• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : KEKERASAN DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE

3.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam perkebunan Versi BDSHKC

3.2.2 Kekerasan Tidak Langsung

3.2.2.2 Setelah Menjadi kuli

Dalam novel BDSHKC, Di Deli, nasib perempuan jauh dari kehidupan yang layak. Kesejahteraan hidup mereka tidak pernah diperhatikan oleh tuan kebun. Mereka hanya dianggap sebagai perempuan sundal yang suka melacurkan diri.

dengan alasan tidak ada pekerjaan untuk mereka, kuli-kuli perempuan itu sengaja dibiarkan kelaparan, sehingga ketika mereka tidak sanggup lagi menahan lapar, dengan terpaksa mereka akan melacurkan diri. Tuan-tuan kebun itu sengaja membiarkan perempuan-perempuan Jawa itu kelaparan hingga mereka kemudian dijadikan santapan oleh kuli-kuli Cina. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Kuli-kuli perempuan itu tidak bisa mencari kerja di tempat lain karena masih terikat kontrak dengan perusahaannya. Jadilah, selama sebulan mereka tidak punya pendapatan. Saat lapar sudah tak tertahankan, mereka memberanikan diri menemui asisten untuk meminta pekerjaan. Hanya dengan demikian mereka bisa mendapatkan upah. Bukankah mereka bekerja sesuai perintah? Setelah berjongkok beberapa jam di pekarangan rumah asisten, mandor kemudian mendatangani dan memberitahu kalau asisten tidak mau menerima mereka karena dia tidak ingin mengotori lidahnya dengan berbicara pada mereka. Sebelumnya, kepada mandor, asisten berkata, “Biarlah mereka mencari beberapa sen dengan cara mereka sendiri. Bukankah mereka bisa melacur? Toh, masih ada orang-orang Cina di perkebunan.” (BDSHKC:147)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa para tuan kebun itu sengaja memiskinkan kuli-kuli perempuan hanya untuk memuluskan tujuan mereka. Melacur secara sukarela namun terpaksa demi memenuhi kebutuhan hidup.

Biasanya kuli perempuan yang direkrut masih berusia muda dan hampir semuanya orang Jawa. Walau tidak secara terang-terangan dipaksa melacurkan diri, mereka hanya diberikan sedikit pillihan selain berbuat demikian. Melayani kebutuhan-kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga dari para pekerja lelaki dan pihak tuan kebun lebih merupakan keharusan daripada pilihan. Para tuan kebun selalu mengusahakan agar perempuan tetap tersedia dan bersedia memberikan pelayanan tersebut. Karena kuli-kuli perempuan merupakan bagian dari umpan yang

digunakan untuk memikat pekerja lelaki ke Deli atau sebagai bagian pelipur lara yang diharapkan untuk mencegah orang-orang Cina melarikan diri dari pekerjaannya di perkebunan.

Perempuan-perempuan Jawa, baik lahir dan batin, sangat menderita. Walaupun begitu, tuan kebun menanggapi hal itu bukan sesuatu yang serius. Mereka menganggap bahwa, kuli-kuli perempuan itu pada dasarnya adalah pelacur dan sejak dari tanah asalnya, perempuan-perempuan Jawa memiliki sifat dasar untuk melacurkan sendiri. Oleh karena itu, setiap tahunnya ratusan perempuan muda yang telah direkrut sebagai kuli kontrak menghidupi diri mereka sendiri dengan melayani para penghuni bujangan yang berjumlah besar di barak-barak kuli Cina dan kuli Jawa. “Setiap tahun ada ratusan perempuan muda dari Jawa didatangkan ke Deli. Sebagian besar mereka dibeli untuk dikorbankan bagi orang-orang Cina. Setiap orang yang mengenal Deli tahu, kuli-kuli perempuan Jawa tidak mendapat upah yang cukup untuk makan.

“Seorang tuan kebun pernah mengajakku berkeliling di perkebunannya. Dia membiarkanku melihat rumah-rumah yang disediakannya bagi kuli- kuli Cina dan kuli-kuli pria dari Jawa. Aku bertanya kepada seorang di antara mereka, “Di mana perempuan-perempuan Jawa tinggal?” tuan kebun itu menjawab, “Perusahaan tidak memberikan rumah bagi perempuan-perempuan Jawa melainkan merekalah yang harus mencari sendiri!” (BDSHKC:146)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa kuli perempuan selalu mendapatkan ketidakadilan dari para tuan kebun. Mereka tidak diberikan tempat tinggal dan hanya mendapatkan upah yang sangat kecil. Upah yang sangat kecil ini tentu saja membuat mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup di perkebunan yang sangat mahal hanya bisa mereka hadapi dengan jalan melacurkan diri.

