk SMU Kelas 2 Kurikulum Semester 1 dan semester 2. Jakarta: Bumi Aksara.
LAMPIRAN Sinopsis
Novel BDSHKC ini menceritakan tentang perjalanan hidup para kuli kontrak yang penuh dengan kekerasan di perkebunan swasta Sumatera Timur, serta perjuangan seorang advokat Belanda untuk menghapuskan praktek kekerasan yang kerap dilakukan oleh tuan kebun maupun aparatur pemerintah terhadap kuli kontrak tersebut. Cerita bertolak dari tokoh protagonis J Van den Brand, seorang pria berkebangsaan Belanda yang prihatin terhadap perbudakan yang terjadi di suatu daerah di Sumatera Timur yang disebut dengan Deli. Van den Brand berharap adanya keadilan bagi kuli kontrak melalui penghapusannya koeli ordonanti (peraturan tentang kuli) dan poenale sanctie (sanksi pidana) karena kedua hal tersebut sangat memberatkan kehidupan para kuli kontrak dan secara tidak sadar telah menyebabkan legalnya perbudakan. Para kuli kontrak tersebut banyak didatangkan dari pulau Jawa. Mereka pada umumnya terbujuk oleh mulut manis makelar pencari kerja. Contohnya, si Orang Semarang yang dengan lihainya menipu orang-orang kampung dengan ceritanya tentang kehidupan di Deli yang penuh dengan kenikmatan dunia, seperti banyaknya wanita cantik, dilegalkannya perjudian, dan adanya “pohon berdaun uang”. Tipu muslihat si Orang Semarang ini ternyata menarik hati masyarakat untuk bekerja di Tanah Deli yang penuh dengan kehebatan itu. Selain faktor kebodohan masyarakat yang terlalu percaya pada orang yang baru dikenalnya itu, faktor
kemiskinan juga menyebabkan masyarakat dengan mudahnya meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja di Deli.
Untuk lebih meyakinkan, mereka diberi persekot terlebih dahulu oleh pihak penyalur tenaga kerja. Setelah itu baru membubuhkan cap jempol di atas secarik kertas yang isinya sendiri tidak mereka mengerti. Ironisnya, apa yang mereka dengar mengenai Deli sebagai surga dunia mulai luntur ketika mereka memulai diberangkatkan. Seketika mereka dihadapkan pada sosok-sosok yang menggenggam kehidupan mereka, kehidupan orang-orang yang jiwa dan raganya telah tergadai. Mereka dibentak, dikasari, dan dihinakan. Mereka menerima semua itu dengan perasaan gentar. Tidak terbit secercah harapan pun keinginan untuk melawan. Seolah- olah jiwa mereka telah mati. Mereka seperti patung yang hanya bisa diam, lesu, dan pasrah. Orang-orang menyebutnya kuli atau orang kontrak. Apa artinya, mereka tidak persis mengerti. Karena yang mereka tahu hanya setelah sebutan itu mereka pikul, mereka harus patuh dan tunduk.
Derita para kuli semakin menjadi ketika sampai di perkebunan, kehidupan mereka diatur oleh suara kentongan. Di sela-sela kerja dan istirahat, para kuli selalu mengalami tindak kekerasan yang tidak manusiawi dari tuan kebun. Setiap kali melakukan kesalahan, para kuli akan mendapatkan pukulan, tendangan, dan cambukan. Baik kuli pria maupun wanita, semuanya mendapatkan perlakuan yang keji. Bahkan seorang kuli wanita yang menolak untuk untuk digauli oleh tuan asisten akhirnya mendapat hukuman yang sangat tidak manusiawi. Ia disalib dengan tubuh
pun digosok dengan lada yang telah ditumbuk halus. Setelah ia mati, mayatnya pun dibuang begitu saja dan dijadikan sebagai makanan babi hutan. Hal tersebut hanya salah satu bentuk hukuman terhadap kuli yang menolak perintah para tuan kebun.
Setiap bulannya masa gajian dibagi menjadi dua, yaitu gajian kecil dan gajian besar. Setiap akhir bulan setelah masa gajian besar, para kuli sengaja dibiarkan terpikat ke dalam perjudian, minuman keras, dan pelacuran. Hal ini merupakan upaya dari politik kolonial Belanda agar kuli kontrak terus menghabiskan upah yang telah mereka terima. Sehingga secara tidak sadar mereka akan terbelit hutang yang pada akhirnya tidak dapat terbayarkan. Sebagai dampaknya, untuk melunasi hutang tersebut, dengan terpaksa mereka akan memperpanjang kontrak kerja untuk tiga tahun mendatang.
Berbagai bentuk kekerasan ini yang menggugah hati Van den Brand untuk mengungkap derita para kuli kontrak yang terpenjara oleh kekuasaan dan tipu daya kolonial Belanda, khususnya tuan kebun. Oleh karena itu, ia akhirnya menulis dan mengedarkan sebuah brosur yang berjudul Millioenen uit Deli yang di dalamnya memaparkan tentang penganiayaan dan penangkapan di luar hukum atas kuli dan orang lain di perkebunan, serta segala penyimpangan yang dilakukan para pejabat pengadilan setempat dalam mengambil keputusan. Ia menegaskan bahwa kebijakan
poenale sanctie tidak dapat dipertahankan karena kebijakan tersebut melegalkan terjadinya perbudakan. Namun hingga akhirnya ia meninggal, kebijakan poenale sanctie itu tetap ada dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh tuan kebun terhadap kuli kontrak pun masih kerap terjadi.