“Aku mengetahui beberapa perusahaan yang secara rutin memotong upah kuli-kulinya dalam jumlah yang lebih besar lagi. Kuli-kuli perempuan Jawa hanya menerima 2,20 dolar setelah dipotong sana-sini. Dengan demikian, tidak sampai 7 sen per hari!

Mari berhitung!

Di luar lauk pauk dan sirih, mereka memerlukan 13 sen setiap harinya untuk makan. Tahukah Anda, harga-harga kebutuhan begitu mahal di perkebunan. Aku telah menghitung. Setiap kuli perempuan membutuhkan 15 sen untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Kenyataan yang ada menunjukkan, seorang kuli Jawa tidak pernah bisa mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari.” (BDSHKC:133)

Kuli perempuan Jawa biasanya dipekerjakan untuk menyortir daun tembakau yang telah dipanen. Selintas, pekerjaan itu tampaknya tidak membuat badan letih namun membuat urat-urat menjadi tegang. Pekerjaan menyortir ini membutuhkan ketelitian yang tinggi. Sepanjang hari kuli-kuli perempuan itu harus mengelompokkan daun-daun tembakau berdasarkan warnanya, kuning, kuning muda, kuning tua, juga dari panjang dan lebarnya serta kerataannya. Bila ada yang salah memilah, hasil kerja mereka akan ditolak dan dikembalikan. Itu berarti upah mereka yang sudah sangat kecil akan lebih menyusut lagi. Selain di bangsal penyortiran, kuli- kuli perempuan juga ditempatkan di bagian lain. Beberapa ditugaskan untuk menyapu dan membersihkan pekarangan kantor utama. Ada juga yang ditugaskan mengeruk kerikil di sungai dan mengosongkan tong-tong tinja di rumah tuan-tuan kebun. Begitulah pekerjaan mereka sehari-hari, memikul tugas yang berat, namun tidak mendapatkan upah yang seharusnya.

Di Deli, kuli kontrak akhirnya menjadi suatu istilah yang menunjukkan betapa parahnya kehidupan manusia. Kontrak yang selalu mengikat menjadikan hidup mereka selalu diwarnai ketidakadilan. Kondisi dalam perkebunan memperlihatkan

dengan jelas ketimpangan kesejahteraan antara tuan kebun dengan para kuli kontrak. Upah yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang mereka terima pun kerapkali dimanipulasi oleh potongan-potongan yang wajib mereka bayar. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Upah kuli dibayar setelah dipotong sana-sini. Kuli dikenakan potongan biaya membersihkan lahan; bayaran pembelian peralatan yang digunakan atau pergantian alat yang rusak; cicilan persekot uang saat meneken kontrak; biaya pengeluaran perusahaan berupa upah tukang cukur, juru masak, dan penjaga bangsal dan kongsi.” (BDSHKC:137) Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa upah yang mereka terima tentunya akan bertambah kecil setelah potongan-potongan tersebut, sehingga membuat kehidupan mereka bertambah melarat. Apalagi upah yang selama ini mereka terima pun adalah merupakan rekayasa dari tuan kebun.

“Di atas segalanya, upah kuli dibayar dengan ringgit. Kuli-kuli tentu tidak perlu tahu kalau ringgit yang mereka terima sesungguhnya adalah ringgit murahan. Jangan dikira itu pasmat, ringgit Betawi yang berlaku di Jawa yang nilainya setara dengan rijksdaalder atau 2,50 gulden itu. Ringgit yang dipakai di Deli adalah ringgit merikaan, biasa juga disebut ringgit meriam, ringgit janik, atau ringgit burung. Harganya lebih murah, berkisar 1,86-1,90 gulden. Banyak kuli meneken kontrak karena tidak mengerti perbedaan ini. Bila digaji 6 ringgit sebulan, mereka menduga akan mendapatkan 15 gulden. Kenyataannya hanya 7 gulden! (BDSHKC:137)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa upah yang didapatkan kuli setelah bekerja berat pun ternyata merupakan tipuan dari tuan kebun. Hal ini dilakukan oleh tuan kebun tentunya demi keuntungan mereka sendiri.

15 atau 16, sedangkan hari gajian besar dilakukan pada tanggal 1 di awal bulan. Seperti namanya, upah yang dibayar pada hari gajian besar pun lebih besar daripada gajian kecil.

Setiap awal bulan setelah masa gajian besar para tuan kebun selalu mengadakan perhelatan besar. Mereka membuka perjudian dan pelacuran secara besar-besaran. Para kuli kontrak itu sengaja mereka biarkan terpikat ke dalam perjudian masuk ke dalam bilik-bilik pelacuran dan rumah yang menjual candu agar kuli menghabiskan upah yang telah dibayarkan, sehingga harus meminjam uang kepada mandor perkebunan dengan bunga yang mencekik. Dengan begitu kuli-kuli akan terjerat oleh hutang yang tidak dapat terbayarkan sehingga mau tidak mau mereka harus memperpanjang kontrak kerja. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“… Selain membuka kedai kelontong yang melayani kebutuhan kuli- kuli sehari-hari, mereka menjual opium, mengelola rumah gadai, menjadi bandar judi dan membangun barak-barak pelacuran. Serangkaian bisnis yang dikelola para pemuka Cina ini disahkan masuk ke perkebunan. Tujuannya, membuat kuli-kuli terus hidup dalam kemelaratan. Dengan begitu, kuli-kuli tidak akan berdaya menolak perpanjangan kontrak yang disodorkan.” (BDSHKC:169)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa tuan kebun sengaja membuka perjudian dan prostitusi secara besar-besaran pada saat masa gajian besar dan masa berakhirnya kontrak kuli-kuli demi upaya untuk kembali memiskinkan mereka. Tujuannya adalah agar mereka secara sukarela kembali memperpanjang kontrak.

Tidak seorang pun kuli yang bisa menikmati kesenangan dari peraturan kontrak yang mengikat mereka. Mereka tahu, hidup di perkebunan sangat menderita

dan selalu kekurangan uang. Hanya keterikatan pada kontrak yang membuat mereka bertahan menghadapi penderitaan. Untuk keluar dari perkebunan, setiap kuli harus mengantongi surat tanda sudah berhenti bekerja. Tanpa surat itu, kuli tidak bisa meninggalkan perkebunan. Kalaupun meninggalkannya, mereka dapat ditangkap karena dianggap gelandangan. Maka, ketika tiba masa kontrak kerja kuli itu berakhir, para pengusaha perkebunan pun akan melakukan berbagai cara untuk menahan mereka agar bersedia untuk memperpanjang kontrak.

“Tidak biasa kuli-kuli membayangkan suasana itu. Perjudian dan pelacuran begitu meriah sepanjang masa sibuk itu. Pengusaha membangun tenda-tenda prostitusi di tanah-tanah kosong perkebunan, bersebelahan dengan tenda-tenda rombongan hiburan wayang yang sengaja diundang untuk mengadakan pertunjukan setiap hari.

Tidak biasa pula, tandil dan mandor bersikap ramah kepada kuli-kuli. Tandil dan mandor mendapat kredit dari perusahaan dalam jumlah tak terbatas untuk disalurkan kepada kuli-kuli yang berniat meminjam uang. Persyaratan pun muncul, uang yang dipinjamkan itu akan dibayar sebelum kontrak kerja kuli benar-benar berakhir.

“Perjudian… perempuan bebas… pertunjukan wayang… Semua disediakan untuk kebutuhan kuli-kuli. Dalam keadaan seperti ini, berapa banyak kekuatan kuli-kuli untuk mampu menolak godaan sementara uang begitu mudah mereka dapatkan?

Tidak perlu dijawab. Kuli-kuli berjudi sepuas hati. Dari waktu ke waktu, pertunjukan wayang dan perempuan-perempuan bebas itu telah menyita perhatian sekaligus uang mereka.” (BDSHKC:218)

Cara-cara yang dipakai oleh tuan kebun ini pun terbukti sukses. Adanya perjudian dan pelacuran itu telah membantu tuan kebun untuk mendapatkan kulinya kembali. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Kini, delapan belas tahun sudah berlalu. sepanjang itu dia menghabiskan hari-harinya di perkebunan dengan pekerjaan yang selalu sama dan berulang-ulang. Urat-urat yang menonjol di otot-ototnya

pulang atau berganti pekerjaan. Semua uangnya habis dilahap meja judi, pipa candu, dan pelacuran.” (BDSHKC:110)

Selain kemiskinan, ketidakadilan sosial adalah contoh yang paling jelas dalam kekerasan tidak langsung. Dalam novel BDSHKC jelas terlihat adanya ketidakadilan dalam hal pembagian upah. Penerimaan upah yang rendah ini menyebabkan kesehatan kuli juga semakin rendah. Kemiskinan yang menimpa para kuli kontrak membuat mereka sering diserang berbagai penyakit. Sipilis adalah penyakit yang sering menjangkiti tubuh kuli-kuli itu. Maraknya pelacuran atau prostitusi membuat penyebaran penyakit kelamin itu semakin cepat berkembang. Hal ini tentu saja bukan hal yang perlu dipusingkan oleh para tuan kebun. Mereka tidak begitu perduli dengan perawatan medis yang seharusnya diterima kuli-kuli yang sakit. Rumah sakit memang didirikan di setiap perkebunan, namun, bangunan yang disebut oleh tuan kebun itu sebagai rumah sakit sangat tidak layak dijadikan tempat untuk merawat orang yang sedang sakit. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Di perkebunan itu ada sebuah bangunan, bangunan kecil yang tidak lebih besar dari sebuah kandang kuda. Dari letaknya yang di pinggir kebun dan tempat tidak terurus, menunjukkan betapa letaknya tidak pentingnya keberadaan bangunan itu.” (BDSHKC:200)

Selanjutnya juga dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“Di salah satu bagian perkebunan, dia mendapati sebuah bangunan kecil, tepatnya sebuah bilik berlantai tanah. Sebuah pintu tampak tertutup dari luar bilik dengan gerendel yang kokoh mengunci. Di dekat ada jendela kecil yang bertelari. Penuh rasa ingin tahu, kontrolir mendekat ke bilik itu yang ternyata… rumah sakit perkebunan!” (BDSHKC:202)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa begitu tidak pedulinya tuan kebun pada sarana kesehatan kuli-kulinya. Seharusnya setiap kuli atau buruh wajib

mendapatkan jaminan kesehatan dari majikannya, namun hal itu tidak pernah berlaku di Deli. Para tuan kebun itu justru menganggap bahwa kuli yang sakit tidak akan memberi keuntungan dan hanya akan merepotkan mereka. Sehingga kuli-kuli yang sakit akan sengaja mereka biarkan sampai mati di rumah sakit itu tanpa ada perawatan medis. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Temanku, si kontrolir itu, masuk ke dalam bangunan itu. Pada sebuah ruangan yang berterali, dia mendapati seorang perempuan Jawa terbaring di atas papan kayu beralaskan goni tanpa bantal. Bau busuk tercium dari tempatnya. Dia kotor dan tidak dimandikan. Kotoran dan air kencing menumpuk. Menggenang di bawah badannya. Di pantat kirinnya ada luka, disebabkan telentang berkepanjangan. Seluruh kulit di bagian belakang kaki kanannya terkelupas hingga terbentuk luka-luka. Lukanya menunjukkan kalau sedikit pun dia tidak pernah diobati.” (BDSHKC:200)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa ketidakadilan selalu menjadi hal yang biasa di Deli. Penindasan dan penderitaan yang dialami oleh kuli-kuli kontrak itu akan selalu terjadi di Deli. Deli yang kaya dan terkenal dengan tanah penghasil dolar itu ternyata ada karena hasil menghisap darah dan keringat kuli.

“Sekitar 40 orang kuli, pria dan wanita, diangkat dalam kondisi sangat buruk. Mereka sangat miskin, memiliki pakaian buruk dan selalu diserang penyakit. Mereka merasa takut pada orang lain dan berharap tidak dikembalikan lagi sebagai kuli. 40 orang Jawa-pria dan wanita-itu kembali dari Deli, tanah yang menghasilkan uang jutaan berlimpah- limpah.” (BDSHKC: 243)

Dokumen terkait